Anda di halaman 1dari 66

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN

HIDROCEPHALUS, MENINGITIS, ENCEPHALITIS

Disusun oleh:
Kelompok 4
Kusnandar
Marlinda Krispriyanti
Masliana
Masliana
Masriansyah

Dosen Pembimbing:
Ns. Junita Lusty S.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2020
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN
HIDROCEPHALUS, MENINGITIS, ENCEPHALITIS

Disusun oleh:
Kelompok 4
Kusnandar
Marlinda Krispriyanti
Masliana
Masliana
Masriansyah

Dosen Pembimbing:
Ns. Junita Lusty S.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulisan makalah “Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan
Hidrocephalus, Meningitis, Encephalitis” dapat kami selesaikan.
Shalawat beriring salam semoga dilimpahkan kepada Baginda Rasulullah
SAW, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang istiqamah di jalan-Nya hingga
akhir zaman.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata ajar
Keperawatan Anak. Selain itu, agar pembaca dapat memperluas ilmu yang
berkaitan dengan judul makalah, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari
berbagai sumber dan hasil kegiatan yang telah dilakukan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak terkait, terutama
kepada dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran
dalam penyelesaian makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Dan kami menyadari masih banyak kekurangan yang mendasar dalam
makalah ini.Oleh karena itu, kami memohon keterbukaan dalam pemberian saran
dan kritik agar lebih baik lagi untuk ke depannya.

Samarinda, September 2020

Kelompok 4

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................5
BAB II TELAAH PUSTAKA...............................................................................9
A. Hidrcephalus.................................................................................................9
B. Meningitis...................................................................................................27
C. Encephalitis.................................................................................................47
BAB III PENUTUP..............................................................................................62
A. Kesimpulan.................................................................................................62
B. Saran............................................................................................................62
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................63

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Meningitis neonatal sering merupakan akibat dari sepsis neonatal.
Meningitis neonatal dapat terjadi pada hampir sepertiga kasus sepsis neona-
tal.berdasarkan data penelitian yang telah dilakukan oleh WHO Sebanyak
1,17-2,97 dari 3,5-8,9 kasus sepsis neonatal per 1000 kelahiran berkembang
menjadi meningitis di negara barat dan 2,4-12,7 dari 7,1-38 kasus sepsis
neonatal per 1000 kelahiran berkem-bang menjadi meningitis di negara
berkembang. Meningitis neonatal dapat juga terjadi pada bayi dengan klinis
sepsis dengan angka kejadian berkisar 38%-50%.Terdapat beberapa faktor
risiko yang mempengaruhi terjadinya meningitis neonatal, yaitu bayi kurang
bulan (usia kehamilan<37 minggu), bayi berat lahir rendah (<2500 g),
ketuban pecah dini,hipoksia, infeksi peripartum (korioamnionitis) (Rachman,
A ,Artana, WD&Sukmawati, M, 2017).

Manifestasi klinis awal antara meningitis neona-tal, sepsis neonatal dan


klinis sepsis sangat tidak spesifik dan sulit dibedakan satu dengan yang
lainnya. Akibatnya terjadi ketidaktepatan dalam penatalaksanaan terutama
pada lama pemberian antibiotik empiris yang menyebabkan meningkat-nya
morbiditas, mortalitas dan gejala sisa neurologis.Pemeriksaan cairan
serebrospinalis (CSS) melalui pungsi lumbal adalah satu-satunya pemer-
iksaan untuk membantu menegakkan diagnosis meningitis sehingga
pengobatan yang tepat dapat diberikan (Rachman, A ,Artana,
WD&Sukmawati, M, 2017).

Hidrosefalus menggambarkan keadaan peningkatan tekanan intrakranial


karena peningkatan cairan cerebrospinal (CSF). Sejarah Hidrosefalus sudah

5
banyak dikenal sejak ± abad ke-5 SM, Hippocrates menggambarkan
hidrosefalus sebagai presentasi klinis karena akumulasi air di intrakranial.
Kemudian, Galen menjelaskan tentang Plexus Choroid dan hubungannya
dengan cairan cerebrospinal di dalam otak, walaupun pengetahuan tentang hal
ini masih kurang pemahamannya. Pada abad ke-17, Willis menjelaskan
bahwa plexus choroid mensekresikan cairan cerebrospinal dan absorbsinya ke
dalam sistem vena dalam otak, walaupun penjelasan ini masih kurang dapat
dijelaskannya. Pada 1701, Pachioni menjelaskan tentang granulationes
arachnoidea, walau masih belum tepat menjelaskan fungsinya dalam produksi
cairan cerebrospinal daripada fungsi absorbsinya, namun akhirnya padaakhir
abad ke-19, penjelasan tentang fisiologi produksi cairan cerebrospinal dan
absorbsinya telah dapat dijelaskan dengan lebih baik.

Evolusi dalam tatalaksana hidrosefalus juga terbagi dalam 3 tahap. Tahap


pertama, pada masa Renaisance, ditandai dengan pemahaman yang kurang
mengenai proses fisiologis dan patologisnya, sehingga tatalaksana
pembedahan maupun tanpa pembedahan tidak memberikan hasil yang
bermanfaat. Tahap kedua, periode antara abad ke-19 dan pertengahan abad
ke-20, dimana fisiologi dan patologi cairan cerebrospinal dapat dijelaskan
dengan lebih baik, namun pilihan tatalaksana masih terlalu dini dilakukan.
Pada tahun 1891, Quincke melakukan pungsi lumbal sebagai modalitas
diagnostik dan terapi pada hidrosefalus. Sedangkan Keen melakukan drainase
ventrikel cerebri melalui pendekatan temporal. Beragam kanulisasi lumbal
dan ventrikel cerebri telah dilakukan dengan hasil yang berbeda satu dengan
lainnya. Chusing melaporkan tatalaksana hidrosefalus dengan cara membuat
hubungan (shunting) lumbal-peritoneum. Lespinasse pada tahun 1910
merupakan yang pertama kali mengenalkan koagulasi plexus choroidea dan
penggunaan endoskopik (sistoskopik) pada kanulasi ventrikel cerebri. Pada

6
tahun 1922, Dandy merupakan orang pertama yang melakukan
thirdventriculostomy menggunakan pendekatan subfrontal, dan setahun
kemudian Mixter melakukan ETV(endoscopic third ventriculostomy) pada
hisdrosefalus non komunikan dengan menggunakan uretroskopik. Pada tahun
1939, Torkildsen mengenalkan penggunaan valveless rubber catether untuk
menghubungkan ventrikel lateral dengan sisterna magna pada hidrosefalus
non komunikan (Adam, A, 2013).

Enshephalitis merupakan syndrome inflamasi otak yang sering terjadi


parenkim otak.infeksi herpessimplekspada anak merupakan infeksi paling
beratpada sususnan sistem saraf pusat . insidennya terjadi antara 1 dalam
250.000 sampai 500.000 penduduk pertahun. Dengan tingginya angka
kejadian infeksi sususansistem syaraf pusat maka kelompoktertarik untuk
membuat makalah patofisiologi dan asuhankeperawatanpada meningitis,
hidrosefalus danenchepalitis (Lestari, R & Putra EA).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana patofisiologi,
pemeriksaan fisik dan asuhan keperawatan pada anak dengan hidrocephalus,
meningitis dan encephalitis?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Dengan tersusunnya makalah ini diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui dan memahami tentang patofisiologi, pemeriksaan fisik dan
asuhan keperawatan pada anak dengan hidrocephalus, meningitis dan
encephalitis.

2. Tujuan Khusus

7
a. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi, pemeriksaan fisik dan
asuhan keperawatan pada anak dengan hidrocephalus.
b. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi, pemeriksaan fisik dan
asuhan keperawatan pada anak dengan meningitis.
c. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi, pemeriksaan fisik dan
asuhan keperawatan pada anak dengan encephalitis.
D. Manfaat
1. Bagi Pelayanan
a. Menambah pengetahuan perawat tentang asuhan keperawatan pada
anak dengan hidrocephalus, meningitis dan encephalitis.
b. Sebagai bahan masukan perawat agar dapat memberikan edukasi
kepada pasien mengenai hidrocephalus, meningitis dan encephalitis.

a. Bagi Pendidikan
Menambah khasanah keilmuan keperawatan tentang patofisiologi,
pemeriksaan fisik dan asuhan keperawatan pada anak dengan
hidrocephalus, meningitis dan encephalitis

8
BAB II

TELAAH PUSTAKA

A. Hidrcephalus
1. Definisi
Hidrosefalus adalah akumulasi cairan serebro spinal dalam
ventrikelserebral, ruang subarachnoid atau ruang subdural (Suriadi dan
Yuliani, 2001).
Hidrosefalus merupakan keadaan patologis otak yang
mengakibatkan bertmbahnya cairan serebro spinalis tanpa atau pernah
dengan tekanan intracranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran
ruangan tempat mengalirnya cairan serebro spinal (Ngastiyah,2007).
Hidrosefalus merupakan sindroma klinis yang dicirikan dengan
dilatasi yang progresif pada system ventrikuler cerebral dan kompresi
gabungan dari jaringan – jaringan serebral selama produksi CSF
berlangsung yang meningkatkan kecepatan absorbsi oleh vili arachnoid.
Akibat berlebihannya cairan serebrospinalis dan meningkatnya tekanan
intrakranial menyebabkan terjadinya peleburan ruang – ruang tempat
mengalirnya liquor (Mualim, 2010).

2. Fisiologis Cairan Serebro Spinal (CSS)


a.   Pembentukan CSF
Normal CSF diproduksi + 0,35 ml / menit atau 500 ml / hari
dengan demikian CSF di perbaharui setiap 8 jam. Pada anak dengan
hidrosefalus, produksi CSF ternyata berkurang + 0, 30 / menit. CSF
di bentuk oleh PPA;
1) Plexus choroideus (yang merupakan bagian terbesar
2) Parenchym otak

9
3) Arachnoid
b.   Sirkulasi CSF
Melalui pemeriksaan radio isotop, ternyata CSF mengalir dari
tempat pembentuknya ke tempat ke tempat absorpsinya. CSF
mengalir dari II ventrikel lateralis melalui sepasang foramen Monro
ke dalam ventrikel III, dari sini melalui aquaductus Sylvius menuju
ventrikel IV. Melalui satu pasang foramen Lusckha CSF mengalir
cerebello pontine dan cisterna prepontis. Cairan yang keluar dari
foramen Magindie menuju cisterna magna. Dari sini mengalir
kesuperior dalam rongga subarachnoid spinalis dan ke cranial
menuju cisterna infra tentorial.Melalui cisterna di supratentorial dan
kedua hemisfere cortex cerebri. Sirkulasi berakhir di sinus Doramatis
di mana terjadi absorbsi melalui villi arachnoid.

LAPORAN PENDAHULUAN HIDROSEFALUS

10
3. Jenis
Jenis Hidrosefalus dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Waktu Pembentukan
1) Hidrosefalus Congenital, yaitu hidrosefalus yang dialami sejak
dalamkandungan dan berlanjut setelah dilahirkan.
2) Hidrosefalus Akuisita, yaitu hidrosefalus yang terjadi setelah
bayi dilahirkan atau terjadi karena faktor lain setelah bayi
dilahirkan (Harsono,2006).
b. Proses Terbentuknya Hidrosefalus
1) Hidrosefalus Akut, yaitu hidrosefalus yang tejadi secara
mendadak yang diakibatkan oleh gangguan absorbsi CSS
(Cairan Serebrospinal)
2) Hidrosefalus Kronik, yaitu hidrosefalus yang terjadi setelah
cairanCSS mengalami obstruksi beberapa minggu
(Anonim,2007)
c. Sirkulasi Cairan Serebrospinal
1) Communicating, yaitu kondisi hidrosefalus dimana CSS masih
biaskeluar dari ventrikel namun alirannya tersumbat setelah itu.
2) Non Communicating, yaitu kondis hidrosefalus dimana
sumbatanaliran CSS yang terjadi disalah satu atau lebih jalur
sempit yangmenghubungkan ventrikel-ventrikel otak (Anonim,
2003).
d. Proses Penyakit
1) Acquired, yaitu hidrosefalus yang disebabkan oleh infeksi
yangmengenai otak dan jaringan sekitarnya termasuk selaput
pembungkusotak (meninges).

11
2) Ex-Vacuo, yaitu kerusakan otak yang disebabkan oleh stroke
atau cederatraumatis yang mungkin menyebabkan penyempitan
jaringan otak atauathrophy (Anonim, 2003).
4. Etiologi
Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran CSS pada
salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel
dan tempat absorbsi dalam ruang subarackhnoid. akibat penyumbatan,
terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya. Penyumbatan aliran CSS sering
terdapat pada bayi dan anak ialah:
a. Kongenital : disebabkan gangguan perkembangan janin dalam
rahim,atau infeksi intrauterine meliputi :
- Stenosis aquaductus sylvi
- Spina bifida dan kranium bifida
- Syndrom Dandy-Walker
- Kista arakhnoid dan anomali pembuluh darah
b. Didapat : disebabkan oleh infeksi, neoplasma, atau perdarahan
- Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen. secara
patologis terlihat penebalan jaringan piameter dan arakhnoid
sekitar sisterna basalis dan daerah lain. penyebab lain infeksi
adalah toksoplasmosis.
- Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap
tempat aliran CSS. pada anak yang terbanyak menyebabkan
penyumbatan ventrikel IV / akuaduktus sylvii bagian terakhir
biasanya suatu glioma yang berasal dari cerebelum,
penyumbatan bagian depan ventrikel III disebabkan
kraniofaringioma.

12
- Perdarahan
Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat
menyebabkan fibrosis leptomeningfen terutama pada daerah
basal otak, selain penyumbatan yang terjakdi akibat organisasi
dari darah itu sendiri.

5. Patofisiologi
Jika terdapat obstruksi pada system ventrikuler atau pada ruangan
subarachnoid, ventrikel serebral melebar, menyebabkan permukaan
ventrikuler mengkerut dan merobek garis ependymal. White mater
dibawahnya akan mengalami atrofi dan tereduksi menjadi pita yang tipis.
Pada gray matter terdapat pemeliharaan yang bersifat selektif, sehingga
walaupun ventrikel telah mengalami pembesaran gray matter tidak
mengalami gangguan. Proses dilatasi itu dapat merupakan proses yang
tiba – tiba / akut dan dapat juga selektif tergantung pada kedudukan
penyumbatan. Proses akut itu merupakan kasus emergency. Pada bayi
dan anak kecil sutura kranialnya melipat dan melebar untuk
mengakomodasi peningkatan massa cranial. Jika fontanela anterior tidak
tertutup dia tidak akan mengembang dan terasa tegang pada
perabaan.Stenosis aquaductal (Penyakit keluarga / keturunan yang
terpaut seks) menyebabkan titik pelebaran pada ventrikel lateral dan
tengah, pelebaran ini menyebabkan kepala berbentuk khas yaitu
penampakan dahi yang menonjol secara dominan (dominan Frontal
blow). Syndroma dandy walkker akan terjadi jika terjadi obstruksi pada
foramina di luar pada ventrikel IV. Ventrikel ke IV melebar dan fossae
posterior menonjol memenuhi sebagian besar ruang dibawah tentorium.
Klien dengan type hidrosephalus diatas akan mengalami pembesaran

13
cerebrum yang secara simetris dan wajahnya tampak kecil secara
disproporsional.
Pada orang yang lebih tua, sutura cranial telah menutup sehingga
membatasi ekspansi masa otak, sebagai akibatnya menujukkan gejala :
Kenailkan ICP sebelum ventrikjel cerebral menjadi sangat membesar.
Kerusakan dalam absorbsi dan sirkulasi CSF pada hidrosephalus tidak
komplit. CSF melebihi kapasitas normal sistim ventrikel tiap 6 – 8 jam
dan ketiadaan absorbsi total akan menyebabkankematian.
Pada pelebaran ventrikular menyebabkan robeknya garis ependyma
normal yang pada didning rongga memungkinkan kenaikan absorpsi. Jika
route kolateral cukup untuk mencegah dilatasi ventrikular lebih lanjut
maka akan terjadi keadaan kompensasi.

14
6. Pathway

15
7. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis Hidrosefalus dibagi menjadi 2 yaitu : anak
dibawah usia 2 tahun, dan anak diatas usia 2 tahun.
a. Hidrosefalus dibawah usia 2 tahun
- Sebelum usia 2 tahun yang lebih menonjol adalah pembesaran
kepala.
- Ubun-ubun besar melebar, terba tegang/menonjol dan tidak
berdenyut.
- Dahi nampak melebar dan kulit kepala tipis, tegap mengkilap
dengan pelebaran vena-vena kulit kepala.
- Tulang tengkorak tipis dengan sutura masih terbuka lebar cracked
pot sign yakni bunyi seperti pot kembang yang retak pada
perkusi.
- Perubahan pada mata.
 Bola mata berotasi kebawah olek karena ada tekanan dan
penipisan tulang supra orbita. Sclera nampak diatas iris,
sehingga iris seakan-akan seperti matahari yang akan terbenam
 Strabismus divergens
 Nystagmus
 Refleks pupil lambat
 Atropi n ii oleh karena kompensi ventrikel pada chiasma
optikum
 Papil edema jarang, mungkin oleh sutura yang masih terbuka.
b. Hydrochepalus pada anak diatas usia 2 tahun.
Yang lebih menonjol disini ialah gejala-gejala peninggian tekanan
intra kranial oleh karena pada usia ini ubun-ubun sudah tertutup

16
8. Komplikasi
a. Peningkatan tekanan intrakranial
b. Kerusakan otak
c. Infeksi:septikemia,endokarditis,infeksiluka,nefritis,meningitis,ventri
kulitis,abses otak.
d. Shunt tidak berfungsi dengan baik akibat obstruksi mekanik.
e. Hematomi subdural, peritonitis,adses abdomen, perporasi organ
dalam rongga abdomen,fistula,hernia, dan ileus.
f. Kematian
9. Penatalaksanaan
a. Pencegahan
Untuk mencegah timbulnya kelainan genetic perlu dilakukan
penyuluhan genetic, penerangan keluarga berencana serta
menghindari perkawinan antar keluarga dekat. Proses
persalinan/kelahirandiusahakan dalam batas-batas fisiologik untuk
menghindari trauma kepala bayi. Tindakan pembedahan Caesar
suatu saat lebih dipilih dari pada menanggung resiko cedera kepala
bayi sewaktu lahir.
b. Terapi Medikamentosa
Hidrosefalus dengan progresivitas rendah dan tanpa obstruksi
pada umumnya tidak memerlukan tindakan operasi. Dapat diberi
asetazolamid dengan dosis 25 – 50 mg/kg BB. Pada keadaan akut
dapat diberikan menitol. Diuretika dan kortikosteroid dapat
diberikan meskipun hasilnya kurang memuaskan. Pembarian diamox
atau furocemide juga dapat diberikan. Tanpa pengobatan “pada
kasus didapat” dapat sembuh spontan ± 40 – 50 % kasus.

c. Pembedahan :

17
Tindakan pembedahan adalah pilhan terapi yang lebih disukai.
Salah satu tindakan intervensi yang dapat dilakukan adalah lumbal
pungsi. Lumbal pungsi serial dapat dilakukan untuk kasus
hidrosefalus setelah perdarahan intraventrikuler, karena pada kondisi
seperti ini hidrosefalus dapat hilang dengan spontan. Jika reabsorpsi
tidak terjadi ketika kandungan protein di dalam cairan serebrospinal
dibawah 100 mg/dL, reabsorpsi spontan tidak mungkin terjadi.
Lumbal pungsi serial hanya dapat dilakukan pada kasus hidrosefalus
komunikan. Kebanyakan pasien diterapi dengan shunt. Hanya sekitar
25% dari pasien dengan hidrosefalus yang berhasil diterapi tanpa
pemasangan shunt. Prinsip dari shunting adalah untuk membentuk
suatu hubungan antara cairan serebrospnal (ventrikel atau lumbal)
dan rongga tempat drainase (peritoneum, atrium kanan, pleura).
Pada dasarnya alat shunt terdiri dari tiga komponen yaitu;
kateter proksimal, katub (dengan/tanpa reservior), dan kateter distal.
Komponen bahan dasarnya adalah elastomer silicon. Pemilihan
pemakaian didasarkan atas pertimbangan mengenai penyembuhan
kulit yang dalam hal ini sesuai dengan usia penderita, berat badan,
ketebalan kulit dan ukuran kepala. Sistem hidrodinamik shunt tetap
berfungsi pada tekanan yang tinggi, sedang dan rendah, dan pilihan
ditetapkan sesuai dengan ukuran ventrikel, status pasien (vegetative,
normal) pathogenesis hidrosefalus, dan proses evolusi penyakit.
Berikut ini adalah beberapa pilihan dari pemasangan shunt :
 Ventrikuloperitoneal (VP) Shunt adalah yang paling sering
digunakan. Keuntungan dari shunt ini adalah tidak terganggunya
fungsi dari shunt akibat pertambahan dari panjang badan pasien,

18
hal ini dapat dihindari dengan penggunaan kateter peritoneal
yang panjang
 Ventriculoatrial (VA) shunt yang juga disebut sebagai “vascular
shunt”. Dari ventrikel serebri melewati vena jugularis dan vena
cava superior memasuki atrium kanan. Pilihan terapi ini
dilakukan jika pasien memiliki kelainan abdominal (misalnya
peritonitis, morbid obesity, atau setelah operasi abdomen yang
luas). Shunt jenis ini memerlukan pengulangan akibat
pertumbuhan dari anak.
 Lumboperitoneal shunt digunakan hanya untuk hidrosefalus
komunikan, cairan serebrospinal fistula, atau pseudotumor
serebri.
 Torkildsen shunt jarang dilakukan, mengalirkan cairan cairan
serebrospinal dari ventrikel ke dalam ruang sisterna dan hanya
efektif pada kasus acquired obstructive hydrocephalus.
 Ventriculopleural shunt dianggap sebagai terapi lini kedua.
Shunt ini hanya digunakan jika terdapat kontraindikasi pada
shunt tipe lainnya.

19
4.  Terapi
Pada dasarnya ada 3 prinsip dalam pengobatan hidrosefalus,
yaitu :
a) Mengurangi produksi CSS
b) Mempengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS dengan
tempat absorbsi
c) Pengeluaran likuor (CSS) kedalam organ ekstrakranial.
Penanganan hidrosefalus juga dapat dibagi menjadi :
a. Penanganan sementara
Terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi
evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari
pleksus khoroid atau upaya meningkatkan resorbsinya.
b. Penanganan alternatif (selain shunting)
Misalnya : pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin
A, reseksi radikal lesi massa yang mengganggu aliran likuor atau
perbaikan suatu malformasi. saat ini cara terbaik untuk malakukan

20
perforasi dasar ventrikel dasar ventrikel III adalah dengan teknik
bedah endoskopik.
c. Operasi pemasangan “ pintas “ (shunting)
Operasi pintas bertujuan mambuat saluran baru antara aliran likuor
dengan kavitas drainase. Pada anak-anak lokasi drainase yang
terpilih adalah rongga peritoneum. biasanya cairan cerebrospinalis
didrainase dari ventrikel, namun kadang ada hidrosefalus
komunikans ada yang didrain rongga subarakhnoid lumbar. Ada 2
hal yang perlu diperhatikan pada periode pasca operasi, yaitu
pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan
pemantauan. kelancaran dan fungsi alat shunt yang dipasang. Infeksi
pada shunt meningkatkan resiko akan kerusakan intelektual, lokulasi
ventrikel dan bahkan kematian.
10. Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
1) Anamnesa
a) Riwayat penyakit / keluhan utama
Muntah, gelisah nyeri kepala, lethargi, lelah apatis,
penglihatan ganda, perubahan pupil, kontriksi penglihatan
perifer.
b) Riwayat Perkembangan
Kelahiran : Lahir prematur atau tidak? Lahir dengan
pertolongan siapa? pada waktu lahir menangis keras atau
tidak?
Kekejangan : Mulut dan perubahan tingkah laku. Apakah
pernah terjatuh dengan kepala terbentur? Apakah ada
keluhan sakit perut?
2) Pemeriksaan Fisik

21
 Inspeksi :
- Anak dapat melihat keatas atau tidak.
- Pembesaran kepala.
- Dahi menonjol dan mengkilat, pembuluh darah terlihat
jelas.
 Palpasi 
- Ukur lingkar kepala : Kepala semakin membesar.
- Fontanela : Keterlamabatan penutupan fontanela anterior
sehingga fontanela tegang, keras dan sedikit tinggi dari
permukaan tengkorak.
 Pemeriksaan Mata
- Akomodasi.
- Gerakan bola mata.
- Luas lapang pandang
- Konvergensi.
Didapatkan hasil : alis mata dan bulu mata keatas, tidak
bisa melihat keatas.
- Stabismus, nystaqmus, atropi optic.
b. Observasi Tanda-Tanda Vital
Didapatkan data – data sebagai berikut :
- Peningkatan sistole tekanan darah.
- Penurunan nadi / Bradicardia.
- Peningkatan frekwensi pernapasan.
c. Diagnosa Klinis
Transimulasi kepala bayi yang akan menunjukkan tahap dan
lokalisasi dari pengumpulan cairan banormal. (Transsimulasi
terang)

22
- Perkusi tengkorak kepala bayi akan menghasilkan bunyi “
Crakedpot “ (Mercewen’s Sign)
- Opthalmoscopy : Edema Pupil.
- CT Scan Memperlihatkan (non–invasive) type hidrocephalus
dengan nalisisi komputer.
- Radiologi : Ditemukan Pelebaran sutura, erosi tulang intra
cranial.
b. Diagnosa keperawatan
1) Perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan
penurunan aliran darah ke otak ditandai dengan vena-vena di
area cerebral melebar, sutura melebar.
2) Hipertermi berhubungan dengan adanya respon inflamasi karena
masuknya bakteri ditandai dengan suhu tubuh pasien 390 C.
3) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik
ditandai dengan lesi di area oksipital.
4) Gangguan sensori persepsi visual berhubungan dengan
perubahan sensori persepsi (penekanan cranial 2) ditandai
dengan sunset phenomenon.
c. Intervensi keperawatan
Diagnosa Tujuan Intervensi
Perfusi Jaringan Setelah diberikan asuhan Cerebral Perfusion
Serebral tidak keperawatan selama 1 x 24 Promotion
Efektif jam diharapkan tercapai 1) Pantau tingkat kerusakan
keefektifan perfusi jaringan perfusi jaringan serebral,
serebral, dengan kriteria seperti status neurologi dan
hasil: adanya penurunan
Tissue perfusion : Cerebral kesadaran.
(Perfusi jaringan serebral) 2) Konsultasikan dengan
- Tekanan darah sistolik dokter untuk menentukan
normal (120 mmHg) posisi kepala yang tepat (0,
- Tekanan darah diastolik 15, atau 30 derajat) dan

23
normal (80 mmHg) monitor respon klien
- Tidak ada sakit kepala terhadap posisi tersebut.
- Tidak ada agitasi 3) Monitor status respirasi
- Tidak ada syncope (pola, ritme, dan
- Tidak ada muntah kedalaman respirasi; PO2,
Seizure Control PCO2, PH, dan level
- Pasien tidak mengalami bikarbonat)
kejang 4) Monitor nilai lab untuk
- Lingkungan sekitar pasien perubahan dalam
dalam keadaan aman oksigenasi
Oxygen Therapy
1) Pertahankan kepatenan
jalan nafas.
2) Monitor aliran oksigen.
Vital Signs Monitoring
1) Monitor tanda-tanda vital
2) Ukur tekanan darah setelah
klien mendapatkan
medikasi/terapi.
Seizure management
1) Monitor secara langsung
mata dan kepala selama
kejang
2) Monitor status neurologik
3) Monitor TTV
4) Dokumentasikan informasi
tentang kejadian kejang
neurologi pasien
5) Berikan antikonvulsan
Phenytoin 3x100 mg/IV
dan neuroprotektor
Citicolin 3x250 mg/IV

Seizure Precaution
1) Hindarkan barang-barang
yang berbahaya dari sekitar
pasien
Jaga ikatan di samping
tempat tidur
2) Pasang tiang pengaman

24
3) Gunakan paddle pada sisi
tempat tidur

Hipertermi Setelah dilakukan tindakanRegulasi suhu


keperawatan selama ….x24 1) Monitor suhu tiap 2 jam
jam suhu dapat kembali sekali.
normal. 2) Monitor tekanan darah.
Dengan kriteria hasil : 3) Auskultasi bunyi paru.
 Suhu kulit normal 4) Monitor perubahan warna
kulit pada diri pasien.
 Suhu tubuh dalam 5) Monitor adanya sianosis
rentang normal
pada pasien.
 Tidak menunjukkan sakit 6) Monitor kelembaban kulit
kepala pasien.

 Tidak menunjukkan nyeri


otot

 Tidak terdapat iritasi

 Tidak tampak ngantuk

 Warna kulit tidak berubah

 Berkeringat ketika panas

 Nadi dalam rentang yg


diinginkan

 Pernapasan normal

 Hidrasi yang adekuat

Gangguan Setelah diberikan asuhan 1. Ubah posisi setiap 2 jam


integritas kulit keperawatan selama ….x24 2. Observasi terhadap
jam, diharapkan klien mampu eritema, kepucatan, dan
mempertahankan keutuhan palpasi area sekitar
kulit dengan kriteria hasil : terhadap kehangatan dan
- Tidak ada tanda-tanda pelunakan jaringan tiap
kemerahan atau luka mengubah posisi
3. Jaga kebersihan kulit
seminimal mungkin hindari

25
trauma terhadap panas
terhadap kulit
4. Instruksikan pengunjung
untuk mencuci tangan saat
memasuki dan
meninggalkan ruangan
klien
5. Cuci tangan sebelum dan
sesudah setelah melakukan
perawatan kepada klien.

Gangguan sensori Setelah diberikan asuhan 1) Gunakan siaran TV sebagai


persepsi visual keperawatan selama ….x24 bagian dari rencana
jam, diharapkan gangguan program stimulasi sensorik
sensori persepsi visual klien 2) Monitor adanya tanda
berkurang dengan kriteria kemerahan pada mata klien
hasil : 3) Bantu klien untuk tidak
 Kemampuan penglihatan menyentuh mata bagian
klien meningkat dalam
 Sunset phenomenon
berkurang

26
B. Meningitis
1. Definisi
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat
yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang
superfisial.
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan
penderita dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak,
ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok penderita. Saluran nafas
merupakan port d’entree utama pada penularan penyakit ini. Bakteri-
bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari
pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara
hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan
memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada
selaput otak dan otak.

2. Klasifikasi
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang
terjadi pada cairan otak yaitu :
a. Meningitis serosa
Ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai
cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering
dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus.
b. Meningitis purulenta
Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis
yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta
bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis

27
Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling
sering terjadi.
3. Etiologi
Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur,
cacing dan protozoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri.
Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal
dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan
gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri
lebih berat.
Infectious Agent meningitis purulenta mempunyai kecenderungan
pada golongan umur tertentu, yaitu golongan neonatus paling banyak
disebabkan oleh E.Coli, S.beta hemolitikus dan Listeria monositogenes.
Golongan umur dibawah 5 tahun (balita) disebabkan oleh H.influenzae,
Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahun
disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis dan
Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun)
disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus,
Streptococcus dan Listeria.
Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah
kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis yang disebabkan oleh virus
mempunyai prognosis yang lebih baik, cenderung jinak dan bisa sembuh
sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering ditemukan yaitu
Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus , sedangkan Herpes
simplex, Herpes zooster, dan enterovirus jarang menjadi penyebab
meningitis aseptic (viral).

28
4. Patofisiologi
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit
di organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara
hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit Faringitis,
Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan Endokarditis. Penyebaran
bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ
atau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis
Media, Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis.
Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur
terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam
ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid,
CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang
mengalami hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi
penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang
subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi
pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua selsel
plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar
mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan
dalam terdapat makrofag.
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di
korteks dan dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan
degenerasi neuronneuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural
yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan kraniales. Pada Meningitis
yang disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih
dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh bakteri.

29
5. Pathway

30
6. Manifestasi klinis
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas
mendadak, letargi, muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan
dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal.
Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang
jernih serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya,
meningitis yang disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala
anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer
parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis
yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala,
muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan
timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher,
dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis
Coxsackie virus yaitu tampak lesi vasikuler pada palatum, uvula, tonsil,
dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala,
muntah, demam, kaku leher, dan nyeri punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat
pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi
secara akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan
pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi,
biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang
dialami lebih kurang 44 % anak dengan penyebab Haemophilus
influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh
Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak
dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan
bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri

31
kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan
serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen.
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau
stadium prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak
seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat
subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang,
murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola
tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang
dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi,
kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat
gelisah.
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu
dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri
kepala yang hebat dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan
anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh
tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial,
ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III atau stadium
terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai
koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu
tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.

7. Komplikasi
Komplikasi dari Meningitis adalah sebagai berikut;
a. Retardasi mental
b. Iritabel
c. Ganguan motorik
d. Epilepsi
e. Emosi tidak stabil

32
f. Sulit tidur
g. Halusinasi
h. Enuresis
i. Anak menjadi perusak dan melakukan tindakan asosial lain (Kapita
Selekta Kedokteran, 2000).
j. Selain itu meningitis juga menimbulkan komplikasi berupa edema
otak dan perdarahan serebral (Erny, Darto Saharso, 2006).
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dilakukan apabila anak mengalami meningitis
adalah:
a. Pemberian tindakan dan perawatan sesuai dengan kejang demam
 Intervensi keperawatan awal yang harus diberikan saat anak
datang dengan keluhan kejang
1) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton
yang ingin tahu ( pasien yang mempunyai penanda ancaman
kejang memerlukan waktu untuk mencari tempat yang aman
dan pribadi)
2) Mengamankan pasien di lantai, jika memungkinkan.
3) Melindungi kepala dengan bantalan untuk mencegah cedera (
dari membentur permukaan keras).
4) Lepaskan pakaian yang ketat
5) Singkirkan semua prabot yang dapat mencederai pasien
selama kejang
6) Jika pasien di tempat tidur , singkirkan bantal dan tinggikan
pagar tempat tidur
7) Jika penanda ancaman kejang mendahului kejang , masukan
spatel lidah yang diberi bantalan diantara gigi-gigi, untuk
mengurangi lidah atau pipi tergigit.

33
8) Jangan berusaha untuk membuka rahang yang terkatup pada
keadaan spasme untuk memasukan sesuatu. Gigi patah dan
cedera pada bibir dan lidah dapat terjadi karena tindakan ini
9) Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama
kejang, karena kontraksi otot kuat dan restrein dapat
menimbulkan cedera
10) Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi
dengan kepala fleksi ke depan , yang memungkinkan lidah
jatuh dan memudahkan pengeluaran saliva dan mucus. Jika
disediakan penghisap, gunakan jika perlu untuk
membersihkan secret. (Brunner and Suddarth, 2002:2203)
 Tindakan mengatasi kejang
Saat kejang diberi diazepam i.v atau per rektal dengan dosis
intravena 0,3-0,5 mg/kg bb/kali per rektal dengan ketentuan dosis
maksimum untuk anak kurang dari 10 tahun, 7,5 mg, dan di atas
10 tahun, 10 mg. saat tidak kejang, dilakukan pemberian luminal
5 mg/kg.bb..hari, oral dibagi menjadi 2-3 dosis
1) Tindakan perawatan perektal
Karena ditemukan pasien menderita Meningitis, dilakukan
pemberian Adenosine arabinose 15 mg/Kg BB/hari selama 5
hari
2) Pemakaian obat-obatan
a) Dosis obat penurun panas dan anti kejang sesuai dengan
kejang demam
b) Antibiotika diberikan untuk mencegah infeksi sekunder
seperti ampisilindosis 50-100 mg/kg.bb./hari, dengan
dibagi tiga dosis secara intravena

34
c) Untuk menghilangkan edema otak diberikan obat-obatan
sebagai berikut :
- Dexamethason
Diberikan dosis 0,5 mg/kg.bb./hari intravena atau
intramuscular. Dosis diturunkan pelan-pelan bila
setelah beberapa hari pasien menunjukkan perbaikan
- Manitol
Dosis 1,5-2,0 mg/kg intravena dalam 30-60 menit
dapat diulang setiap 8-12 jam dengan menggunakan
larutan 15-20 %
- Gliserol
Dosis 0,5-2,0 gram/kg dengan sonde hidung,
diencerkan 2 kali dan dapat diulang setiap 6 jam.
- Glukosa 20%
Glukosa 20% sebanyak 10ml intravena beberapa kali
sehari, dimasukkan ke dalam pipa
3) Pengobatan suportif
a) Pemberian cairan intravena (glukosa 10%), pemberian
cairan ini dimaksudkan untuk mempertahankan
keseimbangan air-elektrolit,mencukupi kalori dan
pemberian obat-obatan
b) Pemberian vitamin
c) Pemberian O2 untuk mencegah kerusakan jaringan otak
akibat hipoksia
9. Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan pada klien adalah :
1) Data diri

35
Merupakan identitas diri pasien meliputi nama, umur, jenis
kelamin, tanggal masuk rumah sakit dan dokumentasi
pengkajian.
2) Keluhan utama
Merupakan dorongan penyebab klien masuk rumah sakit.
Keluhan utama pada penderita encephalitis yaitu sakit kepala,
kaku kuduk, gangguan kesadaran, demam dan kejang.
3) Riwayat kehamilan dan kelahiran
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan
post natal. Riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja
yang pernah diderita oleh ibu terutama penyakit infeksi. Riwayat
natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan
aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan
terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga
mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban
untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui
keadaan anak setelah lahir contohnya BBLR.
4) Pemeriksaan fisik
 Keadaan umum
Umumnya terjadi penurunan kesadaran, nadi 100-140 x/mnt,
suhu 37-39°C, pernafasan 20-40 x/mnt teratur.
 Kepala dan Leher
- Kepala berbentuk simetris, rambut bersih, hitam dan
penyebarannya merata, ubun-ubun besar masih belum
menutup, teraba lunak dan cembung, tidak tegang. Lingkar
kepala 36 cm.
- Reaksi cahaya +/+, mata nampak anemi, ikterus tidak ada,
tidak terdapat sub kunjungtival bleeding.

36
- Telinga tidak ada serumen.
- Hidung tidak terdapat pernafasan cuping hidung.
- Mulut bersih, tidak terdapat moniliasis.
- Leher tidak terdapat pembesaran kelenjar, tidak ada kaku
kuduk.
 Dada dan Thoraks
Pergerakan dada simetris, Wheezing -/-, Ronchi -/-, tidak
terdapat retraksi otot bantu pernafasan. Pemeriksaan jantung,
ictus cordis terletak di midclavicula sinistra ICS 4-5, S1S2
tunggal tidak ada bising/ murmur.
 Abdomen
Bentuk supel, hasil perkusi tympani, tidak terdapat
meteorismus, bising usus+ normal 5 x/ mnt, hepar dan limpa
tidak teraba. Kandung kemih teraba kosong.
 Ekstremitas
Tidak terdapat spina bifida pada ruas tulang belakang, tidak
ada kelainan dalam segi bentuk, uji kekuatan otot tidak
dilakukan. Klien mampu menggerakkan ekstrimitas sesuai
dengan arah gerak sendi. Ekstrimitas kanan sering terjadi
spastik setiap 10 menit selama 1 menit.

 Reflek
Pada saat dikaji refleks menghisap klien +, refleks babinsky +
a) Tanda Rangsang Meningeal Kaku Kuduk
Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya otot-otot
ekstensor tekuk. Bila hebat, terjadi opistotonus yaitu
tekuk kaku dalam sikap kepala tertengdah dan

37
pungguang dalam sikap hiperekstensi. (Mansjoer, Arif,
2000; 437-439)
Cara pemeriksaan : Pasien berbaring terlentang
singkirkan penyangga kepala lakukan gerakan
anterofleksi leher secara pasif sampai dagu menyentuh
dada. Bila terasa ada tekanan sehingga dagu tidak bisa
menyentuh dada bahkan badan atas ikut terangkat berarti
kaku kuduk positif.
Gambar opistotonus :

b) Tanda Rangsang Meningeal Brudzinski


Brudzinski sign, tanda leher
Cara pemeriksaan : Pasien berbaring terlentang
kemudian gerakan antreofleksi leher secara pasif. Positif
bila disusul secar reflektorik oleh gerakan fleksi pada
kedua tungkai sendi lutut dan panggul.

38
Brudzinski sign, tanda tungkai kontralateral
Cara pemeriksaan : pasien berbaring terlentang salah satu
tungkai diangkat dalam sikap lutut lurus di sendi lutut,
dan fleksi di sendi panggul. Positif bila tungkai
kontralateral timbul gerakan reflektorik fleksi di sendi
lutut dan panggul.
Brudzinski sign, tanda pipi
Cara pemeriksaan : dilakukan penekanan pada kedua pipi
tepat dibawah os zigomatikum. Positif bila disusul
gerakan reflektorik fleksi kedua sikudan gerakan
reflektorik keatas sejenak kedua lengan.

Brudzinski sign, tanda simfisis pubis


Cara pemeriksaan : dilakukan penekana pada simfisis
pubis. Positif bila disusul gerakan reflektorik fleksi pada
kedua tungkai di sendi lutut dan panggul.
c) Tanda rangsang meningeal Kernig

39
Cara pemeriksaan : pasien berbaring terlentang satu
tungkai difleksikan pada sendi lutut dan panggul hingga
900, kemudian ekstensikan tngkai bawah pada sendi lutut
sampai membentuk sudut > 1350 trehadap paha. Positif
bila pada tungkai kontralateral timbul gerakan reflektorik
fleksi di sendi lutut dan panggul.

5) Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
 Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah
sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak
ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
- Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi,
cairan jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan
protein normal, kultur (-).
- Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat,
cairan keruh, jumlah sel darah putih dan protein
meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis
bakteri.

40
 Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit,
Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum,
elektrolit dan kultur.
- Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit
saja. Disamping itu, ada Meningitis Tuberkulosa
didapatkan juga peningkatan LED.
- Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan
leukosit.
 Pemeriksaan Radiologis
- Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala,
bila mungkin dilakukan CT Scan.
- Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa
mastoid, sinus paranasal, gigi geligi) dan foto dada.
- Radiologi : Ditemukan Pelebaran sutura, erosi tulang intra
cranial.
d. Diagnosa keperawatan
2) Nyeri akut berhubungan dengan peradangan pada selaput otak
3) Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan pada selaput
otak.
4) Perfusi Jaringan Serebral tidak Efektif berhubungan dengan
peningkatan tekanan intrakranial.
5) Resiko injuri berhubungan dengan adanya kejang, perubahan
status mental dan penurunan tingkat kesadaran
6) Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
penurunan kesadaran
7) PK: Peningkatan TIK

41
8) Bersihan Jalan Napas tidak Efektif berhubungan dengan
penumpukan sekret pada jalan nafas.
e. Intervensi keperawatan
Diagnosa Tujuan Intervensi
Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri
tindakan keperawatan 1) Kaji karakteristik nyeri,
selama ….x24 jam letak, durasi, kualitas dan
diharapkan nyeri dapat kuantitas nyeri.
berkurang. 2) Berikan pengetahuan
Dengan kriteria hasil : mengenai nyeri pada pasien.
 Mengetahui faktor 3) Evaluasi pengalaman nyeri
penyebab pasien.
4) Awasi faktor lingkungan
 Mengetahui yang dapat menyebabkan
peningkatan nyeri
nyeri.
 Gunakan cara 5) Ajarkan teknik relaksasi pada
pencegahan pasien
6) Kompres dingin (es) pada
 Gunakan cara non kepala dan kain dingin pada
analgetik mata
7) Berikan obat analgesic
 Gunakan obat
analgetik

 Kenali nyeri untuk


perawatan
professional

 Gunakan sumber
yang tersedia

 Catat control nyeri

 Pasien dapat tidur


dengan tenang

 Memverbalisasikan
penurunan rasa sakit.

Hipertermi Setelah dilakukan Regulasi suhu


tindakan keperawatan
1) Monitor suhu tiap 2 jam
selama ….x24 jam suhu

42
dapat kembali normal. sekali.
Dengan kriteria hasil : 2) Monitor tekanan darah.
 Suhu kulit normal 3) Auskultasi bunyi paru.
4) Monitor perubahan warna
 Suhu tubuh dalam kulit pada diri pasien.
rentang normal
5) Monitor adanya sianosis
 Tidak menunjukkan pada pasien.
sakit kepala 6) Monitor kelembaban kulit
pasien.
 Tidak menunjukkan
nyeri otot

 Tidak terdapat iritasi

 Tidak tampak
ngantuk

 Warna kulit tidak


berubah

 Berkeringat ketika
panas

 Nadi dalam rentang


yg diinginkan

 Pernapasan normal

 Hidrasi yang adekuat

Perfusi Jaringan Setelah diberikan Cerebral Perfusion Promotion


Serebral tidak Efektif asuhan keperawatan 5) Pantau tingkat kerusakan
selama 1 x 24 jam perfusi jaringan serebral,
diharapkan tercapai seperti status neurologi dan
keefektifan perfusi adanya penurunan
jaringan serebral, kesadaran.
dengan kriteria hasil: 6) Konsultasikan dengan dokter
Tissue perfusion : untuk menentukan posisi
Cerebral (Perfusi kepala yang tepat (0, 15, atau
jaringan serebral) 30 derajat) dan monitor
- Tekanan darah sistolik respon klien terhadap posisi
normal (120 mmHg) tersebut.

43
- Tekanan darah 7) Monitor status respirasi
diastolik normal (80 (pola, ritme, dan kedalaman
mmHg) respirasi; PO2, PCO2, PH,
- Tidak ada sakit kepala dan level bikarbonat)
- Tidak ada agitasi 8) Monitor nilai lab untuk
- Tidak ada syncope perubahan dalam oksigenasi
- Tidak ada muntah Oxygen Therapy
Seizure Control 3) Pertahankan kepatenan jalan
- Pasien tidak nafas.
mengalami kejang 4) Monitor aliran oksigen.
- Lingkungan sekitar Vital Signs Monitoring
pasien dalam keadaan 3) Monitor tanda-tanda vital
aman 4) Ukur tekanan darah setelah
klien mendapatkan
medikasi/terapi.
Seizure management
6) Monitor secara langsung
mata dan kepala selama
kejang
7) Monitor status neurologik
8) Monitor TTV
9) Dokumentasikan informasi
tentang kejadian kejang
neurologi pasien
10) Berikan antikonvulsan
Phenytoin 3x100 mg/IV dan
neuroprotektor Citicolin
3x250 mg/IV

Seizure Precaution
4) Hindarkan barang-barang
yang berbahaya dari sekitar
pasien
Jaga ikatan di samping
tempat tidur
5) Pasang tiang pengaman
6) Gunakan paddle pada sisi
tempat tidur

Resiko injuri Setelah dilakukan 1) Monitor kejang pada tangan,

44
tindakan keperawatan kaki, mulut dan otot-otot
selama ….x24 jam muka lainnya.
pasien bebas dari injuri 2) Persiapkan lingkungan yang
yang disebabkan oleh aman seperti batasan
kejang dan penurunan ranjang, papan pengaman,
kesadaran dan alat suction selalu
berada dekat pasien.
3) Pertahankan bedrest total
selama fase akut
4) Berikan terapi sesuai advis
dokter seperti; diazepam,
Phenobarbital
Risiko kerusakan Setelah diberikan Pencegahan Ulkus Dekubitus
integritas kulit asuhan keperawatan 1) Gunakan alat pengkajian
selama 3 x 24 jam untuk memonitor risiko
diharapkan tidak terjadi ulkus dekubitus seperti
kerusakan integritas Braden scale/Norton scale
kulit, dengan kriteria 2) Catat status kulit klien
hasil: setiap hari
Integritas jaringan: 3) Hilangkan kelembaban
kulit dan membran berlebih pada kulit, hasil
mukosa dari pengeluaran keringat,
- Elastisitas kulit drainase pada luka,
dapat inkontinensia alvi dan
dipertahankan inkontinensia urine
- Integritas kulit 4) Berikan barier perlindungan
utuh compremised) seperti krim atau bahan
- Tidak ada lesi kulit penyerap seperi pad.
- Tidak ada eritema 5) Inspeksi kulit di sekitar
eritema tulang yang menonjol dan
tekanan lain ketika reposisi
dilakukan kurang dalam
sehari.
6) Jaga tempat tidur tetap
bersih, kering dan tidak
mengkerut.
7) Hindari penggunaan air
panas ketika mandi dan
gunakan sabun yang
lembut.

45
8) Pastikan klien mendapatkan
intidake yang adekuat
seperti cairan, protein,
vitamin B, vitamin C, dan
kalori.

PK: Peningkatan Setelah diberika 1) Kaji ulang status


TIK askep selam 1 x 24 neurologis yang
jam, diharapkan berhubungan dengan
perawat dapat tanda-tanda peningkatan
meminimalkan TIK, terutama GCS.
komplikasi 2) Naikkan kepala dengan
peningkatan TIK, sudut 15-45 derajat (tidak
dengan kriteria hasil: hiperekstensi dan fleksi)
- TTV dalam dan posisi netral (dari
rentang normal kepala hingga daerah
(RR=16-20x/mnt, lumbal dalam garis lurus)
nadi=60-100x/mnt, jika tidak ada
TD=120/80 kontraindikasi.
mmHg, suhu = 36- 3) Monitor TTV: tekanan
37,5oC) darah, denyut nadi,
- Tidak ada tanda- respirasi, suhu minimal
tanda peningkatan satu jam sampai keadaan
TIK (Trias TIK: klien stabil.
muntah proyektil, 4) Monitor intake dan output
nyeri kepala, papil cairan tiap 8 jam sekali.
edema) 5) Kolaborasi: Berikan obat
Manitol 4x100 cc dan
Fentanyl drip 300 mg 
2.1 cc/jam dengan syringe
pump, Ranitidine 3x1
ampul/IV, Asam
traneksamat 4x1 gr/IV.
Bersihan Jalan Setelah diberikan Respiratory monitoring
asuhan keperawatan 1) Pantau rate, irama,
Napas tidak
selama 3 x 24 jam kedalaman, dan usaha
Efektif diharapkan : respirasi
Respiratory status: 2) Perhatikan gerakan dada,
airway patency (status amati simetris, penggunaan
pernapasan: kepatenan otot aksesori, retraksi otot

46
jalan napas) supraclavicular dan
- Frekuensi interkostal
pernapasan dalam 3) Monitor suara napas
batas normal (16- tambahan
20x/mnt) 4) Monitor pola napas :
- Irama pernapasn bradypnea, tachypnea,
normal hyperventilasi, napas
- Kedalaman kussmaul, napas cheyne-
pernapasan normal stokes, apnea, napas biot’s
- Klien mampu dan pola ataxic
mengeluarkan Airway suctioning
sputum secara efektif 5) Putuskan kapan dibutuhkan
- Tidak ada akumulasi oral dan/atau trakea suction
sputum 6) Auskultasi sura nafas
sebelum dan sesudah suction
Informasikan kepada
keluarga mengenai tindakan
suction
7) Gunakan universal
precaution, sarung tangan,
goggle, masker sesuai
kebutuhan
8) Gunakan alat disposible
steril setiap melakukan
tindakan suction trakea
9) Pilihlah selang suction
dengan ukuran setengah dari
diameter endotrakeal,
trakheostomy, atau saluran
nafas pasien
10)Gunakan aliran rendah untuk
menghilangkan sekret (80-
100 mmHg pada dewasa)
11)Monitor status oksigen
pasien (SaO2 dan SvO2) dan
status hemodinamik (MAP
dan irama jantung) sebelum,
saat, dan setelah suction
12)Lakukan suction pada
oropharing setelah selesai

47
suction pada trakea

48
C. Encephalitis
1. Definisi
Encephalitis menurut mansjoer dkk (2000) adalah radang jaringan
otak yang dapat disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan protozoa.
Sedangkan menurut Soedarmo dkk (2008) encephalitis adalah penyakit
yang menyerang susunan saraf pusat dimedula spinalis dan meningen
yang disebabkan oleh japanese encephalitis virus yang ditularkan oleh
nyamuk. Encephalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang
disebabkan oleh virus atau mikroorganisme lain yang non-purulen (+)
(Muttaqin Arif,2008).

2. Epidemiologi
Angka kematian untuk encephalitis berkisar antara 35-50%. Pasien
yang pengobatannya terlambat atau tidak diberikan antivirus (pada
encephalitis Herpes Simpleks) angka kematiannya tinggi bisa mencapai
70-80%. Pengobatan dini dengan asiclovir akan menurukan mortalitas
menjadi 28%. Sekitar 25% pasien encephalitis meninggal pada stadium
akut. Penderita yang hidup 20-40%nya akan mempunyai komplikasi atau
gejala sisa. Gejala sisa lebih sering ditemukan dan lebih berat pada
encephalitis yang tidak diobati. Keterlambatan pengobatan yang lebih
dari 4 hari memberikan prognosis buruk, Demikian juga koma. Pasien
yang mengalami koma sering kali meninggal atau sembuh dengan gejala
sisa yang berat. Banyak kasus encephalitis adalah infeksi dan recovery
biasanya cepat encephalitis ringan biasanya pergi tanpa residu masalah
neurologi. Dan semuanya 10% dari kematian encephalitis dari infeksinya
atau komplikasi dari infeksi sekunder. Beberapa bentuk encephalitis
mempunyai bagian berat termasuk herpes encephalitis dimana mortality
15-20% dengan treatment dan 70-80% tanpa treatment. (Soedarmo,

49
Poerwo S. Sumarno. Buku ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan
Penyakit Tropis Edisi Pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
2000).

3. Etiologi
Encephalitis disebabkan oleh mikroorganisme : bakteri, protozoa,
cacing, jamur, spirokaeta dan virus. Macam-macam Encephalitis virus
menurut Robin :
a) Infeksi virus yang bersifat epidermik :
1) Golongan enterovirus = Poliomyelitis, virus coxsackie, virus
ECHO.
2) Golongan virus ARBO = Western equire encephalitis, St. louis
encephalitis, Eastern equire encephalitis, Japanese B.
encephalitis, Murray valley encephalitis.
b) Infeksi virus yang bersifat sporadic : rabies, herpes simplek, herpes
zoster, limfogranuloma, mumps, limphotic, choriomeningitis dan
jenis lain yang dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
1) Encephalitis pasca infeksio, pasca morbili, pasca varisela, pasca
rubella, pasca vaksinia, pasca mononucleosis, infeksious dan
jenis-jenis yang mengikuti infeksi traktus respiratorius yang
tidak spesifik.
c) Reaksin toxin seperti pada thypoid fever, campak, chicken pox.
d) Keracunan : arsenik, CO.

50
4. Patofisiologi

51
5. Manifestasi klinis
 Demam  Pucat
 Sakit kepala  Halusinasi
 Pusing  Kaku kuduk
 Muntah  Kejang
 Nyeri tenggorokan  Gelisah
 Malaise  Iritable
 Nyeri ekstrimitas  Gangguan kesadaran

6. Jenis
Klasifikasi menurut Soedamo dkk,(2008) adalah :
1. Encephalitis fatal yang biasanya didahului oleh viremia dan
perkembangbiakan virus ekstraneural yang hebat.
2. Encephalitis subklinis yang biasanya didahului viremia ringan, infeksi
otak lambat dan kerusakan otak ringan.
3. Encephalitis dengan infeksi asimptomatik yang ditandai dengan
hampir tidak adanya viremia dan terbatasnya replikasi ekstraneural.
4. Enchepalitis dengan infeksi persisten, yang dikenal dengan Japanese
B Encephalitis.

7. Komplikasi
a) Akut
 Edema otak
 SIADH
 Status konvulsi
b) Kronik
 Cerebral palsy
 Epilepsy

52
 Gangguan visual dan pendengaran
8. Penatalaksanaan
a. Terapi suportif
Tujuannya untuk mempertahankan fungsi organ, dengan
mengusahakan jalan nafas tetap terbuka (pembersihan jalan nafas,
pemberian oksigen, pemasangan respirator bila henti nafas, intubasi,
trakeostomi), pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi gangguan asam basa
darah. Untuk pasien dengan gangguan menelan, akumulasi lendir
pada tenggorok, dilakukan drainase postural dan aspirasi mekanis
yang periodik.
b. Terapi kausal
Pengobatan anti virus diberikan pada encephalitis yang disebabkan
virus, yaitu dengan memberikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari IV setiap
8 jam selama 10-14 hari. Pemberian antibiotik polifragmasi untuk
kemungkinan infeksi sekunder.
c. Terapi Ganciklovir
Pilihan utama untuk infeksi citomegali virus. Dosis Ganciklovir 5
mg/kg BB dua kali sehari, kemudian dosis diturunkan menjadi satu
kali, lalu dengan terapi maintenance. Preparat sulfa (sulfadiasin)
untuk encephalitis karena toxoplasmosis.
d. Terapi Simptomatik
Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang.
Tergantung dari kebutuhan obat diberikan IM atau IV. Obat yang
diberikan ialah valium dan luminal. Untuk mengatasi hiperpireksia,
diberikan surface cooling dengan menempatkan es pada permukaan
tubuh yang mempunyai pembuluh besar,misalnya pada kiri dan

53
kanan leher, ketiak, selangkangan, daerah proksimal betis dan diatas
kepala. Sebagai hibernasi dapat diberikan largaktil 2 mg/kgBB/hari
dan phenergan 4mg/kgBB/hari IV atau IM dibagi dalam 3 kali
pemberian. Diberikan antipiretikum sepeb rti parasetamol, bila
keadaan telah memungkinkan pemberian obat peroral. Untuk
mengurangi edema serebri dengan deksametason 0,2 mg/kgBB/hari
IM dibagi 3 dosis dengan cairan rendah natrium. Bila terdapat tanda
peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan manitol0,5-2
g/kgBB IV dalam periode 8-12 jam.

9. Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
1) Identitas
Encefalitis menyerang semua umur, namun infeksi simtomatis
paling sering terjadi pada anak-anak berusia 2 tahun hingga 10
tahun dan pada kelompok gariatri (usia lebih dari 60
tahun) (Rampengan, 2016, hal. S12).

2) Status kesehatan saat ini


a) Keluhan utama
Demam, gejala menyertai flu, perubahan tingkat kesadaran,
sakit kepala letargi, mengantuk, kelemahan umum, aktifitas
kejang (Kyle & Carman, 2012, hal. 559-560).
b) Alasan masuk rumah sakit
Biasanya ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing,
muntah, nyeri tenggorokan, nyeri ektrim dan pucat, kemudian
diikuti tanda insefalitis berat ringannya tergantung dari trisbusi
dan luas lesi pada neuron (Ridha, 2014, hal. 336).

54
c) Riwayat penyakit sekarang
Faktor riwayat penyakit yang sangat penting diketahui karena
untuk mengetahui jenis kuman penyebab. Disini harus ditanya
dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan, sembuh atau bertambah buruk. Pada pengkajian
klien encefalitis biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan akibat dari infeksi dan peningkatan TIK.
Keluhan gejala awal yang sering adalah sakit kepala dan
demam. Sakit kepala disebabkan encefalitis yang berat dan
sebagi akibat iritasi selaput otak. Demam umumnya ada dan
tetap tinggi selama perjalanan penyakit (Muttaqin, 2011, hal.
178).
d) Riwayat penyakit terdahulu
 Riwayat penyakit sebelumnya
Pada kasus encephalitis, pasien biasanya akan mempunyai
gejala di sebabkan virus sebelum penyakit yang sekarang.
Virus memasuki sistem syaraf pusat via aliran darah dan
melalui reproduksi. Terjadi radang diarea, menyebabkab
kerusakan pada neuron (Digiulio, 2014, hal. 230).
 Riwayat penyakit keluarga
Pada pasien encefalitis tidak ada riwayat penyakit keluarga,
namun pengkajian pada anak mungkin didapatkan riwayat
menderita penyakit yang disebabkan oleh virus influenza,
varicella, adenovirus,kokssakie, atau parainfluenza, infeksi
bakteri, parasit satu sel, cacing fungus, riketsia (Muttaqin,
2011, hal. 180).

55
 Riwayat pengobatan
Semua pasien dengan kecurigaan encefalitis HSV
sebaiknnya diterapi dengan asiklovir IV (10mg/kg setiap 8
jam) selama menunggu hasil pemeriksaan dignostik. Pasien
dengan diagnostik ensefalitis HSV yang dikonfirmasi PCR
sebaiknya mendapat minimum serial terapi selam 14 hari.
Perlu dipertimbangkan pemeriksaan ulang PCR LCS setelah
terapi asiklovir diselesaikan , pada pasien dengan PCR LCR
untuk HSV yang tetap positif setelah menyelesaikan
pengobatan terapi standart, sebaiknaya diberikan selama 7
hari terapi tambahan, diikuti dengan pemeriksaan PCR LCS
ulang. Tetapi asiklovir juga memberikn manfaat pada kasus
encephalitiss karena EBV dan VZV. Belum ada terapi
terkini untuk ensefalitis enterovirus, perotitis, epidemika,
atau measles. Ribavirin intravena (15-25mg/kg perhari yang
diberikan dalam dosis terbagi 3) mungkin bermanfaat untuk
encefalitis arbovirus yang berat karena encefalitis
california(LaCrosse). Encephalitis CMV sebaiknnya
diterapi dengan gansiklovir, foscarnet, atau kombinasi dari
kedua obat inin, codovofir dapat memberikan alternatif
untuk pasien yang tidak memberi respons. Belum ada terapi
yang terbukti untuk encefalitis WNV, sekelompok kecil
pasien pernah di terapi dengan interferon, ribavirin,
oligonukleotida antisense yang spesifik WNV, dan preparat
imunoglobin intravena asal israeli yang mengandung
antibodi titer yang tinggi (Harrison, 2013, hal. 172-173).

56
3) Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran
Perubahan tingkat kesedaran, aphasia, hemiparesis, ataksia,
nystagmus, paralisis kuler, kelemahan pada wajah (widagdo,
suharyanto, & aryani, 2013, hal. 137).
b. Tanda tanda vital
Pemeriksaan dimulai dengan pemeriksaan tanda-tanda vital.
Pada klien encefalitis biasanya di dapatkan peningkatan suhu
tubuh lebih dari normal 39-40 derajad celsius. Penurunan
denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda
peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan frekuensi
pernafasan sering berhubungan dengan peningkatan laju
metabolisme umum dan adanya infeksi sistem pernafasan
sebelum mengalami encefalitis. TD biasanya normal atau
meningkat berhubungan dengan tanda tanda peningkan
TIK (Muttaqin, 2011, hal. 181).
c. Body system
 Sistem pernapasan
Biasanya terdapat batuk, produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi
penapasan yang sering didapatkan pada klien encefalitis
yang disertai adanya gangguan sistem pernafasan. Palpasi
biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien
dengan encefalitis berhubungan akumulasi sekret dari
penurunan kesadaran (Muttaqin, 2011, hal. 161)

57
 Sistem kardiovaskuler
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan
(syok) hipovolemik yang sering terjadi pada klien
encefalitis. (Muttaqin, 2011, hal. 181)
 Sistem persyarafan
- Syaraf I fungsi penciuman biasanya tidak ada kelainan
pada klien encefalitis.
- Syaraf II tes ketajaman penglihatan pada kondisi
normal. Pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan
pada encefalitis superatif disertai abses serebri dan efusi
subdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK
- Syaraf III, IV dan VI Pemeriksaan fungsi reaksi pupil
pada klien encefalitis yang tidak disertai penurunan
kesadaran biasanya tanda kelainan. Pada tahap lanjut
encefalitis yang menggangu kesadaran, tanda-tanda
perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan di dapatkan,
dengan alasan yang tidak diketahui, klien encefalitis
mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif berlebihan
pada cahaya.
- Syaraf V pada klien encefalitis di dapatkan paralisis
pada otot sehingga menggangu proses mengunyah
- Syaraf VII persepsi pengcapan dalam batas normal,
wajah asimetris karena adanya paralisis unilateral
- Syaraf VIII tidak di temukannya tuli konduktif dan tuli
persepsi
- Syaraf IX dan X kemampuan menelan kurang baik
sehingga menggangu pemenuhan nutrisi via oral

58
- Syaraf XI tidak ada atrofi otot sternokloidormastoideus
dan trapezius. Adanya usaha dari klien untuk melakukan
fleksi leher dan kaku kuduk.
- Syaraf ke XII lidah simetris, tidak ada defiasi pada satu
sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecap
normal (Muttaqin, 2011, hal. 182).
 Sistem perkemihan
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya di dapatkan
kekurangan nya volume haluaran urine, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfungsi dan penurunan curah jantung
ke ginjal (Muttaqin, 2011, hal. 183).
 Sistem pencernaan
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan
produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien
encefalitis menurun karena anoreksia dan adanya
kejang (Muttaqin, 2011, hal. 183)
 Sistem integument
Perlu dilakukan pencegahan terjadinya dekubitus untuk
pasien yang dirawat dalam jangka panjang maupun pada
pasien sembuh dengan defisit neurologis (Rampengan,
2016, hal. S19)
 Sistem muskuloskletal
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak
dibantu oleh orang lain (Muttaqin, 2011, hal. 183)

 Sistem endokrin

59
Tidak ada gangguan pada sistem endokrin, indra pengencap
normal (Muttaqin, 2011, hal. 182)
 Sistem reproduksi
Ensefalitis berat yang luas sering terjadi pada neonatus yang
lahir pervaginam dari wanita dengan infeksi genital VHS
primer aktif (Kumar, Abbas, & Aster, 2015, hal. 814)
 Sistem pengindraan
Fungsi penciuman biasanya tidak ada kelainan pada klien
encefalitis. lidah simetris, tidak ada defiasi pada satu sisi
dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecap normal (Muttaqin,
2011, hal. 182)
 Sistem imun
Encefalitis dapat terjadi akibat komplikasi penyakit pada
masa kanak-kanak seperti campak, gondong atau cacar air.
Maka pentingnya memperbarui status imunisasi anak
seperti vaksin rabies pasca-pajanan anak yang digigit oleh
binatang yang diduga gila (Kyle & Carman, 2012, hal. 560)
4) Pemeriksaan penunjang (Nurarif & Kusuma, 2016, hal. 190)
a) Pemeriksaan cairan serebraspinal
Warna dan jernih terdapat pleocytosis berkisar antara 50-200
sel dengan dominasi sel limfosit. Protein agak meningkat
sedangkan glucose dalam batas normal.
b) Pemeriksaan EEG
Memperlihatkan proses inflamasi yang di fuse “bilateral”
dengan activitas rendah
c) Thorax photo
Adanya infeksi pada sistem pernafasan sebelum mengalami
encefalitis (Muttaqin, 2011, hal. 181)

60
d) Darah tepi : leukosit meningkat
e) CT scan untuk melihat kedaan otak
f) Pemeriksan virus
b. Diagnosa keperawatan
1) Perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan edema
serebral/ penyumbatan aliran darah.
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler
3) Resiko trauma fisik berhubungan dengan kejang
c. Intervensi keperawatan

Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi


Perfusi jaringan cerebral Setelah dilakukan asuhan 1. Pantau tanda-tanda vital
tidak efektif keperawatan 3x24 jam suhu tubuh, tekanan darah,
diharapkan perfusi nadi dan pernapasan
jaringan serebral dapat 2. Pantau TIK dan respons
ditingkatkan dengan neurologis pada pasien
kriteria hasil: terhadap aktivitas
1. Tekanan intrakranial keperawatan
1 2 3 4 5 3. Pantau tekanan perfusi
2. Tekanan darah serebral
distolik dan diastolik 4. Perhatikan perubahan
1 2 3 4 5 pasien sebagai respons
3. Angitasi terhadap stimulus
1 2 3 4 5 5. Perhatiakan parameter
4. Bising karotis hemodinamika (misalnya,
1 2 3 4 5 tekanan arteri sistemik)
5. Gangguan reflek dalam rentang yang
neurologis dianjurkan
1 2 3 4 5 6. Berikan obat-obatan untuk
6. Muntah meningkatkan volume
1 2 3 4 5 intrvaskuler, sesuai progam
7. Induksi hipertensi untuk
mempertahankan tekanan
perfusi serebral, sesuai
progam

61
8. Tinggikan bagian kepala
tempat tidur 0 sampai 45
derajad, bergantung pada
kondisi pasien dan progam
dokter
Gangguan mobilitas Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji kebutuhan terhadap
fisik berhubungan keperawatan 3x24 jam bantuan pelayanan keehatan
dengan kerusakan diharapkan perfusi di rumah dan kebutuhan
neuromuskuler jaringan serebral dapat terhadap peralatan
ditingkatkan dengan pengobatan yang tahan lama
kriteria hasil: 2. Ajarkan pasien tentang dan
1. Koordinasi pantau penggunaan alat
1 2 3 4 5 bantu mobilitas (misalnya,
2. Performa posisi tongkat, walker, kruk, atau
tubuh kursi roda)
1 2 3 4 5 3. Ajarkan dan bantu pasien
3. Pergerakan sendi dan dalam proses perpindah
otot ( mis, dari tempat tidur ke
1 2 3 4 5 kursi)
4. Berjalan 4. Aktifitas kolaboratif
1 2 3 4 5 (Wilkinson, 2016, hal. 271)
5. Bergerak dengan 5. Kolaborasi dengan ahli
mudah terapi fisik/ okupasi jika
1 2 3 4 5 diperlukan (mis, untuk
memastikan ukuran dan tipe
kursi roda yang sesuai untuk
pasien)
6. Ajarkan pasien dalam
latihan untuk meningkatkan
kekuatan tubuh bagian atas,
jika diperlukan

7. Ajarkan bagaimana
menggunakan kursi roda,
jika diperlukan

Resiko jatuh Setelah dilakukan asuhan 1. Identifikasi kebutuhan


berhubungan dengan keperawatan 3x24 jam keamanan pasien
kejang diharapkan risiko jatuh berdasarkan tingkat fungsi
dapat dikurangi dengan fisik, kognitif dan riwayat

62
kriteria hasil: perilaku sebelumnya
1. Pasien safety aman 2. Identifikasi bahaya
1 2 3 4 5 keamanan di lingkungan
2. Terpasang pagar (yaitu fisik, biologi dan
pengaman kimia)
1 2 3 4 5 3. Penyuluhan untuk
pasien/keluarga
4. Ajarkan kepada pasien dan
keluarga tentang tindakan
keamanan spesifik terhadap
area yang beresiko
5. Berikan materi pendidikan
kesehatan yang berhubungan
dengan strategi pencegahan
trauma
6. Berikan informasi tentang
bahaya lingkungan dan ciri-
cirinya
7. Aktivitas kolaboratif
8. Rujuk pada kelas
pendidikan di komunitas
(mis, RJP, pertolongan
pertama, atau kelas renang)
9. Bantu pasien saat
berpindah ke lingkungan
yang lebih aman (mis,
perujukan terhadap bantuan
tempat tinggal)

63
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hidrosefalus adalah akumulasi cairan serebro spinal dalam
ventrikelserebral, ruang subarachnoid atau ruang subdural
2. Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat
yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang
superfisial.
3. Encephalitis menurut mansjoer dkk (2000) adalah radang jaringan otak
yang dapat disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan protozoa.

B. Saran
1. Bagi Pelayanan
Petugas kesehatan diharapkan dapat memberikan asuhan keperawatan
yang prima serta edukasi yang sesuai dengan ilmu terupdate mengenai
hidrosefalus, menignitis dan encephalitis.
2. Bagi Pendidikan
Pembaca dapat menambah ilmu dan melakukan studi banding mengenai
hidrosefalus, menignitis dan encephalitis pada anak dengan jurnal
nasional maupun internasional.

64
DAFTAR PUSTAKA

Mutaqin, Arif. 2008. Buku Ajar: Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Digiulio, M. (2014). Keperawatan medical bedah. jogjakarta: Rapha Plubishing.
Harrison. (2013). Harrison Neurologi. Tanggerang Selatan: KARISMA Publising
Group.
Kumar, V., Abbas, A., & Aster, J. (2015). Buku ajar aptologi Robbins. Singapore:
Elsevier.
kumar, v., Abbas, A., & Aster, J. (2015). Buku ajar patoligi Robbins. Singapore:
Elseveir.
Kyle, T., & Carman, S. (2012). Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC.
Lestari, R., & Putra, A. E. (2017). Jurnal makah kedokteran Andalas. Sumatra:
Fakultas Kedokteran Andalas.
Muttaqin, A. (2011). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
persyarafan.Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2016). Asuhan keperawatan praktis. Jogjakarta:
Mediaction.
PPNI, T. P. (2017 ). standar Diagnosis Keperawatan Indonesia . Jakarta Selatan :
PPNI .
Rampengan, N. (2016). Jurnal Biomedik (JBM). Manado: Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi.
Ridha, N. (2014). Buku ajar keperawatan anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
widagdo, w., suharyanto, t., & aryani, r. (2013). Asuhan Keperawatan
Persyarafan.Jakarta: TIM.
Wilkinson, J. (2016). Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Mc Closky & Bulechek. (2002). Nursing Intervention Classification (NIC).
United States of America:Mosby.

65
Meidian, JM. (2002). “Nursing Outcomes Classification (NOC).United States of
America:Mosby.
Nursalam. 2005. Asuhan Keperawatan BAyi dan Anak (untuk perawat dan bidan).
Jakarta: Salemba Medika.
Price,Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi;Konsep klinis proses-proses
penyakit,Jakarta;EGC.
Riyadi. 2009. Asuhan Keperawatan pada Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu
Vanneste JA. Diagnosis and management of normal-pressure hydrocephalus. J.
Neurol, 2000 ; 247 : 5-14.
Munttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Anonim. 2008. Pemeriksaan Fisik pada Anak. (Online).
www.fk.uwks.ac.id/PemeriksaanFisik17Sep2008.pdf
Johnson, Marion, dkk. 2008. IOWA Intervention Project Nursing Outcomes
Classifcation (NOC), Fourth edition. USA : Mosby.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

66

Anda mungkin juga menyukai