Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH DISKUSI KELOMPOK PEMICU 2

HIRSCHPRUNG
Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak 2
Dosen Pengampu : Maulina Handayani S.Kp., M.Sc

Disusun Oleh
Kelompok 4 B

Dyah Ayu Karlina 11161040000069


Silvy Nur Fadhillah 11171040000045
Peggy Riyanti Kurnia Sukma 11171040000064
Sri Wahyuni 11171040000072
Esti Nur Annisa 11171040000081
Khusnatul Mawaddah 11171040000085

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “HIRSCHPRUNG” untuk memenuhi tugas dalam modul
Keperawatan Anak 2.

Kami menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan


jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang.

Terimakasih kepada Ibu Maulina Handayani S.Kp., M.Sc dan Ibu Ns.
Kustati Budi Lestari, M.Kep., Sp.Kep.An selaku pembimbing kami, serta kepada
masing-masing pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Semoga
makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

Ciputat, 15 Desember 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................2
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..........................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................5
1.3. Tujuan Umum............................................................................................5
1.4. Kasus.........................................................................................................6
BAB II......................................................................................................................7
PEMBAHASAN......................................................................................................7
2.1 HIRSCHPRUNG.......................................................................................7
1. Definisi Hirschprung.................................................................................7
2. Etiologi Hirschprung.................................................................................8
3. Faktor Risiko Hirschprung........................................................................8
4. Epidemiologi Hipospadia..........................................................................9
5. Manifestasi Klinis Hirschprung...............................................................10
6. Klasifikasi Hirschprung...........................................................................11
7. Patofisiologi Hirschprung........................................................................13
8. Komplikasi Hirschprung.........................................................................14
9. Pemeriksaan Penunjang Hirschprung......................................................15
10. Penatalaksanaan Hirschprung..............................................................17
2.2 TUMBUH KEMBANG NEONATUS....................................................21
2.3 ASUHAN KEPERAWATAN..................................................................26
2.4 PANDANGAN ISLAM...........................................................................34
BAB III..................................................................................................................36
PENUTUP..............................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................37

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit hirschsprung merupakan suatu kelainan bawaan yang


menyebabkan gangguan pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani
internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi dan termasuk
anus sampai rektum. Penyakit hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus
bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia akan tetapi yang paling
sering pada neonatus.

Penyakit hirschsprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan


kongenital dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus
auerbach di kolon, keadaan abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan
tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, spingter rektum
tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara
spontan, kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen
yang tidak adalion dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut
sehingga dapat menyebabkan dilatasi usus proksimal.

Pasien dengan penyakit hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh


Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan
adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital
pada tahun 1863. Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak
diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan
menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan
oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion.

Penyakit hirschsprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi


hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta
dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir

4
1400 bayi dengan penyakit hirschsprung. Insidens keseluruhan dari penyakit
hirschsprung 1 :5000 kelahiran hidup, laki-laki lebih banyak diserang
dibandingkan perempuan (4:1). Biasanya, penyakit hirschsprung terjadi
pada bayi aterm dan jarang pada bayi prematur. Selain pada anak, penyakit
ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan mengeluarkan
mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau dan
konstipasi faktor penyebab penyakit hirschsprung diduga dapat terjadi
karena faktor genetik dan faktor lingkungan.

Oleh karena itu, penyakit hirschsprung sudah dapat dideteksi melalui


pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema,
rectal biopsi, rectum, manometri anorektal dan melalui penatalaksanaan dan
terapeutik yaitu dengan pembedahan dan colostomi.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa definisi hirschprung?
2. Apa etiologi dan faktor risiko hirschprung?
3. Apa epidemiologi hirschprung?
4. Apa manifestasi hirschprung?
5. Apa klasifikasi hirschprung?
6. Apa patofisiologi hirschprung?
7. Apa komplikasi hirschprung?
8. Apa pemeriksaan penunjang hirschprung?
9. Apa penatalaksanaan hirschprung?
10. Bagaimana tumbuh kembang yang terdapat pada neonatus?
11. Bagaimana cara manajemen nutrisi pada neonatus?
12. Apa asuhan keperawatan hirschprung?
13. Bagaimana pandangan Islam pada kasus hirschprung?

1.3. Tujuan Umum


1. Mengetahui definisi hirschprung
2. Mengetahui etiologi dan faktor risiko hirschprung
3. Mengetahui epidemilogi hirschprung
4. Mengetahui manifestasi hirschprung
5. Mengetahui klasifikasi hirschprung
6. Mengetahui patofisiologi hirschprung
7. Mengetahui komplikasi hirschprung
8. Mengetahui pemeriksaan penunjang hirschprung
9. Mengetahui penatalaksanaan hirschprung
10. Mengetahui tumbuh kembang pada neonatus

5
11. Mengetahui manajemen nutrisi pada neonatus
12. Mengetahui asuhan keperawatan yang diterapkan dalam penanganan
hirschprung
13. Mengetahui pandangan Islam pada kasus hirschprung

1.4. Kasus

Bayi laki-laki usia 3 hari dirawat di perinatologi. Hasil pengkajian yaitu


lahir cukup bulan dengan berat badan lahir 3200 g, saat ini 3100 g, panjang
badan 48 cm, tidak BAB sejak lahir, perut membesar dan distensi, rewel,
muntah 3 kali berwarna hijau, tidak mau menyusu. Hasil pemeriksaan X-ray
abdomen terdapat obstruksi usus bagian distal, bayi direncanakan operasi,
ibu tampak cemas, payudara membengkak.

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 HIRSCHPRUNG

1. Definisi Hirschprung
Usus besar merupakan organ yang ada dalam tubuh manusia. Usus
besar merupakan tabung muscular dengan panjang sekitar 1,5 m yang
terdiri dari sekum, kolon, dan rectum. Dimana diameter usus besar lebih
besar daripada usus kecil. Semakin ke bawah menuju rectum,
diameternya akan semakin kecil (Izadi M, 2007). Secara fisiologis, usus
besar berfungsi untuk menyerap air, vitamin, dan elektrolit. Selain itu,
usus besar juga berfungsi untuk menyimpan feses, dan mendorongnya
keluar. Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom. Inervasi
usus besar sangat berkaitan dengan sel ganglion pada submukosa
(Meissner’s) dan pleksus myenteric (Aurbach’s) pada usus besar bagian
distal. Apabila sel ganglion tersebut tidak ada, maka akan timbul
penyakit yang disebut Hirschsprung’s Disease (Izadi M, 2007).
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang terjadi pada usus,
dan paling sering pada usus besar (colon). Normalnya, otot pada usus
secara ritmis akan menekan feses hingga ke rectum. Pada penyakit
Hirschsprung, saraf (sel ganglion) yang berfungsi untuk mengontrol
otot pada organ usus tidak ditemukan. Hal ini mengakibatkan feses
tidak dapat terdorong, seperti fungsi fisiologis seharusnya (Henna N,
2011). Penyakit ini harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan
dengan berat lahir ≥ 3kg yang terlambat mengeluarkan tinja, hal ini juga
dapat dialami oleh bayi yang lahir kurang bulan. Penyakit Hirschsprung
dapat berkembang menjadi buruk dan dapat mengancam jiwa pasien,
apabila terjadinya keterlambatan dalam mendiagnosis penyakit ini
(Lorijn,2006).

7
2. Etiologi Hirschprung
Penyakit ini disebabkan oleh gangguan perkembangan dari sistem
saraf enterik dengan karakteristik tidak adanya sel ganglion kolon dan
kolon tidak bisa mengembang. Pada kondisi klinik penyakit
Hirschsprung lebih dikenal dengan megakolon kongenital
(Mangunsong, 2017).
Penyakit hirschsprung diakibatkan oleh kegagalan migrasi
kraniokaudal prekursor sel ganglion di sepanjang saluran cerna selama
minggu ke-5 hingga ke-12 masa gestasi. Invervasi parasimpatis yang
tidak lengkap pada segmen aganglionik menyebabkan peristaltik
abnormal, konstipasi, dan obstruksi usus fungsional (Suryandari, 2017).

3. Faktor Risiko Hirschprung


A. Faktor Bayi
1) Umur Bayi
Bayi dengan umur 0-28 hari merupakan kelompok umur
yang paling rentan terkena penyakit Hirschsprung karena
penyakit Hirschsprung merupakan salah satu penyebab paling
umum obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0-28 hari).
2) Riwayat Sindrom Down
Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi
sebagai bagian dari sindrom yang disebabkan oleh kelainan
kromosom. Kelainan kromosom yang paling umum beresiko
menyebabkan terjadinya penyakit Hirshsprung adalah Sindrom
Down. 2-10% dari individu dengan penyakit Hirschsprung
merupakan penderitasindrom Down. Sindrom Down adalah
kelainan kromosom di mana ada tambahan salinan kromosom
21. Hal ini terkait dengan karakteristik fitur wajah, cacat
jantung bawaan, dan keterlambatan perkembangan anak.

8
B. Faktor Ibu
1) Umur
Umur ibu yang semakin tua (> 35 tahun) dalam waktu
hamil dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital
pada bayinya. Bayi dengan Sindrom Down lebih sering
ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
mendekati masa menopause.
2) Ras/Etnis
Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan
perkawinan kerabat dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba
(pariban) dan Batak Karo (impal). Perkawinan pariban dapat
disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau
incest.Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik
yang sangat berat dan memperbesar kemungkinan anak lahir
dengan kelainan kongenital.

4. Epidemiologi Hipospadia
Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus yang
paling sering dialami oleh neonatus. Demikian pula, kebanyakan kasus
Hirschsprung terdiagnosis pada bayi, walaupun beberapa kasus baru
dapat terdiagnosis hingga usia remaja atau dewasa muda (Izadi M,
2007). Terdapat kecenderungan bahwa penyakit Hirschsprung
dipengaruhi oleh riwayat atau latar belakang keluarga dari ibu. Angka
kejadian penyakit Hirschsprung, sekitar 1 di antara 4400 sampai 7000
kelahiran hidup, dengan rata-rata 1:5000 kelahiran hidup
(Lakshmi,2008). Dengan mayoritas penderita adalah laki-laki
dibandingkan wanita dengan perbandingan 4:1.

Insiden penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara


pasti, tetapi berkisar di satu di antara 5000 kelahiran hidup. Dengan
jumlah penduduk Indonesia 220 juta dan tingkat kelahiran 35 permil,
maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1540 bayi dengan penyakit

9
Hirschsprung. Kartono mencatat 40 sampai 60 pasien penyakit
Hirschsprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Bersamaan dengan penyakit Hirschsprung,
Down Syndrome (5-10%) dan kelainan urologi (3%) adalah kelainan
yang paling sering diantara beberapa kelainan kongenital lainnya
(Riwanto, dkk.2011).

5. Manifestasi Klinis Hirschprung


A. Tanda
1) Anemia dan tanda-tanda malnutrisi
2) Perut membuncit (abdomen distention) mungkin karena retensi
kotoran
3) Terlihat gelombang peristaltic pada dinding abdomen
4) Pemeriksaan rectal touche (colok dubur) menunjukkan sfingter
anal yang padat/ketat, dan biasanya feses akan langsung
menyemprot keluar dengan bau feses dan gas yang busuk
5) Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di
sekitar umbilicus, punggung dan di sekitar genitalia ditemukan
bila telah terdapat komplikasi peritonitis (Kessman, 2008;
Lakhsmi, 2008; Lassiyani Surya dan I Made, 2014)

B. Gejala
Berdasarkan usia penderita gejala penyakit Hirschsprung dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Periode neonatus
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah bilious (hijau)
dan distensi abdomen.Terdapat 90% lebih kasus bayi dengan
penyakit Hirchsprung tidak dapat mengeluarkan mekonium
pada 24 jam pertama, kebanyakan bayi akan mengeluarkan
mekonium setelah 24 jam pertama (24-48 jam).

10
Muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen biasanya
dapat berkurang apabila mekonium dapat dikeluarkan segera.
Bayi yang mengonsumsi ASI lebih jarang mengalami
konstipasi, atau masih dalam derajat yang ringan karena
tingginya kadar laktosa pada payudara, yang akan
mengakibatkan feses jadi berair dan dapat dikeluarkan dengan
mudah (Kessman, 2008; Lassiyani Surya dan I Made, 2014).

b. Periode anak-anak
Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi,
namun ada beberapa kasus dimana gejala-gejala tersebut tidak
muncul hingga usia kanak-kanak (Lakhsmi, 2008; Lassiyani
Surya dan I Made, 2014). Gejala yang biasanya timbul pada
anak-anak yakni, konstipasi kronis, gagal tumbuh, dan
malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus dapat terlihat pada
dinding abdomen disebabkan oleh obstruksi fungsional kolon
yang berkepanjangan. Selain obstruksi usus yang komplit,
perforasi sekum, fecal impaction atau enterocolitisakut yang
dapat mengancam jiwa dan sepsis juga dapat terjadi (Kessman,
2008; Lassiyani Surya dan I Made, 2014).

6. Klasifikasi Hirschprung
Penyakit Hirschsprung diklasifikasikan menurut panjang dari
segmenaganglionik.
1) Ultrashort-segment
Ultrashort-segment yang jarang terjadi, adalah segmen
aganglionik yang terbatas pada spingter internal dan sampai 4 cm
dari rektum bagian distal, yang mungkin terlihat normal pada
pemeriksaan enema kontras.
2) Short-segment / classical segment / rectosigmoid
Kira-kira 75%-80% dari seluruh kasus penyakit Hirschsprung
digambarkan oleh istilah short-segment disease. Bentuk dari
penyakit ini dideskripsikan secara khusus sebagai segmen

11
aganglionik yang mempengaruhi usus bagian distal hingga ke kolon
mid-sigmoid; akan tetapi, ada juga beberapa yang mendefinisikan
short-management sebagai segmen aganglionik yang memanjang
sampai persimpangan antara kolon sigmoid dan kolon descending.
3) Long-segment
Pada long-segment, segmen aganglionik meluas hingga
melewati batasan short-segment tetapi tidak mencakup seluruh
kolon. Long segment ini melebihi kolon sigmoid dan melibatkan
kolon transverse dan kolon descending. Long segment disease
cenderung dihubungkan dengan riwayat keluarga yang positif
menderita penyakit hirschcprung dan cenderung didiagnosa sebelum
lahir (prenatal).
4) Total Colonic Aganglionosis
Total lionic aganglionosis adalah kondisi yang sangat serius
dimana segmen aganglionik meluas hingga seluruh kolon dan
sedikit segmen dari terminal ileum
5) Universal Colonic Aganglionosis/Extensive
Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus

7. Patofisiologi Hirschprung
Penyakit Hirschsprung dapat terjadi dibagian kolon ascending
ataupun Sigmoid. Tidak adanya ganglion penting seperti myenteric
(Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) sehingga mengurangi
peristaltik usus dan fungsinya. Sel Ganglion enterik berasal dari puncak

12
saraf. Selama perkembangan normal, neuroblasts ditemukan di usus
kecil pada minggu ke-7 kehamilan dan akan mencapai usus besar pada
minggu ke-12 kehamilan. Salah satu kemungkinan penyebab penyakit
Hirschsprung adalah kecacatan dalam migrasi neuroblast, sehingga
menyebabkan kegagalan turunnya neuroblast untuk berada di lokasinya
yaitu di usus besar. Selain itu, terjadi kegagalan neuroblas untuk
bertahan hidup, berkembang biak juga dapat menyebabkan gagalnya
neuroblast turun kearah usus besar. Segmen yang agangloinik terbatas
pada rektosigmoid pada 75 % penderita, 10% seluruh kolonnya tanpa
sel-sel ganglion (Imseis dan Gariepy, 2012).
Tiga saraf pleksus usus seperti pada bagian submukosa (Meissner)
pleksus intermuskuler (Auerbach) pleksus mukosa pleksus kecil. Semua
pleksus ini terintegrasi dan halus terlibat dalam semua aspek fungsi
usus, termasuk absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah. Motilitas
yang normal terutama di bawah kendali neuron intrinsic meskipun
kehilangan persarafan ekstrinsik. Ganglia ini mengontrol kontraksi dan
relaksasi otot polos, dengan relaksasi yang mendominasi. Pada pasien
dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak hadir, yang mengarah
ke peningkatan dalam usus yaitu persarafan ekstrinsik. Bertambah
banyaknya ujung-ujung saraf pada usus yang aganglionik menyebabkan
kadar asetilkolinesterase tinggi. Persarafan dari kedua sistem kolinergik
dan sistem adrenergik menjadi 2-3 kali dari persarafan normal.
Adrenergik (rangsang) sistem diperkirakan mendominasi atas
kolinergik (penghambatan) sistem, yang menyebabkan peningkatan
tonus otot polos. Dengan hilangnya saraf intrinsik enterik
penghambatan, menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot
polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi, dan obstruksi fungsional
(Lee, 2012).

8. Komplikasi Hirschprung
Komplikasi pada stoma yang dapat terjadi jika tidak dilakukan
perawatan adalah dapat terjadi obstruksi atau penyumbatan karena

13
adanya perlengketan usus atau adanya pergeseran feses yang sulit
dikeluarkan, stenosis akibat penyempitan lumen, prolaps pada stoma
akibat kelemahan otot abdomen, perdarahan stoma akibat tidak
adekuatnya homeostasis dari jahitan batas mucocutaneus, edema
jaringan stoma akibat tekanan hematoma peristomal dan pengkerutan
dari kantong kolostomi, nekrotik stoma akibat cedera pada pembuluh
darah stoma, dan retraksi atau pengkerutan stoma akibat kantong stoma
yang terlalu sempit atau tidak pas untuk ukuran stoma dan akibat
jaringan scar disekitar stoma.
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan
gangguan fungsi sfingter. Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58%
kasus pada penderita penyakit Hirschsprung yang diakibatkan oleh
karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi.
Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin,
kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau
rotavirus dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada
keadaan yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan megakolon
toksik yang ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi
abdomen, dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi nekrosis akibat
iskemia mukosa diatas segmen aganglionik akan menyebakan
terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi usus. Infeksi pada penyakit
Hirschsprung bersumber pada kondisi obstruksi usus letak rendah.
Distensi usus mengakibatkan hambatan sirkulasi darah pada dinding
usus, sehingga dinding usus mengalami iskemia dan anoksia. Jaringan
iskemik mudah terinfeksi oleh kuman, dan kuman menjadi lebih
virulen. Terjadi invasi kuman dari lumen usus, ke mukosa, sub mukosa,
lapisan muscular, dan akhirnya ke rongga peritoneal atau terjadi sepsis.
Keadaan iskemia dinding usus dapat berlanjut yang akhirnya
menyebabkan nekrosis dan perforasi. Proses kerusakan dinding usus
mulai dari mukosa, dan dapat menyebabkan enterokilitis. Enterokolitis
merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit
Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun

14
paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai
pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feces
berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus
Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan
dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi. Kejadian
enterokolitis berdasarkan prosedur operasi yang dipergunakan Swenson
sebesar 16,9%, Boley-Soave sebesar 14,8%, Duhamel sebesar 15,4%
dan sebesar Lester Martin 20%. Gambaran klinis distensi abdomen ada
sebanyak 29 orang, diare sebanyak 38 orang, darah pada feses sebanyak
2 orang , muntah sebanyak 31 orang, dan panas ada sebanyak 22 orang.

9. Pemeriksaan Penunjang Hirschprung


1) Anamnesis
Pada heteroanamnesis, sering didapatkan adanya
keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, mekonium
keluar >24 jam; adanya muntah bilious (berwarna hijau); perut
kembung; gangguan defekasi/ konstipasi kronis; konsistensi feses
yg encer; gagal tumbuh (pada anak-anak); berat badan tidak
berubah; bahkan cenderung menurun; nafsu makan menurun; ibu
mengalami polyhidramnion; adanya riwayat keluarga. (Hidayat M,
2009)
2) Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi, perut kembung atau membuncit di seluruh
lapang pandang. Apabila keadaan sudah parah, akan terlihat
pergerakan usus pada dinding abdomen. Saat dilakukan
pemeriksaan auskultasi, terdengar bising usus melemah atau jarang.
Untuk menentukan diagnosis penyakit Hirschsprung dapat pula
dilakukan pemeriksaan rectal touche dapat dirasakan sfingter anal
yang kaku dan sempit, saat jari ditarik terdapat explosive stool
(Izadi, 2007)
3) Pemeriksaan Biopsi
Memastikan keberadaan sel ganglion pada segmen yang
terinfeksi, merupakan langkah penting dalam mendiagnosis
penyakit Hirschsprung. Ada beberapa teknik, yang dapat digunakan

15
untuk mengambil sampel jaringan rektum. Hasil yang didapatkan
akan lebih akurat, apabila spesimen/sampel adekuat dan diambil
oleh ahli patologi yang berpengalaman. Apabila pada jaringan
ditemukan sel ganglion, maka diagnosis penyakit Hirschsprung
dieksklusi. Namun pelaksanaan biopsi cenderung berisiko, untuk itu
dapat di pilih teknik lain yang kurang invasive, seperti Barium
enema dan anorektal manometri, untuk menunjang diagnosis
4) Pemeriksaan Radiologi
Pada foto polos, dapat dijumpai gambaran distensi gas pada
usus, tanda obstruksi usus (Lakhsmi, 2008) Pemeriksaan yang
digunakan sebagai standar untuk menentukan diagnosis
Hirschsprung adalah contrast enema atau barium enema. Pada bayi
dengan penyakit Hirschsprung, zona transisi dari kolon bagian distal
yang tidak dilatasi mudah terdeteksi (Ramanath,2008). Pada total
aganglionsis colon, penampakan kolon normal. Barium enema
kurang membantu penegakan diagnosis apabila dilakukan pada
bayi, karena zona transisi sering tidak tampak. Gambaran penyakit
Hirschsprung yang sering tampak, antara lain; terdapat penyempitan
di bagian rectum proksimal dengan panjang yang bervariasi;
terdapat zona transisi dari daerah yang menyempit (narrow zone)
sampai ke daerah dilatasi; terlihat pelebaran lumen di bagian
proksimal zona transisi.

5) Pemeriksaan Anorectal
Manometry Pada individu normal, distensi pada ampula
rectum menyebabkan relaksasi sfingter internal anal. Efek ini dipicu

16
oleh saraf intrinsic pada jaringan rectal, absensi/kelainan pada saraf
internal ini ditemukan pada pasien yang terdiagnosis penyakit
Hirschsprung. Proses relaksasi ini bisa diduplikasi ke dalam
laboratorium motilitas dengan menggunakan metode yang disebut
anorectal manometry. Selama anorektal manometri, balon fleksibel
didekatkan pada sfingter anal. Normalnya pada saat balon dari
posisi kembang didekatkan pada sfingter anal, tekanan dari balon
akan menyebabkan sfingter anal relaksasi, mirip seperti distensi
pada ampula rectum manusia. Namun pada pasien dengan penyakit
Hirschsprung sfingter anal tidak bereaksi terhadap tekanan pada
balon. Pada bayi baru lahir, keakuratan anorektal manometri dapat
mencapai 100%

10. Penatalaksanaan Hirschprung


1) Dekompresi
Dekompresi dilakukan bila terdapat perut kembung dan
muntah berwarna hijau dengan pemasangan pipa
orogaster/nasogaster dan pipa rektum serta dilakukan irigasi feces
dengan menggunakan NaCl 0.9% 10-20 cc/kgBB, bila irigasi efektif
dapat dilanjutkan sampai cairan yang keluar relatif bersih.

2) Perbaikan keadaan umum


a. Resusitasi cairan dan koreksi elektrolit
Resusitasi cairan melalui melalui rehidrasi dilakukan dengan
menggunakan cairan isotonik. Koreksi terhadap gangguan
elektrolit diberikan setelah dipastikan fungsi ginjal baik.

b. Antibiotik spektrum luas untuk mencegah sepsis


Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah episode
berulang penyakit hirschsprung tidak terbukti mempunyai
dampak yang baik dan dapat meningkatkan risiko terjadinya
resistensi. Antibiotik digunakan untuk menekan overgrowth

17
dan translokasi bakteri-bakteri di usus ke pembuluh darah
melalui dinding usus. Adanya demam dan lekositosis dapat
menjadi dasar untuk memulai pemberian antibiotik. Pasien
dengan Penyakit hirschsprung berat yang dihubungkan dengan
enterokolitis atau HAEC dan sepsis ini membutuhkan
penanganan di unit perawatan intensif untuk mengontrol
kondisi hemodinamik, perlu mendapat antibiotik spektrum luas
yang dimulai dengan ampisilin, gentamisin dan metronidazole.
c. Rehabilitasi nutrisi
Setelah dekompresi berhasil pasien tidak perlu dipuasakan dan
dapat segera mendapat diet per oral sesuai dengan umur pasien
3) Tindakan Bedah
Pada dasarnya penyembuhan penyakit hirschsprung hanya
dapat dicapai dengan pembedahan (rekomendasi A), berupa
pengangkatan segmen usus aganglion, diikuti dengan pengembalian
kontinuitas usus. Terapi medis hanya dilakukan untuk persiapan
bedah. Prosedur bedah pada penyakit hirschsprung merupakan
bedah sementara dan bedah definitif. Sejak ditemukannya protocol
awal oleh Swenson pada tahun 1948 mulai berkembang teknik
pendekatan operasi terbaru seperti Soave, Duhamel dan lain-lain.
Prosedur operasi 1 tahap memungkinkan jika diagnosis dapat
ditegakkan lebih awal sebelum terjadi dilatasi kolon pada
hirschsprung’s disease short segment, sedangkan untuk penyakit
hirschsprung long segment dan total kolon aganglionosis sebaiknya
dilakukan dalam 2 tahap.

1) Tindakan Bedah Sementara (pembuatan stoma)


Tindakan bedah sementara dapat merupakan tindakan
emergensi atau elektif. Tindakan emergensi diperlukan bila
dekompresi rektum tidak berhasil. Sedangkan tindakan bedah
sementara elektif dilakukan bila tindakan dekomprei berhasil
untuk persiapan operasi definitif.
2) Tindakan Bedah Definitif

18
Tindakan bedah definitif dapat dikerjakan dengan atau
tanpa melalui tindakan bedah sementara. Tindakan bedah
definitive yang dikerjakan tanpa bedah sementara dilakukan
pada penderita yang berhasil didekompresi dengan
menggunakan pipa rektum dengan penilaian kaliber kolon
normal. Irigasi rectum reguler selama waktu tertentu dapat
mengembalikan caliber kolon yang distensi dan hipertrofi ke
kaliber yang normal sehingga dapat menghindari tindakan
pembuatan stoma dan pasien mempunyai kesempatan
mendapatkan operasi satu tahap.
Prosedur operasi saat ini yang dilakukan dapat berupa
operasi terbuka atau operasi dengan bantuan laparaskopi.

a) Prosedur Swenson
Operasi yang dilakukan adalah tarik terobos (pull-
through) rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter
ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea
dentata. Swenson memperbaiki kembali metode operasinya
(tahun 1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior,
dengan hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan
0,5-1 cm rektum posterior.

b) Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956
untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur
Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon
proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian
posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding
posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior
kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk
rongga baru dengan anastomose end to side.
c) Prosedur Reihbein

19
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection
yang diekstensi ke distal sampai dengan pengangkatan
sebagian besar rektum kemudian dilakukan anastomose end
to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level
otot levator ani (2-3 cm di atas anal verge), menggunakan
jahitan 1 (satu) lapis yang di kerjakan intraabdominal
ekstraperitoneal. Paska operasi, sangat penting melakukan
businasi secara rutin guna mencegah stenosis.
d) Prosedur Soave
Tujuan utama dari prosedur Soave adalah membuang
mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik
terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam
lumen rektum yang telah dikupas tersebut.
e) Transanal endorectal pull-through
Prosedur ini mulai diperkenalkan pada tahun 1998
oleh De La Torre-Mondragon, Ortega-Salgado, dan Langer.
Prosedur ini yang saat ini banyak disenangi karena
menurunkan morbiditas, tanpa kolostomi, tanpa membuka
perut, dan invasif minimal. Pada teknik ini pasien dalam
posisi litotomi kemudian dilakukan mukosektomi distal
rektum melalui anus sampai pada segmen yang normal
kemudian dianastomisis ke anus. Kekurangan prosedur ini
tidak bias dilakukan pada kasus yang enterocolitis berulang
dan segmen panjang. Pada pasien-pasien segmen panjang
hisrchsprung, tindakan ini dilakukan dengan bantuan
laparoskopi.
f) Tindakan definitif pada hirschsprung yang total aganglionik
Pada kasus hirschsprung yang total aganglionik,
tindakan operasi defenitif adalah modifikasi dari teknik-
teknik diatas. Antara lain Martin’s procedure, dan Kimura’s
procedure. Studi menunjukkan bahwa reseksi kolon total

20
dapat menyebabkan penurunan fungsi liver dan
mengharuskan dilakukannya transplantasi hati.
g) Laparoscopic assisted pull through

Pertama kali dilaporkan oleh Georgeson pada tahun


1995. Prosedur dilakukan dengan memasukkan kamera 4-5
mm sudut 300 pada kuadran kanan atas abdomen tepat
dibawah batas hepar. Setelah dilakukan pengangkatan
segmen aganglionik kolon dan rektum prosedur dilanjutkan
dengan diseksi transanal mukosa rektum dengan cara yang
sama seperti metode Transanal Endo Rectal Pull Through
(TERPT). Keuntungan utama dari pendekatan laparoscopic
adalah memungkinkan untuk melakukan biopsy
seromuskular sebagai penanda kolon dengan ganglion yang
normal. Teknik ini juga memudahkan diseksi distal
aganglionik kolon dan rektum dengan visualisasi secara
langsung

2.2 TUMBUH KEMBANG NEONATUS


1. Tumbuh Kembang Neonatus
Pertumbuhan dan perkembangan postnatal atau dikenal dengan
pertumbuhan dan perkembangan setelah lahir ini diawali dengan masa
neonatus (0-28 hari). Masa ini merupakan masa terjadinya kehidupan
yang baru dalam ekstrauteri, yaitu adanya proses adaptasi semua sistem
organ tubuh. Proses adaptasi dari organ tersebut dimulai dari aktivitas
pernapasan yang disertai pertukaran gas dengan frekuensi pernapasan
antara 35-50 kali per menit, penyesuaian denyut jantung antara 120-160
kali per menit dengan ukuran jantung lebih besar apabila dibandingkan
dengan rongga dada. Selanjutnya terjadi aktivitas (pergerakan) bayi
yang mulai menigkat untuk memenuhi kebutuhan gizi, seperti menangis,
memutar-mutar kepala, menghisap (rooting reflex), dan menelan.

21
Perubahan selanjutnya sudah dimulai proses pengeluaran tinja yang
terjadi dalam waktu 24 jam yang didalamnya terdapat mekonium. Hal
tersebut akan dilanjutkan dengan proses defekasi, seperti dari proses
ekskresi dari apa yang dimakan (ASI). Frekuensi defekasi tersebut dapat
berkisar antara 3-5 kali seminggu (bergantung pada kondisi bayi dan
susu yang dikonsumsi, apakah ASI ataukah susu formula). Perubahan
pada fungsi organ yanng lainnya adalah ginjal yang belum sempurna,
urine masih mengandung sedikit protein dan pada minggu pertama akan
dijumpai urine berwarna merah muda karena banyak mengandung
senyawa urat kemudian kadar hemoglobin darah tepi pada neonatus
berkisar antara 17-19 g/dl, kadar hematokrit saat lahir adalah 52%,
terjadi peningkatan kadar leukosit sekitar 25.000-30.000/ul dan setelah
usia satu minggu akan terjadi penurunan hingga 14.000/ul. Keadaan
dungsi hati pun masih relatif imatur dalam memproduksi faktor
pembekuan, sebab belum terbentuknya flora usus yang akan berperan
dalam absorpsi vitamin K dan imunoglobulin untuk kekebalan bayi.

2. Manjemen Nutrisi Neonatus

a. Nutrisi Parenteral

1) Definisi

Nutrisi Parenteral (NP) merupakan cara pemberian nutrisi


dan energi secaraintravena yang bertujuan untuk memberikan
kecukupan karbohidrat, protein, lemak,vitamin dan mineral
yang diperlukan untuk metabolisme dan pertumbuhan bayi
baru lahir yang mempunyai problem klinik yang berat,
terutama pada Bayi Baru Lahir Amat Sangat Rendah
(BBLASR) di mana belum/tidak memungkinkan untuk
diberikan nutrisi enteral.

2) Indikasi
a) Bayi dengan berat badan < 1800 g yang kebutuhan nutrisi
enteralnya tidak dapat terpenuhi > 3 hari

22
b) Bayi dengan berat badan > 1800 g yang kebutuhan nutrisi
enteralnya tidak terpenuhi > 5 hari
c) Gangguan respirasi > 4 hari (termasuk seringnya serangan
apnea)
d) Malformasi kongenital traktus gastrointestinalis
e) Enterokolitis netrotikans
f) Diare berlanjut atau malabsorbsi
g) Pasca operasi (khusunya operasi abdomen)

3) Kebutuhan Nutrisi
Umumnya bayi baru lahir untuk dapat tumbuh memerlukan
kalori 50-60 kkal/kgBB/hari (to maintain weight) dan 100-200
kkal/kg BB/hari (to induce weight-gain). Pada neonatus, nutrisi
parenteral sering ditingkatkan secara bertahap pada 1-2 minggu
pertama kehidupan karena kekhawatiran dapat terjadi
intoleransi neonatus pada substrat segera setelah lahir. Hal ini
terjadi akibat ketidakmampuan neonatus untuk memetabolisme
nutrisi yang sering dikaitkan dengan stres dari proses kelahiran,
proses metabolisme yang belum matang pada bayi prematur,
dan proses patofisiologis yang terkait berbagai dengan penyakit
yang berbeda, seperti infeksi.

4) Prosedur Pemberian
a) NPT Parenteral
Nutrien diberikan melalui vena perifer yang biasanya
vena pada kaki atau tangan. Osmolaritas cairan yang
diberikan antara 300-900 mosm/L. Maksimum konsentrasi
dekstrose yang digunakan adalah 12,5%, asam amino 2%
dan 400 mg/dl kalsium glukonas.

b) NPT Sentral
Cairan yang digunakan dapat diatas 900 mosm/L,
konsentrasi dekstrose 15-25%.(Nieman, 2011)

23
3. Stimulasi Tumbuh Kembang Neonatus
Bayi yang baru lahir sangat sensitif terhadap sentuhan, terutama di
wajah, tangan, telapak kaki, dan perut. Pemberian stimulasi
taktilkinestetik bersifat sebagai sentuhan sehingga dapat meningkatkan
perkembangannya. Sentuhan dapat meningkatkan berat badan bayi dan
meningkatkan keaktifan bayi (Meggit, 2012).
Stimulasi taktilkinestetik adalah istilah terapi pijat yang lebih baik
dan efektif karena melibatkan sentuhan ringan (belaian ringan pada
daerah atas kepala sampai dengan kaki). Stimulasi taktilkinestetik
merupakan Intervensi pelengkap yang berbentuk terapi pijat dengan
tekanan moderat yang terdiri dari fleksi dan ekstensi anggota badan
dalam posisi terlentang; dan merupakan intervensi yang efektif dalam
pengembangan perilaku motorik neonatus (Aliabadi & Askary, 2013).
Pemberian stimulasi taktil-kinestetik dalam meningkatkan perkembangan
neonatus menunjukkan plastisitas. Banyak kemampuan dapat
ditingkatkan secara signifikan dengan latihan, dalam hal ini memberikan
stimulasi termasuk dalam kegiatan latihan dan pengalaman. Pengalaman
dinilai Memengaruhi perkembanagn otak. Setiap pengalaman baru
membentuk perilaku. Perilaku merupakan hasil dari pengalaman atau
adaptasi terhadap lingkungan; teori belajar menekankan pada peran
lingkungan yang dapat diramalkan dalam memunculkan perilaku yang
teramati; pembelajaran yang diamati didasarkan pada asosiasi sebuah
stimulus yang akan memengaruhi respon khusus terhadap peningkatan
perkembangan fisiologis bayi lebih stabil (Papalia, Olds & Fieldman,
2013).
Stimulasi yang dilakukan pada neonatus adalah stimulasi taktil,
yaitu berupa menggendong, membelai, memeluk, dan menjaganya agar
tetap hangat (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein & Schwartz,
2008). Pentingnya stimulasi pada masa neonatus karena sensasi sentuhan
adalah yang paling berkembang pada saat lahir, karena sensasi ini telah
berfungsi sejak dalam kandungan sebelum sensasi lain berkembang
(Supartini, 2004). Perkembangan adalah bertambah sempurnanya

24
kemampuan, keterampilan, dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam
kemampuan motorik kasar, motorik halus, bicara dan bahasa, serta
sosialisasi dan kemandirian yang dimiliki individu untuk beradaptasi
dengan lingkungannya (Potter & Perry, 2005). Dalam perkembangannya,
neonatus memiliki 4 aspek perkembangan yaitu, motorik kasar, motorik
halus, personal sosial, dan bahasa. Perkembangan yang termasuk pada
aspek motorik kasar adalah mengangkat kepala. Perkembangan pada
aspek motorik halus diantaranya mengikuti ke garis tengah, dan
mengikuti lewat garis tengah. Perkembangan pada aspek personal sosial
diantaranya menatap muka, membalas senyum pemeriksa, dan tersenyum
spontan. Perkembangan pada aspek bahasa diantaranya bereaksi terhadap
bel, bersuara, dan mengeluarkan suara “ooo aahh”. Dalam memenuhi
perkembangannya tersebut, diperlukan rangsangan atau stimulasi (Wong,
Hockenberry, Wilson, Winkelstein & Schwartz, 2008). Salah satu bentuk
stimulasi yang umum dilakukan untuk neonatus adalah stimulasi taktil
dalam bentuk pijat, fleksi ekstensi, dan posisi (Benneth & Guralnick,
1991). Pijat atau sentuhan (touch) merupakan hal yang paling mendasar
yang berhubungan dengan kulit manusia untuk mendapatkan rasa aman,
nyaman dan dicintai. Sentuhan merupakan hal pertama yang dirasakan
oleh neonatus bahkan sebelum neonatus lahir. Sentuhan berdampak
positif bagi pertumbuhan dan perkembangan neonatus (Field, 2004).
Fetus menunjukkan aktivitas menghisap saat 18 minggu usia
gestasi. Saat 28 minggu usia gestasi, bayi dapat mengkoordinasikan
siklus menghisapmenelan-bernafas dan pada usia 32 minggu, bayi dapat
menghisap berulang-ulang lebih dari 10 kali hisapan (Riordan &
Wambach, 2010). Proses menghisap melibatkan struktur dan fungsi di
area rongga mulut, bibir, pipi, lidah, palatum lunak dan keras dan rahang.
Otot yang berperan penting dalam proses ini yaitu otot lidah dan
pharyngeal. Otot lain yang juga berperan yaitu otot-otot sekitar wajah.
Kelemahan otot tersebut menjadi salah satu penyebab lemahnya proses
menghisap (Jones & Spencer, 2005). Pola menghisap pada bayi terbentuk
dari pergantian ritmis dari suction dan expression. Suction atau hisapan

25
adalah tekanan negatif intraoral yang dihasilkan dari gerakan lidah dan
rahang ke bawah dan penutupan naso-pharyng untuk menarik cairan
keluar. Expression adalah tekanan atau kompresi puting susu antara lidah
dan palatum keras untuk mengeluarkan cairan (Lau, 2007). Intervensi
oral motor atau stimulasi oral didefinisikan sebagai stimulasi sensoris
pada bibir, rahang, lidah, palatum lunak, faring, laring dan otot-otot
respirasi yang berpengaruh didalam mekanisme orofaringeal. Stimulasi
sensoris pada struktur oral ini dapat meningkatkan kemampuan struktur
oral dalam proses menghisap (sucking) dan menelan (swallow) (Lyu et
al., 2014). Stimulasi oral merupakan bentuk stimulasi sensoris yang
dapat bertujuan untuk menurunkan hipersensitifitas oral, meningkatkan
lingkup gerak dan kekuatan otot-otot menghisap (Fucile et al., 2002), dan
mengaktifkan reflek yang memfasilitasi proses menghisap (Leonard et
al., 1980 dalam Greene et al., 2013).

2.3 ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin,
agama, alamat, tanggal pengkajian, pemberi informasi. Antara lain :
1. Anamnesis
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur , jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, dan diagnosis medis.Masalah yang dirasakan klien
yang sangat mengganggu pada saat dilakukan pengkajian, pada
klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi abdomen,
kembung, muntah.
Kasus: nama klien (Bayi L), usia (3 hari), jenis kelamin (laki-
laki), diagnosis medis (hisprung).

b. Keluhan utama Klien

26
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada
saat dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya,
sulit BAB, distensi abdomen, kembung, muntah.
Kasus: belum BAB sejak lahir 3 hari, distensi abdomen +,
tidak mau menyusu, payudara ibu bengkak
c. Riwayat kesehatan sekarang
Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24
jam setelah lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau
fekal. Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan
tanyakan bagaimana upaya klien mengatasi masalah tersebut.
Kasus: belum BAB sejak 3 hari lahir, distensi abdomen +,
muntah 3x berwarna hijau

d. Riwayat kesehatan masa lalu

Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat


kehamilan, persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.

e. Riwayat Nutrisi
Meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak
Kasus: bayi tidak mau menyusu, rewel, payu dara ibu bengkak
f. Riwayat psikologis
Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita
apakah ada perasaan rendah diri atau bagaimana cara klien
mengekspresikannya.
Kasus: ibu merasa cemas dengan kondisi bayi
g. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang
lain yang menderita Hisprung.
h. Riwayat social
Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya
dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain.
i. Riwayat tumbuh kembang

27
Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah
BAB.
j. Riwayat kebiasaan sehari-hari
Meliputi: kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem integument
Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi
dapat dilihat capilary refil, warna kulit, edema kulit.
b. Sistem respirasi
Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan
c. Sistem kardiovaskuler
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama
denyut nadi apikal, frekuensi denyut nadi / apikal.
d. Sistem penglihatan
Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata
e. Sistem Gastrointestinal
Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi
bising usus, adanya kembung pada abdomen, adanya distensi
abdomen, muntah (frekuensi dan karakteristik muntah) adanya
keram, tendernes.

1) Pre Operasi
a) Kaji status klinik anak (tanda-tanda vital, asupan dan
keluaran)
b) Kaji adanya tanda-tanda perforasi usus
c) Kaji adanya tanda-tanda enterokolitis
d) Kaji kemampuan anak dan keluarga untuk melakukan
koping terhadap pembedahan yang akan datang
e) Kaji tingkat nyeri yang dialami anak
2) Post Operasi
a) Kaji status pascabedah anak (tanda-tanda vital, bising
usus, distensi abdomen)
b) Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi atau kelebihan cairan

28
c) Kaji adanya komplikasi
d) Kaji adanya tanda-tanda infeksi
e) Kaji tingkat nyeri yang dialami anak
f) Kaji kemampuan anak dan keluarga untuk melakukan
koping terhadap pengalamannya di rumah sakit dan
pembedahan
g) Kaji kemampuan orang tua dalam menatalaksanakan
pengobatan dan perawatan yang berkelanjutan.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Diagnosa Anak
a. Konstipasi b.d Aganglionik (hisprung) d.d belum BAB sejak
lahir 3 hari, bayi rewel
b. Resiko Defisit Nutrisi d.d tidak mau menusuk, bayi rewel,
penurunan BB 100gr dari BBL, ibu cemas, payudara ibu
bengkak
c. Resiko Hipovolemia d.d bayi tidak mau menusu, bayi rewel,
bayi belum BAB sejak 3 hari dilahirkan
2. Diagnosa Ibu
a. Menyusu tidak efektif b.d hambatan pada neonatus d.d bayi
tidak mau menusu, hisprung
b. Ansietas b.d kurang terpapar informasi d.d ibu merasa cemas
terhadap anaknya yang akan di operasi hisprung

C. Intervensi Keperawatan

1. Diagnosa Anak

No. Diagnosa SLKI SIKI


1 Konstipasi b.d Setelah dilakukan Manajemen
Aganglionik asuhan keperawatan Konstipasi
(hisprung) d.d diharapkan fungsi 1. Periksa tanda
belum BAB sejak gastrointestinal pasien gejala

29
lahir 3 hari, bayi membaik, dengan KH: konstipasi
rewel. 1. Nyeri abdomen 2. Periksa
menurun pergerakan usus
2. Distensi abdomen 3. Lakukan
menurun evaluasi feses
3. Peristaltik usus secara manual
membaik 4. Berikan enema
atau irigasi.
Persiapan
Pembedahan
1. Identifikasi
kondisi umum
pasien
2. Monitor TTV
3. Ambil sampel
darah untuk
pemeriksaan
kimia darah
4. Fasilitasi
pemeriksaan
penunjang.
2 Resiko Defisit Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
Nutrisi d.d tidak asuhan keperawatan Parenteral
mau menusuk, diharapkan Status 1. Identifikasi
bayi rewel, nutrisi bayi membaik, indikasi
penurunan BB dengan KH: pemberian
100gr dari BBL, 1. Berat badan nutrisi
ibu cemas, meningkat Parenteral
payudara ibu 2. Panjang badan 2. Identifikasi jenis
bengkak meningkat akses Parenteral
3. Kesulitan makan yang diperlukan
menurun 3. Monitor reaksi
4. Proses tumbuh alergi pemberian

30
kembang nutrisi
membaik Parenteral
4. Monitor asupan
nutrisi
5. Monitor
terjadinya
komplikasi
6. Hitung
kebutuhan kalori
7. Berikan nutrisi
Parenteral sesuai
indikasi
3 Resiko Setelah dilakukan Manajemen
Hipovolemia d.d asuhan keperawatan Hipovolemia
bayi tidak mau diharapkan status 1. Periksa tanda
menusu, bayi cairan pasien gejala
rewel, bayi membaik, dengan KH: Hipovolemia
belum BAB sejak 1. Intake cairan 2. Monitor intake
3 hari dilahirkan membaik dan output
2. TTV membaik cairan
3. Dispenda 3. Hitung
menurun kebutuhan
cairan
4. Kolaborasi
pemberian
cairan IV.

2. Diagnosa Ibu

No Diagnosa SLKI SIKI


1. Menyusu tidak Setelah dilakukan Konseling Laktasi
efektif b.d asuhan keperawatan 1. Identifikasi
hambatan pada diharapkan Status keadaan

31
neonatus d.d bayi menyusui klien emosional ibu
tidak mau membaik, dengan KH: saat akan
menusu, 1. Berat badan bayi dilakukan
hisprung. meningkat konseling
2. Suplai ASI menyusui
adekuat 2. Identifikasi
3. Intake bayi keinginan dan
meningkat tujuan
4. Kecemasan menyusui
maternal menurun 3. Identifikasi
5. Bayi rewel menurun permasalahan
yang ibu alami
selama proses
menyusui
4. Gunakan teknik
pendengaran
aktif
5. Ajarkan teknik
yang tepat
sesuai
kebutuhan ibu.
2. Ansietas b.d Setelah dilakukan Reduksi Ansietas
kurang terpapar asuhan keperawatan 1. Identifikasi
informasi d.d ibu diharapkan tingkat tingkat
merasa cemas ansietas klien menurun, Ansietas
terhadap anaknya dengan KH: berubah
yang akan di 1. Perilaku gelisah 2. Identifikasi
operasi hisprung. menurun kemampuan
2. Berbalik ASI mengambil
kekhawatiran keputusan
menurun 3. Monitor tanda-
3. Pola tidur tanda Ansietas
membaik 4. Ciptakan

32
suasana
terapeutik
5. Dengarkan
dengan penuh
perhatian
6. Anjurkan
mengungkapka
n perasaan dan
persepsi
7. Latih teknik
relaksasi.

(PPNI, 2017)

33
2.4 PANDANGAN ISLAM

Islam Memelihara Nasab Anak adalah rahasia orang tua dan


pemegang keistimewaannya. Waktu orang tua masih hidup, anak sebagai
penenang, dan sewaktu ia pulang ke rahmatullah, anak sebagai pelanjut
dan lambang keabadian.Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan orang tua,
termasuk juga ciri-ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah.
Dia adalah belahan jantungnya dan potongan dari hatinya.Justru itu Allah
mengharamkan zina dan mewajibkan kawin, demi melindungi nasab,
sehingga air tidak tercampur, anak bisa dikenal siapa ayahnya dan ayah
pun dapat dikenal siapa anaknya. Dengan perkawinan, seorang isteri
menjadi hak milik khusus suami dan dia dilarang berkhianat kepada suami,
atau menyiram tanamannya dengan air orang lain. Oleh karena itu setiap
anak yang dilahirkan dari tempat tidur suami, mutlak menjadi anak suami
itu, tanpa memerlukan pengakuan atau pengumuman dari seorang ayah;
atau pengakuan dari seorang ibu, sebab setiap anak adalah milik yang
seranjang. Begitulah menurut apa yang dikatakan oleh Rasulullah s.a.w.
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di
sisi Allah-lah pahala yang besar”. (QS 64:15) “Dan orang-orang yang
berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan
keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam
bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS 25:74) “Ya Tuhanku, tunjukilah
aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan
kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal
yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat
kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri”. (QS 46:15)

Bukan kelainan bawaan yang menjadikan orang tua harus mengutuk


atau mengecap anaknya sendiri sebagai sesuatu yang merugikan baginya,
sesungguhnya :
a. Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki

34
b. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi

c. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri

d. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyeasali diri

e. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri

f. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai

g. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar


keadilan

h. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh


kepercayaan

i. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri

j. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar


menemukan cinta dalam kehidupan Sudah seharusnya mendidik,
membesarkan, membahagiakan, dan menjaga amanah dari Allah
SWT., dan syukuri serta nikmati apa yang sudah direncanakan Allah.

(Ariani, Yulia. 2010)

35
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Bayi laki-laki usia 3 hari direncanakan operasi definitif karena
mengalami distensi perut disebabkan adanya obstruksi usus bagian distal,
BB nya juga menurun 100 g setelah 3 hari karena bayi tidak mau menyusui
yang menyebabkan payudara membengkak, ibu pun cemas akan keadaan
bayi tersebut. Maka dari itu ditegakkan diagnosis keperawatan untuk ibu
dan anak yaitu konstipasi, risiko defisit nutrisi, risiko hipovolemik, menyusu
tidak efektif, dan ansietas dengan intervensi terkait diagnosa tersebut.

36
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, Yulia. 2010. Konseling Genetik: Antara Kebutuhan dan Keterbatasan.


Jakarta: Majalah Kedokteran Indonesia.
Hidayat, M et all. 2009. Anorectal Function of Hirschsprung’s Patient after
Definitive Surgery. The Indonesian Journal of Medical Science; 2: 77-85
Hidayat, Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Erlangga
Izadi, M et all. 2007. Clinical manifestations of Hirschsprung’s disease: A 6- year
course review on admitted patients in Guilan, North Province of Iran.
Iranian Cardiovascular Research Journal; 1: 25-31
Kannaiyan L, Madabhushi S, Malleboyina R, dkk. 2013,
Calretininimmunohistochemistry : a new cost-effective and easy method
fordiagnosis of Hirschsprung’s disease. Journal of Indian Associationof
Pediatric Surgeons. 18(2) : 66-68
Kartono., D, 2010. Penyakit Hirschsprung, Jakarta: CV Sagung Seto.
Kartono D.2009. Penyakit Hirschsprung. Edisi 1. Jakarta: Sagung Seto
Langer J C, 2012. Hirschsprung Disease. Edisi 7. Philadelphia: Elsevier
Nurhayati, Dede. 2017. Kualitas Hidup Anak Usia Toddler Paska Kolostomi di
Bandung : NurseLine Journal Vol 2 No 2 November 2017. Bandung:
Universitas Padjadjaran Bandung
Riwanto I, Hamami AH, Pieter J, Tjambolang T, Ahmadsyah I. 2011. Penyakit
Hirschsprung. Jakarta: EGC 4. Kessman JMD. Hirschsprung Disease:
Diagnosis and Management. American Family Physician. 2006;74:1319-
1322.
Tim Pokdja. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokdja. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokdja. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI

37

Anda mungkin juga menyukai