Anda di halaman 1dari 22

HISCHPRUNG

DISUSUN OLEH :

Kelompok 2

1. Julia Wibawa H
2. Raudatul siva lianda

Kelas 5 Dreguler

PROGRAM STUDI SARJANA (S1)

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2019 / 2020

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah ini dengan judul “PRINSIP MORAL DAN LEGAL”.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak dalam menulis makalah
ini. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Jakarta, 13 September 2019

Kelompok 2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Hirschsprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan


gangguan pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal
dengan panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit
Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada
semua usia akan tetapi yang paling sering pada neonatus. Penyakit Hirschsprung juga
dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapatnya sel ganglion
parasimpatis dari fleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal tersebutlah yang dapat
menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, spingter rektum
tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan,
kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang tidak adalion
dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan
dilatasi usus proksimal.
Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch
pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang
mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun patofisiologi terjadinya
penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan
Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan
oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion. Penyakit hirschprung
terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui
secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk
Indonesia 200 juta dan tingkay kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan
lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Insidens keseluruhan dari penyakit
Hirschsprung 1: 5000 kelahiran hidup, laki-laki lebih banyak diserang dibandingkan
perempuan ( 4: 1 ). Biasanya, penyakit Hirschsprung terjadi pada bayi aterm dan jarang
pada bayi prematur. Penyakit ini mungkin disertai dengan cacat bawaan dan termasuk
sindrom down, sindrom waardenburg serta kelainan kardiovaskuler. Selain pada anak,
penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan mengeluarkan mekonium
dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau dan konstipasi faktor
penyebab penyakit Hirschsprung diduga dapat terjadi karena faktor genetik dan faktor
lingkungan.
Oleh karena itu, penyakit Hirschsprung sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan
yang dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi, rectum,
manometri anorektal dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan
pembedahan dan colostomi.
1.2 Rumusan Masalah
A. Apa yang dimaksud dengan Hirschsprung?
B. Apa epidemiologi dari Hirschsprung?
C. Bagaimana anatomi ddan fisiologi sistem pencernaan?
D. Bagaimana etiologi dari Hirschsprung?
E. Bagaimana patofisiologi Hirschsprung?
F. Bagaimana penatalaksanaan Hirschsprung?
G. Bagaimana pengkajian Hirschsprung?
H. Apa saja diagnosa Hirschsprung?
I. Bagaimana intervensinya?
J. Bagaimana evaluasinya?
K. Bagaimana WOC Hirschsprung?
1.3 Tujuan
A. Untuk mengetahui definisi Hirschsprung
B. Untuk mengetahui epidemiologi
C. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi sistem pencernaan
D. Untuk mengetahui etiologi Hirschsprung
E. Untuk mengetahui patofisiologi Hirschsprung
F. Untuk mengetahui penatalaksanaan Hirschsprung
G. Untuk mengetahui pengkajian Hirschsprung
H. Untuk mengetahui diagnosa Hirschsprung
I. Untuk mengetahui intervensinya
J. Untuk mengetahui evaluasinya
K. Untuk mengetahui WOC Hirschsprung

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Hirschsprung (megakolon atau aganglionik kongenital) adalah anomali kongenital
yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan motilitas sebagian usus
(Wong, 1996). Penyakit Hirschsprung merupakan ketiadaan (atau, jika ada, kecil) saraf
ganglion parasimpatik pada pleksus meinterikus kolon distal (Sacharin, 1986). Daerah
yang terkena dikenal sebagai segmen aganglionik (Catzel & Roberts, 1992). Hirschsprung
merupakan kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari spinkter ani interna ke
arah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-
tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional
( Kartono, 1993; Heikkinen dkk, 1997; Fonkalsursrud 1997 dalam Irawan, 2003).
2.2. Epidemiologi
Global
Hirschsprung disease dilaporkan lebih banyak terjadi pada laki-laki dengan rasio laki-laki
: perempuan adalah 4:1. Pada populasi Asia dilaporkan bahwa insidensi Hirschsprung
disease sebesar 1:3571 kelahiran hidup. [2]
Data statistik di Amerika Serikat menunjukkan angka insidens sebesar 1 kasus pada setiap
5.400-7.200 kelahiran hidup setiap tahunnya. [3] Suatu penelitian epidemiologi di
California menunjukkan jumlah penderita sebesar 2.063 pasien sejak tahun 1995-2012
dengan angka insidensi sebesar 2.21 kasus setiap 10.000 kelahiran hidup. Angka insidensi
mencapai puncaknya pada tahun 2002. [9]
Indonesia
Belum ada data epidemiologi yang dapat menyebutkan angka kejadian Hirschsprung
disease secara nasional di Indonesia. Penelitian di RSUP Haji Adam Malik Medan
melaporkan bahwa di antara pasien Hirschsprung disease usia 0-12 bulan, 64,2%
penderita berjenis kelamin laki-laki. Gejala yang paling banyak dijumpai adalah distensi
abdomen dan pengeluaran mekonium terlambat. [10]
Mortalitas
Angka mortalitas Hirschsprung disease yang tidak ditangani dilaporkan mencapai 80%.
Sedangkan pada penderita yang menjalani prosedur operasi, angka mortalitas turun
menjadi 30%.
Penelitian di Italia tahun 1993-2010 menunjukkan angka mortalitas sebesar 2,56%,
dengan predileksi laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (rasio 3:1). Sebagian
besar (62,5% penderita yang mengalami kematian) dilaporkan berkaitan dengan kelainan
kongenital lain, seperti sindrom Down. [3,11]

2.3. Anatomi dan Fisiologi sistem pencernaan


Stuktur dinding saluran cerna berbeda antara satu bagian dengan bagian lain, tetapi
secara umum tersusun atas empat lapisan, yaitu (1) lapisan mukosa, (2) lapisan submukosa,
(3) tunika muskularis, (4) lapisan serosa (adventisia). Lapisan mukosa tersusun atas epitel,
lamina propria dan muskularis mukosa. Bentuk epitel saluran cerna berbeda antara satu
bagian dengan bagian lain. Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat longgar dengan serat
kolagen dan elastin. Di beberapa bagian saluran cerna terdapat kelenjar submukosa. Di dalam
lapisan ini terdapat pleksus submukosa (Meissner). Tunika muskularis tersusun atas dua
lapisan otot, sirkular di sebelah dalam dan longitudinal di sebelah luar. Di antara kedua
lapisan ini terdapat pleksus mienterikus (Auerbach). Tunika muskularis berperan dalam
koordinasi kontraksi otot serta mengaduk dan mendorong makanan di dalam lumen. Lapisan
serosa merupakan lapisan paling luar. Lapisan ini terutama tersusun atas jaringan ikat yang
kemudian membentuk mesenterium, kecuali di bagian esofagus dan rektum.

Mulut

Mulut merupakan bagian pertama saluran cerna. Bagian atas mulut dibatasi oleh
palatum, sedangkann bagian bawah dibatasi oleh mandibula, lidah, dan struktur lain pada
dasar mulut. Bagian lateral mulut dibatasi oleh pipi. Palatum memisahkan mulut dari hidung
dan bagian atas faring. Palatum terdiri atas dua bagian, yaitu bagiann anterior (bagian tulang),
disebut palatum durum, dan bagian posterior (tersusun attas membran mukosa), disebut
palatum mole.

Lidah

Lidah tersusun atas otot yang dilapisi, pada bagian atas dan samping, oleh membran
mukosa. Lidah menempati rongga mulut dan melekat secara langsung pada epiglotis dalam
faring. Permukaan atas lidah dipenuhi banyak tonjolan kecil, yang disebut papila lidah. Ada
empat papila utama yang dimiliki manusia, yaitu (1) papila filiformis, (2) papila fungiformis,
(3) papila sirkiumvalata, dan (4) papila foliata. Semua papila mengandung banyak ujung saraf
sensorik untuk rasa sentuhan.

Gigi

Pertumbuhan gigi merupakan suatu proses fisiologis dan dapat menyebabkan salivasi
yang berlebihan serta rasa tidak nyaman (nyeri). Gigi mempunyai ukuran dan bentuk yang
berbeda-beda, tetapi setiap gigi memiliki tiga bagian, yaitu (1) mahkota, (2) leher gigi, dan
(3) akar gigi. Mahkota gigi terlihat di atas gusi. Leher gigi merupakan bagian yang ditutupi
oleh gusi, sementara akar gigi ditahan dalam soket tulang. Bagian fungsional utama gigi
meliputi, enamel, dentin, sementum, dan pulpa.

Esofagus

Esofagus merupakan saluran otot yang membentang dari kartilago krikoid sampai
kardia lambung. Esofagus dimulai di leher sebagai sambungan faring, berjalan ke bawah
leher dan toraks, kemudian melalui crus sinistra diafragma memasuki lambung. Dinding
esofagus terdiri atas empat lapisan, yaitu (1) mukosa, (2) submukosa, (3) muskular, (4)
serosa. Lapisan mukosa merupakan lapisan paling dalam. Lapisan submukosa tebal dan
mengandung sel sekretori yang menyekresi mukus. Lapisan muskular terdiri atas serat otot
longitudinal dan sirkular. Lapisan serosa, yang merupakan lapisan terluar, terdiri atas fibrosa.

Lambung

Lambung terletak di kuadran kiri atas abdomen, lebar, dan merupakan bagian saluran
cerna yang dapat dilatasi. Bentuk lambung bervariasi, bergantung pada jumlah makanan di
dalamnya, gelombang peristaltik, tekanan dari organ lain, pernapasan, dan postur tubuh.
Lambung biasanya berbentuk J.

Usus halus

Usus halus terbagi menjadi duodenum, jejunum, dan ileum. Panjang usus halus saat
lahir 300-350 cm, meningkat sekitar 50% selama tahun pertama kehidupan. Dinding usus
halus terbagi menjadi empat lapisan, yaitu mukosa, submukosa, muskular, dan serosa
(peritoneal). Duodenum merupakan bagian terpendek usus, sekitar 7,5-10 cm, dengan
diameter 1-1,5 cm. Jejunum terletak diantara duodenum dan ileum.

Usus besar

Usus besar berfungsi mengeluarkan fraksi zar yang tidak teresap, seperti zat besi.
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum.
Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Pada mamalia, kolon terdiri dari kolon
menanjak (ascending), kolon melintang (transverse), kolon menurun (descending), kolon
sigmoid, dan rektum.

Hati

Hati merupakan kelenjar paling besar dalam tubuh. Hati merah cokelat, sangat vaskular, dan
lunak. Hati berbentuk baji dengan bagian basal pada sisi kanan dan apeks pada sisi kiri. Hati
terletak pada kuadran atas kanan abdomen dan dilindungi oleh tulang rawan kosta. Fungsi
hati banyak dan bervariasi, diantaranya : (1) memodifikasi dan mengubah zat kimia menjadi
materi tidak berbahaya guna mencegah penumpukan dan efek racun pada tubuh (detoksifikasi
banyak obat dan toksin), (2) merupakan sumber satu-satunya albumin plasma, yang menurun
pada pasien gangguan fungsi hati, (3) menyintesis glikogen jika kadar glukosa darah
menurun, (4) menyekresi empedu, (5) membentuk dan merusak eritrosit, dan (6) hati sebagai
organ sentral, penting bagi metabolisme tubuh manusia.

Pankreas

Pankreas, organ panjang pada bagian belakang abdomen atas, memiliki struktur yang
terdiri atas kaput (di dalam lengkungan duodenum), leher pankreas, dan kauda (yang
mencapai limpa). Pankreas merupakan organ ganda yang terdiri atas dua tipe jaringan, yaitu
jaringan sekresi interna dan jaringan sekresi eksterna.

Peritoneum

Peritoneum merupakan membran serosa yang tipis, licin dan lembab, yang melapisi
rongga peritoneum dan melapisi banyak organ perut, seperti kavum abdomen dan pelvis.
Peritomeum tersusun atas dua lapisan yang berkontak, lapisan parietal dan viseral.

2.4 Etiologi

Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding
usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 % terbatas di daerah
rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus
sampai pilorus.Diduga terjadi karena faktor genetik sering terjadi pada anak dengan Down
Syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi,
kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.
Sedangkan menurut (Amiel, 2001) penyebab hisprung tidak diketahui, tetapi ada
hubungan dengan kondisi genetic Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan
neoplasia endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung familiar (Edery, 1994). Gen lain
yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung termasuk sel neurotrofik glial yang
diturunkan dari factor gen, dari factor gen endhotelin-B, dan gen endothelin -3 (Marches,
2008). Penyakit Hirschprung juga terkait dengan Down syndrome, sekitar 5-15% dari pasien
dengan penyakit Hirschprung juga memiliki trisomi 21 (Rogers, 2001).

2.5 Patofisiologi

Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna dapat berjalan disepanjang usus
karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut
gerakan peristaltic). Kontraksi otot-otot tersebut dirangsang oleh sekumpulan saraf yang
disebut ganglion, yang terletak dibawah lapisan otot. Pada penyakit Hirschprung ganglion /
pleksus yang memerintahkan gerakan peristaltic tidak ada, biasanya hanya sepenjang
beberapa sentimetir. Segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristaltic tidak dapat
mendorong bahan-bahan yang dicerna sehingga terjadi penyumbatan (Dasgupta, 2004).
Dengan kondisi tidaka adanya ganglion, maka akan memberikan manisfestasi
gangguan atau tidak adanya peristalsis sehingga akan terjadi tidak adanya evakuasi usus
spontan. Selain itu sfingter rectum tidak dapat berelaksasi secara optimal, kondisi ini dapat
mencegah keluarnya feses secara normal. Isi usus kemudian terdorong ke segmen
aganglionik dan terjadi akumulasi feses di daerah tersebut sehingga memberikan manifestasi
dilatasi usus pada bagian proksimal.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik

Pada foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat gambaran
obstruksi usus rendah. Pemeriksaan dengan abrium enema sangat penting dan perlu dibuat
secepatnya. Dengan pemeriksaan ini akan ditemukan :

1. Daerah transisi
2. Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian yang menyempit
3. Enterokolitis pada segmen yang melebar
4. Terdapat retensi harium setelah 24-48 jam.

Untuk menentukan tindakan pertolongan diperlukan pemeriksaan sebagai berikut :

a. Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat penghisap dan
mencari sel ganglion pada daerah submukosa
b. Biopsi otot rektum, yakni pengambilan lapisan otot rektum, dilakukan di bawah
narkose. Pemeriksaan ini bersifat traumatik.
c. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dari hasil biopsi isap. Pada penyakit
ini khas terdapat pengingkatan aktivitas enzim asetilkolin enterase.
d. Pemeriksaan aktivitas noripinefrin dari jaringan biopsi usus.

2.7. Panatalaksanaan

Medis
1. Kolostomi
yaitu untuk menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis.
2. Operasi korektif
a. Prosedur swanson
Approach ke intra abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum
ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum,
kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar
sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon
proksimal (bagian kolon yang aganglionik sudah direseksi/ dipotong ) keluar melalui
saluran anal. potong rektum distal 2 cm dari anal verge (pinggir anal) untuk bagian
anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjutnya dilakukan anastomose end to
end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan
dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus
dikembalikan ke kavum pelvik/ abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan
kavum abdomen ditutup.
b. Prosedur Duhamel
Tampak usus ganglionik diprolapskan melalui rektum posterior, keluar dari
saluran anal. 10 – 14 hari kemudian,usus yang diprolapskan tadi dipotong dan di
anastomose end to side dengan rektum, kemudian dilakukan pemotongan septum/sekat
dengan klem Ikeda (klem khusus untuk melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8
hari kemudian).
c. Prosedur Soave
Yaitu membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos
kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas
tersebut
d. Prosedur rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan
anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot elevator
nai, menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intrabdominal ekstraperitoneal. Pasca
operasi sangat penting melakukan businasi secara rutin (Swenson, 1990 dalam Irawan
2003). Pada dasarnya keempat prosedur tindakan tersebut memotong bagian
aganglionik lalu menyambungkannya kembali dengan rektum.

Non-Medis
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila
ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :
a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini
b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan )
d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang.

2.8. Pengkajian

a. Riwayat Kesehatan

- Kaji keterangan tentang penyakit dan keluhan utama saat ini.

- Kaji apakah bayi baru lahir mengeluarkan feses mekonium dalam 24 – 48 jam
pertama kehidupan.

b. Pemeriksaan Fisik

- Inpeksi dan palpasi bagian abdomen

- Pemeriksaan rektal

c. Pemeriksaan Laboratorium

- Enema Barium

- Biopsi Pengisapan Rental

2.9. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

a. Dx : Resiko kekurangan volume cairan


Intervensi :
1. Pertahankan intake dan output yang akurat
2. Monitor status hidrasi
3. Monitor vital sign
4. Dorong masukan cairan melalui NGT

b. Dx : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


Intervensi :
1. Monitor turgor kulit
2. Dorong nutrisi (Asi) Ibu
3. Pertahankan intake cairan
4. Jadwalkan masukan nutrisi (Asi) Ibu
5. Monitor kulit kering, pucat, dan perubahan pigmentasi

c. Dx : Gangguan rasa nyaman ( Nyeri )


Intervensi :
1. Kaji nyeri secara komprehensif
2. Berikan pijatan lembut dipunggung jika bayi menangis
3. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan dan
pencahayaan.

d. Ansietas
Intervensi :
1. Identifikasi tingkat kecemasan keluarga
2. Gunakan pendekatan yang menenangkan kepada keluarga
3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
4. Dengarkan respon keluarga dengan penuh perhatian

e. Kurangnya informasi
Intervensi :
1. Identifikasi tingkat kecemasan keluarga
2. Gunakan pendekatan yang menenangkan kepada keluarga
3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
4. Dengarkan respon keluarga dengan penuh perhatian

f. Konstipasi
Intervensi :
1. Pilih pemberian enema
2. Jelaskan Prosedur pada pasien dan keluarga
3. Monitor efek samping dari tindakan pengobatan
4. Catat perkembangan baik maupun buruk
5. Observasi tanda-tanda vital dan bising usus
6. Observasi pengeluaran fases per rectal –bentuk
7. Konsultasi dengan dokter rencana pembedahan

2.10. Evaluasi
a. Dx : Resiko kekurangan volume cairan
Nadi teraba normal, tenakan darah normal, turgo kulit kembali segar, membran
mukosa lembab, volume urin sesuai, tidak ada tanda-tanda dehidrasi, suhu tubuh
normal.
b. Dx : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Kenaikan BB membran mukosa tidak pucat, nafsu makan menungkat
c. Dx : Konstipasi
BAB lancar, bising usus normal, tidak ada distensi abdomen
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
KASUS
An.R 6 bulan BB 5,1 kg ( BB sebelumnya 5,5 kg) dibawa ibunya ke unit gawat
darurat karena sulit buang air besar dan muntah-munntah ibunya merasa bingung mengapa
anaknya bisa seperti ini. Sebenarnya anak ini mengalami kesulitan BAB yang sudah
berlangsung sejak lama, bahkan menurut ibunya anak ini dilahirkan mekonium (tinja
pertama) keluar setelah 2 hari dan itupun sedikit-sedikit. Selama ini BAB selalu dirangsang
dengan pencahar dan feses yang keluar kadang-kadang mencret. Pada pemeriksaan
didapatkan distensi abdomen (+) , pada foto abdomen tampak bayangan kolon membesar
(megacolon) pada colon desenden. Pada pemeriksaan darah di dapatkan K=3mEq/l, Na=130
mEq/l. HCO3 mEq/l. klien direncanakan untuk pembedahan korektif dan membicarakannya
dengan ibu klien. Ibu klien tampak gelisah, setiap perawat atau dokter mendekati anaknya ia
selalu melontarkan peertanyaan yang sama walupun sudah dijelaskan berkali-kali, sehingga
memancing kejengkelan.

Data Fokus

Subjektif

 Ibu mengatakan anaknya muntah.


 Ibu mengatakan anak nya sulit BAB sejak lama.
 Ibu mengatakan mekonium baru keluar setelah 2 hari, dan sedikit-sedikit.
 Ibu mengatakan bila BAB harus selalu dirangsang dengan pencahar.
 Ibu mengatakan merasa bingung mengapa anaknya bias seperti ini.
 Ibu selalu bertanya kepada setiap perawat atau dokter yang mendekati anaknya
walaupun sudah dijelaskan berkali-kali dan tentang rencana operasi

Objek

 Hasil lab :  Distensi abdomen (+)


 BAB kadang-kadang mencret
Kalium 3Meq/L
Na 130Meq/l  Foto abdomen : megacolon pada
Hco3 15Meq/l colon desenden
Analisa Data
No Masalah
Analisa Data Etiologi
. Keperawana
1. Ds : Kurang nya intake, Gangguan keseimbangan
 Ibu mengatakan anaknya muntah. ada nya mual volume cairan elektrolit
Do :
 Hasil lab :
Kalium 3Meq/L
Na 130Meq/l
Hco3 15Meq/l

2. Ds : Aganglionosis/ Konstipasi
 Ibu mengatakan anak nya sulit BAB megacolon
sejak lama.
 Ibu mengatakan mekonium baru keluar
setelah 2 hari, dan sedikit-sedikit.
 Ibu mengatakan bila BAB harus selalu
dirangsang dengan pencahar.
Do :
 Distensi abdomen (+)
 BAB kadang-kadang mencret
 Feces berbentuk gepeng seperti pita
 Foto abdomen : megacolon pada colon
desenden
3. Ds : Kurang Cemas
 Ibu mengatakan merasa bingung pengetahuan
mengapa anaknya bias seperti ini.
 Ibu selalu bertanya kepada setiap
perawat atau dokter yang mendekati
anaknya walaupun sudah dijelaskan
berkali-kali dan tentang rencana
operasi.
DO :
 Ibu klien tampak gelisah
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan keseimbangan volume cairan elektrolit b.d Kurang nya intake, ada nya mual
2. Konstipasi b.d Aganglionosis / megacolon
3. Cemas b.d Kurang pengetahuan

Rencana Keperawatan
No. Dx Tujuan dan Kreteria Hasil
Intervensi Kep Rasional
Kep
1. 1. Fluid balance 1. Pertahankan catatan intke 1. Dapat mengidentifikasi
2. Hydration
dan output yang adekuat. status cairan klien
3. Setelah dilakukan
2. Monitor hidrasi 2. Mengetahui tanda –
tindakan keperawatan 3. (kelembaban membran
selama 3x 24 jam tanda dehidrasi
mukosa, nadi adekuat.) 3. Mengetahui kestabilan
gangguan keseimbangan
4. Monitor vital sign setiap
volume cairan elektrolit cairan dalam tubuh
teratasi dengan kriteria 15 menit – 1 jam 4. Mengetahui kebutuhan
hasil : 5. Kolaborasi pemberian
cairanya pasien
4. Mempertahankan urine cairan IV
output sesuai dengan usia 6. Berikan cairan oral
dan BB 7. Monitor hasil lab yang
5. Tidak ada tanda-tanda sesuai dengan retensi
dehidarasi, tidak ada rasa
cairan.
haus yang berlebihan
2. 1. Hidration Manajemen konstipasi 1. Pengengetahu faktor
2. Setelah dilakukan 1. Identifikasi factor-faktor
penyebab kontipasi
yang menyebabkan
tindakan keperawatan 2. Ibu paham apa yang
konstipasi
selama 1x 24 jam 2. Jelaskan penyebab dan harus di lakukan
rasionalisasi tindakan pada 3. Persiapan jika
konstipasi klien teratasi
ibu
kontipasi menetap
dengan kriteria hasil : 3. Konsultasikan dengan
4. Ibu mengetahui
3. Pola AB dalam batas dokter tentang peningkatan
dan penurunan bising usus. konskuensinya
normal
4. Kolaborasi jika ada tanda
4. Feses lunak
dan gejala konstiapasi yang
5. Hidrasi adekuat
menetap.
5. Jelaskan pada ibu klien
konskuensi menggunakan
laxative dalam waktu yang
lama

3. 1. kontrol kecemasan Penuruan kecemasan 1. Menenangkan ibu saat


2. koping
1. gunakan pendekatan yang mengdamping pasien
3. setelah dilakukan asuhan
2. Agar ibu mengerti
menyenangkan
keperawatan selama 1x 24
2. menyatakan dengan jelas kondisi pasien
jam kecemasan orang tua harapan 3. Agar ibu paham
3. jelaskan prosedur dan apa
teratasi dengan tahapan yang
yang dirasakan selama
kriteriahasil : disarankan
4. ibu klien mampu prosedur 4. Agar menurunkan rasa
4. temani ibu klien untuk
menidentifikasi dan cemas
memberikan rasa aman 5. Agar ibu
mengungkapan gejala
dan mengurai takut. menghetahuin
cemas
5. Berikan informasi factual
5. menidentifikasi, tindakan aa yang di
mengenai diagnosis,
mengungkapakan dan lakukan
tindakan proknosis 6. Agar ibu mengetahui
mwnunjukan tenik untuk
6. Instruksikan pada ibu
tehnik relaksai
mengkontrol cemas
klien untuk menggunakan 7. Agar ibu merasa
6. postur tubuh, ekspresi
thenik relaksasi nyaman bisa
wajah, bahasa tubuh
7. Dengarkan dengan penuh
mengungkapkan
menunjukan berkurangnya
perhatian
perasaannya.
kecemasan

BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil kasus keperawatan yang di lakuakan pada An. R 6 bulan BB 5,1 kg
( BB sebelumnya 5,5 kg) dibawa ibunya ke unit gawat darurat karena sulit buang air besar
dan muntah-munntah ibunya merasa bingung mengapa anaknya bisa seperti ini. Sebenarnya
anak ini mengalami kesulitan BAB yang sudah berlangsung sejak lama, bahkan menurut
ibunya anak ini dilahirkan mekonium (tinja pertama) keluar setelah 2 hari dan itupun sedikit-
sedikit. Selama ini BAB selalu dirangsang dengan pencahar dan feses yang keluar kadang-
kadang mencret.
Maka dalam bab ini penulis akan membahas kesenjangan antara teori dan kenyataan
yang diperoleh sebagai hasil pelaksanaan studi kasus. Dalam asuhan keperawatan kami
merencanakan keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa, perencanaan, petalaksanaan
dan evaluasi dengan uraian sebagai berikut.
Pengkajian
Adapun pengkajian yang telah di kaji secara data subjektif dan data objektif sebagai berikut :
 Subjektif
Ibu mengatakan muntah-munntah ibunya merasa bingung mengapa anaknya bisa seperti
ini.
 Objektif
Hasil lab : Kalium 3Meq/L, Na 130Meq/l, Hco3 15Meq/l
Diagnosa
 Gangguan keseimbangan volume cairan elektrolit b.d Kurang nya intake, ada nya mual
 Cemas b.d Kurang pengetahuan
Perencanaan
Pada tahap ini tidak ditemukan adanya kesenjangan antara tinjauan teori dengan tinjauan
kasus

BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Hirschsprung disebut juga dengan megakolon congenital, merupakan kelainan
ditemukan sebagai salah satu penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada kasus
Hirschsprung tidak ditemukan fleksus mientorik atau pleksus di lapisan otot dinding
usus,(plexus myentericus = Aurebach) akibatnya bagian usus yang terkena tidak dapat
mengembang.
Masalah setelah pembedahan yang dapat ditemukan adalah enterokolitis
berulang,struktur prolaps, abses perianal, dan pengotoran feses. Obstipasi (sembelit)
merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir dapat merupakan gejala obstruksi akut.
Tiga tanda (trias) yang sering ditemukan meliputi mekonium yang terlambat keluar
(lebih dari 24 jam). Perut kembung dan muntah berwarna hijau. Pada neonatus
kemungkinan ada riwayat keterlambatan keluarnya mekonium selama 3 hari atau bahkan
lebih.

5.2. Saran
Penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun sangat diharapkan.

Daftar Pustaka

Wong, Donna L dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC
Kyle, Terri & Susan Carman. 2016. Buku Ajar Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC
Kariasa, I Made dkk. 2019. Sinersi Hadikan Sukses Uji Kompetensi Ness Indonesia.
Jakarta: AIPNI
Pillitteri, Adele.2002. Buku Saku Asuhan Ibu & Anak. Jakarta: EGC
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC
Sodikin. 2011. Keperawatan Anak Gangguan Pencernaan. Jakarta: EGC
https://www.alomedika.com/penyakit/bedah-umum/hirschsprung-
disease/epidemiologi

Anda mungkin juga menyukai