Anda di halaman 1dari 8

Epidemiologi Penyakit Tidak Menular

Kanker Kolorektal

Oleh :
Kelompok 9

Khasyi Mu'afa (1902561055)


Tharfi Aufa Zahrah (1902561053)
Sahara Putri Ayu Kenanga Gunawan (1902561067)
Anak Agung Sagung Ayana Putri (1902561077)
Talitha Zhafirah Maulidya (1902561135)

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2021

A. DEFINISI KANKER KOLOREKTAL


Kanker kolorektal adalah suatu tumor maligna yang muncul dari jaringan epitel
dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) atau rektum (bagian kecil terakhir dari
usus besar sebelum anus). Kanker ini disebut juga sebagai kanker kolon (Sayuti,
2018). Terkadang, pertumbuhan abnormal terjadi pada usus besar atau rektum, yang
disebut polip. Seiring waktu, beberapa polip dapat menjadi kanker (CDC, 2021).

B. DISTRIBUSI KEJADIAN KANKER KOLOREKTAL


Menurut survei dari Globocan 2012, kejadian kanker kolorektal di dunia
menempati urutan ketiga, yaitu sebanyak 1.360 dari 100.000 penduduk 1.360 (9,7%)
dan merupakan penyebab kematian keempat di dunia (694 dari 100.000 penduduk
(8.5%). Sedangkan di Indonesia, insiden kanker kolorektal adalah sebanyak 12,8 per
100.000 penduduk usia dewasa dengan mortalitas 9,5% dari seluruh kasus. Adapun
risiko keseluruhan dari kanker kolorektal sebesar 1 dari 20 orang, yaitu 5%. Risiko
pria terkena kanker ini juga lebih tinggi dari wanita. Walau begitu, jumlah pengidap
kanker kolorektal sejak 20 tahun terakhir telah menurun. Ini disebabkan oleh deteksi
dini dan peningkatan kemajuan IPTEK dalam pengobatan kanker kolorektal
(Kemenkes)

C. FAKTOR RISIKO KANKER KOLOREKTAL


1. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
a) Usia
Lebih dari 90% kasus kanker kolorektal terjadi pada usia di atas 50
tahun. selain itu angka kejadian pada usia 60-79 tahun lebih tinggi 50 kali
dari pada usia kurang dari 40 tahun.
b) Faktor Herediter / Genetik
Faktor genetik menyumbang sekitar 20% terhdapat kasus kanker
kolorektal. Kondisi yang paling sering diwariskan yaitu familial
adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary nonpolyposis colorectal
cancer (HNPCC), dikenal sebagai sindrom Lynch.
c) Faktor Lingkungan
Kanker kolorektal merupakan suatu penyakit yang dapat
dipengaruhi oleh lingkungan, pola hidup, sosial, dan kultural. Faktor yang
mempengaruhi adalah faktor imigrasi, yaitu individu yang berimigrasi dari
daerah risiko rendah ke daerah risiko tinggi maka angka insiden kanker
kolorektal akan cenderung meningkat menyerupai area tersebut. Selain itu
terdapat faktor geografi, seperti insiden kanker kolorektal yang lebih tinggi
pada penduduk perkotaan. Orang yang tinggal di perkotaan memiliki
prediktor risiko yang lebih kuat dibandingkan orang yang lahir di daerah
pedesaan.
2. Faktor Mayor atau Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi
a) Pola Diet dan Nutrisi
Diet sangat berpengaruh terhadap risiko kanker kolorektal,
perubahan pola makan dapat mengurangi risiko kanker sebesar 70%.
Insiden kanker kolorektal meningkat pada orang yang mengonsumsi
daging merah atau daging yang sudah di proses/olahan. Beberapa jenis
daging yang dimasak pada temperatur tinggi memicu produksi amino
heterosiklik dan hidrokarbon aromatik polisikilik yang dipercaya sebagai
bahan karsinogenik. Oleh sebab itu risiko terjadinya kanker kolorektal
lebih kecil pada individu yang mengonsumsi buah, sayuran, dan sereal.
b) Aktivitas Fisik dan Obesitas
Aktivitas fisik dan kelebihan berat badan diketahui menjadi
pengaruh pada sepertiga kasus kanker kolorektal. Dengan aktivitas yang
tinggi insiden kanker kolorektal menjadi rendah. Jika aktivitas fisik
ditambah dengan diet sehat maka hal tersebut dapat membantu
menurunkan risiko kanker kolorektal. Kurangnya aktivitas fisik akan
menimbulkan obesitas atau kelebihan berat badan, terjadinya obesitas akan
meningkatkan sirkulasi esterogen dan menurunkan sensitivitas insulin,
yang mana hal tersebut dipercaya dapat menjadi risiko terjadinya kanker
dan berhubungan dengan penimbunan adipositas abdomen. Obesitas dapat
menyebabkan penimbunan hormon, peningkatan kadar insulin dan insulin-
like growth factor-1 (IGF-1), pemicuan regulator pertumbuhan tumor,
gangguan respons imun dan stres oksidatif, sehingga memicu terjadinya
kanker kolorektal.
c) Merokok
Sekitar 12% kematian akibat kanker kolorektal berhubungan dengan
kebiasaan merokok (Zisman et al, 2006). Zat karsinogen yang ada dalam
rokok dapat meningkatkan pertumbuhan kanker kolorektal. Merokok dapat
menyebabkan terjadinya pembentukan dan pertumbuhan polip
adenomatosa, lesi prekursor kanker kolorektal. Individu yang memiliki
riwayat merokok lama kemudian berhenti akan tetap memiliki risiko
kanker kolorektal, karena polip berukuran besar di kolon dan rektum
dihubungkan dengan kebiasaan merokok yang lama atau jangka panjang.
d) Alkohol
Alkohol memiliki hubungan dengan perkembangan kanker
kolorektal. Mengonsumsi alkohol menjadi faktor risiko kanker kolorektal
pada usia muda, serta meningkatkan insiden kanker kolon distal. Pada
alkohol terdapat metabolit reaktif seperti asetaldehid yang bersifat
karsinogenik. Alkohol dan rokok memiliki hubungan yaitu rokok
menginduksi mutasi spesifik DNA yang perbaikannya tidak efektif karena
adanya alkohol. Selain itu alkohol sebperan sebagai solven, yaitu
meningkatkan penetrasi molekul karsinogen lain dalam sel mukosa.
Konsumsi alkohol yang tinggi berpengaruh terhadap nutrisi rendah,
sehingga jaringan rentan terhadap karsinogenesis (Khosama, 2015).

D. PERJALANAN ALAMIAH KANKER KOLOREKTAL


Perjalanan alamiah penyakit (etiologi) kanker kolorektal hingga saat ini masih
belum diketahui karena bersifat multifaktorial. Faktor penyebabnya meliputi faktor
genetik (mutasi gen), lingkungan, dan terjadinya inflamasi pada kolon. Menurut hasil
penelitian Tomislav (2009), faktor genetik menjadi penyebab utama terjadinya kanker
kolorektal. Mutasi dari gen Adenomatous polyposis coli (APC) gene yang merupakan
sebuah Tumour suppressor gene dapat menyebabkan terjadinya Familial
adenomatous polyposis (FAP) dimana berisiko hampir 100% mengembangkan kanker
pada kolon di masa mendatang. (Tomislav, 2009) Selain itu, dari seluruh adenoma
sekitar 15% diyakini akan mengalami mutasi pada Kirsten rat sarcoma 2 viral
oncogene homolog (KRAS), tumor protein p53, dan deleted in colon cancer (DCC)
tumor suppression genes dalam kurun waktu 10 tahun dan berkembang menjadi
karsinoma. (NCBI, 2021)

E. PENCEGAHAN KANKER KOLOREKTAL


1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan  upaya yang ditujukan kepada kelompok
yang sehat, namun memiliki potensi untuk terkena penyakit kolorektal.
a) Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan dilakukan sebagai bentuk upaya peningkatan
status kesehatan masyarakat melalui beberapa kegiatan, salah satunya
ialah meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui kampanye pola
makan sehat. Pola makan sehat adalah mengkonsumsi makanan yang
seimbang baik dalam jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi setiap
hari sehingga mampu mengurangi bahan makanan yang bersifat
karsinogenik maupun kokarsinogenik masuk kedalam tubuh dan terhindar
dari obesitas yang dimana obesitas termasuk salah satu faktor yang
meningkatkan risiko terjadinya kanker kolorektal (Kemenkes RI, 2018).
b) Proteksi spesifik
Proteksi spesifik dilakukan sebagai bentuk upaya memberikan
perlindungan secara dini kepada masyarakat dari suatu penyakit. Pada
kanker kolorektal dapat dilakukan dengan cara mengubah kebiasaan hidup
yang dapat memperbesar risiko terjadinya kanker, yakni melakukan
aktivitas fisik secara rutin, mengurangi konsumsi daging merah,
mengkonsumsi buah dan sayur, berhenti merokok, dan menghindari
konsumsi minuman beralkohol (Kemenkes RI, 2018).
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah
berkembangnya penyakit kolorektal menuju tahap gejala.
a) Deteksi dini
Deteksi dini bertujuan untuk mengetahui penyakit kanker kolorektal
pada stadium dini dengan cara menemukan polip sehingga dapat
dilakukan pengobatan yang tepat. Deteksi dini melalui skrining pada
populasi risiko sedang dimulai saat individu berusia 50 tahun yang
dilakukan dengan cara colok dubur, FOBT atau FIT setiap 1 tahun,
sigmoidoskopi fleksibel setiap 5 tahun, kolonoskopi setiap 10 tahun,
barium enema dengan kontras ganda setiap 5 tahun, dan Carcinoma
Embrionic Antigen (CEA). Sedangkan, pada kelompok dengan risiko
meningkat dan tinggi dianjurkan melakukan pemeriksaan kolonoskopi
(Levin dkk, 2008).
b) Penatalaksanaan yang tepat
1. Kemoprevensi
Pengobatan yang tepat untuk kanker kolorektal, yakni
penggunaan aspirindan  Nonsreoidal Anti Inflammatory Drugs
(NSAID) secara teratur dan berjangka panjang serta hormon pasca
menopause dapat menurunkan risiko kanker kolorektal. Pengobatan
tersebut belum dianjurkan karena memiliki efek samping seperti
penggunaan aspirin dan NSAID berpotensi mengalami perdarahan
saluran cerna dan terapi hormon pasca menopause dapat
meningkatkan risiko kanker payudara dan kardiovaskular (Kemenkes
RI, 2018).
2. Pembedahan
Pembedahan merupakan modalitas utama untuk kanker stadium
dini dengan tujuan kuratif. Penatalaksanaan bedah kanker kolorektal
dilakukan sesuai dengan stadium penderita dan penatalaksanaannya
pun dibedakan menjadi dua yaitu kanker kolon dan rektum.
Pada penatalaksanaan kanker kolon stadium 0 dilakukan dengan
eksisi lokal, stadium I yaitu wide surgical resection dengan
anastomosis tanpa kemoterapi ajuvan, stadium II yaitu wide surgical
resection dengan anastomosis dan terapi ajuvan setelah pembedahan,
stadium III yaitu wide surgical resection dengan anastomosis, serta
stadium IV yaitu reseksi tumor primer pada KKR dengan metastasis
yang dapat direseksi dan kemoterapi sistemik pada KKR dengan
metastasis yang tidak dapat direseksi (Kemenkes RI 2018).
Pada penatalasanaan kanker rektum stadium 1 dilakukan dengan
eksisi transanal (TEM), stadium IIA-IIIC yaitu reseksi
transabdominal (AR) dengan teknik TME dan terapi ajuvan, stadium
IVA/B (metastasis dapat direseksi) yaitu reseksi staged lesi metastasis
dan lesi rektum, stadium IVA/B (metastasis borderline resectable)
yaitu kombinasi kemoterapi, serta stadium IVA/B (metastasis tidak
dapat direseksi) yaitu reseksi dan dilanjutkan dengan kemoterapi
paliatif (Kemenkes RI, 2018).
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan upaya yang ditujukan kepada kelompok
penderita kanker kolorektal dalam mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut
hingga kematian yang bertujuan untuk menghindari perkembangan lesi kanker.
Tahap ini dilakukan setelah kanker kolorektal diobati dengan mengatur pola
makan dan hidup sehat untuk mencegah kanker muncul kembali (Koc et al,
2016).
a) Pembatasan Ketidakmampuan
1. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pilihan pertama untuk kanker stadium
lanjut dengan tujuan paliatif (meningkatkan kualitas hidup penderita).
Pada kanker kolorektal menggunakan kemoterapi sebagai terapi
ajuvan, neoaduvan atau paliatif. Terapi ajuvan direkomendasikan
untuk KKR stadium III dan stadium II yang memiliki risiko tinggi
dan penderita yang memiliki performance status (PS) 0 atau 1
(Kemenkes RI, 2018).
2. Radioterapi
Radioterapi merupakan salah satu modalitas utama untuk terapi
kanker rektum yang bertujuan untuk mengurangi risiko kekambuhan
lokal dan penyebaran jumlah sel tumor. Selain itu radioterapi juga
bertujuan untuk meningkatkan prosedur preservasi sfingter dan
tingkat resektabilitas pada tumor lokal yang jauh (Kemenkes RI,
2018).
b) Rehabilitasi
Rehabilitasi bertujuan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
meningkatkan efisiensi hidup penderita kanker kolorektal sehingga
penderita dapat beraktivitas sesuai dengan kemampuannya. Rehabilitasi
terdiri aspek medis dan sosial, yakni tatalaksana gangguan fungsi
mobilisasi pascaoperasi dilakukan dengan latihan pernapasan, latihan
ketahanan kardiopulmonar, latihan keseimbangan, dan mobilisasi dini.
Sedangkan, tatalaksana gangguan fungsi mobilisasi metastasis tulang
tanpa fraktur patologis dilakukan dengan latihan latihan pernapasan,
lingkup gerak sendi, penguatan otot, ketahanan kardiopulmonar,
ambulasi, dan Electrical Stimulation (ES / NMES) (Kemenkes RI, 2018).
Tatalaksana gangguan berkemih dilakukan dengan latihan
penguatan otot dasar panggul (Pelvic Floor Exercise), stimulasi listrik,
bladder retraining, dan medikamentosa. Tatalaksana gangguan defekasi
yaitu dengan latihan penguatan otot dasar panggul (Pelvic Floor
Rehabilitation) dalam mendapatkan kembali fungsi anorektal.
Tatalaksana gangguan fungsi kardiorespirasi. Tatalaksana gangguan
sensasi somatosensoris. Tatalaksana kondisi sosial. Mengatasi masalah
psikospiritual. Beradaptasi dengan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Rehabilitasi Prevokasional dan okupasi, serta rehabilitasi medik paliatif
(Kemenkes RI, 2018).

DAFTAR PUSTAKA

Centers for Disease Control and Prevention. 2021. What is Colorectal Cancer?
Link:https://www.cancer.org/cancer/colon-rectal-cancer/about/what-is-colorectal-
cancer.html. Diakses pada 08 April 2021.
Kementrian Kesehatan RI. 2018. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/406/2018 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tata Laksana Kanker Kolorektal. URL:
http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PNPKkolorektal.pdf. Diakses pada 09 April
2021.
Khosama. Y. Faktor Risiko Kanker Kolorektal. 2015. TINJAUAN PUSTAKA. [online]
42(11). Available at:
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/viewFile/945/675. Diakses
pada 11 April 2021.
Koc, S., Esin, M. N., & Ardic, A. 2016. Colorectal cancer prevention and risk counseling.
Color Cancer From Pathog to Treat, 121.
Levin B, Lieberman D, McFarland B, et al. 2008. Screening and surveillance for the early
detection of colorectal cancer and adenomatous polyps: a joint guideline from the
American Cancer Society, the US Multi-Society Task Force on Colorectal Cancer,
and the American College of Radiology, 58: 130–60.
Sayuti, M. and Nouva, N., 2019. KANKER KOLOREKTAL. AVERROUS: Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh, 5(2), pp.76-88.
Tomislav. 2009. Colon cancer, adenocarcinoma. URL: http://emedicine.medscape.com.
Diakses pada 11 April 2021.
NCBI. 2021. KRAS KRAS proto-oncogene, GTPase [ Homo sapiens (human)]. URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/gene/3845. Diakses pada 11 April 2021. 
Zisman A L, Nickolov A, Brand R E, Gorchow A, Roy H K. Associations between the age at
diagnosis and location of colorectal cancer and the use of alcohol and tobacco:
Implications for screening. Arch Intern Med. 2006; 166(6): 629-34.

Anda mungkin juga menyukai