Anda di halaman 1dari 50

KEGAWATDARURATAN TRAUMA KHUSUS PADA ANAK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kegawatdaruratan


Dosen Pengampu : Ns. Wahyu Rima Agustin, M.Kep

Disusun Oleh :
KELOMPOK 1
Ans Efi Irawati (ST182004)
Edy Septiwibowo (ST182012)
Faisal Hidayatullah (ST182014)
Noary Ramadhany La’ade (ST182028)
Purnaning Sintya Krisna Utami (ST182035)
Ratih Dwi Rahmawati (ST182038)
Ratnawati Kusumaningsih (ST182039)
Retno Budi Cahyanti (ST182042)
Susilowati (ST182047)

PROGRAM TRANSFER PRODI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-
Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini bertujuan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kegawatdaruratan dibimbing oleh Ns. Wahyu
Rima Agustin, M.Kep dalam menempuh Pendidikan Sarjana Keperawatan.
Kami berharap setelah memahami makalah ini teman-teman dapat menambah
pengetahuan yang lebih baik, sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Kami menyadari bahwa kami masih banyak kekurangan dan juga kesalahan dalam
penulisan makalah ini. Maka dari itu, kami mengharap kritik dan saran yang membangun
demi menyempurnakan makalah ini.
Demikian makalah kami, kami mengucapkan terima kasih.

Surakarta, 16 Januari 2020


Penulis
Kelompok 1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan untuk
menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum tindakan/perawatan
selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang berguna bagi kehidupan.
Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan tepat, maka sering dimanfaatkan
untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama dan bahkan pelayanan rawat jalan bagi
penderita dan keluarga yang menginginkan pelayanan secara cepat. Oleh karena itu
diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan yang bagus dalam mengaplikasikan
asuhan keperawatan gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan
baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak
atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat
dikendalikan.
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan
gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang berkompeten di ruang
gawat darurat. Asuhan keperawatan yang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan
sosial klien baik aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak, maupun resiko
tinggi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi asuhan keperawatan gawat darurat, yaitu
: kondisi kegawatan seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien maupun jumlah klien
yang datang ke ruang gawat darurat, keterbatasan sumber daya dan waktu, adanya saling
ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi kesehatan yang bekerja di ruang gawat
darurat, keperawatan diberikan untuk semua usia dan sering dengan data dasar yang
sangat mendasar, tindakan yang diberikan harus cepat dan dengan ketepatan yang tinggi
(Maryuani, 2009).
Mengingat sangat pentingnya pengumpulan data atau informasi yang mendasar
pada kasus gawat darurat, maka setiap perawat gawat darurat harus berkompeten dalam
melakukan pengkajian gawat darurat. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat
darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal
yang akan menentukan bentuk pertolongan yang akan diberikan kepada pasien. Semakin
cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula dapat dilakukan pengkajian awal
sehingga pasien tersebut dapat segera mendapat pertolongan sehingga terhindar dari
kecacatan atau kematian.
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian
primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan
dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah
yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan
pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga
jalan nafas disertai kontrol servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan
mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi
disertai kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E: Exposure,
enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Holder, 2002).
Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam
nyawa pasien. Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas.
Tetapi dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat
(kurang dari 10 detik) difokuskan pada Airway Breathing Circulation (ABC). Karena
kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat
diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari
gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan
cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila
terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih
dari 10 menit akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian primer pada
penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien (Mancini, 2011).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kelompok kami tertarik untuk membahas
mengenai pengkajian dan asuhan keperawatan gawat darurat pada anak.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah clinical presentation trauma khusus pada anak meliputi pengkajian
primer, pengkajian sekunder dan prosedur diagnostik?
2. Bagaimanakah asuhan kegawadaruratan cedera anak spesifik pada trauma kepala,
trauma tumpul abdomen, dan trauma ekstremitas?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui clinical presentation trauma khusus pada anak meliputi pengkajian
primer, pengkajian sekunder dan prosedur diagnostik
2. Mengetahui asuhan kegawadaruratan cedera anak spesifik pada trauma kepala, trauma
tumpul abdomen, dan trauma ekstremitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Clinical Presentation Trauma Khusus Pada Anak


1. Pengkajian Awal pada Kegawatdaruratan Pediatrik
Triase merupakan proses penilaian klinis awal yang mengklasifikasikan pasien,
tergantung pada seberapa mendesak mereka perlu dirawat dan risiko kondisi pasien
memburuk (Fernandez et al., 2016). Salah satu alat pengkajian yang dapat digunakan
pada tahap pertama triase di unit gawat darurat anak adalah Pediatric Assessment
Triangle (PAT). Hasil penelitian Fernandez et al. (2016) menunjukkan bahwa PAT
dapat menjadi alat yang valid untuk mengidentifikasi pasien yang paling parah
sebagai langkah pertama dalam proses triase. Selanjutnya, PAT digunakan untuk
memulai penilaian darurt bayi dan anak-anak yang terdiri dari 3 komponen meliputi
penampilan, kerja pernapasan, dan sirkulasi ke kulit (Dieckmann, Brownstein, &
Gausche-hill, 2010). Dieckmann et al. (2010) mengatakan bahwa PAT adalah langkah
pertama dalam menjawab 3 pertanyaan kritis yaitu: Seberapa parah penyakit atau
cedera anak? Apa kelainan fisiologis yang paling mungkin? Apa urgensi untuk
perawatan?

Gambar 1. PAT dari American Academy of Pediatrics (Fuchs et al., 2016)

Dalam artikel Fuchs et al. (2016) menjelaskan komponen penilaian pasien langkah
demi langkah berikut dalam penilaian darurat pediatrik:
1. Keamanan Tempat Kejadian (Scene Safety)
Penilaian keamanan tempat pengkajian meliputi:
a. Penilaian keselamatan penyedia perawatan, pasien, pengasuh, dan / atau penonton
yang melihat kejadian.
b. Perlindungan dari kekerasan atau terhadap penyakit menular dan termasuk
pencegahan pajanan terhadap bahaya lingkungan lainnya.
2. Penilaian PAT
a. Appearance (Penampilan) dapat dibantu dengan kata "Tickles" (TICLS) meliputi:
Karakteristik Tampilan Normal
Tone (Nada) Bergerak spontan, menolak dikaji, duduk atau berdiri
(sesuai usia).
Interactiveness Tampak waspada/terlibat dengan petugas kesehatan
(Interaktivitas) atau pengasuh, berinteraksi secara baik dengan
orang/lingkungan, meraih objek.
Consolability Berhenti menangis dengan pelukan/ pemberian rasa
(Konsolabilas) nyaman dari pemberi perawatan, memiliki respons
yang berbeda terhadap pengasuh dengan pemeriksa.
Look/gaze (Lihat/tatap) Membuat kontak dengan tenaga kesehatan, melacak
secara visual (tracks visually).
Speech/cry (Berbicara/ Berbicara sesuai usia
menangis)

b. Work of Breathing (Kerja Napas) meliputi:


Karakteristik Tampilan Abnormal
Bunyi saluran Mendengkur, suara teredam/serak, stridor, mendengus,
napas abnormal mengi.
Posisi abnormal Posisi mengendus, tripoding, lebih suka postur duduk.

Gambar 2. Posisi Tripoding

Retraksi Supraklavikula, intercostal, atau substernal, head bobbing


(bayi).

Gambar 3. Head Bobbing Gambar 4. Retraksi


substernal (a), intercostal
(b), subcostal (c), dan
sternal (d)
Flaring Nares (lubang eksternal rongga hidung) yang terbakar
terlihat saat inspirasi.

c. Circulation to Skin (Sirkulasi ke Kulit) meliputi:

Karakteristik Tampilan Abnormal


Pallor (pucat) Kulit putih/pucat atau selaput lendir.
Mottling Perubahan warna kulit tidak merata karena
vasokonstriksi.
Sianosis Perubahan warna kebiruan pada kulit/selaput lendir.

Seorang anak dengan temuan PAT yang abnormal dapat mengindikasikan


bahwa anak membutuhkan evaluasi dan manajemen yang cepat seperti pasien apnea
dan tidak terak teraba nadi membutuhkan resusitasi kardiopulmoner untuk intervensi
segera.
3. Penilaian Primer
Penilaian primer menggunakan pendekatan ABCDE (Airway, Breathing,
Circulaton, Disability, Exposure) dan penilaian atas tanda-tanda vital pasien
(termasuk saturasi oksigen oleh pulsa oksimetri). Berikut penjelasan dari masing-
masing komponen.
a. Airway
- Evaluasi jalan napas, patensi jalan napas, dan posisi jalan napas yang menjaga
aliran udara yang baik.
- Pertahankan posisi leher netral.

Gambar 6, Manajemen airway


- Jika terdapat sekresi, lakukan pengisapan jalan napas.
- Lakukan jaw thrust pada pasien trauma untuk membuka jalan napas. Atau
buka jalan napas dengan teknik head tilt chin lift.
Gambar 7. Head Tilt Chin Lift

Gambar 8. Jaw Trhrust


- Jika tidak dapat membuka jalan napas, pertimbangkan obstruksi dan lakukan
finger sweeps untuk menyingkirkan obstruksi.
- Tentukan apakah jalan napas dapat dipertahankan.
(Kyle & Carman, 2017; Darr, 2018)
b. Breathing
- Look : Lihat pergerakan dinding dada anak.
- Listen : Dengarkan adanya aliran udara pernapasan.
- Feel : Rasakan adanya udara yang keluar dari dalam mulut atau hidung
anak.
(Kyle & Carman, 2017)
c. Circulaton
Lihat adanya tanda sirkulasi meliputi, responsivitas, batuk (coughing), dan
pernapasan normal. Evaluasi detak jantung melalui auskultasi langsung atau
palpasi denyut sentral dan denyut nadi. Pada bayi muda periksa nadi di arteri
brakialis, sedangkan pada anak dan remaja, evaluasi nadi karotis. Lakukan
penilaian nadi tidak lebih dari 10 detik. Penilaian lain yang perlu dilakukan
adalah nilai perfusi, warna kulit, dan suhu, tekanan darah, irama jantung, dan
tingkat kesadaran (Kyle & Carman, 2017).
Gambar 9. Pemeriksaan nadi brakialis pada bayi
d. Disability
Untuk kesadaran (disability) dapat dievaluasi menggunakan AVPU skala yaitu:
- Alert (waspada)
- responds to Verbal stimuli (merespons secara verbal rangsangan)
- responds to Painful stimuli (merespons rangsangan yang menyakitkan)
- Unresponsive (tidak responsif)
Pada disability juga dilakukan penilaian pupil sebagai berikut:
Ukuran Reaksi: U Ukuran skala
Kanan ++ ++ = Cepat pupil:
Reaksi + + = Tersendat-sendat 1 1– 8 mm
Pupil Ukuran - = Tidak ada
Kiri Reaksi T = Mata menutup
karena bengkak
Sumber: Wong (2004)
Lebih lanjut, tingkat kesadaran dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
skor. Berikut bagian dari Skala Koma Glasgow Pediatrik:
Secara spontan 4
Mata Terhadap bicara 3
membuka Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Mematuhi perintah 6 R Respons yang biasa di catat
Respons Melokalisir nyeri 5 adalah respons terbaik lengan
motorik Fleksi menarik 4 atau respons yang sesuai
yang Fleksi abnormal 3 dengan usia
terbaik Ekstensi 2
Tidak ada 1
< 2 tahun > 2 tahun
Respons Tersenyum, mendengar, mengikuti 5 5- 5- Orientasi
terbaik
Menangis, tenang 4 4- 4- Konfusi
terhadap
Menangis persisten yang tidak tepat 3 3- 3- Kata-kata tidak tepat
stimulus
Agistasi, gelisah 2 2- 2-Kata-kata tidak jelas
auditori
dan/visual Tidak ada respons 1 1- 1- Tidak ada
T- T-ETT atau trakeostomi
Total skala koma
Sumber: Wong (2004)
e. Exposure
Eksposur termasuk mengekspos dan memeriksa anak untuk tanda-tanda lain yang
mengindikasikan adanya trauma atau penyakit, berikan perhatian khusus pada
anak di bagian tubuh meliputi: wajah, tubuh, dan kulit, saat pemeriksaan
berlangsung tetap jaga anak agar terhindar dari hipotermia.
Kelainan yang mengancam jiwa hasil temuan penilaian primer harus di rawat secara
real-time. Ketika penilaian primer selesai dan setelah masalah yang mengancam jiwa
telah diatasi, penyedia tenaga kesehatan dapat melanjutkan ke penilaian sekunder.
4. Penilaian Sekunder
Penilaian sekunder terdiri dari riwayat terfokus dan pemeriksaan fisik untuk penilaian
ulang status fisiologis.
a. Riwayat terfokus
Riwayat terfokus dikaji dengan SAMPLE yaitu:
- Signs and symptoms (tanda dan gejala)
- Allergies (alergi)
- Medications (obat-obatan)
- Past history (riwayat masa lalu)
- Lastmeal or liquids consumed (makanan terakhir atau cairan yang dikonsumsi)
- Events leading to presentation )
b. Pemeriksaan fisik head-to-toe sesuai dengan penyakit atau cedera, yang
dirancang untuk mendeteksi cedera atau penyakit yang tidak diidentifikasi oleh
penilaian primer. Kompleksitas dan ketelitian pemeriksaan terfokus didasarkan
pada konteks penyakit atau cedera.
Pemeriksaan head to toe pada pasien trauma dengan mekanisme cidera yang
signifikan maka pemeriksaan fisik pasien harus tidak lebih dari 2 – 3 menit.
Berikut pemeriksaan fisik head to toe pada kasus tersebut (U.S. Department of
Healt & Human Services, 2017):
1) Leher – Periksa adakah titik nyeri atau deformitas tulang belakang leher.
Kelembutan atau kelainan bentuk apa pun harus menjadi indikasi
kemungkinan cidera tulang belakang. Periksa apakah pasien bernafas lega,
periksa deviasi trakea.
2) Kepala – Periksa kulit kepala apakah ada luka, memar, bengkak, dan tanda-
tanda cidera lainnya. Periksa tengkorak untuk mencari kelainan bentuk,
depresi, dan tanda-tanda cidera lainnya. Periksa kelopak mata/mata untuk
benda yang tertusuk atau cidera lainnya. Tentukan ukuran pupil, persamaan,
dan reaksi terhadap cahaya. Perhatikan warna bagian dalam permukaan
bagian dalam kelopak mata. Temukan adanya darah, cairan bening, atau
cairan berdarah di hidung dan telinga. Periksa mulut untuk mencari
penghalang jalan napas, darah, dan bau aneh.
3) Dada – Periksa dada apakah ada luka, memar, penetrasi, dan benda yang
tertusuk. Periksa fraktur. Perhatikan gerakan ekspansi dada apakah sama atau
berbeda.
4) Perut – Periksa perut untuk melihat memar, penetrasi, dan benda yang
tertusuk. Rasakan perut lembut atau tidak. Tekan dengan lembut di perut
dengan sisi telapak jari, perhatikan area yang kaku, bengkak, atau nyeri. Catat
apakah rasa sakitnya ada di satu titik atau menyeluruh. Periksa kuadran dan
dokumentasikan masalah apa pun di kuadran tertentu.
5) Punggung bawah – Rasakan kelemahan titik, kelainan bentuk, dan tanda-tanda
cedera lainnya.
6) Pelvis – Rasakan panggul apakah terdapat cedera atau kemungkinan patah
tulang. Setelah memeriksa punggung bawah, geser tangan anda ke bagian
lateral panggul. Tekan masuk dan turun pada saat yang sama memperhatikan
adanya rasa sakit dan/atau kelainan bentuk.
7) Genitalia – Temukan adanya basah yang disebabkan oleh inkontinensia atau
perdarahan atau benda yang tertusuk. Pada pasien pria periksa priapismus
(ereksi persisten penis). Ini merupakan indikasi penting dari cedera tulang
belakang.
8) Ekstremitas Bawah - Periksa adanya kelainan bentuk, pembengkakan,
perdarahan, perubahan warna, tonjolan tulang, dan fraktur yang jelas. Periksa
denyut nadi distal. Periksa kaki untuk mengetahui fungsi dan sensasi motorik.
9) Ekstremitas Atas - Periksa adanya kelainan bentuk, pembengkakan,
perdarahan, perubahan warna, tonjolan tulang, dan fraktur yang jelas. Periksa
denyut nadi radial (pergelangan tangan). Pada anak-anak periksa waktu
pengisian ulang kapiler. Periksa fungsi dan kekuatan motor.
5. Penilaian ulang
Penilaian ulang berfungsi untuk mengevaluasi respons terhadap pengobatan dan
untuk melacak perkembangan masalah fisiologis dan anatomi yang diidentifikasi.
Penilaian ulang ini dilakukan secara real time sesuai kebutuhan berdasarkan kondisi
klinis anak melalui semua fase penilaian. Masalah baru juga dapat diidentifikasi pada
penilaian ulang. Data dari penilaian ulang akan memandu pengobatan yang sedang
berlangsung.
6. Penilaian diagnostik (tersier)
Penilaian diagnostik adalah penilaian dengan menggunakan laboratorium dan
prosedur tambahan lainnya (misalnya, radiologis, hemodinamik invasif) misalnya
penilaian glukosa secara cepat. Tes diagnostik dapat membantu mengonfirmasi
penilaian fisik untuk keadaan fisiologis anak, seperti adanya asidosis pernapasan
yang konsisten dengan kegagalan pernapasan dan dapat digunakan untuk memandu
intervensi pengobatan. Ketika teknologi berkembang, penilaian diagnostik di tempat
kejadian atau tempat perawatan mungkin menjadi lebih mudah diakses dan berguna
dalam pengaturan resusitasi.
7. Pengkajian Nyeri
a. Skala Peringkat Nyeri Wajah (Wong-Baker Faces Scale)

0 1 2 3 4 5
Gambar 8. Skala Peringkat Nyeri Wajah
Sumber: The Pediatric Triage Working Group of the Western Cape Government
(2012)

Keterangan:
1) Wajah 0 sangat senang karena tidak ada nyeri (gembira)
2) Wajah 1 nyeri yang sangat sedikit (sedikit tersenyum)
3) Wajah 2 nyeri yang sedikit lebih banyak (netral)
4) Wajah 3 nyeri lebih banyak (sedikit cemberut)
5) Wajah 4 sangat nyeri (cemberut)
6) Wajah 5 nyeri sebanyak yang bisa ditoleransi (menangis)
b. FLACC
Alat pengkajian nyeri FLACC adalah skala interval yang mencakup lima kategori
perilaku: ekspresi muka (Face), gerakan kaki (Legs), aktivitas (Activity),
menangis (Cry), dan kemampuan dihibur (Consability). Alat ini mengukur nyeri
dengan mengobservasi perilaku nyeri yaitu pada rentang skor dari 0-2, dan
setelah dijumlahkan maka total skor antara 0 (tidak ada perilaku nyeri) sampai 10
(perilaku paling nyeri).

Tabel 1. Skala Nyeri Perilaku FLACC


Face 0 1 2
Tidak ada ekspresi Kadangkala meringis atau Sering mengerutkan dahi
yang khusus atau mengerutkan dahi, secara terus menerus,
senyum menarik diri mengatupkan rahang,
dagu bergetar
Legs 0 1 2
Posisi normal atau Tidak tenang, gelisah, tegangMenendang, atau menarik
rileks kaki
Activity 0 1 2
Berbaring tenang, Menggeliat-geliat, bolak Melengkung, kaku, atau
posisi normal, balik berpindah, tegang menyentak
bergerak dengan
mudah
Cry 0 1 2
Tidak menangis Merintih atau merengek, Menangis terus menerus,
(terjaga atau tidur) kadangkala mengeluh berteriak atau terisak-
isak, sering mengeluh
Consola- 0 1 2
bility Senang, rileks Ditenangkan dengan Sulit untuk dihibur atau
sentuhan sesekali, sulit untuk nyaman
pelukan atau berbicara,
dapat dialihkan
Sumber: The Pediatric Triage Working Group of the Western Cape Government
(2012)
8. Triase
Triase berasal dari bagasa Prancis "trier", secara harfiah berarti: "untuk
menyortir". Tujuannya adalah untuk membawa "kebaikan terbesar ke sejumlah besar
orang". Hal ini dicapai dengan memprioritaskan sumber daya yang terbatas untuk
mencapai manfaat sebesar mungkin. Pasien diurutkan dengan skala triase ilmiah
dalam urutan urgensi dengan hasil akhirnya adalah pasien dengan kebutuhan terbesar
akan dibantu terlebih dahulu (The Pediatric Triage Working Group of the Western
Cape Government, 2012). Didalam South African Triage Scale (SATS) terdapat 5
penanda warna dengan 5 langkah identifikasi meliputi:
1. Langkah 1: Cari rambu-rambu darurat dan tanyakan keluhan yang muncul.
Kriteria keadaan darurat : jalan napas terhambat - tidak bernafas, kejang - saat ini,
terbakar- wajah/inhalasi, hipoglikemia - glukosa kurang dari 3 mmol / L, dan
gagal jantung.
2. Langkah 2: Cari tanda yang sangat mendesak atau mendesak
3. Langkah 3: Ukur tanda-tanda vital dan hitung TEWS
4. Langkah 4: Periksa investigasi tambahan utama
5. Langkah 5: Tetapkan tingkat prioritas triase akhir

Tabel 2. Level prioritas SATS dan waktu target

Prioritas WarnaTarget Waktu Manajemen


Merah S Segera Segera bawa ke ruang resusitasi untuk
manajemen darurat
Oranye <1 0 menit L Lihat keluhan mana yang sangat mendesak
Kuning <1 jam Lihat keluhan yang mendesak
Hijau <4 jam Rawat ke area yang ditunjuk untuk kasus-kasus
yang tidak mendesak
Biru <2 jam Rawat ke dokter untuk sertifikasi

Pada penilaian SATS terdapat penilaian Triage Early Warning Score (TEWS). TEWS
adalah skor komposit yang mewakili parameter fisiologis pada triase. Terdapat
perbedaan versi sesuai usia. TEWS anak yang lebih muda adalah untuk pasien yang <
95cm atau lebih muda dari 3 tahun (Gambar 8). TEWS anak yang lebih tua adalah untuk
pasien yang 96 cm – 150 cm atau 3 tahun hingga sekitar 12 tahun (Gambar 9), dan
TEWS dewasa adalah untuk pasien yang >12 tahun atau tinggi badan >150cm (Gambar
10). Selanjutnya TEWS akan dikategorikan kedalam skor berikut:

TEWS 7 atau lebih: TEWS 5 atau 6: TEWS 3 atau 4: TEWS 0, 1, atau 2:


Emergency Very Urgent Urgent Routine
Gambar 9. TEWS Anak Muda (lebih muda dari 3 tahun)

Gambar 10. TEWS Anak usia 3 – 12 tahun

Gambar 11. TEWS dewasa untuk anak usia lebih dari 12 tahun
Selain SATS, terdapat sistem triase korban massal yang paling populer pada pupolasi
anak dalam kondisi gawat darurat. Sistem tersebut telah diuji coba dalam studi yang
bertujuan untuk membandingkan akurasi dari empat sistem triase korban massal yang
berbeda (SALT, JumpSTART, Triage Sieve, dan CareFlight) saat digunakan untuk
kondisi gawat darurat pada pasien anak berusia kurang dari 18 tahun (Heffernan et al.,
2018). Beberapa diantara metode tersebut adalah sebagai berikut.

1. Metode Triase START

Gambar 12. Metode Triase START (Simple Triage and Rapid Treatment) (Bhalla, Frey,
Rider, Nord, & Hegerhorst, 2015)
2. Metode Triase SALT

Gambar 13. A dan B adalah metode triase SALT (Sort, Assess, Lifesaving,
Interventions, Treatment, and Transportation) (Bhalla et al., 2015)
B. Cedera Anak Spesifik
1. Trauma Kepala
a. Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2011)
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (
accelerasi – decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk. Dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.
Cedera kepala(terbuka dan tertutup) adalah terdiri dari : fraktur tengkorak,
komusio, (gegar) serebri, kontusio (memar) / laserasi, dan perdarahan serebral
(subharaknoid,epidural,intraserebral,batang otak).trauma primer terjadi karena
benturan langsung atau tak langsung (akselerasi/deselerasi otak).trauma sekunder
adalah akibat dari trauma saraf (melalui akson)yang meluas,hipertensi
intracranial,hipoksia,hiperkapnea, atau hipotensi sistemik (rencana asuhan
keperawatan,Marilyn E.doengoes,mary france moorhouse,alice c.geissler edisi
ketiga penerbit buku kedokteran EGC)
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecatatan
utama usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan (kapita
selektakedokteran jilid ketiga edisi ketiga)

b. Etiologi
1) Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil
2) Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan
3) Cedera akibat kekerasan.

c. Patofisiologi
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda
tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek
yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan
ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada
kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan
batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,
hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan
fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan
otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau
hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara
luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan
otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada
seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada
batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak,
atau dua-duanya.
Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua:
1) Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acclerasi-decelerasi otak) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan.Pada cedera primer dapat terjadi:
a) Gegar kepala ringan
b) Memar otak
c) Laserasi
2) Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti:
a) Hipotensi sistemik
b) Hipoksia
c) Hiperkapnea
d) Udema otak
e) Komplikai pernapasan
f) Infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain

d. Manifestasi Klinis
1) Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2) Kebungungan
3) Iritabel
4) Pucat
5) Mual dan muntah
6) Pusing kepala
7) Terdapat hematoma
8) Kecemasan
9) Sukar untuk dibangunkan
10) Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

e. Klasifikasi Trauma Kepala


Trauma kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan
morfologi truma, yaitu :
1) Berdasarkan mekanisme adanya penetrasi pada duramater :
a) Trauma tumpul dengan kecepatan tinggi seperti pada kecelakaan lalu-lintas,
dengan kecepatan rendah, seperti akibat dipukul.
b) Trauma tembus seperti akibat tertembak
2) Berdasarkan keparahan kerja :
a) Cedera ringan dengan GCS 14 – 15
b) Cedera sedang dengan GCS 9 – 13
c) Cedera berat dengan GCS 3 – 8
3) Berdasarkan morfologi :
a) Fraktur
b) Lesi intra cranial (kapita selekta jilid ketiga edisi ketiga)
4) Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
Ringan:
a) SKG 13 – 15
b) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
c) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.

Sedang
a) SKG 9 – 12
b) Kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari
24 jam.
c) Dapat mengalami fraktur tengkorak.

Berat
a) SKG 3 – 8
b) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
c) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

f. Komplikasi
1) Hemorrhagie
2) Infeksi
3) Edema Herniasi

g. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
2. Rotgen Foto
3. CT Scan
4. MRI

h. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah
sebagai berikut:
1) Observasi 24 jam
2) Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3) Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4) Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5) Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6) Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7) Pemberian obat-obat analgetik.
8) Pembedahan bila ada indikasi.

i. Pengkajian Asuhan Keperawatan


1) Aktifitas /istrihat
2) Integritas ego
3) Makanan/cairan
4) Neurosensori
5) Nyeri/ketidaknyamanan
6) Keamanan
7) Interaksi social

j. Diagnosa dan intervensi


1. Perubahan perfusi jaringan,serebral berhubungan dengan penghentian aliran
darah oleh SOL(hemoragi,hematoma),edema serebral (respon local atau
umum pada cedera,perubahan metabolic,takar lajak obat/alcohol) penurunan
T/D sistemik/hipoksia (hipovolemi,distritmia jantung)
Hasil yang diharapkan
 Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan,kognisi,dan fungsi
motirik/sensorik
 Mendemonstrasi tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK
TINDAKAN
1. Tentukan factor-faktor yang berhubungan dengan penyebab
koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial
penigkatan TIK
2. Cata status neurologis sevara teratur dan bandingkan dengan
nilai standar
3. Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana
4. Tinggikan kepala pasie 15-45o sesuai indikasi/yang dapat
ditoleransi
5. ukur T/D
6. kolaborasi dengan pemberian therapi
2. Perubahan persepsi-sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori,
transmisi/integrasi akibat trauma / deficit neurologis)
Hasil yang diharapkan
 Mempetahankan tingkat kesdaran biasanya dan fungsi persepsi
 Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlbtan residu
 Mendemonstrasi gaya hidup untuk mengkompensasi/deficit hasil.

INTERVENSI
1. Pantau secara teratur perubahan orientasi,kemampuan
berbicara,alam perasaan,/afektif,sensorik,dan proses berpikir
2. Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan,panas/dingin
3. Observasi respon prilaku
4. Hilangkan suara bising/stimulus yang berlebihan sesuai
kebutuhan
5. Bicara dengan suara yng lembut dan pelan
6. Berikan stimulus yang bermanfaat : verbal ( berbincang denga
pasien)penciuman,taktil (respon sentuhan)dan pendengaran
(TV.tape)
7. gunakan penerangan siang atau malam hari
8. kolaborasi dengan tim medic,atau fisioterapi
3. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiolgis
Deficit/perubahan memori jarak jauh,saat ini,yang baru terjadi
Hasil yang diharapkan
 Melakukan orientasi mental dan realitas biasanya
 Mengenali perubahan berpikir
 Berpartisipasi dalam aturan terpeutik.
INTERVENSI
1. Kaji rentang perhatian,kebungungan dan catat tingkat
ansietas pasien
2. Pastikan dengan rang terdekat untuk membandingkan
kepribadian/tingkah laku pasien sebelum mengalami
trauma dengan respon pasien sekarang
3. Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang pentingnya
pemeriksaan neurologis secara berulang dan teratur
4. Instruksikan untuk melakukan tehnik relaksasi.
5. Lakukan tindakan untuk mengontrol emosi
6. Beritahu kepada pasien,keluarga/orang terdekat pasien
bahwa funsi intelektual.tingkah laku,dan fungsi emosi
akan meningkat secara perlahan namun beberapa
pengaruhnya mungkin tetap ada selama beberapa bulan
atau bahkan menetap atau bahkan bias permanen.
7. Kolaborasi dengan tim medis tentang pelatihan kognitif
atau program rehabilitatif
4. Keterbatasan batasan mobilisasi fisik berhubungna dengan kerusakan kognitif
atau persepsi Penurunan kekutan/tahanan Terapi pembatasan/kewaspadaaan
keamanan.
Hasil yang diharapkan
 Mempertahankan posisi fungsi optimal
 Menigkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit
INTERVENSI
1. Periksa kembali keadaan dan kemampuan secara
fungsional pada kerusakan yang terjadi
2. Letakkan pasie pada posisi tertentu untuk menghindari
kerusakan Karena tekanan
3. Bantu pasien untuk melakukan latiahn rentang gerak
4. Berikan perawatan kulit dengan cermat,masase dengan
pelmbab dang anti linen/pakaian yang basah dan
pertahankan linen tersebut tetap bersih
5. Instruksikan pasien untuk mengikuti program latuahn
penggunaan alat mobilisasi.
5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma,kulit
rusak,prosedur invasive
Hasil yang diharapkan
 Mempertahankan normotermia,bebas tanda-tanda infeksi
 Mencapai penyembuhan luka tepat pada waktunya
INTERVENSI
1. Berikan perawatan aseptic dan antiseptic
2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan catat
karakteristik, dan adanya inflamasi
3. Pantau suhu secara teratur.catat adanya
demam,mengigil,diaphoresis,da perubahan fungsi mental
4. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi jenis lain
5. Kolaborasidengan tim medis dengan pemberian antibiotik
6. Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan
kemampuan untuk mencerna (penurunan tingkat kesdaran),kelemahan otot yang
diperlukan untuk mengunyah
Hasil yang diharapkan
 Mendemonstrasikan pemeliharaan/kemajuan peningkatan BB sesuai tujuan
 Tidak mengalami malnutrisi
INTERVENSI
1. Kaji kemampuan pasien unntuk menguyah,dan menelan.
2. Timbang BB sesuai indikasi
3. Jaga keamanan saat memberikan makan kepada pasien.
4. Tingkatkan kenyamanan,lingkungan yang santai termasuk
sosialisasi saat makan.
5. Kolaborasi dengan ahli gizi dengan pemberian nutrisi
2. Trauma Tumpul Abdomen
a. Pengertian
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional
(Dorland, 2010). Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera
fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2009).
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa
kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor
implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak
disengaja.

b. Etiologi
Menurut smaltzer (2002), penyebab trauma abdomen dapat terjadi karena
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari
ketinggian. Penyebab trauma yang lainnya sebagai berikut:
1) Penyebab trauma penetrasi
a) Luka akibat terkena tembakan
b) Luka akibat tikaman benda tajam
c) Luka akibat tusukan
2) Penyebab trauma non-penetrasi
a) Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
b) Hancur (tertabrak mobil)
c) Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
d) Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga

c. Patofisiologi
Menurut Fadhilakmal (2013), Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan
pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalulintas, penganiayaan, kecelakaan
olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil
dari interaksi antara faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan
jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan
obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh.
Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari
jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga
karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma
juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas
adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya.
Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya
walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada
kedua keadaan tersebut.. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada
seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan.
Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah
posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi
cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme:
1) Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh
gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang
letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ
padat maupun organ berongga.
2) Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan
vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
3) Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat
menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.

d. Manifestasi Klinis
Menurut Effendi, (2005) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu :
1) Nyeri
Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat
timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan
nyeri lepas.
2) Darah dan cairan
Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang
disebabkan oleh iritasi.
3) Cairan atau udara dibawah diafragma
4) Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada
saat pasien dalam posisi rekumben.
5) Mual dan muntah
6) Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah)
Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock
hemoragi.

e. Klasifikasi Trauma Tumpul


Menurut Fadhilakmal (2013), Trauma pada dinding abdomen terdiri dari :
1) Kontusio dinding abdomen
Disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen tidak
terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau
penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai
tumor.
2) Laserasi
Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga
abdomen harus di eksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen
yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan
metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.
Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner (2002)
terdiri dari:
a) Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera
pada dinding abdomen.
b) Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli
bedah.
c) Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri
diafragma, atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi

f. Pemeriksaan Penunjang
1) FotoThoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorax.
2) DR
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan
terus menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit.
Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi
menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak kemungkinan ruptura
lienalis. Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya
trauma pankreas atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase
menunjukkan kemungkinan trauma pada hepar.
3) Plain Abdomen Foto Tegak
Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas
retroperineal dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran
usus.
4) Pemeriksaan Urin Rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri.
Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran
urogenital.
5) VP (Intravenous Pyelogram)
Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan
trauma pada ginjal.
6) Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga
perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat
diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard)
Indikasi untuk melakukan DPL sbb :
a) Nyeri Abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
b) Trauma pada bagian bawah dari dada
c) Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
d) Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol,
cedera otak)
e) Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang
belakang,
Kontra indikasi relatif melakukan DPL sbb :
a) Pernah operasi abdominal.
b) Wanita hamil
c) Operator tidak berpengalaman.
d) Bila hasilnya tidak akan merubah penata-laksanaan.
e) Ultrasonografi dan CT-Scan Bereuna sebagai pemeriksaan tambahan
pada penderita yang belum dioperasi dan disangsikan adanya trauma
pada hepar dan retroperitoneum.

g. Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer, (2002) penatalaksanaan adalah :
1) Abdominal paracentesis menentukan adanya perdarahan dalam rongga
peritonium, merupakan indikasi untuk laparotomi
2) Pemasangan NGT memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada trauma
abdomen
3) Pemberian antibiotik mencegah infeksi
4) Pemberian antibiotika IV pada penderita trauma tembus atau pada trauma
tumpul bila ada persangkaan perlukaan intestinal.
5) Penderita dengan trauma tumpul yang terkesan adanya perdarahan hebat
yang meragukan kestabilan sirkulasi atau ada tanda-tanda perlukaan
abdomen lainnya memerlukan pembedahan
6) Prioritas utama adalah menghentikan perdarahan yang berlangsung.
Gumpalan kassa dapat menghentikan perdarahan yang berasal dari daerah
tertentu, tetapi yang lebih penting adalah menemukan sumber perdarahan itu
sendiri
7) Kontaminasi lebih lanjut oleh isi usus harus dicegah dengan mengisolasikan
bagian usus yang terperforasi tadi dengan mengklem segera mungkin setelah
perdarahan teratasi

h. Penanganan Awal
1) Trauma penetrasi (trauma tajam)
a) Bila terjadi luka tusuk ( pisau atau benda tajam lainnya), maka tusukan
tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
b) Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan kain kassa
pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga tidak
memperparah luka.
c) Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak
dianjurkan dimasukkan kembali ke dalam tubuh, kemudian organ yang
keluar dari dalam tersebut dibalut dengan kain bersih atau bila ada dengan
verban steril.
d) Immobilisasi pasien
e) Tidak dianjurkan memberi makan dan minum
f) Apabila ada lika terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
g) Sesegera mungkin bawa pasien tersebut ke rumah sakit.
2) Trauma penetrasi
a) Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli
bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk
menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka
masuk dan luka keluaryang berdekatan.
b) Skrining pemeriksaan rontgen.
c) Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
hemo atau pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara
intraperitonium. Serta rontgen abdomen sambil tidur (supine) untuk
menentukan jalan peluru atau adanya udara retroperitoneum.
d) IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning dilakukan untuk
mengetahui jenis cidera yang ada.
e) Uretrografi dilakukan untuk mengetahui adanya rupture uretra.
f) Sistografi ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya cedera pada
kandung kencing, contohnya pada fraktur pelvis.
3) Trauma non-penetrasi
a) Penanganan pada trauma benda tumpul di rumah sakit.
b) Pengambilan contoh darah dan urin
c) Darah diambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus
seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase dan
sebagainya.
d) Pemeriksaan rontgen
e) Pemeriksaan rontgen servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis
adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi
trauma, mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di
retroperitonium atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya
memerlukan laparatomi segera.
f) Studi kontras Urologi dan Gastrointestinal
g) Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon
ascendens atau decendens dan dubur.

i. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Pengkajian primer
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam
nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian.
Paramedik mungkin harus melihat. Apabila sudah ditemukan luka
tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani,
penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi, jika korban
tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas.
a) Airway, dengan Kontrol Tulang Belakang, membuka jalan napas
menggunakan teknik ’head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala
dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing yang dapat
mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah
atau benda asing lainnya.
b) Breathing, dengan ventilasi yang adekuat, memeriksa pernapasan
dengan menggunakan cara ’lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10
detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak, selanjutnya
lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan
adekuat tidaknya pernapasan).
c) Circulation, dengan kontrol perdarahan hebat, jika pernapasan
korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, makabantuan napas dapat
dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi
jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam
RJP adalah 15 : 2 (15 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas.
2. Pengkajian skunder
a) pengkajian fisik
1) Inspeksi
- Harus teliti, meteorismus, darm contour, darm steifung, adanya
tumor, dilatasi vena, benjolan di tempat terjadi hernia, dll
- Sikap penderita pada peritonitis : fleksi artic. coxae dan genue
sehingga melemaskan dinding perut dan rasa sakit
2) Palpasi
- Diperhatikan adanya distensi perut, defans muskuler, sakit
tekan titik McBurney, iliopsoas sign, obturator sign, rovsing
sign, rebound tenderness.
- Rectal toucher : untuk menduga kausa ileus mekanik,
invaginasi, tumor, appendikuler infiltrate.
- pemeriksaan vaginal
3) Perkusi
- Penting untuk menilai adanya massa atau cairan intra
abdominal
4) Auskultasi
- Harus sabar dan teliti
- Borboryghmi, metalic sound pada ileus mekanik
- Silent abdomen pada peritonitis / ileus paralitik.
b) Pengkajian pada trauma abdomen
1) Trauma Tembus abdomen
- Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan
tusukan/tembakan ; kekuatan tumpul (pukulan).
- Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera
tusuk, memar, dan tempat keluarnya peluru.
- Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar
sehingga perubahan dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah
tanda awal keterlibatan intraperitoneal ; jika ada tanda iritasi
peritonium, biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan
kedalam rongga abdomen).
- Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan
melindungi, nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas,
penurunan bising usus, hipotensi dan syok.
- Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen,
observasi cedera yang berkaitan.
- Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien.
2) Trauma tumpul abdomen
- Metode cedera.
- Waktu awitan gejala.
- Lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering
menderita ruptur limpa atau hati). Sabuk keselamatan
digunakan/tidak, tipe restrain yang digunakan.
- Waktu makan atau minum terakhir.
- Kecenderungan perdarahan.
- Penyakit danmedikasi terbaru.
- Riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus.
- Alergi, lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh
pasienuntuk mendeteksi masalah yang mengancam kehidupan.

b. Diagnosa
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan
2. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka
penetrasi abdomen.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak
adekuatnya pertahanan tubuh
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik
5. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang
kurang.
c. Intervensi

Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
Kekurangan Setelah 1. Kaji tanda-tanda vital.
volume dilakukan
cairan b/d tindakan 2. Pantau cairan parenteral dengan
perdarahan keperawatan elektrolit, antibiotik dan vitamin
1x24 jam,
volume cairan
tidak
mengalami
kekurangan. 3. Kaji tetesan infus.

KH: 4. Kolaborasi : Berikan cairan parenteral


* Intake dan sesuai indikasi.
output 5. Cairan parenteral ( IV line ) sesuai
seimbang dengan umur.
* Turgor kulit 6. Pemberian tranfusi darah.
baik
* Perdarahan (-)

Nyeri b/d Setelah 1. Kaji karakteristik nyeri.


adanya dilakukan 2. Beri posisi semi fowler.
trauma tindakan 3. Anjurkan tehnik manajemen nyeri
abdomen atau keperawatan seperti distraksi
luka penetrasi 1x24 jam, 4. Managemant lingkungan yang nyaman.
abdomen. Nyeri klien 5. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai
teratasi. indikasi.

KH:
Skala nyeri
0
Ekspresi
tenang.

Resiko Setelah 1. Kaji tanda-tanda infeksi.


infeksi b/d dilakukan
tindakan tindakan 2. Kaji keadaan luka.
pembedahan, keperawatan
tidak 1x24 jam, 3. Kaji tanda-tanda vital.
adekuatnya infeksi tidak
pertahanan terjadi. 4. Lakukan cuci tangan sebelum kntak
tubuh. dengan pasien.
KH: 5. Lakukan pencukuran pada area operasi
* Tanda-tanda (perut kanan bawah
infeksi (-) 6. Perawatan luka dengan prinsip
* Leukosit sterilisasi.
5000-10.000 7. Kolaborasi pemberian antibiotik
mm3
Gangguan Setelah 1. Kaji kemampuan pasien untuk
mobilitas dilakukan bergerak.
fisik tindakan 2. Dekatkan peralatan yang dibutuhkan
berhubungan keperawatan pasien.
dengan 1x24 3. Berikan latihan gerak aktif pasif.
kelemahan jam, diharapka 4. Bantu kebutuhan pasien.
fisik n dapat 5. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi.
bergerak
bebas.

KH:
Mempertaha
nkan mobilitas
optimal
Gangguan Setelah 1. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat
nutrisi kurang dilakukan sebelum makan
dari tindakan 2. Awasi pemasukan diet/jumlah kalori,
kebutuhan keperawatan tawarkan makan sedikit tapi sering dan
tubuh b/d 1x24 jam, tawarkan pagi paling sering.
intake yang nutrisi klien 3. Pertahankan hygiene mulut yang baik
kurang. terpenuhi. sebelum makan dan sesudah makan .
KH: 4. Anjurkan makan pada posisi duduk
Nafsu makan tegak.
meningkat 5. Berikan diit tinggi kalori, rendah lemak
BB
Meningkat
Klien tidak
lemah

3. Trauma Ekstremitas
a. Pengertin
Trauma ekstremitas adalah trauma yang mengakibatkan cedera pada
ekstremitas. Trauma pada satu bagian system musculoskeletal atau trauma
ekstremitas dapat menyebabkan disfungsi struktur di sekitarnya dan struktur yang
dilindungi atau disangganya serta kerusakan pada otot, pembuluh darah dan saraf.
Trauma otot dan tulang dapat terjadi tanpa atau disertai trauma system lain.
Bila hanya ekstremitas yang mengalami trauma biasanya tidak dianggap sebagai
prioritas pertama. Mekanisme cedera/trauma antara lain tabrakan/kecelakaan
kendaraan bermotor, penyerangan, jatuh dari ketinggian, cedera waktu olah raga,
cedera waktu bersenang-senang atau waktu melakukan pekerjaan rumah tangga.

b. Etiologi
1. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang
dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokas
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur
klavikula.

c. Klasifikasi Trauma Ekstremitas


1. Fraktur
a. Fraktur Tertutup
Fraktur tertutup adalah fraktur tanpa cedera jaringan lunak terbuka.
Prognosis umumnya lebih baik untuk fraktur tertutup karena resiko infeksi
terbatas. Fraktur tertutup juga diklasifikasikan berdasarkan tipenya :
compression impacted, green stick, oblique, spiral, transversal, komunitif.
b. Fakur Terbuka
Adalah fraktur dengan cedera jaringan lunak terbuka. Fraktur ini
kadang sulit ditentukan bila luka pada bagian proksiml fraktur benar-benar
terkain dengan fraktur tersebut. Pedoman atau prinsip yang berdasarkan
praktik menganggap luka sebagai fraktur terbuka sampai dapat dibuktikan
sebaliknya.
Fraktur terbuka ditangani sebagai kedaruratan ortopedik karena resiko
infeksi dan kemungkinan komplikasi. Fraktur terbuka dapat diklasifikasikan
berdasarkan tingkat keparahannya.
Klasifikasi fraktur terbuka
Derajat I Luka kecil, panjang < 1 cm yang tertusuk dari bawah
Derajat II Luka melingkar penuh sampai panjang 5 cm dengan
sedikit atau tanpa kontaminasi dan tidak ada
kerusakan jaringan lunak berlebihan atau kepingan
periosteal
Derajat III Luka > 5 cm dan dikaitkan dengan kontaminasi atau
cedera jaringan lunak signifikan (kehilangan jaringan,
avulse, cedera remuk) dan sering mencakup fraktur
segmental; dapat ditemukan kepingan jaringan lunak
tulang, cedera vaskuler mayor atau kepingan
periosteal.
c. Fraktur Ekstremitas Bawah
 Fraktur pelvic
Fraktur ini dapat mengakibatkanhipovolemi akibat kemungkinan kehilangan
darah sampai 4 L yang dapat terjadi karena robekan arteri, kerusakan
pembuluh vena pleksus, dan permukaan kanselosa tulang yang fraktur.
Gejala :
 Deformitas eksternal ringan mungkin terjadi, sebagai akibat
jaringan lunak yang bertumpuk banyak
 Darah dapat terlihat di meatus dan pada pemeriksaan rectal
(cedera rectal, uretra dan kandung kemih adalah komplikasi
fraktur pelvis)
 Ekimosis perineal atau hematoma skrotum mungkin terlihat
 Rotasi abnormal pada panggul atau kaki mungkin ada
 Perdarahan eksternal mungkin teramati pada fraktur terbuka
 Sirkulasi distal mungkin berpotensi terganggu
 Pasien merasa nyeri ketika tekanan diberikan pada Krista
iliaka anteriorsuperior dan simpisis pubis
 Fraktur femoral
Fraktur femur bilateral dapat menunjukkan cedera mengancam jiwa
sekumder akibat hipovolemi (kehilangan darah pada setiap femur
mungkin sebanyak 2 L)
 Fraktur lutut
Fraktur patella umumnya disertai dislokasi akibat transmisi energy
tinggi, dan fraktur ini dapat dikaitkan dengan cedera pembuluh popliteal
 Fraktur tibia dan fibula
Fraktur tibia dan fibula dapat terjadi bersamaan atau sendiri-sendiri dan
umunya akibat benturan langsung. Tibia umumya fraktur saat jatuh
karena sifatnya yang menyokong beban berat tubuh.
Gejala :
 Fraktur tibia dapat dikaitkan dengan memburuknya sindrom
kompartemen. Evaluasi nyeri progresif yang tampak hebat
pada cedera ringan menetap, nyeri peregangan pasif pada otot
yang terkena, tegangan pada area yang terkena, penurunan
sensasi, dan kelemahan tungkai bawah.
 Pasien dengan fraktur tibia dan fibula yang stabil mungkin
dapat menyokong berat tubuh pada ekstremitas. Pemeriksaan
posterior tungkai bawah dapat menunjukkan gejala yang
konsisten dengan fraktur.
d. Fraktur Ekstremitas Atas
 Fraktur scapula
Curigai adanya fraktur scapula dengan cedera jaringan lunak yang
signifikan pada bahu dan saat mekanisme cedera menunjukkan tingkat
transmisi energy kinetic tinggi. Fraktur scapula menuntut evaluasi yang
cermat untuk kerusakan pada struktur disekitarnya karena sering
dikaitkan dengan dislokasi bahu, kontusio paru, fraktur iga dengan
potensi pneumotoraks, fraktur kompresi vertebra dan fraktur ekstremitas
atas.
Gejala :
 Pasien sering menunjukkan keterbatasan rentang gerak
ekstremitas ipsilateral.
 Fraktur klavikula
Fraktur klavikula sering menyebabkan kerusakan pada struktur
dibawahnya, seperti paru (pneumotoraks, hemotoraks), dan vena
subklavia.
Gejala :
 Pasien sering menunjukkan bahu yang tidak stabil karena
kehilangan penyokong pada gelang bahu
 Evaluasi status neuro vascular ekstremitas karena fraktur ini
sering dikaitkan dengan gangguan neurovascular
 Fraktur ini dapat dikaitkan dengan pneumotoraks,
hematotoraks, atau kompresi pleksus brakialis
 Fraktur humerus
fraktur humerus dapat dikaitkan dengan kerusakan arteri brakialis dan
kerusakan saraf radialis, ulnaris dan saraf medialis. Oleh karena lokasi
anatomic berkas neurovascular, fraktur humerus distal yang dicurigai
harus menjalani pemeriksaan neurovascular dengan seksama dan
terdokumentasi. Benturan langsung pada prosesus olekranon dapat
mengakibatkan fraktur indirek pdaa humerus distal.
 Fraktur radius dan ulna
Gejala :
 Perhatikan fraktur dekat siku dan pergelangan yang berkaitan
dengan gangguan neurovascular; fraktur pada daerah ini
memerlukan evaluasi neurovascular dan dokumentasi yang
cermat.
 Fraktur Colle adalah salah satu dari fraktur yang paling umum
pada radius dan ulna. Fraktur ini umumnya ditandai dengan
tipe penampilan “garpu perak”, dengan pergelangan tangan
memutar keatas yang berhubungan dengan radius dan ulna.

2. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen adalah kondisi kedaruratan yang terjadi ketika
tekanan didalam kompartemen otot meningkat sampai tingkat yang
mempengaruhi sirkulasi mikrovaskular dan merusak integritas neurovascular.
Setelah beberapa jam tekanan jaringan nintersitial meningkat diatas dasar kapiler,
yang mengakibatkan iskemia saraf dan jaringan otot.
Gejala :
 Nyeri progresif dan berat yang melebihi kondisi cedera lapisan
dibawahnya, nyeri meningkat dengan gerakan pasif otot yang terkena
 Penurunan sensasi terhadap sentuhan
 Bengkak tegang, asimetris
 Parastesi
 Ekstremitas pucat
3. Dislokasi
Dislokasi merupakan cedera sendi yang serius dan jarang terjadi. Dislokasi
terjadi bila sendi lepas dan terpisah, dengan ujung-ujung tulang tidak lagi
menyatu. Bila ujung tulang hanya berubah posisi secara parsial, cedera disebut
subluksasio. Bahu, siku, jari, panggul, lutut dan pergelangan kaki merupakan
sendi-sendi yang paling sering mengalami dislokasi
Gejala :
 Nyeri hebat pada daerah sendi yang sakit
 Deformitas sendi
 Pembengkakan sendi
 Kehilangan rentang sendi
 Kebas, kehilangan sensasi dan tidak terabanya nadi pada bagian distal
cedera (dislokasi dapat mengganggu fungsi arteri dan saraf dibagian
proksimal)
4. Sprain (keseleo)
Sprain (keseleo) merupakan cedera pada sendi yang sering terjadi. Pada
keadaan tersebut, ligament dan jaringan lain rusak karena peregangan atau
puntiran yang keras. Usaha untuk menggerakkan atau menggunakan sendi
meningkatkan rasa nyeri. Lokasi yang sering mengalami sprain (keseleo) meliputi
pergelangan kaki, pergelangan tangan, atau lutut.
5. Strain (peregangan)
Sprain (keseleo) merupakan cedera pada sendi yang sering terjadi. Pada
keadaan tersebut, ligament dan jaringan lain rusak karena peregangan atau
puntiran yang keras. Usaha untuk menggerakkan atau menggunakan sendi
meningkatkan rasa nyeri. Lokasi yang sering mengalami sprain (keseleo) meliputi
pergelangan kaki, pergelangan tangan, atau lutut.
6. Vulnus (Luka)
Terdapat beberapa jenis luka terbuka :
 Abrasi : lapisan atas kulit terkelupas, dengan sedikit kehilangan darah.
Nama lain untuk abrasi adalah goresan (scrape), road rush, dan rug
burn.
 Laserasi : kulit yang terpotong dengan pinggir bergerigi. Jenis luka ini
biasanya disebabkan oleh robeknya jaringan kulit secara paksa
 Insisi : potongan dengan pinggir rata seperti potongan pisau atau teriris
kertas
 Pungsi : cedera akibat benda tajam (seperti pisau, pemecah es atau peluru).
Benda yang menembus dapat merusak organ-organ internal. Resiko
infeksi tinggi. Benda yang menyebabkan cedera tersebut dapat tetap
tertanam dalam luka.
 Avulse : potongan kulit yang robek lepas dan menggantung pada tubuh.
 Amputasi : terpotong atau robeknya bagian tubuh

d. Pemeriksaan Penunjang
1) Hemoglobin dan hematokrit
Untuk pasien fraktur pelvis, femur, atau multiple, ukur hemoglobin dan
hematokrit karena berpotensi kehilangan darah.
2) Mioglobin urine
Mioglobin urine adalah protein otot yang dilepaskan dari sel ketika sel rusak
berat, seperti pada cedera remuk atau sindrom kompartemen. Mioglobin di
ekskresikan kedalam urine dan akan mengubah urine menjadi coklat kemerahan.
3) Radiografi
Radiografi adalah alat pemeriksaan paling bermanfaat dalam mendiagnosis
fraktur. Foto anteroposterior dan lateral harus dilakukan untuk melihat
keseluruhan tulang, baik sendi proksimal maupun distal.
4) Arteriogram
Lakukan arteriogram untuk memastikan atau menyingkirkan dugaan sedera
vaskuler pada kasus penurunan atau tidak terabanya nadi.
5) CT Scan
CT scan sering kali digunakan untuk mengidentifikasi fraktur asetabulum dan
untuk mengevaluasi integritas permukaan artikulasi seperti lutut, tangan,
pergelangan tangan dan pergelangan kaki.
6) MRI
MRI mengidentifikasi kerusakan tulang, ligament, kartilago dan meniscus.

e. Penatalaksanaan
Tujuan tindakan penanggulangan cedera musculoskeletal menurut definisi orthopedic
adalah untuk mencapai rehabilitasi pasien secara maksimum dan utuh dilakukan
dengan cara medic, bedah dan modalitas lain untuk mencapai tujuan terapi. Ada 4
hal yang harus diperhatikan :
1) Recognition
Pada trauma ekstremitas perlu diketahui kelainan yang terjadi sebagai
akibat cedera tersebut, baik jaringan lunak atau tulangnya. Dengan mengenali
gejala dan tanda pada penggunaan fungsi jaringan yang terkena cedera.
Fraktur merupakan akibat suatu kekerasan yang menimbulkan kerusakan
tulang disertai jaringan lunak sekitarnya.
Dibedakan pada trauma tumpul dan trauma tajam, langsung dan tidak
langsung. Pada umumya trauma tumpul akan memberikan kememaran yang difus
pada jaringan lunak termasuk ganggguan neurovaskuler yang menentukan
vitalitas ekstremitas bagian distal dari bagian yang cedera.
2) Reduction atau reposisi
Reposisi adalah tindakan untuk mengembalikan jaringan atau fragmen
tulang pada posisi semula. Tindakan ini diperlukan guna mengembalikan kepada
bentuk semula sebaik mungkin agar fungsi dapat kembali semaksimal mungkin.
3) ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Fiksasi internal dengan pembedahan terbuka akan mengimmobilisasi
fraktur dengan melakukan pembedahan dengan memasukan paku, sekrup atau pin
ke dalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur
secara bersamaan.
4) OREF (Open Reduction External Fixation)
1. Retaining
Retaining adalah tindakan imobilisasi atau fiksasi untuk
mempertahankan hasil reposisi dan memberi istirahat pada spasme otot
pada bagian yang sakit agar mencapai penyembuhan dengan baik.
Imobilisasi yang tidak adekuat dapat memberikan dampak pada
penyembuhan dan rehabilitasi.
2. Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan anggota gerak
yang cedera untuk dapat berfungsi kembali. Falsafah lama mengenai
rehabilitasi adalah tindakan setelah tindakan kuratif dalam mengatasi
kendala kecacatan. Rehabilitasi menekan upaya pada fungsi dan akan lebih
berhasil dilaksanakan sedini mungkin.

f. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
1. Mengkaji ABCD
a) Airway
Kaji : bersihan jalan nafas, ada tidaknya sumbatan jalan nafas, distress
pernafasan, tanda-tanda perdarahan dijalan nafas, muntahan, edema laring
b) Breathing
Kaji : frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada, suara pernafasan
melalui hidung atau mulut, udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
c) Circulation
Kaji : denyut nadi karotis, tekanan darah, warna kulit, kelembaban kulit, tanda
– tanda perdarahan eksternal dan internal
d) Disability
Kaji : tingkat kesadaran dengan AVPU (alert, verbal, pain, unrespon), gerakan
ekstremitas, GCS, ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya
2. Kaji riwayat dan kondisi pasien
a) Riwayat SAMPLE (Sign and symptom, Allergy, Medication, Past medical
history, Last oral intake, Event Preceding the injury)
b) Tentukan mekanisme cedera untuk membantu memperkirakan kelanjutan
cedera
c) Kaji disfungsi segera atau lambat atau nyeri yang dialami
d) Perhatikan adanya riwayat cedera musculoskeletal
e) Singkirkan benda yang berpotensi menekan ekstremitas yang cedera,
seperti pakaian, perhiasaan
f) Evaluasi adanya luka terbuka pada ekstremitas. Tentukan panjang dan
dalamnya luka. Laserasi diatas tempat yang dicurigai fraktur ditangani
sebagai fraktur terbuka sampai pengkajian selanjutnya membuktikan
sebaliknya.
g) Perhatikan adanya hematoma
h) Evaluasi stabilisasi tulang-krepitasi tulang indikasi adnaya fraktur
i) Inspeksi apakah ada pembengkakan, deformitas, rotasi abnormal atau
pemendekan tulang
3. Mengevaluasi ekstremitas apakah ada 5 P
a) Pain (nyeri)
Keluhan paling umum pada cedera musculoskeletal adalah nyeri. Titik nyeri
tekan dapat menunkukkan fraktur dibawahnya. Nyeri yang tidak konsisten
dengan perluasan cedera menunjukkan terjadinya sindrom kompartemen.
b) Pallor (pucat)
Iskemik menimbulkan perubahan warna dan suhu
c) Pulse (nadi)
Palpasi nadi pada semua ekstremitas. Nadi harus diperiksa dengan palpasi,
atau dengan Doppler bila tidak dapat diraba.
d) Parestesia
e) Paralisis

2) Diagnosa
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
melalui perdarahan masif
2. Nyeri berhubungan dengan diskontinuitas jaringan dan spasme otot sekunder
terhadap luka trauma mekanik (kecelakaaan)
3. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Kehilangan integritas struktur
tulang, tidak nyaman/nyeri, kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskuler
4. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kehilangan cairan
berlebih melalui perdarahan massif
5. Infeksi berhubungan dengan paparan lingkungan pada fraktur terbuka

3) Intervensi
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
melalui perdarahan masif

No Intervensi

1 Kaji tanda-tanda dehidrasi pada klien meliputi CRT, turgor kulit,


konjungtiva mata, mukosa bibir dan kelemahan

2 Berikan cairan parenteral sesuai indikasi


Replacement cairan 4cc/kgBB/jam untuk 10 kg pertama BB,
2cc/kgBB/jam untuk 10kg ke dua BB, dan 1cc/kgBB/jam untuk kg
BB sisa
3 Kaji TTV klien secara periodic dan teliti

2. Nyeri berhubungan dengan diskontinuitas jaringan dan spasme otot sekunder


terhadap luka trauma mekanik (kecelakaaan)
No Intervensi
1 Berikan balutan dan pembidaian atau traksi pada ekstremitas yang
mengalami deformitas
2 Tinggikan daerah ekstremitas yang sakit
3 Istirahatkan bagian yang mengalami cedera

3. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Kehilangan integritas struktur


tulang, tidak nyaman/nyeri, kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskuler

No Intervensi
1 Ambulasi
2 Mobilitas Sendi penggunaan pergerakan tubuh aktif
3 perubahan posisi memindahkan pasienatau bagian tubuh

4. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kehilangan cairan


berlebih melalui perdarahan massif

No Intervensi
1 Kaji adanya tanda-tanda sianosis dan perlambatan CRT
2 Anjurkan pasien untuk menurunkan ekstremitas dibawah jantung
3 Pemberian cairan intravena

5. Infeksi berhubungan dengan paparan lingkungan pada fraktur terbuka

No Intervensi
1 Pertahankan teknik anti septik bila mengganti balutan / perawatan
luka
2 Inspeksi balutan dan luka
3 Berikan antibiotic (kolaborasi)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses pengkajian gawat darurat pada pasien anak (pediatric) terdiri dari primary
assessment, secondary assessment, focused assessment, dan diagnostic procedure.
Asuhan keperawatan yang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik
aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak, maupun resiko tinggi. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi asuhan keperawatan gawat darurat, yaitu : kondisi
kegawatan seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien maupun jumlah klien yang
datang ke ruang gawat darurat, keterbatasan sumber daya dan waktu, adanya saling
ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi kesehatan yang bekerja di ruang
gawat darurat, keperawatan diberikan untuk semua usia dan sering dengan data dasar
yang sangat mendasar, tindakan yang diberikan harus cepat dan dengan ketepatan yang
tinggi.
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat
gangguan emosional yang hebat. Trauma khusus pada anak meliputi trauma kepala,
trauma tumpul abdomendan trauma ekstremitas. Penyebabnya adalah kecelakaan, jatuh,
kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil; kecelakaan pada saat olah raga,
anak dengan ketergantungan; cedera akibat kekerasan dan lain – lain.

B. Saran
Pada proses pengkajian gawat darurat pada pasien anak bisa menggunakan format
pengkajian yang telah disusun oleh kelompok sehingga bisa membantu pengumpulan
data terkait keluhan dan kondisi pasien serta mempercepat pemberian penanganan pada
pasien secara tepat dan memberikan asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien
oleh perawat yang berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan yang
diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual yang timbul secara
bertahap maupun mendadak, maupun resiko tinggi. .
DAFTAR PUSTAKA

Banowati, A. 2012. Asuhan Keperawatan Trauma Abdomen. Diakses tanggal 17 januari


2020.
https://www.academia.edu/17066808/Asuhan_Keperawatan_Gadar_Trauma_Abdomen

Bhalla, M. C., Frey, J., Rider, C., Nord, M., & Hegerhorst, M. (2015). Simple triage
algorithm and rapid treatment and sort, assess, lifesaving, interventions, treatment, and
transportation mass casualty triage methods for sensitivity, speci fi city, and predictive
values. American Journal of Emergency Medicine, 33(11), 1687–1691.
https://doi.org/10.1016/j.ajem.

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.

Darr, C.D. (2018). Pediatric emergencies in the school setting [PowerPoint Slides].

Dieckmann, R. A., Brownstein, D., & Gausche-hill, M. (2010). The Pediatric Assessment
Triangle A Novel Approach for the Rapid Evaluation of Children. Pediatric Emergency
Care, 26(4), 312–315.

Fernandez, A., Ares, M. I., Garcia, S., Martinez-Indart, L., Mintegi, S., & Benito, J. (2016).
The validity of the pediatric assessment triangle as the first step in the triage process in a
pediatric emergency department. Pediatric Emergency Care, 33(4), 234–238.
https://doi.org/10.1097/pec.0000000000000717.

Fuchs, S., Terry, M., Adelgais, K., Bokholdt, M., Brice, J., Brown, K. M., … Marx, M.
(2016). Definitions and assessment approaches for emergency medical services for
children. The American Academy of Pediatrics, 138(6), 1–5.
https://doi.org/10.1542/peds.2016-1073.

Heffernan, R. W., Lerner, E. B., Mckee, C. H., Browne, L. R., Colella, M. R., Liu, J. M., &
Schwartz, R. B. (2018). Comparing the accuracy of mass casualty triage systems in a
pediatric population. Prehospital Emergency Care, 0(0), 1–21.
https://doi.org/10.1080/10903127.2018.1520946.

Holder, AR. (2002 ).Emergency room liability. JAMA.

Kyle, T., & Carman, S. (2017). Essentials of pediatric nursing (3rd Edition). Philadelphia:
Wolters Kluwer.

The Pediatric Triage Working Group (PTWG) of the Western Cape Government (WCG) of
South Africa (SA). (2012). Training manual 2012: The South African Triage Scale
(SATS). Retrieved from
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://emssa.org.za/wp-
content/uploads/2011/04/SATS-Manual-A5-LR-
spreads.pdf&ved=2ahUKEwjIurCWmpjhAhUPi3AKHW2FDJoQFjAAegQIAhAB&usg
=AOvVaw1ligygiS4yKOgnzU-bln0t.
Mancini MR, Gale AT.(2011). Emergency care and the law. Maryland: Aspen Publication.

Maryuani, Anik & Yulianingsih. (2009). Asuhan kegawatdaruratan. Jakarta : Trans Info
Media Medis.

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Nuha Medika: Yogyakarta

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3.
EGC : Jakarta.

U.S. Department of Healt & Human Services. (2017). Primary survey and secondary survey.
Retrieved from https://chemm.nlm.nih.gov/appendix8.htm.

Thygerson, Alton. 2006. Pertolongan Pertama Edisi 5. Erlangga: Jakarta

Wibowo, A. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Fraktur. Diakses tanggal 17 Januari
2020. https://www.academia.edu/35197359/Asuhan_Keperawatan_pada_pasien fraktur

Wong, D.L. (1996). Wong and Whaley’s clinical manual of pediatric nursing. Diterjemahkan
Ester, M. (2004). Pedoman klinis keperawatan pediatric/ Donna L. Wong. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai