Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT Tuhan yang Maha Esa, berkat karunia
dan pertolongannya lah sehingga Makalah Keperawatan Anak II tentang Asuhan Keperawatan pada
anak dengan kasusus Hisprung ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Makalah ini disusun berdasarkan referensi dari beberapa buku dan media internet dengan harapan
dapat bermanfaat dan menjadi pedoman bagi para pembaca sekalian.
Ucapan terima kasih tak lupa saya tuturkan sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang
telah membantu kelancaran penyusunan makalah ini.Semoga Allah swt membalas segala kebaikan
saudara sekalian.
Penulis menyadari makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, baik dalam penulisan
maupun informasi yang terkandung di dalam makalah ini, mengingat akan kemampuan yang
penulis miliki, oleh karena itu dengan segala kerendahan dan tangan terbuka penulis mengharapkan
kritik maupun saran yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini sebagai
tuntunan agar makalah ini kedepannya dapat lebih baik lagi.
Akhir kata semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang
membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amin..
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................................
1.2 Tujuan Penulisan ..........................................................................................................
1.3 Manfaat Penulisan ........................................................................................................
BAB II KAJIAN TEORI..................................................................................................
2.1 Defenisi .........................................................................................................................
2.2 Etiologi..........................................................................................................................
2.3 Anatomi dan fisiologi....................................................................................................
2.4 Fatofisiologi...................................................................................................................
2.5 WOC..............................................................................................................................
2.6 Manifestasi klinik..........................................................................................................
2.7 Komplikasi.....................................................................................................................
2.8 Penatalaksanaan.............................................................................................................
2.9 Pemeriksaan Penunjang.................................................................................................
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HISPRUNG .....................
1.1 Pengkajian ....................................................................................................................
1.2 Diagnosa .......................................................................................................................
1.3 Intervensi ......................................................................................................................
1.4 Implementasi ................................................................................................................
1.5 Evaluasi ........................................................................................................................
1.6 Contoh kasus .................................................................................................................
BAB lV PENUTUP............................................................................................................
4.1 Kesimpulan....................................................................................................................
4.2 Saran..............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan
tunggal.Jarang pada bayi premature atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen
aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering di temukan pada anak laki-laki dibandingkan
anak perempuan. Sedang kan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus
halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan(Ngastiyah.1997).
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000
kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil,
maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono
mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta (Kartono,1993).
Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Sedangkan
Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57
kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan
penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni
Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka
dijumpai gangguan urologi seperti refluks vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica
urinaria (mencapai 1/3 kasus) (Swenson dkk,1990).
Pada tahun1886 Hirschsprung mengemukakan 2 kasus obstipasi sejak lahir yang dianggapnya
disebabkan oleh dilatasi kolon. Kedua penderita tersebut kemudian meninggal. Dikatakannya pula
bahwa keadaan tersebut merupakan kesatuan klinis tersendiri dan sejak itu disebut penyakit
hirscprung atau megakolon kongenital.
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun patofisiologi
terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan
Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh
gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion (Kartono, 1993; Fonkalsrud,
1997; Lister, 1996).
Zuelser dan wilson (1948) mengemukakan bahwa pada dinding usus yang menyempit tidak
ditemukan ganglion parasimpatis. Sejak saat tersebut penyaki ini lebih dikenal dengan istilah
aganglionosis kongenital. Pada pemeriksaan patologi anatomi dari penyakit ini, tidak ditemukan sel
ganglion Auerbach dan Meissner, serabut saraf menebal dan serabut otot hipertrofik. Aganglionosis
ini mulai dari anus ke arah oral.
Bodian dkk. Melaporkan bahwa segmen usus yang aganglionik bukan merupakan akibat
kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik, melainkan oleh karena lesi primer
sehingga terdapat ketidak seimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi.
Keterangan inilah yang mendorong Swenson melakukan pengangkatan segmen aganglionik dengan
preservasi spinkter ani (Swenson, 1990). Okamoto dan Ueda lebih lanjut menyebutkan bahwa
penyakit Hirschsprung terjadi akibat terhentinya proses migrasi sel neuroblas dari krista neuralis
saluran cerna atas ke distal mengikuti serabut-serabut vagal pada suatu tempat tertentu yang tidak
mencapai rektum (Kartono,1993; Tamate dkk,1994; Fujimoto dkk,1996; Yamada,1999; Lee,2002)
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan membuat asuhan keperawatan dengan penyakit
hirschsprung dan dapat mengaplikasikannya kekehidupan nyata.
b. Tujuan Khusus
1.3Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah :
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Defenisi Hirschprung
Penyakit hisprung yang juga dikenal sebagai megakolon aganglionik, adalah penyakit
kongenital yang ditandai tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik pada pleksus mienterikus dari
kolon distalis, pada bagian kolon (dan kadang-kadang pada ileum). Keadaan keadaan aganglionosis
ini mengakibatkan kurangnya peristalsis pada segmen usus yang terkena, yang biasanya
menyebabkan obstruksi dan kesulitan atau ketidak mampuan untuk mengeluarkan feses.
Penyakit Hirschprung (megakolon/aganglionic pastical) adalah anomaly kongnetal yang
mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidak adekuatan motilitas sebagian usus. (Wong,
Donna L1996)
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit dari usus besar (kolon) berupa gangguan
perkembangan dari sistem saraf enterik. Pergerakan dalam usus besar didorong oleh otot. Otot ini
dikendalikan oleh sel-sel saraf khusus yang disebut sel ganglion. Pada bayi yang lahir dengan
penyakit Hirschsprung tidak ditemui adanya sel ganglion yang berfungsi mengontrol kontraksi dan
relaksasi dari otot polos dalam usus distal. Tanpa adanya sel-sel ganglion (aganglionosis) otot-otot
di bagian usus besar tidak dapat melakukan gerak peristaltik (gerak mendorong keluar feses).
2.2 Etiologi
1. Usus Besar
Usus besar meluas dari ileocecal junction sampai pada anus Terdiri dari: appendix, caecum,
Colon asenden, colon transversum, Colon decenden, sigmoid, rectum. Panjang usus besar ± 1,5
meter, Rektum merupakan bagian akhir colon.
Berbentuk tapal kuda, dimulai dari ujung ilium dan berakhir dianus. Dikenal juga dengan
mangkuk besar dengan panjang rata-rata 1,5 m dan lebar 7,5 cm.
Fungsi utama usus besar:
a. Reabsorbsi air dan mendapatkan kandungan intestinal menjadi feses
b. Absorpsi vitamin yang dihasilkan oleh kerja bakteri
c. Menyimpan Material feses sebelum dikeluarkan
Gerakan dasar saluran cerna:
a. Campur :
1. Kontraksi peristaltic
2. Kontraksi konstriktif lokal dari segmen usus
b. Mendorong
1. peristaltipasticallkan rangsangan distensi
2. pergerakan massa makanan sepanjang usus
Usus besar dibagi menjadi 3 bagian sekum, kolon dan rektum. Mukosa usus besar, seperti
pada usus halus mempunyai banyak kriptus lieberkuhn, tetapi pada mukosa ini, berbeda dengan
usus halus, tidak memiliki vili. Sel-sel epitel hampir tidak mengandung enzim. Sebaliknya sel ini
terutama mengandung sel-sel mukus yang hanya mensekresi mukus.
Mukus dalam usus besar jelas melindungi dinding usus terhadap ekskoriasi, tetapi selain itu,
juga menghasilkan media yang lengket untuk melekatkan bahan feses bersama-sama. Lebih lanjut
mukus melindungi dinding usus dari sejumlah besar aktifitas bakteri yang berlangsung di dalam
feses, dan menambah sifat basa dari sekresi (pH 8,0 yang disebabkan oleh sejumlah besar natrium
bikarbonat) menyediakan suatu sawar untuk menjaga agar asam yang terbentuk didalam tinja tidak
menyerang dinding usus.
2.Anorektal
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3 bagian
distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak
dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum
dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior (Yamada,1999; Shafik,2000).
(Gambar 1)
Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke
bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal ) serta
otot-otot yang mengatur pasase isi rektum kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling :
atas, medial dan depan (Shafik,2000)
Pendarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan medialis
(a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti oleh a.uterina) yang merupakan
cabang dari a.mesenterika inferior. Sedangkan arteri hemorrhoidalis inferior adalah cabang dari
a.pudendalis interna, berasal dari a.iliaka interna, mendarahi rektum bagian distal dan daerah anus
(Yamada,2000; Shafik,2000)
3. Saluran Anal
Pubo-rectal sling dan tonus spinkter ani eksterna bertanggung jawab atas penutupan saluran
anal ketika istirahat. Jika ada peristaltik yang kuat, akan menimbulkan regangan pada sleeve and
sling. Untuk menghambat gerakan peristaltik tersebut ( seperti mencegah flatus ) maka diperlukan
kontraksi spinkter eksterna dan sling yang kuat secara sadar. Sleeve and sling dapat membedakan
antara gas, benda padat, benda cair, maupun gabungan, serta dapat mengeluarkan salah satu tanpa
mengeluarkan yang lain (Yamada,1999; Shafik,2000; Wexner,2000).
Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat. Kontinensia adalah
kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada wakru dan tempat yang diinginkan.
Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks, namun dapat dikelompokkan atas 4 tahapan:
Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal ke rektum, seiring
dengan frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3 kali/hari) serta refleks gastrokolik.
Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex ataurectal-anal inhibitory reflex, yakni upaya anorektal
mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani interna secara involunter.
Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter. Relaksasi yang terjadi
bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri.
Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal secara volunter dengan
menggunakan diafragma dan otot dinding perut, hingga defekasi dapat terjadi (Fonkalsrud,1997).
2.4 Patofisiologi
Istilah istilah megakolon aganglionik kongenital menunjukkan defek primer yang berupa tidak
adanya sel-sel ganglion pada suatu segmen kolon atau lebih. Etiologi penyakit Hirschsprung belum
dipahami sepenuhnya. Segmen yang aganglionik hampir selalu meliputi rektum dan bagian
proksimal usus besar. Kadang-kadang dapat terjadi “segmen yang terlewatkan” atau aganglionosis
usus total. Kurangnya enervasi menyebabkan efek fungsional yang mengakibatkan tidak adanya
gerakan mendorong (peristaltik) sehingga isi usus bertumpuk dan terjadi distensi usus disebelah
proksimal defek (megakolon). Di samping itu, ketidakmampuan sfingter ani interna untuk
melakukan relaksasi turut menimbulkan manifestasi klinis obstruksi karena keadaan ini mencegah
evakuasi kotoran yang berbentuk padat, cair atau gas .
Distensi intestinal dan iskemia dapat terjadi karena distensi dinding usus yang ikut
menyembabkan terjadinya enterokolitis(inflamasi usus halus dan kolon), yaitu penyebab utama
kematian pada anak-anak yang menderita penyakit hirschprung (kirschner, 1996). Istilahlah
megakolon aganglionik menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel-sel
ganglion parasimpatik otonom pada pleksus submukosa(Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada
satu segmen kolon atau lebih.
Ketidakadekuatan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenagapendorong
(peristaltik), yang menyebabkan akumulasi/ penumpukan isi usus dan distensi usus yang berdekatan
dengan kerusakan (megakolon). Selain itu, kegagalan sfingter anus internal untuk berelaksasi
berkontribusi terhadap gejala klinis adanya obstruksi, karena dapat mempersulit evakuasi zat padat
(feses), cairan, dan gas. J parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang aganglionik
mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi ususfungsional. Di bagian proksimal
dari daerah transisi terjadi penebalan dan pelebarandinding usus dengan penimbunan tinja dan gas
yang banyak.
2.5 WOC
2.6 Manifestasi klinis
Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24 – 28 jam pertama setelah lahir.
Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan empedu dan distensi
abdomen. (Nelson, 2000 : 317).
Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan Penyakit
Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi total saat lahir dengan
muntaah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium. Keterlambatan evakuasi
meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala rigan berupa konstipasi
selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan
entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada
colok dubur merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi
abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah ( Nelson, 2002 : 317 ).
1.Anak – anak
a. Konstipasi
b. Tinja seperti pita dan berbau busuk
c. Distenssi abdomen
d. Adanya masa difecal dapat dipalpasi
e. Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi ( Betz cecily & sowden, 2002 : 197 ).
2.7 Komplikasi
a. Kegawatan pernafasan
b. Syok
c. Enterokolitis(akut)
d. Striktura ani (pasca bedah)
e. Demam yang tak dapat dijelaskan
f. Inkontinensia (jangka panjang)
g. Obstruksi usus: ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
h. Konstipasi
i. Enterokolitis nekrotikans, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi dan septikemia.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Hirschsprung disease terbagi menjadi dua, yaitu penatalaksanaan awal dan
penatalaksanaan definitif. Penatalaksanaan awal dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum,
irigasi, dan dekompresi.
a. Tatalaksana Awal
Tujuan dari penatalaksanaan awal Hirschsprung disease adalah stabilisasi keadaan umum
pasien. Biasanya penderita mengalami gambaran peritonitis, perforasi maupun enterokolitis.
Stabilisasi dilakukan dengan tindakan resusitasi cairan jika pasien mengalami dehidrasi. Selain itu,
dilakukan pula irigasi dan dekompresi.Irigasi dilakukan dengan cairan fisiologis 10-20 ml/kgBB,
diulangi 2-3 kali sehari.Dapat pula dilakukan operasi kolostomi untuk membantu pasase feses
sementara menunggu terapi definitif. Kolostomi diindikasikan pada pasien dengan enterokolitis
berat, perforasi, malnutrisi, atau dilatasi berat pada proksimal usus. [1-3]
b. Tatalaksana Definitif
Operasi merupakan satu-satunya terapi definitif pada penderita Hirschsprung disease.
Prinsip operasi pada Hirschsprung disease adalah membuang bagian aganglionik usus yang
dilanjutkan dengan proses anastomosis bagian proksimal dan distal yang bersifat ganglionik, serta
mempertahankan fungsi kanal dan sfingter anus.Operasi biasanya dikerjakan pada usia 6-12 bulan
karena kolon mudah mengalami dilatasi pada saat dilakukan washout, serta ukuran usus saat
operasi mendekati normal sehingga meminimalisir risiko kebocoran maupun infeksi saat
anastomosis.
Prosedur operasi dapat dilakukan sekaligus atau bertahap, tergantung derajat keparahan dari
penyakit. Pada kasus dengan area aganglionik pada semua bagian kolon, operasi dilakukan secara
bertahap dengan pembentukan stoma dilanjutkan dengan operasi definitif. Sedangkan pada kasus
aganglionik pada seluruh usus, selain kolostomi, pasien juga memerlukan nutrisi parenteral total
dan transplantasi intestinal.
Teknik Operasi
Terdapat 3 teknik operasi pada kasus hirschsprung, antara lain:
1. Swenson: Diseksi dilakukan pada seluruh bagian rektosigmoid yang aganglion dan hanya
menyisakan sedikit bagian aganglion
2. Soave: Diseksi dilakukan hanya di bagian endorektal usus yang bersifat aganglionik
3. Duhamel: Teknik menyambungkan bagian aganglionik parsial dengan membentuk kantong
rektorektal
2.9 Pemeriksaan penunjang
Penyakit hirscprung terjadi lebih sering pada pria, dan biasanya terdiagnosis pada masa bayi,
kendati kadang-kadang diagnosis tersebut ditegakkan kemudian. Terapinya mencakup kolostomi
sementara atau ileostomi proksimal, pada segmen usus yang terkena sampai dilakukannya
pembedahan korektif. Pembedahan dapat mencakup reseksi usus yang terkena, dan penutupan
kolostomi atau ileostomi.
Pertama, pembedahan membuat ostomi temporer disebelah proksimal segmen yang
aganglionik untuk menghilangkan obstruksi dan memungkinkan pemulihan usus yang enervasinya
normal serta mengalami dilatasi itu kembali kepada ukurannya yang normal. Kedua, pembedahan
korektif total biasanya dilakukan ketika berat badan anak mencapai kurang lebih 9 kh. Ada
beberapa prosedur pembedahan yang dapat dikerjakan dengan prosedur tersebut meliputi prosedur
Swenson, Duhamel, Boley serta Soave Prosedur pull-through endorektal Soave, yang merupakan
salah satu prosedur yang paling sering dilakukan, terdiri atas tindakan menarik ujung usus yang
normal lewat sleevemuskular rektum dan dari situ bagian mukosa yang aganglionik dibuang.
Ostomi biasanya ditutup pada saat dilakukan prosedur pull-through.
Sebagian besar anak yang menderita penyakit hirschprung memerlukan tindakan pembedahan
dan bukan terapi medis.setelah ke adaan umum pasien di buat stabildengan pemberian infus dan
elektrolit jika di perlukan,operasi kolostomi temporer dikerjakan dan operasi ini memiliki angka
keberhasilan yang tinggi.setelah pelaksanaan oporasi pull-though yang di
lakukan kemudian,striktur ani dan inkontinensia merupakan komplikasi yang potensialterjadi dan
memerlukan tindakan lebih lanjut,meliputi terapi dilatasi atau bowel-retraining.
a. Pemeriksaan Fisik
Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi. Bila dilakukan
colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah
yang banyak dan tampak perut anak sudah kembali normal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui bau dari feses, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus bagian bawah dan
akan terjadi pembusukan.
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung. Pada
foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit
untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standard dalam
menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi(Kartono,1993).
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka
dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan
membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces
kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai
dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid
(Kartono,1993, Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990).
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
A. Identitas Pasien
B. Riwayat kesehatan
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Dapatkan riwayat kesehatan
dengan cermat terutama yang berhubungan dengan pola defekasi.
a. Kaji status hidrasi dan nutrisi umum
b. Monitor bowel elimination pattern
c. Ukur lingkar abdomen
d. Observasi manifestasi penyakit hirschsprung
2. Riwayat kehamilan dan kelahiran
a. Prenatal
Adakah penyakit penyerta selama kehamilan seperti HT, penyakit jantung dll. Bagaimana
keadaan kehamilan ibu, diperiksakan atan tidak?
i. Intranatal
Bagaimana proses persalianan ibu dan cara persalinan ibu?
ii. Post natal
Adakah masalah kesehatan pada bayi dan ibu setelah proses persalianan? Seperti Hpp pada ibu,
sepsis neonatum pada bayi?
3.Riwayat kesehatan masa lalu
4.Riwayat Penyakit Keluarga
Kelurga ada yang menderita penyakit hirschsprung
5. Riwayat social
6. Kebutuhan Dasar
7. Pemeriksaan fisik
System Gastrointestinal
Pada Neonatus
1. Distensi abdomen
2. Muntah empedu
3. Tidak ada mekonium keluar selama 48 jam pertama kehidupan, khususnya jika disertai
dengan diare
4. Tidak tertarik untuk makan
Pada anak berusia lebih tua
1. Konstipasi atau feses seperti pita
2. Muntah
3. Distensi abdomen
4. Tanda-tanda malnutrisi (penurunan berat badan, perkembangan fisik terlambat)
System Kardiovaskuler
1. Syok
System Pernapasan
1. Kegawatan pernafasa
System Integument
1. Demam yang tak dapat dijelaskan
3.2. Diagnosa keperawatan
a. Konstipasi b/d aganglionosis
b. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia
c. Risiko kekurangan volume cairan b/d penurunan asupan, mual dan muntah, atau
peningkatan permukaan absorptif usus yang distensi
d. Pola nafas tidak efektif b/d ekspansi paru
e. Nyeri b/d insisi pembedahan
f. Intoleransi aktivitas b/d lemas lemah
g. Risiko infeksi b/d kerusakan integritas kulit
3.3. Intervensi Keperawatan
1. Konstipasi b/d aganglionosis
Tujuan/kriteria hasil: konstipasi menurun, dibuktikan oleh defekasi (sebutkan 1-5: gangguan
ekstrem, berat, sedang, ringan dan tidak mengalami gangguan).
a. pola eliminasi (dalam rentang yang diharapkan)
b. feses lunak dan berbentuk
c. mengeluarkan feses tanpa bantuan
d. tidak ada darah dalam feses
e. tidak ada nyeri saat defekasi
Dx : Constipation
NOC: Bawel elimination
a. Elimination Pattern
b. Control of bowel movements
c. Stool color
NIC: Bowel management
1. Catat tanggal pengeluaran feses
2. Pantau gerakan usus termasuk frekuensi, volume, dan warna dengan tepat
3. Pantau suara usus
4. Pantau tanda-tanda dan gejala diare, sembelit, dan impaksi
5. Evaluasi adanya inkontinensia vekal bila diperlukan
6. Ajarkan pasien atau anggota keluarga untuk menctat warna, volume, frekuenci dan konsistensi
dari tinja.
7. Kolaborasi dengan petugas kesehatan bila ditemukan kelainan atau komplikasi.
2. Risiko kekurangan volume cairan b/d penurunan asupan, mual dan muntah, atau peningkatan
permukaan absorptif usus yang distensi
Tujuan/kriteria hasil: kekurangan volume cairan teratasi, dibuktian oleh keseimbangan cairan,
keseimbangan elektrolit dan asam basa, hidrasi yang adekuat, dan status nutrisi: asupan makanan
dan cairan yang adekuat. Memiliki keseimbangan asupan dan pengeluaran yang seimbang dalam
24 jam.
NOC:
a. Keseimbangan elektrolit dan asam basa
b. Keseimbangan cairan
c. Hidrasi
d. Status nutrisi: asupan makanan dancairan
NIC: Manajemen cairan
a. Pantau warna, jumlah dan frekuensi kehilangan cairan
b. Observasi khususnyaa terhadap kehilangan cairan yang tinggi elektrolit
c. Pantau perdarahan
d. Identifiasi faktor pengaruh terhadap bertambah buruknya dehidrasi (misalnya, obat-obatan,
demam, stres, dan program pengobatan)
e. Ajarkan pemberi asupan mengenai tanda komplikasi kekurangan volume cairan dan kapan
harus menghubungi dokter atau ambulance darurat.
f. Hitung kebutuhan cairan berdasarkan berat bada.
g. Tawarkan cairan yang disukai yang disukai anak (mis susu, gelatin, jus beku, es krim)
h. Untuk mendorong anak agar mau minum cairan, sediakan sedotanuntuk minum, buat es mambo
dari jusa, cetak agar-agar dalam berbagai bentuk.
i. Kolaborasi dengan tim medis
3. Pola nafas tidak efektif b/d ekspansi paru
Tujuan/kriteria hasil: menunjukan pola pernafasan efektif, yang yang dibuktikan dengan
status pernafasan: status ventilasi dan pernafasan yang tidak terganggu: kepatenan jalan nafas, dan
tidak ada status pernafasan tidak terganggu.
Dx: Breathin pattern, infective
NOC: Respiratory Status
1. Respiratory rate
2. Respiratory rhythm
3. Depth of inspiration
4. Auscultated breath sound
NIC: Airway management
1. Membuka jalan napas, menggunakan chin lift otr teknik jaw thrust, yang sesuai
2. Menginstruksikan bagaimana batuk efektif
3. Mengelola bronkodilator, yang sesuai
4. Posisi untuk mengurangi sesak
5. Pantau respyratory dan status oksigenasi, sesuai
6. Mengatur asupan cairan untuk optimeze keseimbangan cairan
7. Posisi pasien untuk memaksimalkan potensi ventilasi
8. Kolaborasi dengan petugas kesehatan
4.Gangguan rasa nyaman (Nyeri) b/d insisi pembedahan
Tujuan/kriteria hasil: nyeri berkurang dalam waktu 1x24 jam, Memperlihatkan pengendalian
nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: tidak pernah, jarang,
kadang – kadang, sering, atau selalu) nyeri berkurang dalam waktu 1x24 jam
Dx: Pain management
NOC: Pain control
1. Recordnizes pain onset
2. Describes causal factors
3. Use preventive measures
4. Uses analgesics as recommended
5. Report pain controlled
6. Collabiration with medical team
NIC : Pain management
1. Mengeksplorasi secara sabar faktor yang meningkatkan / memburuk
2. Jelajahi pengetahuan dan keyakinan pasien tentang rasa sakit
3. Mempertimbangkan jenis dan sumber nyeri ketika memilih strategi pereda nyeri
4. Memberikan perawatan analgesik pada pasien
5. Menerapkan penggunaan pasien kontrol analgesia (PCA) jika sesuai
6. Ajarkan cara penggunaan obat-obatan antinyeri
7. Pertimbangkan pengaruh budaya pada respon nyeri
8. Kolaborasi dengan petugas kesehatan tentang pemberian analgesik.
6. Intoleransi aktivitas b/d lemas lemah
Tujuan/kriteria: menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan, yang dibuktikan oleh toleransi
aktivitas, ketahanan, penghematan energi, kebugaran fisik, energi dan aktivitas kehidupan sehari-
hari.
Dx: Activity Intolerance
NOC: activity Tolerance
1. kegiatan sehari-hari kembali normal (5)
2. penyebab kelelahan dapat diatasi (5)
3. saturasi oksigen kembali normal (5)
4. warna kulit kembali normal)
5. kekuatan tubuh kembali meningkat (5)
NIC: Activity Therapy
1. Menentukan kemampuan pasien untuk berpartisipasi dalam kegiatan tertentu.
2. Memberikan motor activity untuk meringankan ketegangan otot
3. Mendorong keterlibatan dalam kegiatan kelompok atau terapi, yang sesuai
4. Rujuk ke pusat-pusat komunitas atau program kegiatan, yang sesuai
5. Membuat lingkungan yang aman untuk gerakan otot besar terus-menerus, seperti yang
ditunjukkan
6. Sarankan metode dalam kekusutan fisik harian, sesuai
7. Kolaborasi dengan physiotherapy
Contoh kasus
Pada By. A dengan Hisprung Disease
di Ruang Perinatologi (11) IRNA IV RSU dr. Saiful Anwar Malang
ANAMNESA
I. IDENTITAS PASIEN
IDENTITAS BAYI
Nama : By. A
No.Register : 1175670
Umur : 4 Hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Ds.Gondanglegi RT 42 RW 04 Gondanglegi Malang
Tanggal lahir : 06 Mei 2017
Diagnosa medis : Obstruksi Usus Letak Rendah + Hisprung Disease
IDENTITAS AYAH
Nama : Tn. S
Umur : 36 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Ds.Gondanglegi RT 42 RW 04 Gondanglegi Malang
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Kuli Bangunan
IDENTITAS IBU
Nama : Ny. S
Umur : 31 tahun
Alamat : Ds.Gondanglegi RT 42 RW 04 Gondanglegi Malang
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
II. KELUHAN UTAMA.
Saat MRS : Bayi tidak dapat buang air besar sejak lahir, kentut hanya sekali, perut
membesar, rewel, muntah saat diberi ASI
III. RIWAYAT KESEHATAN
A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Bayi tidak dapat buang air besar sejak lahir, kentut hanya sekali, dan perut membesar,
muntah saat diberi minum ASI/ SF. Riwayat lahir di Bidan, riwayat perawatan di RSUD kepanjen
dan dirujuk ke RSU dr.SAiful Anwar Malang pada tanggal 09-05-2017. Dan dirawat diruang
perinatology. Tanggal 10 Mei 2017 Bayi dinyatakan menderita hisprung disease.
B. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU
Bayi tidak bisa BAB, Urine (+), muntah saat diberi asi/ SF. Perut semakin membesar.
Riwayat imunisasi Hb0.
C. RIWAYAT NUTRISI
Hari pertama lahir: ASI ± 5 ml/ 2 jam. Hari ke 2 ASI ± 5 ml/ 2 jam. Hari ke 3 ASI+ SF 7
ml/2 jam. Urine (+). Muntah (+). hari 4, bayi dibawa ke RSUD Kepanjen, bayi dipuasakan, IVFD
CN 10% + CaGluc 10% 3cc + KCl 7,4% 3cc.
A. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA
Tidak Ada keluraga yang memiliki riwayat penyakit menurun maupun menular.
F. RIWAYAT PRENATAL, NATAL, DAN POST NATAL
RIWAYAT PRENATAL
- Pemeriksaan rutin : ANC ke bidan puskesmas rutin setiap bulan.
- Penyakit yang diderita selama hamil : Pilek
- Keluhan saat hamil : Hanya pada trimester I : Pusing dan mual.
- Imunisasi : Tidak pernah
- Obat / vitamin yang dikonsumsi : Tablet Fe dan Komix
- Riwayat minum jamu : Tidak pernah
- Riwayat dipijat : Tidak pernah
- Masalah : Ketuban Merembes
RIWAYAT NATAL
- Cara Persalinan : Normal/ Spontan
- Tempat : Polindes
- Penolong : Bidan
- Usia gestasi : 37-38 minggu
- Kondisi Ketuban : Warna Jernih
- Letak : Bujur
- BB/PB/LK/LD :3600 gram/55cm/39cm/32cm.
D. RIWAYAT POST NATAL
- Pernafasan : Bayi langsung menangis spontan tanpa alat bantu
- Skor APGAR : 1 menit = 7, 5 menit = 9
- Down skore :
- Trauma Lahir : Tidak ada
- Keterangan lain : Anus +, BAB -, muntah meconium 1x
IV.PEMERIKSAAN FISIK (HEAD TO TOE)
a. Keadaan Umum
- Postur : Normal
- Kesadaran : Compos mentis,
- BB/PB/LK/LD saat ini : 3300 gram/53 cm/ 35 cm/ 32 cm
- Nadi : 120 x/menit
- Suhu : 36,2 C
- RR : 50 x/menit, O2 nasal canul 2 lpm/mnt
d. Hidung
- Pernapasan cuping hidung : ada
- Struktur : Normal
- Kelainan lain : Tidak ada
- Sekresi : Tidak ada
e. Telinga
- Kebersihan : Bersih
- Sekresi : Tidak ada
- Struktur : Normal, simetris, sejajar dengan garis mata
g. Leher
- Kelenjar Tiroid : Tidak ada pembesaran
- Arteri Karotis : Teraba berdenyut teratur dan kuat
- Trachea : Berada di garis tengah
j. Abdomen
- Bentuk : destended abdomen
- Bising Usus : Normal, 5 x/menit
- Benjolan : Tidak ada
- Turgor : > 3 detik
- Hepar, lien : Tidak teraba
- Distensi : Ya, terdapat nyeri tekan.
k. Kelamin dan Anus
- Kebersihan : Bersih
- Keadaan kelamin luar : Normal, tidak ada lesi, tidak ada benjolan abnormal
- Anus : Normal,
- Kelainan : Tidak ada
l. Integumen
- Warna kulit : Kuning kecoklatan
- Kelembapan : Kering
- Lesi : Tidak ada
- Warna Kuku : Pucat
- Kelainan : Tidak ada
V. REFLEKS PRIMITIF
1. Rooting Refleks (Refleks mencari)
Baik. Bayi merespon ketika pipi dibelai / disentuh bagian pinggir mulutnya dan mencari sumber
rangsangan tersebut.
2. Sucking Refleks (Refleks menghisap)
Bayi merespon ketika disusui ibunya atau diberi susu melalui botol. Namun daya hisap masih
lemah.
3. Palmar grasp (Refleks menggenggam)
Baik. Jarinya menutup saat telapak tangannya disentuh dan menggenggam cukup kuat
4. Tonic neck (Refleks leher)
Baik. Peningkatan tonus otot pada lengan dan tungkai ketika bayi menoleh ke satu sisi.
5. Refleks Moro / Kejut
Baik. Bayi merespon secara tiba – tiba suara atau gerakan yang mengejutkan baginya
6. Reflek Babinski
Cukup baik. Gerakan jari-jari mencengkram saat bagian bawah kaki diusap.
VI.RIWAYAT IMUNISASI
Imunisasi HB0.
VII. DATA PENUNJANG
HASIL LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK
Tanggal 09 Mei 2017
JENIS HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN DEWASA
PEMERIKSAAN NORMAL
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 15,60 g/dL 11, 4 – 15, 1
Eritrosit (RBC) 4,33 4,0 – 5, 0
Leukosit (WBC) 17,70 103 ML 4,7 – 11, 3
Hematokrit 45,00 % 38 – 42
Trombosit (PLT) 30,6 103 ML 142 – 424
MCV 93,20 fL 80 – 93
MCH 32,30 Pg 27 – 31
MCHC 34,70 g/dL 32 – 36
RDW 16,20 % 11,4 – 14, 5
DDW 19,0 fL 9–3
MPV 12,9 fL 7,2 – 11,1
P – LCR 45,6 % 15,0 – 25, 0
PCT 0,39 % 0,150 – 0,400
Hitung jenis
Eusinofil 0,2 % 0–4
Basofil 0,3 % 0 -1
Neutrofil 45,8 % 51 – 67
Limfosit 33,1 % 25 – 33
Lain-lain -
Evaluasi Hapusan
Darah
Eritrosit normokrom
Anisositosis
Leukosit Kesan jumlah meningkat
Trombosit Kesan jumlah dan morfologi normal
Neutrofil 69,0 % 51 – 67
Limfosit 17,0 % 25 – 33
Lain – lain
Retinokulosit
Retinokulosit 0,0155 106/µL
Absolut
Retinokulosit 0,36 % 0,5-2,5
KIMIA KLINIK
FAAL HATI
Albumin 3,57 g/dL 3,5-5,5
Tulang-tulang normal
ANALISA DATA
Nama Pasien : By. A
Umur : 4 Hari
No. Registrasi : 11175670
ANALISA DATA
Nama Pasien : By. A
Umur : 4 Hari
No. Registrasi : 11175670
PRIORITAS MASALAH
R/ untuk
menentukan
intervensi
yang tepat
R/ menurunkan
rangsangan
stress pada
rasa nyeri
R/ mengurangi
rasa cemas
keluarga
pasien dan
membantu
keluarga
mengerti
dengan
keadaan
pasien
R/ mengetahui
keadaan umum
pasien
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Nama : By. A/ 4 hari
No. Reg : 11175670
NO Rencana Perawatan
Hari / DX Ttd
Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Tgl
Hasil
Selasa, 5 Tujuan : Bowel Irigation
9 Mei Setelah dilakukan (pembersihan Colon) R/
2017 tindakan keperawatan 1. Pilih pemberian merangsanng
2 x 24 jam konstipasi enema (prosedur peristaltic
berangsur teratasi pemasukan cairan kolon agar
NOC : kedalam kolon melalui dapat defekasi.
Bowel Elimination anus) yang tepat
2. Jelaskan prosedur R/
Kriteria Hasil : pada pasien dan keluarga menciptakan
1. Pola eliminasi 3. Monitor efek lingkungan
dalam batas normal samping dari tindakan saling percaya
2. Warna feses dalam pengobatan dan
batas normal 4. Catat perkembangan mengurangi
3. Bau feses tidak baik maupun buruk rasa khawatir
menyengat R/ memonitor
4. Konstipasi tidak 5. Observasi tanda untuk
terjadi vital dan bising usus memastikan
5. Ada peningkatan setiap 2 jam sekali tidak adanya
pola eliminasi yang komplikasi
lebih baik 1. Observasi lanjutan
pengeluaran feces R/
per rektal – bentuk, memastikan
konsistensi, jumlah tidak adanya
2. Konsultasikan komplikasi
dengan dokter lanjutan
rencana pembedahan R/ mengetahui
keadaan umum
pasien sebelum
dan sesudah
dilakukan
prosedur
R/
memastikan
tidak adanya
komplikasi dan
untuk
menetapkan
intervensi
lanjutan
R/ jika terjadi
komplikasi,
dapat segera di
tangani dengan
pembedahan
BAB lV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Hirschsprung (megakolon aganglionik kongenital) merupakan obstruksi mekanis yang
disebabkan oleh ketidakkadekuatan motilitas bagian usus. Penyakit ini menempati
seperempat dari keseluruhan kasus obstruksi neonatal kendati diagnosisnya mungkin baru
bisa ditegakkan kemudian dalam masa bayi atau kanak-kanak. Penyakit Hirschsprung empat
kali lebih sering mengenai bayi atau anak laki-laki daripada perempuan, mengikuti pola
familial pada sejumlah kecil kasus dan cukup sering dijumpai di antara anak-anak yang
menderita sindrom Down. Insidensinya adalah 1 dalam 5000 kelahiran hidup. Bergantung
pada gambaran klinisnya, penyakit ini bisa bersifat akut, dan mengancam kehidupan
pasiennya atau suatu kelainan yang kronis.
Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah. Baik
masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan perkembangan anak
dengan penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan buang air besar. Orang tua yang
mengusahakan agar anaknya bisa buang air besar dengan cara yang bias akan menimbulkan
masalah baru bagi bayi/anak. Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus
difahami dengan benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk
tecapainya tujuan yang diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara
pasien, keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi
kemungkinan yang terjadi.
4.2. Saran
Apabila dalam penulisan makalah ini ada kesalahan, saya Isma Al Usna atas nama
penulis makalah ini memohon untuk memberikan kritik, saran dan masukannya yang bersifat
membangun demi menuju kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arief Mansjoer, 2001. Kapita Selekta Kedokteran, jilid III, Media Aaeculapius Fakultas
Kedokteran
UI. Jakarta
Behrman, dkk. 1996. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 2. Jakarta: EGC
Kuzemko, Jan. 1995. Pemeriksaan Klinis Anak, alih bahasa Petrus Andrianto, cetakan III,
Jakarta: EGC
Khoirunnisa, Endang. 2010. Asuhan neonatus, bayi dan anak balita. Yogyakarta: Nuha
Medika
Klaus dan Fanaroff. 1998. Penatalaksaan Neonatus Resiko Tinggi, Edisi 4. Jakarta: EGC
Kartono D. 1993. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan Duhamel
modifikasi
Disertasi.
Kartono Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta. Sagung Seto
Latief, Dr. Abdul, dkk. 2005. Buku kuliah 1 ilmu kesehatan anak. Jakarta: Infomedika
Latief, Dr. Abdul, dkk. 2005. Buku kuliah 3 ilmu kesehatan anak. Jakarta: Infomedika
Maryuyani, AMK. 2014. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak pra-sekolah. Jakarta: IN
MEDIA
Ngastiyah, 1997. Media Aesculapius, Perawatan Anak Sakit, Kedokteran, edisi 3. Jakarta:
EGC
Swenson O, 1990. Raffensperger JG. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger JG,ed
rgery. 5th ed. Connecticut: Appleton & Lange
Wong, Donna L. 1996. Pedoman klinis keperawatan pediatric. Jakarta: EGC
Wong, Donna L. 2002. Buku ajar Keperawatan Pediatrik. volume 2. Jakarta: EGC
Wong, Donna L. 2003. Pedoman klinis keperawatan pediatric. Sri kurnianingsih
(Fd), Monica Ester
(Alih bahasa) edisi-4 Jakarta: EGC
Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC
Holdstok, G. 1991. Atlas Bantu Gastroenterologi dan Penyakit Hati. Jakarta: Hipokrates.
Klaus & Fanaroff. 1998. Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi Edisi 4. Jakarta: EGC.