Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kanker kolorektal adalah kanker usus besar (kolon) dan usus
pembuangan akhir (rektum). Kebanyakan kanker kolorektal berawal dari
pertumbuhan sel yang tidak ganas (disebut adenoma) dimana pada stadium awal
membentuk sebuah polip (Harold Shryock, 1982:310). Kanker kolorektal (colo-
rectal carcinoma) atau disebut juga kanker usus besar merupakan suatu tumor
ganas yang ditemukan di colon atau rectum. Colon atau rectum adalah bagian
dari usus besar pada sistem pencernaan yang disebut juga traktus
gastrointestinal yang berfungsi sebagai penghasil energi bagi tubuh dan
membuang zat-zat yang tidak berguna. Menurut Siregar (2007: 4), kanker
kolorektal merupakan penyakit kanker yang menempati urutan ketiga terbesar di
dunia dan penyebab kematian keempat terbanyak di dunia yang disebabkan
karena kanker.

Berdasarkan data Wisconsin Reporting System, kanker kolorektal


menempati urutan ketiga penyebab kematian tertinggi di dunia setelah kanker
payudara dan kanker paru-paru yaitu terdapat 9,5% kasus dari jumlah penduduk
dunia yang meninggal akibat kanker kolorektal atau mencapai 1,23 juta kematian
pertahun (Wisconsin Cancer Reporting System, 2017: 8). American Cancer
Society memperkirakan pada tahun 2017 di U.S Amerika terjadi sebanyak
95.520 kasus baru kanker kolon yang didiagnosa dan sebanyak 39.910 kasus
kematian yang diperkirakan akan terjadi akibat kanker ini. Kasus kanker
kolorektal di Indonesia pada perempuan adalah terbanyak ketiga setelah kanker
payudara dan kanker serviks. Sedangkan pada laki- laki, ia menempati urutan
kedua setelah kanker paru, diikuti yang ketiga kanker prostat (American
Cancer Society, 2017). Dari data Globocan 2012, insiden kanker kolorektal di
Indonesia adalah 12,8 per 100.000 penduduk usia dewasa, dengan mortalitas
9,5% dari seluruh kasus kanker. Saat ini, kanker kolorektal di Indonesia

1
menempati urutan nomor tiga (Globocan IARC, 2012), kenaikan tajam yang
diakibatkan oleh perubahan pada diet orang Indonesia, baik sebagai konsekuensi
peningkatan kemakmuran serta pergeseran ke arah cara makan orang Barat
(Westernisasi) yang lebih tinggi lemak serta rendah serat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan banyaknya kasus dan pentingnya penanganan penyakit
Apendisitis, rumusan masalahnya adalah “ Bagaimana asuhan keperawatan pada
pasien dengan ca colon ?”
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu mengetahui dan menerapkan asuhan keperawatan pada pasien
dengan ca colon sesuai standar keperawatan.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui pengkajian pada pasien dengan ca colon beserta keluarganya.
b) Mampu menganalisa data pada pasien dengan ca colon
c) Mampu menentukan diagnosa keperawatan pada pasien ca colon
d) Mampu mengetahui penyusunan perencanaan keperawatan pada pasien ca
colon
e) Mampu melaksanakan implementasi pada pasien ca colon
f) Mengetahui evaluasi pada pasien dengan ca colon
1.4 Manfaat
1) Bagi Penulis
Diharapkan agar penulis mempunyai tambahan wawasan dan pengetahuan
dalam penatalaksanaan pada pasien dengan penyakit ca colon dan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan ca colon
2) Bagi Pasien dan Keluarga
Agar pasien dan keluarga mempunyai pengetahuan tentang perawatan
pada pasien ca colon.
3) Bagi Institusi Pelayanan
Memberikan bantuan yang mempengaruhi perkembangan klien untuk
mencapai tingkat asuhan keperawatan dan tindak lanjut untuk perawatan mutu
pasien khusus penderita ca colon.
2
4) Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan keperawatan dan sebagai masukan dalam peningkatan pada pasien ca
colon terutama dibidang dokumentasi asuhan keperawatan.

BAB II
TINJAUAN
TEORI

2.1 DEFINISI

Kanker kolon suatu bentuk keganasan dari masa abnormal /


neoplasma yang muncul dari jaringan ephitel dari kolon (Haryono, 2010).
Kanker kolorektal ditunjukan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon
dan rektum. Kolon dan rectum adalah bagian dari usus besar pada sistem
pencernaan yang disebut traktus gastrointestinal. Lebih jelasnya kolon
berada di bagian proksimal usus besar dan rektum dibagian distal sekitar
5
- 7 cm diatas anus. Kolon dan rektum merupakan bagian dari saluran
pencernaan atau saluran gastrointestinal di mana fungsinya adalah untuk
menghasilkan energi bagi tubuh dan membuang zat-zat yang tidak
berguna (Penzzoli dkk, 2007).
Kanker kolorektal merupakan suatu tumor malignant yang muncul

3
pada jaringan ephitelial dari colon/rectum. Umumnya tumor kolorektal
adalah adenokarsinoma yang berkembang dari polip adenoma (Wijaya
dan Putri, 2013).

4
2.2 ANATOMI FISIOLOGI

Diyono (2013).

Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus

buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.

Pada mamalia, kolon terdiri dari kolon menanjak (ascending), kolon

melintang (transverse), kolon menurun (descending), kolon sigmoid, dan


rektum. Bagian kolon dari usus buntu hingga pertengahan kolon
melintang sering disebut dengan "kolon kanan", sedangkan bagian sisanya
sering disebut dengan "kolon kiri".
2.3 ETIOLOGI

Adapun beberapa faktor yang menpengaruhi kejadian kanker


kolorektal menurut (Soebachman, 2011) yaitu :
1. Usia

Risiko terkena kanker kolon meningkat dengan bertambahnya usia.


Kebanyakan kasus terjadi pada orang yang berusia 60 - 70 tahun. Jarang
sekali ada penderita kanker kolon yang usianya dibawah 50. Kalaupun
ada, bisa dipastikan dalam sejarah keluarganya ada yang terkena kanker
kolon juga.
1. Polip

Adanya polip pada kolon, khususnya polip jenis adenomatosa. Jika


polip ini langsung dihilangkan pada saat ditemukan, tindakan
penghilangan tersebut akan bisa mengurangi risiko terjadinya kanker
kolon di kemudian hari.
2. Riwayat kanker

Seseorang yang pernah terdiagnosis mengidap kanker kolon


( bahkan pernah dirawat untuk kanker kolon ) berisiko tinggi terkena
kanker kolon lagi dikemudian hari. Wanita yang pernah mengidap
kanker ovarium ( indung telur), kanker uterus, dan kanker payudara
juga memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena kanker kolon.
3. Faktor keturunan / genetika

Sejarah adanya kanker kolon dalam keluarga, khususnya pada


keluarga dekat. Orang yang keluarganya punya riwayat penyakit FAP (
Familial Adenomatous Polyposis ) atau polip adenomatosa familial
memiliki risiko 100% untuk terkena kanker kolon sebelum usia 40
tahun bila FPA-nya tidak diobati. Penyakit lain dalam keluarga adalah
HNPCC ( Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer ), yakni

penyakit kanker kolorektal nonpolip yang menurun dalam keluarga,


atau sindrom Lynch.
4. Penyakit kolitis ( radang kolon ) ulseratif yang tidak diobati.

5. Kebiasaan merokok.

Perokok memiliki risiko jauh lebih besar untuk terkena kanker


kolon dibandingkan dengan yang bukan perokok.
6. Kebiasan makan

Pernah diteliti bahwa kebiasaan makan banyak daging merah ( dan


sebaliknya sedikit makan buah, sayuran serta ikan ) turut
meningkatkan risiko terjadinya kanker kolon. Mengapa? Sebab daging
merah ( sapi dan kambing ) banyak mengandung zat besi. Jika sering
mengonsumsi daging merah berarti akan kelebihan zat besi.
7. Terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung pewarna,
apalagi jika pewarnanya adalah pewarna nonmakanan.
8. Terlalu banyak mengonsumsi makanan makanan yang mengandung
bahan pengawet.
9. Kurangnya aktivitas fisik, Orang yang beraktivitas lebih banyak
memiliki risiko lebih rendah untuk terkena kanker kolon.
10. Berat badan yang berlebihan ( obesitas ).

11. Infeksi virus tertentu seperti HPV (Human Papiloma Virus) turut andil
dalam terjadinya kanker kolon.
12. Kontak dengan zat-zat kimia tertentu. Misalnya logam berat, toksin,
dan ototoksin serta gelombang elektromagnetik.

13. Kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol, khususnya bir. Usus


mengubah alkohol menjadi asetilaldehida yang meningkatkan risiko
terkena kanker kolon.
14. Bekerja sambil duduk seharian. Misalnya para eksekutif, pegawai
administrasi, atau pengemudi kendaran umum.
2.4 KLASIFIKASI
Menurut Diyono (2013), tingakatan kanker kolorektal dari duke
sebagai berikut :
 Stadium 1 : terbatas hanya pada mukosa kolon (dinding rektum
dan kolon).

 Stadium 2 : menembus dinding otot, belum metastase.

 Stadium 3 : melibatkan kelenjar limfe.

 Stadium 4 : metastase ke kelenjar limfe yang berjauhan dan ke


organlain
.

2.5 PATOFISIOLOGI
Kanker kolon dan rektum (95 %) adenokarsinoma (muncul dari
lapisan epitel usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi
ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas kedalam
struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan
menyebar kebagian tubuh yang lain (paling sering ke hati) Japaries, 2013.
Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi
penyumbatan lumen usus dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus
serta perdarahan. Penetrasi kanker dapat menyebabkan perforasi dan
abses, serta timbulnya metastase pada jaringan lain. Prognosis relativ baik
bila lesi terbatas pada mukosa dan submukosa pada saat reseks dilakukan,
dan jauh lebih jelek telah terjadi mestatase ke kelenjr limfe (Japaries,
2013).

Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker usus yang dapat


tumbuh secara lokal dan bermetastase luas. Adapun cara penyebaran ini
melalui beberapa cara. Penyebaran secara lokal biasanya masuk kedalam
lapisan dinding usus sampai keserosa dan lemak mesentrik, lalu sel
kanker tersebut akanmengenai organ disekitarnya. Adapun penyebaran
yang lebih luas lagi didalam lumen usus yaitu melalui limfatik dan sistem
sirkulasi. Bila sel tersebut masuk melalui sistem sirkulasi, maka sel kanker
tersebut dapat terus masuk ke organ hati, kemudian metastase ke orgab
paru-paru. Penyebaran lain dapat ke adrenal, ginjal, kuli, tulang, dan otak.
Sel kanker pu dapat menyebar ke daerah peritoneal pada saat akan
dilakukan reseksi tumor (Diyono, 2013).

Hampir semua kanker kolorektal ini berkembang dari polip


adenoma jenis villous, tubular, dan viloutubular. Namun dari ketiga jenis
adenoma ini, hanya jenis villous dan tubular yang diperkirakan akan
menjadi premaligna. Jenis tubular berstruktur seperti bola dan bertangkai,
sedangkan jenis villous berstuktur tonjolan seperti jari-jari tangan dan
tidak bertangkai. Kedua jenis ini tumbuh menyerupai bunga kol didalam
kolon sehingga massa tesebut akan menekan dinding mukosa kolon.
Penekanan yang terus-menerus ini akan mengalami lesi-lesi ulserasi yang
akhirnya akan menjadi perdarahan kolon. Selain perdarahan, maka
obstruksi pun kadang dapat terjadi. Hanya saja lokasi tumbuhnya adenoma
tersebut sebagai acuan. Bila adenoma tumbuh di dalam lumen luas
(ascendens dan transversum), maka obstruksi jarang terjadi. Hal ini
dikarenakan isi ( feses masih mempunyai konsentrasi air cukup) masih
dapat melewati lumen tersebut dengan mengubah bentuk (disesuaikan
dengan lekukan lumen karena tonjolan massa). Tetapi bila adenoma
tersebut tumbuh dan berkembang di daerah lumen yang sempit
(descendens atau bagian bawah), maka obstruksi akan terjadi karena tidak
dapat melewati lumen yang telah terdesak oleh massa. Namun kejadian
obstruksi tersebut dapat menjadi total atau parsial (Diyono, 2013).Secara
genetik, kanker kolon merupakan penyakit yang kompleks. Perubahan
genetik sering dikaitkan dengan perkembangan dari lesi permalignan
(adenoma) untuk adenokarsinoma invasif. Rangkain peristiwa molekuler
dan genetik yang menyebabkan transformsi dari keganasan polip
adenomatosa. Proses awal adalah mutasi APC (adenomatosa Poliposis
Gen) yang pertama kali ditemukan pada individu dengan keluarga
adenomatosa poliposis (FAP= familial adenomatous polyposis). Protein
yang dikodekan oleh APC penting dalam aktivasi pnkogen c-myc dan
siklinD1, yang mendorong pengembangan menjadi fenotipe ganas
(Muttaqin, 2013).
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik.
Keluhan utama pasien pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan
besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi
kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga lanjut sekali sedikit
kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen usus lebih besar dari feses
masih encer. Gejala klinis sering brupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan
dan symptomatik anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat
badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan
pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya
ukuran feses, dan komplikasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar
mengakibatkan obstruksi. Tumor pada rektum atau sigmoid bersifat lebih
infiltratif pada waktu diagnosis dari leksi proksimal, maka prognosisnya lebih
jelek (Kumar dkk, 2010).
Menurut Japaries (2013) Kanker usus besar dibagi menajadi dua stadium
yaitu :
2. Stadium dini

a. Tanda iritasi usus dan perubahan kebiasaan defekasi : sering buang


air besar, diare atau obstipasi, kadang kala obstipasi dan diare silih
berganti, tenesmus, anus turun tegang, sering terdapat nyeri samar
abdomen. Pasien lansia bereaksi tumpul dan lamban, tidak peka
nyeri, kadang kala setelah terjadi perforasi tumor, peritonitis baru
merasakan nyeri dan berobat.
b. Hematokezia : tumor luka ulserasi berdarah, kadang kala merah
segar atau merah gelap, biasanya tidak banyak, intermitan. Jika
posisi tumor agak tinggi, darah dan feses becampur menjadikan
feses mirip selai. Kadang kala keluar lendir berdarah.
c. Ileus : ileus merupakan tanda lanjut kanker kolon. Ileus kolon sisi
kiri sering ditemukan . kanker kolon tipe ulseratif atau hiperplstik
menginvasi kesekitar dinding usus membuat lumen usus
menyempit hingga ileus, sering berupa ileus mekanik nontotal
kronis, mula-mula timbul perut kembung, rasa tak enak perut
intermiten, borborigmi, obstipasi atau feses menjadi kecil (seperti
pensil atau tahi kambing) bahkan tak dapat buang angin atau feses.
Sedangkan ileus akut umumnya disebabkan karsinoma kolon tipe

d. infiltratif. Tidak jarang terjadi intususepsi dan ileus karena tumor


pada pasien lansia, maka pada lansia dengan intususepsi harus
memikirkan kemungkinan karsinoma kolon. Pada ileus akut
maupun kronik, gejala muntah tidak menonjol, bila terdapat
muntah, mungkin usus kecil (khususnya proksimal) sudah terinvasi
tumor.
e. Massa abdominal. Ketika tumor tumbuh hingga batas tertentu
didaerah abdomen dapat diraba adanya massa, sering ditemukan
pada koon belahan kanan. Pasien lansia umumnya mengurus,
dinding abdomen relatif longgar, massa mudah diraba. Pada
awalnya massa bersifat mobil, setelah menginvasi sekitar menjadi
infeksi.
f. Anemia, pengurusan, demam, astenia dan gejala toksik sistemik
lain. Karena pertumbuhan tumor menghabiskan nutrisi tubuh,
perdarahan kronis jangka panjang menyebabkan anemia; infeksi
sekunder tumor menyebabkan demam dan gejala toksik.
3. Stadium lanjut

Selain gejala lokal tersebut diatas, dokter harus memperhatikan tumo


adalah penyakit sistemik, pada fase akhir progresi kanker usus besar
timbul grjala stadium lanjut yang sesuai. Misal, invasi luas tumor
dalam kavum pelvis menimbulkan nyeri daerah lumbosakra, iskialgia
dan neuralgia obturatoria; ke anterior menginvasi mukosa vagina dan
vesika urinaria menimbulkan perdarhan pervaginam atau hematuria,
bila parah dapat timbul fistel rektovaginal, fistel rektovesikel;
obstruksi ureter bilateral menimbulkan anuria, uremia; tekanan pada
retra menimbulkan retensi urin; asites, hambatan saluran limfatik atau
tekanan pada vena iliaka menimbulkan udem tungkai, skrotal, labial;
perforasi menimbulkan peritonitis akut, abses abdomen; metastasis ke
paru menimbulkan batuk, nafas memburu, hemoptisis; metastasis ke
otak menyebabkan koma; metastasis tulang menimbulkan nyeri
tulang, pincang dll. Akhirnya dapat timbul kakeksia, kegagalan
sistemk (Japaries, 2013).

2.7 KOMPLIKASI
Komplikasi paling umum dari kanker kolorektal adalah kanker yang
menjalar ke bagian tubuh lainnya. Komplikasi bisa muncul akibat proses
pengobatan. Komplikasi tersebut antara lain: 

 Retensi urine;
 Kebocoran dari lokasi bedah;
 Nyeri;
 Reaksi alergi kulit atau sensasi terbakar;
 Penyumbatan mekanis (penyempitan);
 Perdarahan dan radionekrosis (kerusakan jaringan akibat energi radiasi);
 Mual dan muntah;
 Diare;
 Ketidakmampuan untuk melawan infeksi;
 Reaksi alergi.

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Menurut Casciato (2004) ada beberapa macam pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker kolon yaitu :
4. Biopsi

Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat


penting jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan
dilakukanya biopsi maka sikat sitologi akan sangat berguna (Casciato,
2004).
5. Carsinoembrionik Antigen (CEA) Screening

CEA adalah sebuah glikopretein yang terdapat pada permukaan


sel yang masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai
marker serologi untuk memonitor status kanker kolorektal dan untuk
mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu
insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai screening
kanker kolorektal. Meningkatnya nilai CEA serum, bagaimanapun
berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA
berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari
penyakit dan kehadiran metastase ke organ dalam. Meskipun
konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik independen.
Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring
berkelanjutan setelah pembedahan (Casciato, 2004).

Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA,


namun tes ini sering diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini.
Tes CEA sebelum opersai sangat berguna sebagai faktor prognosa
dan apakah tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai
CEA. Peningkatan nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi
awal dari dari metastase karena sel tumor yang bermetastase sering
mengakibatkan naiknya nilai CEA (Casciato, 2004).
6. Digital Rectal Examination

Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral,posterior,


dan anterior, serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba
dengan mudah. Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian
anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong
douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm
merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun telah
lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau oleh
jari, sehingga Rectal examination merupakan cara yang tidak dapat
begitu saja diabaikan (Schwartz, 2005).
7. Barium Enema

Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai double


kontras varium enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam
mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Teknik ini jika digunakan
bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat
biaya sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang

tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau digunakan sebagai


pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai riwayat
polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan
menggunakan barium eneme sangat rendah, yaitu sebesar 0,02% jika
terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus
digunakan dari pada barium enema. Barium peritonitis merupakan
komplikasi yang sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai
infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah kontras larut
air tidak dapat menunjukan detail yang penting untuk menunjukam
lesi kecil pada mukosa kolon (Schwartz, 2005).
8. Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon
karena 3% dari pasien mempunyai synchronous kanker dan
berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna (Casciato,
2004).
9. Kolonoskopi

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran


seluruh mukosa kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi
panjangnya dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara
yang paling akurat untuk dapat menunjukan polip dengan ukuran
kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi
sebesar sebesar 94%, lebih baik dari pada barium enema yang
keakuratannya hanya sebesar 67% (Depkes, 2006). Sebuah
kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi,
mengontrol perdarahan dan dilatasi dari struktur. Kolonoskopi
merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama
(perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang
dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat
berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari Inflamatory Bowel
Disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal
bleedin, megakolon non toksik, struktur kolon dan neoplasma.
Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada
diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari
kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi
utama dari kolonoskopi diagnostik (Schwartz, 2005).
2.9 PENATALAKSANAAN MEDIS
 Pembedahan

Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas


diterima sebagai penangan kuratif untuk kanker kolorektal.
Pembedahan kuratif untuk kaker kolorektal. Pembedahan kuratif harus
mengeksisi dengan batas yang luas dan maksimal regional
lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari kolon
sebisanya. Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan minimum
margin 5 cm bebas tumor (Casciato, 2004).
Menurut Haryono (2012), pembedahan merupakan tindakan
primer pada kira-kira 75% pasien dengan kanker kolorektal.
Pembedahan dapat bersifat kuratif atau palliative. Kanker yang
terbatas pada satu sisi dapat diangkat dengan kolonoskop. Kolosotomi
laparoskopik dengan polipektomi, suatu prosedur yang baru
dikembangkan untuk meminimalkan luasnya pembedahan pada
beberapa kasus. Laparoskop digunakan sebagai pedoman dalan
membuat keputusan dikolon massa tumor kemudian dieksisi. Reseksi
usus diindikasikan untuk kebanyakan lesi kelas A dan semua kelas B
serta lesi C. Pembedahan kadang dianjurkan untuk mengatasi kanker
kolon D. Tujuan pembedahan dalam situasi ini adalah palliative.
Apabila tumor telah menyebar dan mencangkup struktur vital
sekitarnya, maka operasi tidak dapat dilakukan.
 Terapi Radiasi

Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan


menggunakan x-ray berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker.
Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal
radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan
tergantung pada tipe dan stadium dari kanker (Henry Ford, 2006).
 Kemotherapi

Kemoterapi dalam bahasa inggris (chemotherapy) adalah


penggunaan zat kimia untuk perawatan penyakit. Kemoterapi adalah
penggunaan zat kimia untuk perawatan penyakit. Dalam penggunaan
modernnya, istilah ini hampir merujuk secara eksklusif kepada obat
sitostatik yang digunakan untuk merawat kanker.
Kemoterapi bermanfaat untuk menurunkan ukuran kanker
sebelum operasi, merusak semua sel-sel kanker yang tertinggal setelah
operasi, dan mengobati beberapa macam kanker darah. Kemoterapi
Merupakan bentuk pengobatan kanker dengan menggunakan obat
sitostatika yaitu suatu zat-zat yang dapat menghambat proliferasi sel-
sel kanker.
Kemoterapi memerlukan penggunaan obat untuk
menghancurkan sel kanker. Walaupun obat ideal akan menghancurkan
sel kanker dengan tidak merugikan sel biasa, kebanyakan obat tidak
selektif. Malahan, obat didesain untuk mengakibatkan kerusakan yang
lebih besar pada sel kanker daripada sel biasa, biasanya dengan
menggunakan obat yang mempengaruhi kemampuan sel untuk
bertambah besar. Pertumbuhan yang tak terkendali dan cepat adalah
ciri khas sel kanker. Tetapi, karena sel biasa juga perlu bertambah
besar, dan beberapa bertambah besar cukup cepat (seperti yang di
sumsum tulang dan garis sepanjang mulut dan usus), semua obat
kemoterapi mempengaruhi sel biasa dan menyebabkan efek samping.
Tujuan pemberian kemoterapi : Pengobatan, Mengurangi
massa tumor selain pembedahan atau radiasi, Meningkatkan
kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup, Mengurangi
komplikasi akibat metastase. Kemoterapi dapat diberikan dengan cara
Infus, Suntikan langsung (pada otot, bawah kulit, rongga tubuh) dan
cara Diminum (tablet/kapsul).
Efek samping yang bisa timbul adalah antara lain: Lemas,
Mual dan Muntah, Gangguan Pencernaan, Sariawan, Efek Pada
Darah, Otot dan Saraf, Kulit dapat menjadi kering dan berubah warna,
dan Produksi Hormon.
Dalam beberapa penelitian kemoterapi mampu menekan
jumlah kematian penderita kanker tahap dini, namun bagi penderita
kanker tahap akhir / metastase, tindakan kemoterapi hanya mampu
menunda kematian atau memperpanjang usia hidup pasien untuk
sementara waktu. Bagaimanapun manusia hanya bisa berharap
sedangkan kejadian akhir hanyalah Tuhan yang menentukan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

3.1 PENGKAJIAN
Pengkajian yang dapat dilakukan menurut wijaya dan putri
(2013), diantaranya adalah sebagai berikut :
10. Pengkajian

a. Data Demografi

1) Kanker kolorektal sering ditemukan terjadi pada usia lebih


dari 40 tahun.
2) Pada wanita sering ditemukan kanker kolon dan kanker rekti
lebih sering terjadi pada laki-laki.
b. Riwayat kesehatan dahulu

1) Kemungkinan pernah menderita polip kolon, radang kronik


kolon dan kolitis ulseratif yang tidak teratasi.
2) Adanya infeksi dan obstruksi pada usus besar.
3) Diet atau konsumsi diet yang tidak baik, tinggi protein, tinggi
lemak dan rendah serat.
c. Riwayat kesehatan keluarga

Adanya riwayat kanker pada keluarga, diidentifikasi kanker


yang menyerang tubuh atau organ termasuk kanker kolorektal
adalah diturunkan sebagai sifat dominan.
d. Riwayat kesehatan sekarang

1) Klien mengeluh lemah, nyeri abdomen dan kembung.

2) Klien mengeluh perubahan pada defekasi : Buang Air Besar


(BAB) seperti pita, diare yang bercampur darah dan lendir dan
rasa tidak puas setelah buang air besar.
3) Klien megalami anoreksia, mual, muntah dan penurunn berat
badan.
e. Pemeriksaan fisik

1) Mata : konjungtiva subanemis / anemis.

2) Leher : distensi vena jugularis (JVP).

3) Mulut : mukosa mulut kering dan pucat, lidah pecah – pecah


dan bau yang tidak enak.
4) Abdomen : distensi abdomen, adanya teraba massa, penurunn
bising usus dan kembung.
5) Kulit : turgor kulit buruk, kering (dehidrasi / malnutrisi.

f. Pengkajian Fungsional Gordon

1) Aktivitas / istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah, merasa
gelisah dan ansietas, tidak tidur semalaman karena diare,
pembatasan aktivitas / kerja sehubungan dengan efek proses
penyakit.
2) Pernafasan : nafas pendek, dispnea (respon terhadap nyeri
yang dirasakan) yang ditandai dengan takipnea dan frekuensi
menurun.
3) Sirkulasi

Tanda : Takikardi (respon terhadap demam, dehidrasi, proses


inflamasi dan nyeri), hopotensi, kulit/membran : turgor buruk,
kering, lidah pecah-pecah, (dehidrasi/malnutrisi).
4) Integritas Ego

Gejala : ansietas, ketakutan, emosi kesal, misal : perasaan tak


berdaya/tak ada harapan.
Faktor stress akut/kronis : misal hubungan dengan keluarga /
pekerjaan, pengobatan yang mahal.
Tanda : menolak, perhatian yang menyempit, depresi.

5) Eliminasi

Gejala : tekstur feses bervariasi dan bentuk lunak sampai bau.


Episode diare berdarah tak dapat diperkirakan, hilang timbul,
sering tak dapat dikontrol (sebanyak 20-30 kali/hari), perasaan
tidak nyaman/tidak puas, deteksi berdarah/ mukosa dengan
atau tanpa keluar feses.
Tanda : menurunnya bising usus, tidak ada peristaltik atau
adanya peristaltik yang dapat dilihat, oliguria.

6) Makan / Cairan

Gejala : anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan,


tidak toleran terhadap diit/sensitif (misal : buah segar/massa
otot, kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buru, membran
mukosa pucat, luka, inflamasi rongga mulut.
7) Hygine

Tanda : ketidakmampuan melakukan perawatan diri,


stomatitis, menunjukan kekurangan vitamin.
8) Nyeri / Kenyamanan

Gejala : nyeri/nyeri tekan pada kuadran kiri bawah.

9) Keamanan

Gejala : adanya riwayat polip, radang kronik viseratif.

10) Muskuloskeletal : penurunan kekuatan otot, kelemahan dan


malaise (diare, dehidrasi, dan malnutrisi).
11) Seksualitas

Gejala : tidak bisa melakukan hubungan seksual/ frekuensi


menurun.
12) Interaksi Sosial

Gejala : masalah hubungan / peran sehubungan dengan


kondisi ketidakmampuan aktif dalam sosial.
3.2 DIAGNOSA
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik.
2. Resiko kurang volume cairan berhubungan dengan mual
3. Diare berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal
3.3NCP
a. Diagnosa Keperawatan : Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri dapat berkurang

Kriteria Hasil :

 Pasien tampak rileks,


 dapat beristirahat/tidur dan melakukan pergerakkan yang berarti sesuai
toleransi.
 Skala nyeri berkurang

Rencana Tindakan:

1)  Kaji tingkat nyeri, lokasi, karakteristik dan intensitas (skala 1-10)


Rasional :
Membantu mengevaluasi derajat ketidaknyamanan dan keefektifan
analgesik.

2) Yakinkan pasien bahwa perubahan posisi tidak akan mencederai stroma.


Rasional :
Menurunkan ketegangan otot, menaikkan relaksasi dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.

3) Bantu penggunaan teknik relaksasi.


Rasional :
Membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali
perhatian sehingga menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.

4) Bantu pasien melakukan latihan rentang gerak dan dorong ambulasi dini,
hindari duduk lama
Rasional :
Menurunkan kekakuan otot/sendi.

5) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi (narkotik, analgesik).


Rasional :
Menurunkan nyeri, meningkatkan kenyamanan,

b) Diagnosa keperawatan : Resiko kekurangan volume cairan berhubungan


dengan muntah dan dehidrasi

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kebutuhan cairan dapat terpenuhi

Kriteria Hasil :
Asupan cairan terpenuhi

Rencana tindakan :
1)  Catat masukan dan haluaran, mencakup muntah, yang akan menyediakan data
akurat tentang keseimbangan cairan
Rasional :
indicator langsung dari hidrasi/perfusi organ dan fungsi, memberikan
pedoman untuk penggantian cairan
2)  Batasi masukan makanan oral dan cairan untuk mencegah muntah.
Rasional :
Memberikan pasien makanan cairan sesuai kebtuhan, pemberian makanan
dan cairan rterlalu banyak dapat memperberat kerja usus
3) Berikan antiemetik sesuai indikasi
Rasional :
Pemberian cairan hangat yang adekuat dapat memenuhi kebutuhan pasien
secara adekuat
4) kaji status hidrasi
Rasional :
penurunan turgor kulit, membrane mukosa kering, urine pekat, serta
peningkatan berat jenis urine dilaporakan.

c) Diagnosa keperawatan : Diare berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diare dapat berkurang

Kriteria hasil :
- Darah pada feses berkurang
- Muntah berkurang
- Frekuensi bab berkurang
Rencana Tindakan
1) Identifikasi penyebab diare (mis.inflamamsi gastrointestinal,efek obat-
obatan,ansietas)
Rasional :
Penyebab diare dapat diketahui dan untuk tindakan selanjutnya
2) Monitor warna. Volume, frekuensi dan konsistensi tinjs
Rasional :
Untuk mengetahui
3) Monitor jumlah pengeluaran diare
Rasional :
Untuk menentukan serius atau tidaknya diare pasien
4) Berikan asupan cairan oral ( mis.larutan gula garam,oralit)
Rasional :
Agar pasien tidak lemas dan tidak kekurangan cairan
B. Pathway

Usia lanjut Infeksi usus Genetika Gaya hidup,Pola makan

Mutasi gen Peningkatan asam


lambung

Polip adenomatosa Kolitis

Lapisan epitel usus Penyumbatan

lumen

Adenokarsinoma Ulserasi

Peritonitis
Perporasi/abses
Ca.colon

Ileus

Obstipasi Perdarahan

Hematocezia/BAB

darah
Tidak bias BAB/flatus

Penurunan HB

Gangguan defeksi Distensi Resiko infeksi

Kolostomi Nyeri

Kerusakan integritas jaringan Resiko infeksi


Diyono, Japaries, Kumar dkk, Muttaqin (2013).

C. Diagnosa Keperawatan

D. Fokus Intervensi

No. Dx keperawatan NOC NIC


1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Pain Management:
berhubungan keperawatan 2x24 jam
dengan agen diharapkan nyeri berkurang 1. kaji nyeri secara
injuri fisik. dengan kriteria hasil: komprehensif.
1. Vital sign dalam batas 2. observasi non
normal verbal dari
2. Mampu mengontrol nyeri ketidaknyamana
3. ajarkan teknik
3. Melaporkan bahwa nyeri
relaksasi nafas
berkurang
dalam
4. monitor vital sign

5. anjurkan untuk
istiraha
6. kolaborasi medis
dalam pemberian
analgetik
2. Kerusakan Setelah dilkukan tindakan 1. anjurkan untuk
integritas keperawatan selama 2x24 jam memakai pakaian
jaringan diharapkan jaringan dan kulit longgar.
berhubungan baik, dengan kriteria hasil: 2. jaga kulit agar
dengan tetap bersih.
1. Tidak ada nekrosis
kerusakan 3. observasi luka
2. Perfusi jaringan normal
lapisan kulit.
4. ajarkan kepada
3. Menunjukan proses
keluarga tentang
penyembuhan jaringan
luka dan
5. perawatan luka
bantu mobilisasi
pasien
3. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. observasi kondisi
berhubungan keperawatan 2x24 jam di luka
dengan harapkan tidak ada infeksi, 2. monitor tanda
penurunan dengan kriteria hasil: dan gejala infeksi
pertahanan 1. Bebas dari tanda dan gejala 3. dorong pasien
primer dan infeksi untuk
sekunder. 2. Jumlah leukosit dalam meningkatkan
batas normal intake nutrisi
3. Mampu untuk mencegah 4. batasi jumlah
timbulnya infeksi pengunjung
5. kolaborasi
dengan ahli gizi
untuk diit tinggi
kalori tinggi
protein
6. kolaborasi untuk
pemberian
antibiotic

Anda mungkin juga menyukai