Anda di halaman 1dari 20

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT HIRSCHPRUNG

PADA ANAK

OLEH
NI KOMANG MULIADNYANI
18.321.2889
A12-B

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2020
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis haturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan
Yang Maha Esa) karena atas rahmat dan karunia-Nya tulisan yang berjudul “Konsep Asuhan
Keperawatan Penyakit Hirschprung pada Anak” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Tulisan ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak II
dalam menempuh pendidikan Program Studi S1 Ilmu Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Wira Medika Bali pada Semester V tahun 2020, yang diampu oleh Ibu Ns. I Gusti
Ayu Putu Satya Laksmi, S.Kep., M.Kep.
Dalam keberhasilan penyusunan tulisan ini tentunya tidak luput dari bantuan beberapa
pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan tulisan ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari yang sempurna, oleh karena itu
segala kritik dan saran perbaikan sangat diharapkan demi karya – karya penulis berikutnya.
Semoga tulisan ini ada manfaatnya.

Denpasar, 4 Desember 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 1
1.3 Manfaat Penulisan............................................................................. 2
1.4 Tujuan Penulisan............................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Penyakit..................................................................... 3
2.2 Asuhan Keperawatan......................................................................... 9
2.3 Dampak Terhadap Kebutuhan Dasar Manusia................................. 10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan....................................................................................... 16
3.2 Saran................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick
Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan serta mendeskripsikan mega
colon congenital pada tahun 1863 adalah Harald Hirschsprung. Namun, pada saat itu
patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938,
dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada
kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion.
Insiden penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti tertapi
berkisar antara satu diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia
220 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1540
bayi dengan penyakit hirschsprung.
Laki-laki lebih banyak diserang dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1.
Biasanya, penyakit Hirschsprung terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3kg dan
jarang pada bayi prematur. Penyakit ini mungkin disertai dengan cacat bawaan dan
termasuk sindrom down, sindrom waardenburg serta kelainan kardiovaskuler.
Penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan mengeluarkan
mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau dan konstipasi.
faktor penyebab penyakit Hirschsprung diduga dapat terjadi karena faktor genetik dan
faktor lingkungan. Oleh karena itu, penyakit Hirschsprung sudah dapat dideteksi melalui
pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi,
rectum, manometri anorektal dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan
pembedahan dan colostomi. Melalui makalah ini akan membahas lebih jauh mengenai
penyakit Hirschsprung serta asuhan keperawatan pasien Hirschsprung.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian penyakit hirschprung ?
2. Bagaimana etiologi penyakit hirschprung ?
3. Bagaimana patofisiologi penyakit hirschprung ?
4. Bagaimana manifestasi klinis penyakit hirschprung ?
5. Apa-apa saja komplikasi dari penyakit hirschprung?
6. Bagaimana dampak penyakit terhadap kebutuhan dasar manusia pada penyakit
hirschprung?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada penyakit hirschprung?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian penyakit hirschprung.
2. Untuk mengetahui etiologi penyakit hirschprung.
3. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit hirschprung.
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis penyakit hirschprung.
5. Untuk mengetahui komplikasi dari penyakit hirschprung.
6. Untuk mengetahui dampak penyakit terhadap kebutuhan dasar manusia pada
penyakit hirschprung.
7. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada penyakit hirschprung

1.4 Manfaat Penulisan


1. Agar pembaca mengetahui pengertian penyakit hirschprung.
2. Agar pembaca mengetahui etiologi penyakit hirschprung.
3. Agar pembaca mengetahui patofisiologi penyakit hirschprung.
4. Agar pembaca mengetahui manifestasi klinis penyakit hirschprung.
5. Agar pembaca mengetahui komplikasi dari penyakit hirschprung.
6. Agar pembaca mengetahui dampak penyakit terhadap kebutuhan dasar manusia pada
penyakit hirschprung.
7. Agar pembaca mengetahui asuhan keperawatan pada penyakit hirschprung

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KONSEP DASAR PENYAKIT


2.1.1 Pengertian
Penyakit Hirschprung adalah suatu gangguan perkembangan dari sistem saraf
enterik dengan karakteristik tidak adanya sel-sel ganglion (tidak adanya pleksus
meintrik) pada bagian distal kolon dan kolon tidak bisa mengembang dengan
memberikan manifestasi perubahan struktur dari kolon. Pada kondisi klinik penyakit
Hirschprung lebih dikenal dengan megakolon kongenital.
Pada tahun 1886, Harold Hirchprung pertama kali mendeskripsikan penyakit
hirscprung sebagai penyebab dari konstripasi pada awal masa bayi. Penyakit
hirscprung terjadi pada sekitar 1 per 5.000 kelahiran hidup. Penyakit hirschsprung
sekitar 4 kali lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Hampir semua
anak dengan penyakit hirschsprung didiagnosis selama 2 tahun pertama kehidupan.
Sekitar satu setengah anak-anak terkena penyakit ini didiagnosis sebelum mereka
berumir 1 tahun.

2.1.2 Etiologi
Adapun penyebab dari obstruksi usus dibagi menjadi dua bagian menurut jenis
obstruksi usus, yaitu:
1) Mekanis
Yaitu terjadi obstruksi intramunal atau obstruksi munal dari tekanan pada
usus, diantaranya :
a. Intususepsi
b. Tumor dan neoplasma
c. Stenosis
d. Striktur
e. Perlekatan (adhesi)
f. Hernia
g. Abses
2) Fungsional
Yaitu akibat muskulator usus tidak mampu mendorong isi sepanjang usus.
(Brunner and Suddarth, 2002)

2.1.3 Patofisilologi
Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna dapat berjalan di
sepanjang usus karena adanya kontraksi rtmis dari oto-otot yang melapisi usus

3
(kontraksi Ritmis ini disebutkan gerakan peristaltik). Kontraksi otot-otot tersebut
dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut gangglion, yang terletak dibawah
lapisan otot. Pada penyakit Hirschcprung, ganglion/pleksus yang memerintahkan
gerakan peristaltik tidak ada, biasanya hanya sepanjangn beberapa sentimeter.
Segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristaltik tidak dapat mendorong bahan-
bahan yang dicerna sehingga terjadi penyumbatan.
Dengan kondisi tidak adanya ganglion, maka akan memberikan manifastasi
gangguan atau tidak adanya peristaltis sehingga akan terjadinya tidak adanya
evakuasi usus spontan. Selain itu, sfingter rektum tidak dapat berelaksasi secara
optimal, kondisi ini dapat mencegah keluarnya fases secara normal. Isi usus
kemudian terdorong ke segmenaganglionik dan terjadi akumulasi di daerah tersebut
sehingga memberikan manifestasi dalatasi usus pada bagian proksimal.
Kondisi penyakit Hirschprung memberikan berbagai masalah keperawatan
pada pasien dan memberikan implikasi pada pemberian asuhan keperawatan.

4
PATHWAY
Aganglionik

Peristaltik Menurun

Perubahan Pola

Akumulasi Isi Usus

Proliferasi Bakteri Dilatasi Usus

Pengeluaran Feses membusuk


endotoksin

Inflamasi Diare

Mual dan muntah Distensi


abdomen
Entrokolitis

Anoreksia Drainase gaster Penekanan pada


Prosedur oprasi diafragma

Resiko ketidakseimbangan Resiko


nutrisi kurang dari kekurangan Ekspensi paru
Nyeri Akut
kebutuhan tubuh volume cairan menurun

Imunitas Pola napas


menurun tidak efektif

Perubahan Resiko tinggi


tumbuh kebang infeksi

5
2.1.4 Manifestasi Klinis
Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif (Winslet, 2002) :
1) Nyeri abdomen
2) Muntah
3) Distensi
4) Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).
Gejala ileus obstruktif bervariasi tergantung kepada (Winslet, 2002) :
1) Lokasi obstruksi
2) Lamanya obstruksi
3) Penyebabnya
4) Ada atau tidaknya iskemia usus
 Gejala selanjutnya yang bisa muncul termasuk dehidrasi, oliguria, syok
hypovolemik, pireksia, septikemia, penurunan respirasi dan peritonitis. Terhadap
setiap penyakit yang dicurigai ileus obstruktif, semua kemungkinan hernia harus
diperiksa. (Winslet, 2002)
Nyeri abdomen biasanya agak tetap pada mulanya dan kemudian menjadi
bersifat kolik. Ia sekunder terhadap kontraksi peristaltik kuat pada dinding usus
melawan obstruksi. Frekuensi episode tergantung atas tingkat obstruksi, yang muncul
setiap 4 sampai 5 menit dalam ileus obstruktif usus halus, setiap 15 sampai 20 menit
pada ileus obstruktif usus besar. Nyeri dari ileus obstruktif usus halus demikian
biasanya terlokalisasi supraumbilikus di dalam abdomen, sedangkan yang dari ileus
obstruktif usus besar biasanya tampil dengan nyeri intaumbilikus. Dengan berlalunya
waktu, usus berdilatasi, motilitas menurun, sehingga gelombang peristaltik menjadi
jarang, sampai akhirnya berhenti. Pada saat ini nyeri mereda dan diganti oleh pegal
generalisata menetap di keseluruhan abdomen. Jika nyeri abdomen menjadi
terlokalisasi baik, parah, menetap dan tanpa remisi, maka ileus obstruksi strangulata
harus dicurigai. (Sabiston, 1995)
Muntah refleks ditemukan segera setelah mulainya ileus obstruksi yang
memuntahkan apapun makanan dan cairan yang terkandung, yang juga diikuti oleh
cairan duodenum, yang kebanyakan cairan empedu (Harrison’s, 2001). Muntah
tergantung atas tingkat ileus obstruktif. Jika ileus obstruktif usus halus, maka muntah
terlihat dini dalam perjalanan dan terdiri dari cairan jernih hijau atau kuning. Usus
didekompresi dengan regurgitasi, sehingga tak terlihat distensi.
Konstipasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konstipasi absolut (dimana
feses dan gas tidak bisa keluar) dan relatif (dimana hanya gas yang bisa keluar)
(Winslet, 2002). Kegagalan mengerluarkan gas dan feses per rektum juga suatu
gambaran khas ileus obstruktif.
6
Pireksia di dalam ileus obstruktif dapat digunakan sebagai petanda (Winslet,
2002) :
1) Mulainya terjadi iskemia
2) Perforasi usus
3) Inflamasi yang berhubungan denga penyakit obsruksi
Hipotermi menandakan terjadinya syok septikemia. Nyeri tekan abdomen yang
terlokalisir menandakan iskemia yang mengancam atau sudah terjadi. Perkembangan
peritonitis menandakan infark atau perforasi. (Winslet, 2002)

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang


1) Pemeriksaan radiologi
a. Foto polos abdomen 
Dengan posisi terlentang dan tegak (lateral dekubitus) memperlihatkan
dilatasi lengkung usus halus disertai adanya batas antara air dan udara atau
gas (air-fluid level) yang membentuk pola bagaikan tangga.
b. Pemeriksaan radiologi dengan Barium Enema
Mempunyai suatu peran terbatas pada pasien dengan obstruksi usus halus.
Pengujian Enema Barium terutama sekali bermanfaat jika suatu obstruksi letak
rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos abdomen. Pada anak-anak
dengan intussuscepsi, pemeriksaan enema barium tidak hanya sebagai diagnostik
tetapi juga mungkin sebagai terapi.
c. CT–Scan.
Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto polos abdomen
dicurigai adanya strangulasi. CT–Scan akan mempertunjukkan secara lebih teliti
adanya kelainan-kelainan dinding usus, mesenterikus, dan peritoneum. CT–Scan
harus dilakukan dengan memasukkan zat kontras kedalam pembuluh darah. Pada
pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi.
d. USG
Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyebab dari
obstruksi.
e. MRI
Walaupun pemeriksaan ini dapat digunakan, tetapi tehnik dan kontras yang
ada sekarang ini belum secara penuh mapan. Tehnik ini digunakan untuk
mengevaluasi iskemia mesenterik kronis.
f. Angiografi
Angiografi mesenterik superior telah digunakan untuk mendiagnosis
adanya herniasi internal, intussuscepsi, volvulus, malrotation, dan adhesi.
2) Pemeriksaan laboratorium
7
Leukositosis mungkin menunjukkan adanya strangulasi, pada urinalisa
mungkin menunjukkan dehidrasi. Analisa gas darah dapat mengindikasikan
asidosis atau alkalosis metabolic. ( Brunner and Suddarth, 2002 ).

2.1.6 Komplikasi
1) Peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehingga terjadi
peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.
2) Perforasi dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi terlalu lama pada organ intra
abdomen.
3) Sepsis, infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan cepat.
4) Syok hipovolemik terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.
(Brunner and Suddarth, 2001)

2.1.7 Penatalaksanaan
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit dan
cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi, mengatasi
peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki
kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.
a. Resusitasi
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda - tanda vital,
dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami dehidrasi
dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan intravena
seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan memonitor tanda -
tanda vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian cairan intravena,
diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT digunakan untuk
mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila muntah dan
mengurangi distensi abdomen.
b. Farmakologis
Pemberian obat - obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai
profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.
c. Operatif
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk
mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul
dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi.
Berikut ini beberapa kondisi atau pertimbangan untuk dilakukan operasi : Jika
obstruksinya berhubungan dengan suatu simple obstruksi atau adhesi, maka
tindakan lisis yang dianjurkan. Jika terjadi obstruksi stangulasi maka reseksi

8
intestinal sangat diperlukan. Pada umumnya dikenal 4 macam cara/tindakan bedah
yang dilakukan pada obstruksi ileus :
1) Koreksi sederhana (simple correction), yaitu tindakan bedah sederhana untuk
membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-
strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
2) Tindakan operatif by-pass, yaitu tindakan membuat saluran usus baru yang
“melewati” bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal,
Crohn disease, dan sebagainya.
3) Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,
misalnya pada Ca stadium lanjut.
4) Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung
usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinoma
colon, invaginasi, strangulata, dan sebagainya. Pada beberapa obstruksi ileus,
kadang-kadang dilakukan tindakan operatif bertahap, baik oleh karena
penyakitnya sendiri maupun karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca
sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari
dilakukan reseksi usus dan anastomosis. (Sabara, 2007)

2.2 DAMPAK PENYAKIT TERHADAP KEBUTUHAN DASAR MANUSIA


1. Kebutuhan oxygenasi
Obstruksi usus mengakibatkan terjadinya distensi abdomen akibat adanya
akumulasi cairan dan gas dalam lumen usus. Hal ini mengakibatkan terjadinya
kontraksi otot-otot diafragma dan relaksasi otot-otot diafragma terganggu
menyebabkan ekspansi paru menurun sehingga respirasi tidak efektif.
2. Kebutuhan cairan dan elektrolit
Obstruksi usus mengakibatkan terjadinya penimbunan cairan intra lumen akibat
peningkatan ekskresi cairan kedalam lumen usus. Hal ini merupakan penyebab
kehilangan cairan dan elektrolit yang mengakibatkan terjadinya penurunan ekstra
celluler fluid (ECF) sehingga terjadi hipovolemik.
3. Kebutuhan rasa nyaman
Nyeri abdomen terjadi akibat adanya distensi abdomen dan akibat kontraksi
peristaltik kuat dinding usus melawan obstruksi. Jika obstruksi berlanjut dan terjadi
iskemia/inflamasi/perporasi dapat terjadi pireksia.
4. Kebutuhan nutrisi
Obstruksi usus mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap proses digesti,
ingesti dan absorbsi nutrient.
5. Kebutuhan eliminasi
9
Obstuksi usus mengakibatkan motilitas usus menurun, menyebabkan refluk
inhibisi spingter tergangga mengakibatkan terjadinya kegagalan buang air besar
(BAB).
6. Kebutuhan istirahat dan tidur
Karena pada penderita ileus obstruktif akibat dari distensi abdomen dan adanya
nyeri yang intermiten maka istirahat klien kurang atau terganggu.
7. Kebutuhan Rasa Aman
Rasa aman akan terganggu karena keterbatasan kognitif mengenai penyakit dan
berhubungan dengan prosedur tindakan sehingga timbul cemas.

2.3 ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Identitas
Biodata klien yang penting meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku dan gaya hidup.
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan klien pada saat dikaji. Pada
umumnya akan ditemukan klien merasakan nyeri pada abdomennya biasanya
terus menerus, demam, nyeri tekan dan nyeri lepas, abdomen tegang dan kaku.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan orang tua pada bayi dengan tidak adanya evakuasi mekonium
dalam 24-48 jam pertama setelah lahir diikuti obstruksi konstipasi, muntah, dan
dehidrasi. Gejala ringan berupa konstripasi selama beberapa minggu atau bulan
yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan
diare, distensi abdomen, dan demam. Adanya fases yang menyemprot pada saaat
colok dubur merupakan tanda yang khas.
Pada anak, selain tanda pada bayi, anak akan rewel dan keluhan nyeri pada
abdominal. Keluhan lainnya berupa konstipasi atau diare berulang. Pada kondisi
kronis, orang tua sering mengeluh anak mengalami gangguan pertumbuhan dan
perkembangan. Anak mungkin didapatkan engalami kekurangan kalori-protein.
Kondisi gizi buruk ini merupakan hasil dari anak kaen selalu merasa kenyang,
perut tidak nyaman, dan distensi terkai dengan konstipasi kronis. Dengan
berlanjutnya proses penyakit, maka akan terjadi eterokolitis. Kondisi
enterokolitis dapat berlanjut ke sepsis, transmural nekrosis usus, dan perforasi.

3. Riwayat kesehatan keluarga

10
Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang sama dengan
klien.
c. Pemeriksaan fisik
1. Sistem pernafasan
Peningkatan frekuensi napas, napas pendek dan dangkal
2. Sistem kardiovaskuler
Takikardi, pucat, hipotensi (tanda syok)
3. Sistem persarafan
Tidak ada gangguan pada sistem persyarafan
4. Sistem perkemihan
Retensio urine akibat tekanan distensi abdomen, anuria/oliguria, jika syok
hipovolemik
5. Sistem pencernaan
Distensi abdomen, muntah, bising usus meningkat, lemah atau tidak ada,
ketidakmampuan defekasi dan flatus.
6. Sistem muskuloskeletal
Kelelahan, kesulitan ambulansi
7. Sistem integumen
Turgor kulit buruk, membran mukosa pecah-pecah (syok)
8. Sistem endokrin
Tidak ada gangguan pada sistem endokrin
9. Sistem reproduksi
Tidak ada gangguan pada sistem reproduksi

2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Adapun diagnosa keperawatan yang sering muncul adalah :
1. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas gastrointestinal
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencendera biologis
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kekurangan intake cairan

3. Intervensi keperawatan
No Dx Tujuan Intervensi Rasional
1. Konstipasi Setelah diberikanManajemen
berhubungan tindakan konstipasi/impaksi

11
dengan keperawatan selama1. Monitor tanda1. Untuk mengetahui
penurunan 3 x24 jam dan gejala konstipasi tanda dan gejala
motilitas diharapkan konstipasi
gastrointestinal eliminasi usus
ditandai denganpasien normal2. Timbang berat2. Untuk mengetahui
pengeluaran dengan kriteria hasil badan pasien secara perubahan pada berat
feses lama dan: teratur badan pasien
sulit. - Pola eliminasi
normal 3. Ajarkan3. Agar keluarga
- Feses lembut dan pasien/keluarga mengenal proses
berbentuk mengenal proses pencernaan secara
- Kemudahan BAB pencernaan normal normal

4. Konsultasikan 4. Untuk mempercepat


dengan dokter terkait terjadinya BAB
pemberian obat

Nyeri akutSetelah diberikan


2 berhubungan tindakan Manajemen nyeri 1. Pengkajian nyeri
dengan agenkeperawatan selama1. Lakukan pengkajian dilakukan untuk
pencedera 3x24 jam nyeri secara mengetahui tingkat
fisiologis diharapkan Nyeri komprehensif, durasi, keparahan nyeri yang
ditandai denganpasien terkontrol frekuensi, kualitas dan dirasakan pasien.
tampak meringisdengan kriteria hasil faktor presipitasi
dan frekuensi: 2. Istirahat yang cukup
nadi meningkat. - Melaporkan 2. Dukung istirahat/tidur membantu
nyeri terkontrol yang adekuat untuk mengurangi nyeri
- Mengenali nyeri mengurangi nyeri yang dirasakan
kapan terjadi pasien.
- Menggambar
faktor penyebab 3. Ajarkan tentang teknik3. Teknik non
non farmakologi farmakologi
membantu
mengurangi nyeri
yang dirasakan.
4. Kolaborasi pemberian

12
analgetik 4. Kolaborasi dalam
pemberian analgetik
untuk menentukan
dosis yang tepat
Setelah diberikan
tindakan Manajemen Hipovolemi
Kekurangan keperawatan selama1. M
volume cairan3x24 jam onitor asupan dan1.
3 berhubungan diharapkan volumen pengeluaran keseimbangan cairan
dengan cairan pasien
kekurangan seimbang dengan 2.
intake cairankriteria hasil : 2. P keseimbangan cairan
ditandai dengan - Tekanan darah antau hasil dan elektrolit
frekuensi nadi normal laboratorium serum
meningkat. - Keseimbangan elektrolit, hematocrit 3.
intake dan output mampu mencatat
- Berat badan3. I intake/output dengan
stabil nstruksikan pada tepat
pasien/keluarga untuk
mencatat 4.
intake/output, dengan kebutuhan cairan dan
tepat eletrolit pasien

4. K
olaborasi dengan
medik untuk
pemberian terapi
intravena

4. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu pasien dalam proses
penyembuhan dan perawatan serta masalah kesehatan yang dihadapi pasien yang
sebelumnya disusun dalam rencana keperawatan. Tujuan dari implementasi adalah

13
membantu klien dalam mencapai peningkatan kesehatan baik yang dilakukan secara
mandiri maupun kolaborasi dan rujukan ( Nursallam, 2011).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan pasien
dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan, dengan
melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lannya. Untuk memudahkan perawat
mengevaluasi atau memantau perkembangan klien digunakan komponen SOAP. Yang
dimaksud dengan SOAP adalah :
S : Data subyektif
Perawat menuliskan keluhan pasien yang masih dirasakan setelah dilakukankan
tindakan keperawatan.
O : Obyektif
Data berdasarkan hasil mengukuran atau observasi perawat secara langsung
kepada klien, dan yang dirasakan klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
A : Analisis
Interpretasi dari data subyektif dan data obyektif, merupakan suatu masalah atau
diagnosis keperawatan yang masih terjadi, atau juga dapat dituliskan masalah atau
diagnosis baru yang terjadi akibat perubahan setatus kesehatan klien yang
teridentifikasi datanya dalam data subyektif dan obyektif.
P : Planing
Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi, atau
ditambahkan dari rencana tindakan keperawatan yang telah ditentukan
sebelumnya.

No. Dx Evaluasi Hasil


1 Konstipasi diharapkan
1) Pola eliminasi pasien kembali normal
2) Feses pasien lembut dan berbentuk
3) Pasien dapat BAB dengan mudah
2 Nyeri akut diharapkan
1) Nyeri pasien terkontrol
2) Pasien dapat mengenali kapan terjadi nyeri
3) Pasien dapat menggambarkan faktor penyebab nyeri
3 Kekurangan volume cairan diharapkan
1) Tekanan darah pasien kembali normal
2) Intake dan output pasien seimbang
3) Berat badan pasien stabil

14
15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit Hirschprung adalah suatu gangguan perkembangan dari sistem saraf
enterik dengan karakteristik tidak adanya sel-sel ganglion (tidak adanya pleksus meintrik)
pada bagian distal kolon dan kolon tidak bisa mengembang dengan memberikan
manifestasi perubahan struktur dari kolon. Pada kondisi klinik penyakit Hirschprung lebih
dikenal dengan mengkolon kongenital. Adapun penyebab dari obstruksi usus dibagi
menjadi dua bagian menurut jenis obstruksi usus, yaitu mekanis dan fungsional. Mekanis
yaitu terjadi obstruksi intramunal atau obstruksi munal dari tekanan pada usus, sedangkan
fungsional yaitu akibat muskulator usus tidak mampu mendorong isi sepanjang usus.
(Brunner and Suddarth, 2002). Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif (Winslet,
2002) yaitu, nyeri abdomen, muntah, distensi, kegagalan buang air besar atau gas
(konstipasi). Gejala ileus obstruktif bervariasi tergantung kepada (Winslet, 2002) yaitu,
lokasi obstruksi, lamanya obstruksi, penyebabnya, ada atau tidaknya iskemia usus.

3.2 Saran
Dengan adanya pembelajaran tentang penyakit hirschprung, mahasiswa diharapkan
mampu memahami konsep teori penyakit hirschprung sehingga mengetahui penyebab,
tanda dan gejala yang membedakan dengan penyakit lain dan mampu melakukan asuhan
keperawatan dengan baik.

16
DAFTAR PUSTAKA

Kowalak, J. P., Welsh, W., & Mayer, B.2014. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.Alief.

M, dkk.2010.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI

Price &Wilson.2010.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6, Volume1.


Jakarta: EGC

Rahayu Rejeki handayani, bahar asril.2009.Buku ajar ilmu penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: Departemen Pendidikan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia

Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahern.2010.Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Diagnosa


NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC

Doengoes, Marylin E & Moorhouse.2009.Rencana Askep : Pedoman untuk Perencanaan dan


Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC

17

Anda mungkin juga menyukai