Anda di halaman 1dari 14

KANKER KOLON

Nama Kelompok:

1. Laila Miftakhul Jannah 192110101185


2. Fida Akmila 212110101007
3. Izzattiaska Miftahul Jannah 212110101020
4. Sheilla Kusuma Wardhani 212110101027
5. Rahma Intan Putri J. 212110101028

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS NEGERI JEMBER


Definisi
Kanker yaitu penyakit tidak menular yang mana biasanya di tandai dengan
tumbuhnya sel abnormal yang sifatnya ganas dengan pertumbuhan yang cepat serta tidak
terkendali dan dapat menyebar (P2PTM Kemenkes RI 2019).
Kolon yaitu bagian panjang yang terletak pada usus besar yang mana merupakan
bagian terakhir dari sistem pencernaan dan merupakan tempat penyimpanan kotoran.
Sedangkan rektum terletak pada ujung bagian kolon dekat dengan anus (Colorectal
Centre 2015).
Kanker kolorektal adalah kanker yang terjadi pada usus besar tepat nya di bagian
kolon atau rektum tergantung letak terjadinya kanker kolorektal. Kanker kolon terjadi
pada bagian terpanjang usus besar sementara kanker rektum terjadi di bagian akhir pada
usus besar yaitu sebelum anus. Sebelum terjadinya kanker biasanya akan ditandai dengan
tumbuhnya sel abnormal yang disebut polip yang mana dapat berubah menjadi ganas dan
menyebabkan kanker dikarenakan mengalami mutasi DNA (Gleneagles Singapore 2023).
Kanker kolon merupakan sebuah keganasan terjadi di usus besar yang terdiri
daripada kolon yaitu bagian paling panjang pada usus besar dan juga rektum yaitu bagian
kecil terakhir dari usus besar yang terletak sebelum anus (Kemenkes RI 2016).
Dapat disimpulkan bahwa kanker kolonrektal merupakan kanker yang letaknya
pada usus besar yang menyebar atau menginfeksi pada daerah kolon,yaitu bagian
terpanjang pada usus besar dan rektum yang merupakan bagian terkecil yang letaknya
sebelum anus.
Epidemiologi
• Tempat
Kanker ke 3 terbesar di seluruh dunia yaitu di tempati oleh kanker kolon dengan
jumlah kasus baru pada 2018 sebesar 1,8juta yang mana 10% dari total kasus baru semua
kanker di dunia hal tersebut berdasarkan dari survei yang dilakukan GLOBOCAN .
Kanker kolon berada pada urutan ke 2 di dunia penyebab kematian terbesar yaitu
sebanyak 860 ribu atau 9% dari total kematian kasus kanker di seluruh dunia. Asia
menduduki peringkat ke dua penderita kanker kolon terbanyak dengan jumlah kasus baru
di 2018 sebanyak 958 ribu . Sementara itu di Indonesia pada penderita kanker kolon
terdapat sekitar 30017 kasus di tahun 2018 berdasarkan survei GLOBOCAN yaitu
berkisar 8,6% dengan kematian sejumlah 5,17% orang (Nicholas Pratama 2023).
Orang
Laki -laki cenderung lebih dominan menderita kanker kolon daripada perempuan
dikarenakan terdapat faktor risiko yang dapat mempercepat terjadinya kanker tersebut
seperti gaya hidup yang tidak sehat, merokok dan minum alkohol . Sementara itu
penderita kanker kolon di Indonesia cenderung pada usia yang muda dibandingkan di
negara maju,yaitu terdapat sekitar 30% yang terjangkit kanker kolon sementara di negara
maju hanya terdapat sebesar 2-8% saja yang menderita kanker kolon yang berusia
dibawah 50 tahun(Kemenkes RI 2016). Kanker kolon pada perempuan memiliki risiko
40% lebih rendah untuk menderita kanker kolon dikarenakan terdapat reseptor estrogen
ER ß yang memberikan perlindungan kepada wanita dari terinfeksi kanker kolon.
Meskipun demikian kanker kolon yang menginfeksi wanita biasanya terjadi ketika wanita
tersebut sudah berada pada fase menopause yang mana kadar estrogen dan reseptor
estrogen ß mulai mengalami penurunan sehingga memicu tumbuhnya sel kanker(Majid
and Ariyanti 2020).
• Waktu
Di tahun 2018 kasus kanker kolon di Indonesia terdapat sekitar 30.017 menurut
survei GLOBOCAN yang mana hal tersebut terus meningkat hingga tahun 2020 yaitu
terdapat sebanyak 34.189 kasus dari semua kanker baru yang ada di Indonesia (Lawrenti
2022).
ETIOLOGI

Etiologi kanker kolon hingga saat ini masih belum diketahui dengan jelas. Polip
Adenomatous (Adenomatous), mutasi dari gen Adenomatous Polyposis Coli (APC)
merupakan penyebab dari Familial Adenomatous Polyposis (FAP) yang dapat
mempengaruhi dan membawa risiko hampir 100% mengembangkan terjadinya kanker
kolon pada saat usia 40 tahun. Maka dari itu adenomatous disebut kondisi pra-kanker
(Prabowo, 2019). Jaringan abnormalitas sel yang terjadi pada kanker kolon terlihat dari
beberapa protein seperti nitrotyrosine dan Nitric Oxide Synthases (iNOS) yang
menampakkan bahwa adanya inflamasi pada perkembangan sel kanker kolon. Tingkat
penyebaran kanker kolon bergantung pada seberapa dalam sel tersebut tumbuh di dinding
usus dan ketika sel kanker telah menyebar ke luar rektum atau usus besar (Zaakiyah,
2021).

PATOFISIOLOGI

Perkembangan kanker kolon terjadi selama beberapa tahun. Sebelum kanker


kolon berkembang, pertumbuhan jaringan di awali dengan adanya polip yang muncul
pada lapisan mukus kolon. Polip tersebut dapat bersifat jinak ataupun ganas. Beberapa
polip dapat berubah menjadi kanker tergantung dari jenis, seperi polip Adenoma yang
dapat menjadi indikasi peningkatan risiko kanker kolon (Retnowati, 2020).

Kanker kolon adalah salah satu kanker yang tumbuh secara lokal. Cara penyebaran kanker
kolon dapat melalui beberapa cara (Anggini, 2019):
1. Penyebaran secara lokal, dimulai dengan masuk ke dalam lapisan dinding usus
sampai menyebar ke lemak mesenterik, serosa dan akan mengenai organ di
sekitarnya.
2. Penyebaran lebih luas, terjadi di lumen usus melalui limfatik dan sistem sirkulasi.
Apabila sel masuk melalui sistem sirkulasi, maka sel kanker akan masuk ke organ
hati dan dapat menyebar ke organ paru-paru.
3. Penyebaran lain ke ginjal, kukit, tulang dan otak.

Benjolan dan nyeri di daerah sekitar anus banyak dikeluhkan oleh penderita kanker kolon.
Benjolan tersebut dapat terjadi karena massa di rektum bertambah besar. Sedangkan nyeri
pada anus dapat timbul jika kanker menginvasi daerah anus.
FAKTOR RISIKO

Faktor-faktor yang turut berpengaruh terhadap kejadian kanker kolorektal dibagi


menjadi dua, yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat
dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi yaitu usia, jenis kelamin, riwayat
terkena inflammatory bowel disease (IBD), Diabetes mellitus, dan riwayat kanker dalam
keluarga (Aswan & Hanriko, 2023). Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi
pola hidup yang salah, obesitas dan kurang olahraga, merokok, minum alcohol, faktor
psikososial seperti stres, serta diet tinggi lemak dan rendah serat.

a. Usia
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Polandia, salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian kanker kolorektal adalah usia. Sebelum usia 40
tahun kejadian kanker kolorektal jarang ditemui, kenaikan insiden secara
signifikan mulai terjadi antara umur 40 dan 50 tahun, dan jumlah insiden terus
mengalami peningkatan setiap dekade selanjutnya. Kasus kanker kolorektal lebih
dari 90% dijumpai pada orang yang berusia 50 tahun keatas.
b. Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki risiko dua kali kemungkinan terkena kanker kolon dan hampir
tiga kali lipat berisiko terkena kanker rektum dibandingkan perempuan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dikatakan bahwa sifat
protektif kanker kolorektal pada perempuan bersumber dari terapi penggantian
hormon atau penggunaan kontrasepsi oral. Beberapa studi juga mencatat bahwa
efek protektif hormon dapat menerangkan peningkatan perbedaan risiko kanker
rektum antara laki-laki dan perempuan.
c. Riwayat terkena inflammatory bowel disease (IBD)
Seseorang yang menderita IBD kronis berisiko dua kali lipat terkena kanker
kolorektal. Pasien dengan IBD mengalami peradangan pada saluran
pencernaannya atau tepatnya di usus besar dalam waktu yang berkepanjangan.
Penyebab utama IBD adalah Colitis ulcerative dan Crohn disease yang ditandai
dengan peradangan dan bisul yang terjadi di usus besar. Kondisi-kondisi seperti
stress, pola makan yang buruk, dan juga jarang melakukan olahraga adalah hal
yang memperburuk kondisi tersebut.
d. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang ditandai hiperglikemia
kronis, yang diakibatkan oleh kelainan sekresi dan/atau kerja insulin. Orang
dengan diabetes tipe 2 berisiko 2-3 kali lebih besar terkena kanker kolorektal
apabila dibandingkan dengan orang yang tidak menderita diabetes. Sebuah
dugaan menunjukkan bahwa perkembangan kanker kolorektal berkaitan dengan
peningkatan konsentrasi insulin dan kondisi peradangan yang terkait dengan
penyakit tersebut.
e. Riwayat kanker dalam keluarga
Sebanyak 30% penderita kanker kolorektal memiliki riwayat keluarga dengan
neoplasma. Risiko akan meningkat 2-4 kali lebih tinggi bagi mereka yang
memiliki kerabat tingkat pertama dengan penyakit ini.
f. Pola hidup yang salah
Pola hidup yang salah seperti konsumsi daging merah yang berlebih
meningkatkan risiko seseorang terkena kanker kolorektal. Pada tahun 2018 World
Cancer Research Fund/American Institute for Cancer Research (WCRF/AICR)
juga memberi bukti yang kuat terkait dugaan tersebut. Mereka yang mengonsumsi
daging merah dan daging olahan meningkatkan risiko kanker kolorektal 1,22 kali
lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak mengonsumsi.
g. Obesitas dan kurang olahraga
Banyak penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa orang yang memiliki
gaya hidup tidak banyak gerak memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker
kolorektal. Pria yang obesitas memiliki risiko 1,29 kali lipat lebih besar terkena
kanker kolorektal dan pada wanita gemuk mempunyai risiko 1,15 kali lipat lebih
tinggi terkena kanker kolorektal. Kelebihan Body mass index (BMI) dapat
memperbesar insidensi dan memperburuk diferensiasi kanker kolorektal karena
banyak energi yang dapat berasal dari adiposit dibutuhkan untuk pertumbuhan sel
tumor. Pada pasien dengan BMI berlebih adiposit jumlahnya sangat banyak.
h. Merokok
Berdasarkan International Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun
2009 dikatakan bahwa perokok memiliki risiko 1,18 kali terkena kanker
kolorektal dibandingkan dengan orang yang bukan perokok. Zat toksik yang
terkandung dalam rokok seperti nikotin, karbon monoksida, nitrosamine,
benzene, dan ammonia menyebabkan peningkatan insidensi kanker kolorektal.
Perokok pasif juga merupakan faktor risiko karena asap yang di ujung rokok 4
kali lebih beracun daripada asap dari perokok.
i. Konsumsi alkohol
Sebuah metaanalisis dari 27 studi kohort dan 34 studi kasuskontrol menemukan
bahwa dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah minum alkohol, ada
peningkatan sebesar 1,21 kali terkena kanker kolorektal untuk peminum sedang
(2 hingga 3 minuman sehari dan meningkat menjadi 1,52 kali terkena kanker
kolorektal pada peminum berat (≥4 minuman) dibanding bukan peminum alkohol.
Zat karsinogen dalam alkohol adalah asetaldehida. Asetaldehida dapat merusak
DNA dan mencetus timbulnya kanker.
j. Faktor psikososial (stress)
Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan orang yang mengalami masalah
psikologis 2,49 kali lebih tinggi terkena kanker kolorektal.
k. Diet tinggi lemak, rendah serat
Perubahan diet pada masyarakat menjadi salah satu faktor risiko bertambahnya
angka insiden karsinoma kolorektal. Risiko terkena karsino kolorektal diduga
akan meningkat apabila seseorang melakukan diet rendah serat dan tinggi lemak.
Seseorang yang mendapatkan asupan serat yang kurang memiliki risiko 11 kali
lebih besar terkena karsino kolorektal dibandingkan dengan seseorang yang
mengonsumsi makanan tinggi serat. Serat dapat memberikan efek protektif dari
sel kanker dengan cara mempercepat waktu kontak antara karsinogen dan usus
besar ketika penggumpalan feses, sehingga menipiskan dan menonaktifkan
karsinogen.

DIAGNOSIS

Pelaksanaan diagnosis kanker kolorektal dilakukan secara berjenjang, diantaranya


melalui anamnesis yang akurat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laboratorium klinik maupun laboratorium patologi anatomi. Berikutnya
merupakan pemeriksaan penunjang berupa pencitraan seperti foto polos atau dengan
kontras (barium enema) kolonoskopi, CT Scan, MRI, dan Ttransrectal Ultrasound juga
dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis kanker kolorektal (Sayuti & Nouva, 2019).

a) Anamnesis
Sebagian besar pasien mendatangi dokter disertai keluhan berupa perubahan
kebiasaan defekasi seperti sakit perut tidak menentu, diare, ingin buang air besar
tetapi tinja yang dikeluarkan sedikit, terjadi perdarahan yang disertai lendir,
Penurunan berat badan yang ekstrim juga menjadi penanda karsinoma kolon dan
rektum tingkat lanjut.
b) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang paling berperan adalah dengan colok dubur (Ructal
Toucher) yang dilakukan pada pasien yang telah terjadi pendarahan ataupun
gejala lainnya. Ketika pemeriksaan dilakukan, dokter melakukan palpasi posterior
dan anterior, spina iskiadika, serta dinding lateral, coccygeus dan sacrum dapat
dengan mudah untuk diraba. Sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik, pada bagian
anterior rectum metastasis intraperitoneal dapat diraba dimana sesuai dengan letak
anatomis cavum douglas. Walaupun 10 cm adalah batas maksimum eksplorasi jari
yang bisa dilakukan, tetapi 50% dari kejadian kanker kolon terjangkau oleh jari,
sehingga Ructal Toucher adalah cara yang tepat untuk pendiagnosaan kanker
kolon.
c) Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium klinis
pemeriksaan laboratorium klinis untuk kanker kolon antara lain pemeriksaan
darah, Hb, elektrolit, dan pemeriksaan tinja yang menjadi pemeriksaan rutin.
Perdarahan kecil menyebabkan kemungkinan ditemukannya anemia dan
hipokalemia. Perdarahan yang tidak diketahui dapat ditemukan dari
pemeriksaan tinja. Selain pemeriksaan rutin di atas, dalam menegakkan
diagnosa karsinoma kolorektal juga dilakukan skrining CEA (Carcinoma
Embrionic Antigen). Carcinoma Embrionic Antigen merupakan sebuah sinyal
serum terhadap adanya karsinoma kolon dan rektum. Carcinoma Embrionic
Antigen adalah sebuah glikoprotein yang dapat ditemukan pada permukaan
sel yang masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker
serologi untuk memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi
rekurensi dini dan metastase ke hepar.
2. Pemeriksaan laboratorium Patologi Anatomi
Bahan yang berasal dari Tindakan biopsi saat kolonoskopi ataupun reaksi usus
adalah objek dari pemeriksaan laboratorium patologi anatomi kanker
kolorektal. Diagnosa definitif adalah hasil histopatologi dari dari pemeriksaan
ini. Dari pemeriksaan histopatologi tersebut menghasilkan berbagai
karakteristik jenis kanker ataupun karsinoma di dalam usus besar ini.
3. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan yaitu foto polos abdomen atau
menggunakan kontras. Teknik pencitraan yang digunakan untuk pasien
kanker kolon meliputi Magnetic Resonance Imaging (MRI), Computerised
Tomography (CT) scan, dan Endoscopic Ultrasound (EUS).
4. Kolonoskopi
Keseluruhan mukosa kolon dan rectum dapat digambarkan melalui
kolonoskopi. Prosedur kolonoskopi dilakukan pada saluran pencernaan
dengan menggunakan alat kolonoskop, yaitu selang lentur berdiameter kurang
lebih 1,5 cm dan dilengkapi dengan kamera. Kolonoskopi merupakan cara
yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari
1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik
daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%.
d) Diagnosis banding
Diagnosis banding kanker kolon adalah penyakit lain yang juga menimbulkan
perubahan pola defekasi atau perdarahan peranum. Diagnosis banding yang perlu
dipertimbangkan antara lain kanker rektum, hemoroid, irritable bowel
syndrome (IBS), dan inflammatory bowel disease (IBD) (Sayuti & Nouva, 2019).

PENCEGAHAN

Upaya pencegahan yang bisa dilakukan untuk menghindari kanker kolorektal adalah
dengan pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer dilakukan dengan
mengubah perilaku yang menjadi faktor risiko kanker kolon. Pencegahan sekunder
dilakukan dengan melakukan skrining terhadap orang yang sudah memasuki usia berisiko
terkena kanker kolon. Pencegahan tersier dilakukan dengan mencegah adanya komplikasi
pada pasien dan juga mencegah kematian. Pencegahan primer yang bisa dilakukan seperti
uraian di bawah ini.
1. Makan banyak makanan yang berserat tinggi
Makanan yang mengandung serat tinggi seperti sayuran, buah-buahan, biji-bijian
dapat memperkecil risiko kanker usus besar atau rektum. Makanan yang perlu
dihindari adalah daging merah seperti babi,domba, sapi dan makanan kaleng.
Karena makanan-makanan tersebut merupakan salah satu faktor risiko dari kanker
kolon.
2. Berolahraga secara teratur
Apabila tubuh seseorang tidak pernah aktif seperti olahraga maka akan
meningkatkan risiko terkena kanker kolorektal.
3. Mengontrol berat badan
Seseorang yang memiliki berat badan tidak normal atau obesitas memiliki risiko
lebih tinggi untuk terkena kanker usus besar dan rektum. Oleh karena itu
disarankan bagi orang-orang yang masih mengalami obesitas untuk dapat
mengontrol berat badannya dengan mengatur pola makan dan meningkatkan
aktifitas fisik.
4. Tidak merokok
Seseorang yang memiliki kebiasaan merokok berpotensi untuk terkena kanker
kolon. Hal itu dikarenakan zat-zat berbahaya yang terkandung di dalam rokok
dapat memicu pertumbuhan sel kanker di dalam tubuh. Oleh karena itu sebaiknya
hilangkan kebiasaan merokok dan ganti pola hidup menjadi lebih sehat.
5. Hindari alkohol
Penggunaan alkohol telah dikaitkan dengan risiko kanker kolorektal yang lebih
tinggi.

Pencegahan yang selanjutnya adalah pencegahan sekunder yaitu melalui skrining.


Jenis skrining untuk kanker kolorektal dibagi menjadi dua yaitu bagi orang-orang yang
telah memasuki usia 50 tahun dan orang-orang yang memiliki faktor risiko sehingga harus
lebih dini untuk melakukan skrining (Tatuhey et al., 2014). Bagi orang-orang yang
berusia 50 tahun baik laki-laki maupun perempuan harus melakukan FOBT setiap tahun,
dan sigmoidoskopi fleksibel dan pemeriksaan rektal digital setiap 5 tahun atau
kolonoskopi dan pemeriksaan digital rektal setiap 10 tahun atau barium enema double
contrast dan pemeriksaan rektal digital setiap 5 sampai 10 tahun. Orang-orang yang harus
lebih dini melakukan skrining dibagi menjadi tiga kelompok yaitu orang yang
mempunyai Riwayat keluarga kanker kolorektal maupun polip, riwayat keluarga
sindroma kanker kolorektal herediter dan riwayat pribadi kanker kolorektal atau penyakit
inflamasi kolon yang kronik.
Strategi untuk pencegahan tersier kanker kolon adalah dengan Chemoprevention.
Peran potensial kemoprevensi dalam pencegahan tersier saat ini sedang dalam penelitian
intensif. Terdapat banyak bukti dari hasil penelitian bahwa penggunaan aspirin dosis
rendah dapat menurunkan risiko kanker kolorektal dan juga dapat meningkatkan
keberlangsungan hidup setelah diagnosis kanker kolorektal.
Analisa Studi Kasus
Pasien Ny. S, wanita 59 tahun datang ke UGD Ponek pada tanggal 25 Juli 2019
dengan keluhan nyeri perut. 7 hari yang lalu ada keluhan, sepertinya sedang berlangsung.
Keluhan datang tiba-tiba. Gejala lainnya adalah: Bintik (+), kelemahan, tremor. Flek
mulai 7 hari yang lalu keluar darah banyak dari jalan lahir, ada benjolan hitam kecoklatan,
ada lendir, darah segar. Lemah 7 hari yang lalu. Gemetar sejak pagi. Banding serupa
sebelumnya telah ditolak. Delapan bulan lalu dia dirawat di rumah sakit karena sakit perut
dan sulit buang air besar. Keluhan serupa dalam keluarga diberhentikan. Pasien menikah
saat duduk di bangku kelas 5 SD. Pernikahan pertama untuk pasien dan pernikahan kedua
untuk suami pasien. Profesi pasien sebagai ibu rumah tangga. Pasien secara spontan
melahirkan 5 orang anak dengan bantuan Dukun. Pasien berusia 17 tahun saat hamil anak
pertama. Kehamilan kedua pasien berusia 19 tahun. Kehamilan ketiga pasien berusia 23
tahun. Pasien yang sedang mengandung anak keempatnya berusia 25 tahun. Hamil anak
ke-5, pasien berusia 29 tahun. Periode pertama pada usia 14 tahun. Periode terakhir adalah
44 tahun. Beberapa perdarahan telah terjadi dalam beberapa bulan terakhir
(pascamenopause). Dalam beberapa bulan terakhir pasien makan dan minum lebih
sedikit. Pasien tampak kurus.
Pemeriksaan fisik mengungkapkan kelemahan umum, berkembang dispnea,
kesadaran apatis (E3V4M6). Tanda vital didapatkan TD = 110/70 mmHg, HR =
85x/menit, RR = 33x/menit dan T = 36,6°C. Pada pemeriksaan kepala dan leher
didapatkan keadaan umum normosefali, anemia konjungtiva (+), bibir kering (+). ), bibir
pucat (+) Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan DL, fungsi ginjal, elektrolit,
biopsi lesi. Hasil DL tanggal 25 Juli 2019 didapatkan HGB 5,1 g/dL (↓). PLT 426 x 103
/µl (↑), HCT 17,1% (↓), MCV 77,4 fL (↓), KIA 23,1 pg (↓), MCHC 29,8 g/dl (↓). Hasil
DL tanggal 26 Juli 2019 didapatkan HGB 8,6 g/dL (↓). PLT 308 x 103 /µl, HCT 26,8%
(↓), MCV 81,5 fL, KIA 25,8 pg (↓), MCHC 31,7 g/dl (↓). Hasil tes fungsi ginjal tanggal
25 Juli 2019 menunjukkan BUN 99,3 mg/dL (↑) dan kreatinin serum 15,29 mg/dL (↑).
Hasil pemeriksaan fungsi ginjal tanggal 26/07/2019 menunjukkan BUN 47,3 mg/dl (↑)
dan kreatinin serum 6,22 mg/dl (↑). Hasil analisis elektrolit pada 25 Juli 2019
menunjukkan natrium 136 mmol/l, kalium 6,6 mmol/l (↑), klorida 105 mmol/l, ion
kalsium 1,17 mmol/l. Hasil analisis elektrolit pada 26 Juli 2019 menunjukkan natrium
136 mmol/l, kalium 7 mmol/l (↑), klorida 105 mmol/l, ion kalsium 1,29 mmol/l. Biopsi
lesi eksisi jaringan menunjukkan sel anaplastik kelenjar menginfiltrasi stroma jaringan
ikat membentuk bahan keratin, Kesimpulan nya yaitu Karsinoma epidermoid keratinisasi
serviks.
Diagnosis kanker serviks didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan klinis. Berdasarkan anamnesis, dapat ditemukan beberapa gejala klinis dan
faktor risiko kanker serviks. Gejala klinisnya adalah sakit perut, perdarahan vagina
pascamenopause, kesulitan buang air besar (karena tumor yang menyerang rektum).
Faktor risiko yang ditemukan adalah aktivitas seksual pada usia muda, banyak anak, dan
status sosial ekonomi rendah. Pemeriksaan fisik mengungkapkan beberapa gejala yang
diamati pada pasien dengan kanker serviks, termasuk penampilan anemia, distensi, kaki
bengkak, vagina tidak rata, bagian bengkak, PPV tidak aktif (+), kesemutan (+).
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diterima, lesi yang diambil dari leher rahim
menunjukkan penurunan beberapa komponen darah, gagal ginjal, gangguan elektrolit dan
keganasan. 959 Berdasarkan gejala, kanker serviks pada pasien stadium 3B. Pengobatan
yang tepat adalah kemoterapi.
DAFTAR PUSTAKA

Aswan, N. R., & Hanriko, R. (2023). Faktor Risiko Kanker Kolorektal. 13(1), 1–6.

Sayuti, M., & Nouva. (2019). Kanker Kolorektal. AVERROUS: Jurnal Kedokteran Dan
Kesehatan Malikussaleh, 5(2), 76–88. https://doi.org/10.29103/averrous.v5i2.2082

Tatuhey, W. S., Nikijuluw, H., & Mainase, J. (2014). Karakteristik Kanker Kolorektal Di
RSUD Dr. M Haulussy Ambon Periode Januari 2012-Juni 2013. Molucca Medica,
4(2), 150–157.

Colorectal Centre. 2015. “KANKER KOLON DAN REKTUM.” 2015. Retrieved


(https://www.colorectalcentre.com.sg/diseases-conditions/colon-rectal-
cancer/?lang=id).
Gleneagles Singapore. 2023. “Kanker Kolon.” 2023. Retrieved
(https://www.gleneagles.com.sg/id/specialties/medical-
specialties/cancer/colorectal-cancer).
Kemenkes RI. 2016. “Panduan Penatalaksanaan Kanker Kolorektal.” Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia 76.
Lawrenti, Hastarita. 2022. “Kanker Kolorektal – Salah Satu Kanker Paling Sering
Ditemukan Di Indonesia.” 23-11-2022. Retrieved
(https://oneonco.co.id/blog/kanker-kolorektal-salah-satu-kanker-paling-sering-
ditemukan-di-indonesia/).
Majid, Silvia Rosyiana, and Fajar Ariyanti. 2020. “Determinan Kejadian Kanker
Kolorektal.” Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat 9(04):208–15. doi:
10.33221/jikm.v9i04.677.
Nicholas Pratama. 2023. “Patofisiologi Kanker Kolon.” Alomedika.
P2PTM Kemenkes RI. 2019. “Apa Itu Kanker?” 5 Februari 2019. Retrieved
(https://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/penyakit-kanker-dan-
kelainandarah/apa-itu-kanker).

Anda mungkin juga menyukai