Anda di halaman 1dari 9

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

RESUME TIC (KANKER KOLOREKTAL)


Oleh : Intan Febryani Ramadhanti

KASUS
Seorang laki – laki berusia 60 tahun di rawat di ruang bedah umum dengan
keluhan BAB bercampur darah. Hasil pengkajian didapatkan pasien mengalami
penurunan berat badan dan nafsu makan sejak 1 bulan yang lalu, merasa lemah,
mengeluh nyeri pada abdomen dan perut terasa penuh, kadang pasien sudah BAB
dan kadang diare, tidak ada riwayat keluarganya menderita colorectal cancer. Hasil
pemeriksaan fisik : suhu tubuh : 38 C, HR 110 x/ menit, TD 120/74, BB 63 Kg,
tinggi 172 cm , palpasi ringan pada abdomen nyeri di kuadran kiri bawah. Hasil
lab : terdapat tumor, hematokrit 26% dan Hb 9 g/Dl.

A. DEFINISI
Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar,
terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan/atau rektum (bagian kecil
terakhir dari usus besar sebelum anus) (Kemenkes RI, 2015).
Kanker kolon merupakan salah satu jenis kanker ganas yang terjadi pada
epitel mukosa saluran cerna kolon sampai dengan rektum. Pemeriksaan
histopatologik menunjukkan hampir semua kanker usus besar ialah
adenokarsinoma yang terdiri atas epitel kelenjar (Pantow dkk.,2017)

Menurut Brunner & Suddarth (2010), kanker kolorektal dapat diawali dari
polip jinak tetapi bisa menjadi ganas, menyerang dan menghancurkan jaringan
normal, dan meluas ke struktur sekitarnya. Sel-sel kanker dapat bermigrasi jauh dari
tumor primer dan menyebar ke bagian lain tubuh (paling sering ke hati, peritoneum,
dan paru-paru).
Insidensi meningkat seiring bertambahnya usia (kejadiannya paling tinggi
pada manusia lebih tua dari 85 tahun) dan lebih tinggi pada orang dengan riwayat
keluarga kanker usus besar dan mereka dengan penyakit radang usus (IBD) atau
polip. Jika penyakit terdeteksi dan dilakukan perawatan di tahap awal sebelum
penyakit menyebar, tingkat kelangsungan hidup 5 tahun sebanyak 90%. Namun,
hanya 39% kanker kolorektal terdeteksi pada tahap awal. Tingkat ketahanan hidup
setelah diagnosis terlambat sangat rendah.

Menurut American Cancer Society, kanker kolorektal (KKR) adalah kanker


ketiga terbanyak dan merupakan kanker penyebab kematian ketiga terbanyak pada
pria dan wanita di Amerika Serikat. Berdasarkan survei GLOBOCAN 2012,
insidens KKR di seluruh dunia menempati urutan ketiga (1360 dari 100.000
penduduk [9,7%], keseluruhan laki-laki dan perempuan) dan menduduki peringkat
keempat sebagai penyebab kematian (694 dari 100.000 penduduk [8,5%],
keseluruhan laki-laki dan perempuan). Di Amerika Serikat sendiri pada tahun 2016,
diprediksi akan terdapat 95.270 kasus KKR baru, dan 49.190 kematian yang terjadi
akibat KKR. Secara keseluruhan risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal
adalah 1 dari 20 orang (5%) (Kemenkes RI, 2015).
Risiko penyakit cenderung lebih sedikit pada wanita dibandingkan pada
pria. Banyak faktor lain yang dapat meningkatkan risiko individual untuk terkena
kanker kolorektal. Angka kematian kanker kolorektal telah berkurang sejak 20
tahun terakhir. Ini berhubungan dengan meningkatnya deteksi dini dan kemajuan
pada penanganan kanker kolorektal (Kemenkes RI, 2015).

B. FAKTOR RESIKO
Menurut Khosama (2015), terdapat beberapa faktor pemicu KKR; secara
garis besar dapat dibagi dua, yakni faktor yang tidak dapat dimodifi kasi dan yang
dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah riwayat
KKR atau polip adenoma baik individual maupun keluarga, dan riwayat individual
penyakit kronis inflamatorik usus. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah
kurangnya aktivitas fisik yang menyebabkan obesitas, konsumsi tinggi daging
merah, diet rendah serat, merokok, konsumsi alkohol, dan diabetes.
Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Usia
Diagnosis KKR meningkat progresif sejak usia 40 tahun, meningkat tajam setelah
usia 50 tahun; lebih dari 90% kasus KKR terjadi di atas usia 50 tahun.Angka
kejadian pada usia 60-79 tahun 50 kali lebih tinggi dibandingkan pada usia kurang
dari 40 tahun.

Menurut penelitian Izzaty (2015) didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara
faktor usia dengan kejadian kanker kolorektal di RSUD Moewardi Surakarta tahun
2010-2013, yaitu semakin bertambahnya usia maka semakin tinggi resiko terserang
kanker kolorektal.

2. Faktor Herediter
Riwayat familial berkontribusi pada sekitar 20% kasus KKR. Kondisi yang paling
sering diwariskan adalah familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary
nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC), dikenal sebagai sindrom Lynch. Gen-
gen yang berperan dalam pewarisan KKR ini telah diidentifikasi. HNPCC
berhubungan dengan mutasi gengen yang terlibat dalam jalur perbaikan DNA,
disebut gen MLH1 dan MLH2. FAP disebabkan mutasi tumor supresor gen APC
(Antigen Presenting Cell).
3. Faktor Lingkungan
KKR dipertimbangkan sebagai suatu penyakit yang dipengaruhi lingkungan; faktor
pola hidup, sosial, dan kultural ikut berperan. KKR adalah suatu kanker dengan
penyebab yang dapat dimodifikasi, dan sebagian besar kasusnya secara teori dapat
dicegah. Bukti risiko lingkungan diperoleh melalui studi para migran dan
keturunannya. Di antara individu yang bermigrasi dari daerah risiko rendah ke
risiko tinggi, angka insidens KKR cenderung meningkat menyerupai populasi di
area tersebut. Sebagai contoh, di antara keturunan migran Eropa Selatan yang
berpindah ke Australia dan migran Jepang yang berpindah ke Hawaii, risiko
KKR meningkat dibandingkan populasi di negara asalnya. Insidens KKR pada
keturunan migran Jepang di Amerika Serikat melebihi insidens pada populasi
kulit putih di tempat tersebut, dan lebih tinggi 3-4 kali dibandingkan populasi orang
Jepang di negaranya. Selain faktor migrasi, terdapat beberapa faktor geografi yang
mempengaruhi perbedaan insidens KKR, salah satunya adalah insidens KKR
konsisten lebih tinggi pada penduduk perkotaan. Orang yang tinggal di area
perkotaan memiliki prediktor risiko yang lebih kuat dibandingkan orang yang lahir
di area perkotaan.

Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi


1. Pola Diet dan Nutrisi
Diet berpengaruh kuat terhadap risiko KKR, dan perubahan pola makan dapat
mengurangi risiko kanker ini hingga 70%. Insidens KKR meningkat pada
orangorang yang mengonsumsi daging merah dan/atau daging yang telah diproses.
Konsumsi daging merah dilaporkan memiliki hubungan lebih erat dengan insidens
kanker rektum, sedangkan konsumsi daging yang diproses dalam jumlah besar
berhubungan dengan kanker kolon bagian distal. Implikasi lemak dihubungkan
dengan konsep tipikal diet Barat, terjadi perkembangan flora bakterial yang
mendegradasi garam empedu menjadi komponen N-nitroso yang berpotensi
karsinogenik.Mekanisme potensial asosiasi positif antara konsumsi daging merah
dengan kanker kolorektal termasuk adanya heme besi pada daging merah. Beberapa
jenis daging yang dimasak pada temperatur tinggi memicu produksi amino
heterosiklik dan hidrokarbon aromatic polisiklik, keduanya dipercaya merupakan
bahan karsinogenik. Larson, dkk. Melalui studi prospektif menyarankan
pembatasan konsumsi daging merah dan daging yang diproses untuk mencegah
KKR.

Menurut penelitian Aulawi (2013)

1. Menunjukkan bahwa mengkonsumsi daging merah olahan rata-rata


168g/hari memberikan efek sepuluh kali terkena resiko kanker daripada
daging merah segar dan mengkonsumsi daging merah <70g/minggu akan
menurunkan 5 - 12% risiko terhadap kanker. Sebaliknya mengkonsumsi
daging putih (sebagian besar unggas) tidak terkait dengan risiko kanker, dan
asupan tinggi ikan membawa perlindungan yang signifikan terhadap resiko
kanker.
2. Zat besi heme pada daging merah merupakan penyebab utama promosi
terjadinya kanker.
3. Menaikkan jumlah kalsium dan mengubah sistem pengolahan daging atau
memilih zat aditif baru akan menurunkan risiko kanker kolon tanpa
kehilangan manfaat gizi dan kenikmatan mengkonsumsi daging.

2. Aktivitas Fisik dan Obesitas


Dua faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan saling berhubungan, aktivitas
fisik dan kelebihan berat badan, dilaporkan berpengaruh pada sepertiga kasus KKR.
Aktivitas tinggi berhubungan dengan rendahnya insidens KKR.Aktivitas fisik
reguler dan diet sehat membantu menurunkan risiko KKR. Aktivitas fisik
meningkatkan angka metabolik dan meningkatkan ambilan oksigen maksimal.
Dalam jangka panjang, aktivitas reguler serupa meningkatkan efisiensi dan
kapasitas metabolik tubuh, juga menurunkan tekanan darah dan resistensi insulin.
Selain itu, aktivitas fisik meningkatkan motilitas usus.
Kurangnya aktivitas fisik harian juga meningkatkan insidens obesitas.
Kelebihan berat badan dan obesitas meningkatkan sirkulasi estrogen dan
menurunkan sensitivitas insulin, juga dipercaya mempengaruhi risiko kanker,
dan berhubungan dengan penimbunan adipositas abdomen.
3. Merokok
Sebesar 12% kematian KKR berhubungan dengan kebiasaan merokok. Karsinogen
rokok meningkatkan pertumbuhan KKR, dan meningkatkan risiko terdiagnosis
kanker. Merokok menyebabkan pembentukan dan pertumbuhan polip
adenomatosa, lesi prekursor KKR.Terdapat hubungan statistic signifikan
berdasarkan dosis merokok pertahun setelah merokok lebih dari 30 tahun; individu
dengan riwayat merokok lama dan kemudian berhenti merokok tetap memiliki
risiko KKR. Polip berukuran besar di kolon dan rektum dihubungkan dengan
kebiasaan merokok jangka panjang. Onset KKR penderita pria dan wanita perokok
lebih muda.

FAKTOR RISIKO DAN PENCEGAHAN (Kemenkes RI, 2015)


Secara umum perkembangan KKR merupakan interaksi antara faktor
lingkungan dan faktor genetik. Faktor tidak dapat dimodifikasi: adalah riwayat
KKR atau polip adenoma individual dan keluarga riwayat individual penyakit
kronis inflamatori pada usus. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi: inaktivitas,
obesitas, konsumsi tinggi daging merah, merokok dan konsumsi alkohol moderat-
sering. Sementara aktivitas fisik, diet berserat dan asupan vitamin D10 termasuk
dalam faktor protektif.
Pencegahan kanker kolorektal dapat dilakukan mulai dari fasilitas kesehatan
layanan primer melalui program KIE di populasi/masyarakat dengan menghindari
faktor-faktor risiko kanker kolorektal yang dapat di modifikasi dan dengan
melakukan skrining atau deteksi dini pada populasi, terutama pada kelompok risiko
tinggi.

C. DETEKSI DINI DAN DIAGNOSIS (Kemenkes RI, 2015)


A. Deteksi Dini
Tujuan skrining kanker kolorektal adalah deteksi dini, membuang lesi pre-
kanker dan mendeteksi penyakit pada stadium dini sehingga dapat dilakukan
terapi kuratif.

Indikasi pemeriksaan dini atau skrining kanker kolorektal adalah individu


dengan risiko sedang dan risiko tinggi. Yang termasuk risiko sedang adalah:
1. Individu berusia 50 tahun atau lebih;
2. Individu yang tidak mempunyai riwayat kanker kolorektal atau inflammatory
bowel disease
3. Individu tanpa riwayat keluarga kanker kolorektal;
4. Individu yang terdiagnosis adenoma atau kanker kolorektal setelah berusia 60
tahun.
Yang termasuk risiko meningkat atau risiko tinggi adalah:
1. Individu dengan riwayat polip adenomatosa
2. Individu dengan riwayat reseksi kuratif kanker kolorektal;
3. Individu dengan riwayat keluarga tingkat pertama kanker kolorektal atau
adenoma kolorektal (rekomendasi berbeda berdasarkan umur keluarga saat
diagnosis);
4. Individu dengan riwayat inflammatory bowel disease yang lama;
5. Individu dengan diagnosis atau kecurigaan sindrom hereditary non-polyposis
olorectal cancer (HNPCC) atau sindrom Lynch atau familial adenomatous
polyposis (FAP).
D. GEJALA DAN TANDA YANG MENUNJUKKAN NILAI PREDIKSI
TINGGI AKAN ADANYA KKR:
a. Keluhan utama dan pemeriksaan klinis:
-Perdarahan per-anum disertai peningkatan frekuensi defekasi dan/atau diare
selama minimal 6 minggu (semua umur)
-Perdarahan per-anum tanpa gejala anal (di atas 60 tahun) Peningkatan frekuensi
defekasi atau diare selama minimal 6 minggu (di atas 60 tahun)
-Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur) Massa intra-luminal di dalam
rektum
-Tanda-tanda obstruksi mekanik usus.
-Setiap pasien dengan anemia defisiensi Fe (Hb <11g% untuk laki-laki atau <10g%
untuk perempuan pascamenopause)
b. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap pasien dengan gejala ano-rektal.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menetapkan keutuhan sfingter ani dan menetapkan
ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal. Pada
pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
-Keadaan tumor: Ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah
terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os
coccygis.
-Mobilitas tumor: Hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan.
-Ekstensi dan ukuran tumor dengan menilai batas atas, bawah, dan sirkuler

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

(Kemenkes RI, 2015)


1. Endoskopi
Endoskopi merupakan prosedur diagnostik utama dan dapat dilakukan dengan
sigmoidoskopi (>35% tumor terletak di rektosigmoid) atau dengan kolonoskopi
total.
Menurut Habib (2016) Skrining kanker kolon dengan menggunakan kolonoskopi
dapat menurunkan 80 persen insiden kanker kolon dengan sensitivitas dan
spesifisitas 95 persen, sedangkan skrining dengan pemeriksaan FOBT tiap tahun
dapat menurunkan insiden KKR sampai 20 persen. Penelitian kohort yang
mengikuti pasien yang telah di polipektomi menunjukkan insiden KKR turun 75-
90 persen pada kelompok ini dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kolonoskopi
juga dapat menurunkan mortalitas akibat KKR sampai 50 persen.
Menurut American College of Gastroenterology (ACG), beberapa keuntungan dari
kolonoskopi adalah saat ini alat sudah banyak tersedia, dapat memeriksa seluruh
kolon, dan dapat berfungsi untuk diagnosis dan pengobatan, kenyamanan dapat
dipertahankan dengan menggunakan sedasi, dan untuk tujuan skrining dapat
dikerjakan tiap sepuluh tahun. Kelebihan kolonoskopi dibandingkan dengan
sigmoidoskopi adalah kemampuan kolonoskopi mendeteksi lesi-lesi di proksimal
kolon, meskipun sebenarnya dengan sigmoidoskopi saja, lesi kolon yang lebih jauh
dari rektosigmoid dapat dijumpai 60-70 persen. Komplikasi skrining dengan
kolonoskopi antara lain adalah perforasi usus. kebanyakan perforasi terjadi akibat
tindakan polipektomi.
2. Enema barium dengan kontras ganda
Pemeriksaan enema barium yang dipilih adalah dengan kontras ganda.

Habib (2016)
Barium enema kontras dobel (BEKD) saat ini tidak lagi direkomendasikan untuk
pemeriksaan pencegahan karena tidak efektif untuk mendeteksi polip dibandingkan
pemeriksaan CT Kolonografi, keunggulan BEKD hanya biaya yang lebih murah.
Namun ditempat-tempat yang tidak memiliki fasilitas diagnostik lain tindakan ini
masih dapat dikerjakan, sensitivitasnya 48 persen untuk mendeteksi polip yang
besar

3. CT colonography (Pneumocolon CT)


Modalitas CT yang dapat melakukan CT kolonografi dengan baik adalah modalitas
CT scan yang memiliki kemampuan rekonstruksi multiplanar dan 3D volume
rendering. Kolonoskopi virtual juga memerlukan software khusus.
Habib (2016)
Pemeriksaan Kolonografi dianjurkan tiap 5 tahun sebagai alternatif kolonoskopi
tiap 10 tahun. Pemeriksaan ini mampu mendeteksi polip dengan diameter 1 cm atau
lebih dengan sensitivitas 90 %. Meskipun tidak invasif, pemeriksaan ini memiliki
kekurangan karena tidak dapat mendeteksi polip dengan diameter 5mm, yang
merupakan 80 % dari neoplasma kolorektal, dan keharusan memeriksa tiap 5 tahun
membuat biaya kesehatan meningka. Pemeriksaan ini tetap membutuhkan BP dan
pasien akan diminta untuk meminum zat kontras. Zat kontras ini dapat menempel
di debris-debris dalam kolon, dan secara komputerisasi dapat dihilangkan saat
pembacaan hasil kolonograf
4. Sigmoidokopi Fleksibel
Habib (2016)
Sigmoidoskopi fleksibel (SF) prinsipnya sama dengan kolonoskopi hanya lebih
sedikit bagian kolon yang diperiksa (hanya sampai kolon sigmoid saja)
pemeriksaan ini juga tidak membutuhkan tindakan BP dan pasien tidak perlu
disedasi. Tindakan FS bisa dianjurkan tiap 5 sampai 10 tahun sekali. Sigmoidoskopi
dapat menurunkan mortalitas akibat KKR sebesar 50-70 %, dan komplikasi mayor
akibat tindakan ini dapat terjadi 1 dari 10 000 tindakan.
5. Pemeriksaan Darah Samar Feses
Habib (2016)
Pemeriksaan darah samar feses metode guaiac merupakan pemeriksaan yang paling
sering dikerjakan untuk mendeteksi keberadaan darah dalam tinja. Tes guaiac
bereaksi terhadap aktivitas enzim peroksidase dalam feses, namun enzim ini juga
terdapat dalam buah-buahan, sayuran dan daging merah, sehingga retriksi diet perlu
dikerjakan agar hasilnya tidak positif palsu.
Kelemahan pemeriksaan ini adalah sensitivitas pemeriksaan yang rendah bila
dikerjakan satu kali yaitu 50-60%. Apabila pemeriksaan dilakukan berulang, maka
sensitivitas akan meningkat sampai 90 %. Selain itu akibat adanya positif palsu
akan mengarahkan pasien ke pemeriksaan lanjutan yang sebenarnya tidak perlu
seperti kolonoskopi
F. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Brunner & Suddarth (2010) :
1. Perubahan kebiasaan defekasi (merupakan gejala yang paling sering
ditunjukkan), keluar darah bersama dengan feses (gejala kedua yang paling sering).
2. Anemia yang penyebabnya tidak jelas, anoreksia, penurunan berat badan, dan
kelelahan
3. Lesi sebelah kanan, mungkin disertai nyeri abdominal tumpul dan melena (tinja
berwarna hitam).
4. Lesi di sebelah kiri berhubungan dengan obstruksi, nyeri abdominal dan kram,
feses mengecil, konstipasi dan distensi, terdapat darah merah segar dalam feses.
5. Lesi rektal berhubungan dengan tenesmus (nyeri rektal, merasakan evakuasi
tidak lampias setelah defekasi), konstipasi dan diare secara bergantian, serta feses
berdarah.
• Tanda-tanda komplikasi: obstruksi usus parsial atau komplit, ekstensi tumor dan
ulserasi ke pembuluh darah di sekitarnya (perforasi, pembentukan abses, peritonitis,
sepsis, atau syok).
• Dalam banyak kasus, gejala tidak berkembang sampai kolorektal kanker berada
pada stadium lanjut.

G. PENATALAKSANAAN
Perawatan kanker tergantung pada stadium penyakit dan komplikasi yang terkait.
Obstruksi diterapi dengan cairan IV dan suction nasogastrik dan dengan terapi
darah jika perdarahan signifikan. Terapi suportif dan terapi adjuvan (mis.,
Kemoterapi, terapi radiasi, imunoterapi)

Manajemen Bedah
• Pembedahan adalah pengobatan utama untuk sebagian besar kanker kolon dan
rektal; jenis operasi tergantung pada lokasi dan ukuran tumor, dan mungkin bersifat
kuratif atau paliatif.
• Kanker terbatas pada satu tempat dapat dihilangkan melalui kolonoskop.
• Kolotomi Laparoskopi dengan polypectomy meminimalkan tingkat operasi yang
diperlukan dalam beberapa kasus.
• Neodymium: laser yttrium-aluminium-garnet (Nd: YAG) adalah efektif dengan
beberapa lesi.
• Reseksi usus dengan anastomosis dan kemungkinan kolostomi sementara atau
permanen atau ileostomy (kurang dari sepertiga dari pasien) atau reservoir coloanal
(kantong kolon J).

H. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
• Kaji riwayat kesehatan tentang adanya kelelahan, sakit perut atau dubur, eliminasi
masa lalu dan sekarang pola, dan karakteristik tinja.
• Kaji riwayat IBD atau polip kolorektal, keluarga riwayat penyakit kolorektal, dan
terapi pengobatan saat ini .
• Kaji pola diet, termasuk asupan lemak dan serat, jumlah alkohol yang dikonsumsi,
dan riwayat merokok; deskripsikan dan dokumentasikan riwayat penurunan berat
badan dan perasaan lemah dan kelelahan.
• Auskultasi perut untuk suara usus; palpasi untuk area kelembutan, distensi, dan
massa padat; kaji feses berdarah/tidak
DAFTAR PUSTAKA
Aulawi, T. (2013). Hubungan Konsumsi Daging Merah dan Gaya Hidup Terhadap
Risiko Kanker Kolon. Hal.37-45
Brunner and Suddarth. (2010). Text Book Of Medical Surgical Nursing 12th
Edition. China : LWW.
Habib,Hadiki. (2016). Skrining Kanker Kolorektal. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Izzaty,A.H.,Utama.,& Hernawan,B. (2015). Hubungan Antara Faktor Usia Dengan
Kejadian Kanker Kolorektal Di Rsud Moewardi Surakarta Tahun 2010-
2013. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2015). Panduan Penatalaksanaan Kanker Kolorektal.
Komite Penanggulangan Kanker Nasional.
https://kanker.kemkes.go.id/guidlines/PNPKkolorektal.pdf Diaskes tanggal
12 Desember 2018
Khosama,Y. (2015). Faktor Risiko Kanker Kolorektal. Kalbemed.CDK-234/ vol.
42 no. 11, th. 2015. Hal. 829-832
Pantow,R.P.,Waleleng,B,J.,& Sedli,B.P.(2017). Profil Adenokarsinoma Kolon di
RSUP Prof Dr. R. D. Kandou dan Siloam Hospitals Periode Januari 2016 –
Juni 2017. Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Hal.
326-331

Anda mungkin juga menyukai