Anda di halaman 1dari 52

REFERAT OBGYN

DISTOSIA

Pembimbing :
dr. Agung, Sp OG

Disusun Oleh:
Dwi Cipta Hermawan, 2008.04.0.0098
Lilik Fauziyah, 2008.04.0.0105
Ailen Oktaviana Hambalie, 2009.04.0.0020
Cherish Romina Prajitno, 2009.04.0.0024
Hendra Setiawan, 2010.04.0.0016
Wenny Octavia 2010.04.0.0017
Dendra Dian Supitra, 2010.04.0.0018

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH

2015

1
BAB I
PENDAHULUAN

Morbiditas dan mortalitas ibu dan anak meningkat pada kasus


persalinan abnormal. Persalinan abnormal mengindikasikan adanya faktor
komplikasi yang terjadi pada saat persalinan. Terjadinya persalinan
abnormal berhubungan dengan berbagai faktor risiko yang dimiliki oleh ibu
hamil yang disebut sebagai faktor risiko determinan. Adapun faktor-faktor
risiko determinan tersebut dapat meliputi faktor-faktor risiko obstetrik dan
penyakit sistemik sebagai underlying disease.
Persalinan abnormal dimaksudkan adalah kasus ibu yang
melahirkan bukan secara spontan pervaginam, melainkan dengan
tindakan ekstraksi vakum, ekstraksi forsep dan seksio sesarea sesuai
dengan indikasi.
Diagnosis adanya hambatan atau berhentinya kemajuan persalinan
pada fase aktif lebih mudah ditegakkan dan umumnya disebabkan oleh
faktor 3 P, yaitu Power,Passage,Passanger.
Pada komponen Power, frekuensi kontraksi uterus mungkin
memadai namun intensitas nya tidak memadai. Adanya gangguan
hantaran saraf untuk terjadinya kontraksi uterus misalnya adanya jaringan
parut pada bekas sectio caesar, miomektomi atau gangguan hantaran
saraf lain dapat menyebabkan kontraksi uterus berlangsung secara tidak
efektif. Apapun penyebabnya, gangguan Ini akan menyebabkan kelainan
kemajuan dilatasi dan pendataran sehingga keadaan ini seringkali disebut
sebagai Distosia Fungsionalis.
Passage (atau kapasitas panggul), kelainan pada kapasitas
panggul (kelainan bentuk, luas pelvik) dapat menyebabkan persalinan
abnormal. Baik janin maupun kapasitas panggul dapat menyebabkan
persalinan abnormal akibat adanya obstruksi mekanis sehingga seringkali
dinamakan dengan Distosia Mekanis. Harus pula diingat bahwa selain
tulang panggul, organ sekitar jalan lahir dapat pula menyebabkan

2
hambatan persalinan (soft tissue dystocia akibat vesica urinaria atau
rektum yang penuh).
Passanger (janin), kelainan besar dan bentuk janin serta kelainan
letak, presentasi dan posisi janin dapat menyebabkan hambatan
kemajuan persalinan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Distosia berasal dari bahasa Yunani, Dys atau dus berarti buruk
atau jelek, tosia berasal dari tocos yang berarti persalinan, sehingga
distosia merupakan persalinan yang sulit, tidak ada kemajuan dalam
persalinan atau merupakan persalinan yang membawa satu akibat buruk
bagi janin maupun ibu (Winkjosastro et al, 2006).

2.2 Etiologi
Keaadaan ini disebabkan empat abnormalitas berbeda, yang dapat terjadi
satu demi satu atau dalam kombinasi :
1. Kelainan gaya dorong (ekspulsi) baik akibat gaya uterus yang
kurang kuat atau kurangnya koordinasi untuk melakukan
pendataran dan dilatasi serviks (disfungsi uterus), maupun
kurangnya upaya otot volunteer selama persalinan dalam kala 2
2. Kelainan tulang panggul ibu yaitu panggul ibu yang sempit
3. Kelainan presentasi, posisi, atau perkembangan janin
4. Kelainan jaringan lunak saluran reproduksi yang membentuk
halangan bagi turunnya janin (Cunningham, 2014).

Distosia dapat terjadi akibat beberapa kelainan tertentu yang


melibatkan serviks, uterus, janin, tulang panggul ibu, atau obstruksi lain di
jalan lahir. Kelainan-kelainan ini telah secara mekanistis disederhanakan
oleh American College of Obstetricians and Gynecologists menjadi tiga
kategori :
1. Kelainan kekuatan (power) kontraktilitas uterus dan upaya
ekspulsif ibu.
2. Kelainan yang melibatkan janin (passanger).
3. Kelainan jalan lahir (passage) panggul sang ibu (Cunningham,
2014).

4
Kombinasi kelainan-kelainan tersebut cukup sering menimbulkan
gangguan persalinan. Saat ini istilah seperti disproporsi sefalo-pelvic dan
kegagalan kemajuan (Failure to progress) sering digunakan untuk
menjelaskan persalinan yang tidak efektif sehingga perlu dilakukan seksio
sesarea. Istilah disproporsi sefalopelvik digunakan untuk menjelaskan
adanya obstruksi persalinan akibat disparitas / ketidaksesuaian antara
ukuran kepala janin dan besar panggul ibu sehingga janin tidak dapat
keluar melalui vagina. Sedangkan kegagalan kemajuan (Failure to
progress) baik pada persalinan spontan maupun persalinan diinduksi
menggambarkan persalinan yang tidak efektif karena tidak adanya
kemajuan pembukaan serviks ataupun penurunan janin (Cunningham,
2014).
Temuan klinis umum pada wanita dengan persalinan yang tidak efektif :
1. Dilatasi serviks atau penurunan janin yang tidak memadai
Persalinan memanjang kemajuan lambat
Persalinan macet tidak ada kemajuan
Gaya ekspulsif ibu kurang memadai mendorongnya kurang
efektif
2. Disproporsi fetopelvic
Ukuran janin yang berlebihan (terlalu besar)
Kapasitas panggul kurang memadai (terlalu kecil)
Malpresentasi atau posisi janin
3. Pecah ketuban tanpa diikuti persalinan (Cunningham, 2014)

5
Tabel pola persalinan abnormal, kriteria diagnose, serta metode
terapi menurut Friedman terbagi menjadi 3 kelainan, yaitu:
Prolongation disorder, protraction disorders, arrest disorders

2.3 Distosia karena kelainan kekuatan (power)


Dilatasi cervix, tenaga pendorong fetus, dan pengeluaran fetus
dipengaruhi oleh kontraksi uterus yang diperkuat saat kala dua oleh aksi
dari otot-otot dinding abdomen. Intensitas kedua faktor ini mungkin kurang
sehingga persalinan melambat atau bahkan terhenti. Disfungsi uterus
ditandai dengan kontraksi yang jarang dengan intensitas rendah.
Diagnosis dari disfungsi uterus pada fase laten sulit untuk ditegakkan dan
terkadang hanya dapat ditegakkan secara retrospektif. Disfungsi uterus
pada fase pembukaan cervix ditandai dengan ti
dak adanya kemajuan. Salah satu kesalahan yang sering terjadi
adalah menganggap wanita yang belum inpartu mengalami disfungsi
uterus. Pada awal tahun 1960, terdapat 3 perkembangan untuk terapi
disfungsi uterus yang signifikan :
1. Kesadaran bahwa memanjangnya waktu persalinan dapat
berkontribusi pada peningkatan mortalitas dan morbiditas
2. Pemberian oxytocin melalui infus intravena dapat digunakan
untuk terapi disfungsi uterus tertentu

6
3. Sectio Caesaria dipilih jika terapi dengan oxytocin tidak
membuahkan hasil atau pemakaiannya tidak memungkinkan
(Cunningham, 2014).

2.3.1 Tipe-Tipe Disfungsi Uterus


Kontraksi uterus pada persalinan normal ditandai dengan gradient
aktivitas myometrium, yaitu paling besar dan paling lama di fundus
(domnansi fundus) dan melemah ke arah cervix. Terdapat 2 jenis disfungsi
uterus :
1. Disfungsi uterus hipotonik
Lebih sering dijumpai. Tidak terdapat hipertonus basal dan
kontraksi uterus memiliki pola gradien yang normal, tetapi saat
kontraksi hanya terjadi sedikit peningkatan tekanan yang tidak
memadai untuk membuka cervix
2. Disfungsi uterus hipertonik atau incoordinate uterus dysfunction
Tonus basal meningkat atau gradien tekanan yang menyimpang.
Kemungkinan disebabkan oleh kontraksi segmen tengah uterus
yang kekuatannya lebih kuat daripada fundus, atau oleh
asinkronisasi total impuls-impuls yang berasal dari dua kornu, atau
kombinasi keduanya.
Kausa disfungsi uterus yang sering terjadi akibat intervensi
persalinan seperti analgesik epidural dan korioamnionitis
diperkirakan dapat menjadi penyebab disfungsi uterus. Pada
analgesik epidural dapat memperlambat persalinan, berkaitan
dengan memanjangnya persalinan kala satu dan kala dua serta
melambatnya kecepatan penurunan janin. Pada korioamnionitis,
karena adanya keterkaitan antara persalinan yang lama dengan
infeksi intrapartum pada ibu, besar kemungkinannya bahwa infeksi
uterus adalah konsekuensi dari disfungsi uterus (Cunningham,
2014).

7
2.3.2 Kelainan Fase Aktif
Persalinan abnormal dibagi menjadi Protraction Disorder (kemajuan
yang lebih lambat daripada biasanya) dan Arrest Disorder (penghentian
komplit), dengan syarat seorang wanita harus dalam fase aktif dari
persalinan dengan dilatasi cervix paling sedikit 3-4 cm.
1. Protraction Disorder (Kemajuan yang lebih lambat daripada
biasanya)
Didefinisikan dengan dilatasi kurang dari 1cm/jam dalam minimal 4
jam.
2. Arrest Disorder (Penghentian komplit)
Didefinisikan dengan tidak adanya dilatasi dalam 2 jam atau lebih
(Cunningham, 2014).
American College of Obstetricians and Gynecologists (2013)
menyarankan bahwa sebelum diagnosis first-stage labor arrest dibuat
harus memenuhi kriteria:
1. Fase laten komplit
2. Dilatasi cervix 4 cm atau lebih
3. Pola kontraksi uterus tidak berubah selama 2 jam (Cunningham,
2014)

2.3.3 Kelainan Tahap Kedua


Setelah dilatasi komplit, diikuti dengan penurunan fetus.
Disproporsi fetus dan pelvis menjadi lebih nyata pada tahap kedua. Tahap
kedua untuk nulipara terbatas dalam waktu 2 jam dan diperpanjang
menjadi 3 jam dengan analgesik regional dan untuk multipara terbatas
dalam waktu 1 jam dan diperpanjang menjadi 2 jam dengan analgesik
regional. Penggunaan analgesik epidural mempengaruhi persalinan
dengan memperpanjang tahap kedua (Cunningham, 2014).
Lama dari persalinan tahap kedua tidak mempengaruhi outcome
dari neonatus dan mortalitasnya. Sedangkan kelainan outcome maternal
meningkat pada tahap kedua yang lama, seperti sectio caesaria,
persalinan dengan alat bantu, trauma perineal, perdarahan post partum,
dan korioamnionitis (Cunningham, 2014).

8
Upaya Maternal Pushing
Dengan dilatasi cervix komplit, kebanyakan wanita tidak dapat
menahan keinginan untuk mendorong setiap terjadi kontraksi dari uterus.
Kombinasi dari kontraksi uterus dan dinding abdomen mendorong fetus ke
bawah. Gaya yang dihasilkan dari dinding abdomen dapat memperlambat
atau mencegah persalinan vaginal spontan, dimana dengan pemberian
sedasi dapat mengurangi keinginan mendorong tersebut dan mengurangi
kontraksi dari dinding abdomen (Cunningham, 2014).

2.3.4 Posisi Fetus Pada Saat Kelahiran


Penurunan dari bagian paling bawah janin setinggi spina ischiadika
disebut sebagai engagement. Friedman dan sachtleben (1965,1976)
melaporkan adanya hubungan yang signifikan antara tingginya letak fetus
pada saat kelahiran dengan kejadian distosia. Handa dan Laros (1993)
menemukan bahwa penurunan fetus dengan partus yang lama
merupakan faktor resiko distosia. Roshanfekr dkk (1999) menganalisis
posisi fetus pada 803 wanita nulipara aterm pada persalinan aktif. Pada
awalnya, sejumlah 1/3 dengan posisi kepala dibawah station 0 memiliki
5% kemungkinan persalinan cesarean. Pada letak yang lebih tinggi
kemungkinan meningkat 14%. Prognosis untuk distosia tidak
berhubungan dengan tingginya letak kepala fetus diatas pelvic midplane.
86% dari wanita nulipara tanpa engagement kepala fetus saat diagnosis
persalinan aktif mengalami persalinan pervaginam (Cunningham, 2014).

9
2.3.5 Penyebab disfungsi uterus
Analgesi epidural
Perlu ditekankan bahwa analgesi epidural dapat memperlambat
persalinan sebagai contoh, analgesi epidural dilaporkan berkaitan dengan
memanjangnya persalinan kala satu dan kala dua serta melambatnya
kecepatan penurunan janin (Cunningham, 2014).
Korioamnionitis
Karena adanya keterikatan antara persalinan yang lama dengan
infeksi intrapartum pada ibu, beberapa dokter mengatakan bahwa infeksi
itu sendiri yang berperan menimnbulkan kelainan uterus. 40 persen wanita
yang mengalami korioamnionitis setelah memerlukan oxitosin untuk
disfungsi persalinan, kemudian memerlukan seksio sesarea untuk
distosia. Besar kemungkinan bahwa infeksi uterus dalam situasi klinis ini
adalah konsekuensi disfungsi (partus lama) dan bukan merupakan
penyebab distosia (Cunningham, 2014).
Posisi Ibu Pada Saat Persalinan
Bloom dkk (1998) melakukan percobaan acak untuk mempelajari
efek ambulasi selama persalinan kala 1. Dari 1067 wanita dengan
kehamilan tanpa komplikasi, didapatkan bahwa ambulasi tidak
mempengaruhi durasi persalinan. Ambulasi tidak mengurangi penggunaan
analgesic. Oleh karena itu, diberikan pilhan ambulasi selama persalinan
pada kehamilan tanpa komplikasi (Cunningham, 2014).
Posisi Persalinan Pada Kala 2
Gupta dan Hofmayr (2004) membandingkan posisi berdiri dan
posisi litotomi. Posisi berdiri termasuk duduk pada birthing chair ,
berlutut, jongkok atau bersandar pada punggung berada pada 30.
Dengan posisi-posisi ini , ditemukan adanya interval 4 menit yang lebih
pendek saat persalinan , nyeri yang lebih berkurang , dan penurunan
insiden persalinan vaginal operative. Namun terdapat peningkatan insiden
perdarahan lebih dari 500 ml pada posisi berdiri. Russell ( 1969)
menggambarkan adanya 20-30 % peningkatan daerah pelvic outlet pada
posisi jongkok dibandingkan dengan posisi supine. Babayer dkk (1998)

10
melaporkan menunjukkan duduk atau jongkok yang terlalu lama pada saat
kala 2 persalinan dapat menyebabkan fibular nerve neuropathy
(Cunningham, 2014).

2.4 Distosia karena kelainan jalan lahir (passage)


Menurut Cadwell dan Moloy berdasarkan penyelidikan
roentgenologik dan anatomik, panggul-panggul menurut morfologinya
dibagi menjadi 4 jenis pokok. Jenis-jenis ini dengan ciri-ciri pentingnya:
a) Panggul Ginekoid
Pintu panggul yang bundar dengan diameter transversa yang
sedikit lebih panjang daripada diameter anteroposterior dan
panggul tengah serta pintu bawah panggul yang cukup luas.
Dinding samping panggul lurus, spina tidak menonjol, dan
diameter transversa spina ischiadika 10 cm atau lebih.
b) Panggul Antropoid
Panggul jenis ini memiliki diameter anteroposterior yang lebih
panjang daripada diameter transversa dan dengan arkus pubis
menyempit. Spina ischiadika pada panggul jenis ini cenderung
menonjol dan dinding samping panggul cenderung berbentuk
konvergen.
c) Panggul Android
Panggul android memiliki ciri pintu atas panggul berbentuk
segitiga dengan spina ischiadika menonjol kedalam dan arkus
pubis menyempit. Dinding samping biasanya konvergen, spina
ischiadika menonjol, dan os sakrum tidak melengkung tetapi lurus
dan maju ke depan.
d) Panggul Platipelloid
Panggul dengan diameter anteroposterior yang lebih pendek
daripada diameter transversa pada pintu atas panggul dan
dengan arkus pubis yang luas. Sudut panggul anterior sangat
lebar dan kelengkungan os sakrum biasanya cukup.

11
Dari keempat jenis panggul diatas panggul ginekoid merupakan
jenis panggul dengan prognosa persalinan paling baik, sedangkan ketiga
jenis panggul lainnya dapat menyebabkan terjadinya distosia persalinan

2.4.1 Disproporsi Fetopelvik


2.4.1.1 Kapasitas pelvis
Disproporsi fetopelvis terjadi akibat janin yang terlalu besar atau
kapasitas pelvis yang kurang dan biasanya akibat dari keduanya.
Kontraksi diameter pelvis menyebabkan pengurangan kapasitas pelvis
dan dapat menyebabkan distosia saat persalinan. Kontraksi dapat terjadi
pada pelvic inlet, midpelvic, atau pelvic outlet, atau kontraksi pelvis secara
general akibat dari ketiganya (Cunningham, 2014). Penegakan diagnosis
pada distosia akibat adanya kelainan ukuran panggul dapat ditegakkan
dengan melakukan pengukuran pengukuran kapasitas panggul
(Cunningham, 2005).
Kontraksi inlet
Inlet pelvis dikatakan kontraksi jika diameter anteroposterior
terkecil kurang dari 10 cm atau diameter transversal terbesar
kurang dari 12 cm. Diameter anteroposterior inlet biasanya
didapatkan dari pengukuran diagonal konjugat secara manual yang
1.5 cm lebih besar dari diameter anteroposterior (Cunningham,
2014).

12
Identifikasi diameter anteroposterior didasarkan pada klinis dan
pencitraan pelvimetri. Terkadang terdapat peergeseran keanterior
korpus vertebra sacrum pertama sehingga mempersempit jarak
promontorium sacrum abnormal ini ke symphysis pubis
(Cunningham, 2014)
Sebelum persalinan, diameter biparietal fetus rata-rata 9.5-9.8
cm. Sehingga sulit, bahkan tidak mungkin bagi fetus untuk melewati
pelvis dengan diameter anteroposterior kurang dari 10cm
(Cunningham, 2014).
Wanita yang pendek kebanyakan memiliki pelvis yang kecil,
namun kebanyakan memiliki neonatus yang kecil pula
(Cunningham, 2014).
Biasanya, dilatasi serviks dibantu dengan tekanan hidrostatik
membran yang masih intak, atau jika sudah ruptur, bagian
presentasi terhadap serviks. Pada pelvis yang terkontraksi,
sedangkan kepala fetus masih tertahan di pelvic inlet, seluruh gaya
yang diberikan oleh uterus bekerja langsung pada bagian bawah
membran yang berhubungan dengan serviks, sehingga serviks
dilatasi. Akibatnya sering terjadi ruptur spontan membran secara
dini (Cunningham, 2014).
Setelah membran ruptur, akibat tidak adanya tekanan dari
kepala fetus terhadap serviks dan uterus bagiaan bawah
menyebabkan penurunan efektivitas kontraksi. Dengan demikian,
respon serviks dapat memberi nilai prognostik pada persalinan
dengan kontraksi inlet (Cunningham, 2014).
Kontraksi inlet dapat menyebabkan presentasi abnormal.
Presentasi kepala masih prediominan, namun akibat kontraksi
pelvis menyebabkan kepala masih bebas bergerak atau bersandar
ke lateral, ke fosa iliaca. Sehingga sedikit saja perubahan dapat
mengubah presentasi fetus. Presentasi wajah dan bahu sering
terjadi pada kasus ini dan prolaps talipusat juga sering terjadi
(Cunningham, 2014).

13
Kontraksi midpelvis
Kontraksi ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan kontraksi
inlet. Hal ini menyebabkan kepala fetus tertahan secara transversal
yang berpotensi mempersulit tindakan midforceps atau persalinan
sesar (Cunningham, 2014).
Bidang obstetrik dari midpelvic dimulai dari margo inferior
symphysis pubic sampai spina ischiadica dan menyentuh sakrum
didekat batas anntara vertebra ke 4&5. Garis transversal
menghubungkan antara kedua spina ischiadika, membagi midpelvic
menjadi bagian anterior dan posterior. Bagian anterior dibbatasi
dengan batas bawah symphysis pubis dan llateral oleh ischiopubis.
Bagian posterior dibatasi dengan sacrum dan bagian lateral dengan
ligamentum sacrospinosus membentuk batas bawah sacroiliatic
(Cunningham, 2014).
Pengukuran midpelvis: diameter transversal atau interischial
spinosus,10.5cm; anteroposterior (dari batas bawah symphysis
pubis ke junction S4-S5) 11.5cm; dan posteriorsagital (dari titik
tengah linea interspinosus ke sacrum) 5cm. Definisi dari kontraksi
midpelvic belum sejelas kontrraksi inlet. Namun, kemungkinan
terjadi kontraksi midpelvic jika jumlah diameter interspinosus dan
sagital posterior normalnya 10.5cm ditambah 5 cm (15.5 cm)
menjadi <13.5 cm. Curigai terjadi kontraksi midpelvic jika diameter
interspinosus <10cm. Dan nyatakan terjadi kontraksi midpelvis jika
<8cm. Meski pengukuran dimensi midpelvic sulit dilakukan secara
manual, kontraksi dapat dodeteksi apabila spina prominen, dinding
samping panggul yang konvergen, atau jarak kedua sacrosciatic
sempit (Cunningham, 2014).
Kontraksi outlet
Biasanya dapat dideteksi dari diameter tuberositas
interischiadica 8cm. Pelvic outlet secara kasar dapat dihubungkan
dengan dua segitiga, dengan diameter antara dua tuberositas
ischiadica membentuk dasar dari kedua segitiga tersebut. Kedua

14
sisi segitiga anterior adalah ramus pubis dan apeksnya adalah
bagian inferoposterior symphysis pubis. Apex segitiga posterior
merupakan ujung vertebra sacralis terakhir. Pengecilan diameter
intertuberosa dengan konsekuensi penyepitan diameter segitiga
anterior akan memaksa kepala fetus ke posterior (Cunningham,
2014).
Kontraksi outlet biasanya bersamaan dengan kontraksi
midpelvic menyebabkan dystosia. Meski ketidaksesuaian ukuran
kepala fetus dan pelvic outlet tidak cukup besar untuk
menyebabkan dystosiaberat, namun dapat menyebabkan robeknya
perineum. Dengan menyempitnya arkus symphysis pubis, occiput
tidak dapat muncul langsung dibawah symphysis pubis melainkan
dipaksa turun ke ramus ischiopubis. Konsekuensinya perineum
terdistensi dan beresiko terjadi laserasi (Cunningham, 2014).
2.4.1.2 Fraktur pelvis
Bisanya akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Pola fraktur serta
perubahan kecil pada susunan tulang (alignment) bukan merupakan
indikasi absolut untuk kelahiran sesar (Cunningham, 2014).
Memperkirakan kapasitas panggul dapat ditentukan dengan
memeriksa diameter anteroposterior pada inlet, konjugat diagonal, dan
diameter interspinosus dari midpelvis, dan pada jarak antara kedua
tuberositas panaggul tengah (midpelvic). Arkus pelvis yang <90 dapat
menandakan bahwa pelvis tersebut sempit. Kepala fetus yang belum
engage dapat mengindikasikan baik kepala fetus yang terlalu besar
ataupun kapasitas pintu masuk panggul yang kecil. Nilai pencitraan
radiologis untuk menilai kapasitas panggul juga diperiksa. Namun
pelvimetry x-ray saja tidak dapat menggambarkan prognosis kelahiran
secara pervagina (Cunningham, 2014).
Keunggulan CT-Scan dibandingkkan foto konvensional antara lain;
lebih akurat, dan lebih mudah di lakukan. Sedangkan keunggulan
penggunaan MRI selain rendahnya radiasi, akurasi yang lebih tinggi,

15
dapat menggambarkan fetus, dan berpotensi menilai distosia jaringan ikat
(McCarthy, 1986;Stark 1985).

2.4.1.3 Dimensi fetus pada disproporsi fetopelvis


Ukuran kepala fetus saja terkadang dapat menjadi alasan
kegagalan proses kelahiran. Meskipun dengan teknologi saat ini, ambang
ukuran fetus untuk memprediksikan disproporsi fetopelvic masih sulit
dipahami. Sebagian besar kasus disproporsi timbul pada janin yang berat
badannya dalam kisaran populasi kandungan umum, bahkan kurang dari
3700 gram. Faktor-faktor selain ukuran janin contohnya; posisi kepala
yang tidak sesuai, obstruksi jalan lahir, asinklitismus, posisi oksiput
posterior, presentasi wajah dan alis (Cunningham, 2014).

Memprediksi ukuran kepala fetus


Memperkirakan disproporsi fetopelvic secara klinis dan radiologi
tdak memberikan hasil yang memuaskan. Muller (1885) dan Hillis (1930)
menjelaskan manuver klinis untuk memperkirakan disproposi. Regio
suboccipital dan alis fetus dipeganng pada abdomen kemudian beri
tekanan pada axis inlet. Apabila tidak ada disproporsi, kepala akan masuk
ke pelvis dan kita dapat memprediksi sebagai kelahiran pervagina. Thorp
dkk (1993) melakukan evaluasi prospektif terhadap manuver Muller-Hillis
dan menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara dystosia dan
kegagalan descent selama manuver (Cunningham, 2014).
Pengukuran diameter fetus menggunakan foto polos tidak
digunakan karena distorsi paralaks. Diameter biparietal dan lingkar kepala
dapat diukur menggunakan sonografi. Turnau dkk (1991) menggunakan
indeks fetal-pelvis untuk mengidentifikasi komplikasi persalinan. Namun
sensitifitasnya rendah. Sampai saat ini belum ada metode yang akurat
untuk memprediksi disproporsi fetopelvis berdasarkan ukuran kepala
(Cunningham, 2014).

16
2.4.2 Prognosis
Apabila persalinan dengan disproporsi sefalopelvik dibiarkan
berlangsung sendiri apa-bilamana perlu-pengambilan tindakan yang tepat,
timbul bahaya bagi ibu dan janin (Prawirohardjo, 2010).
Bahaya pada ibu :
a. Partus lama yang sering kali disertai pecahnya ketuban pada
pembukaan kecil, dapat menimbulkan dehidrasi serta
asidosis, dan infeksi intrapartum (Prawirohardjo, 2010)
b. Dengan his yang kuat, sedang kemajuan janin dalam jalan
lahir tertahan, dapat timbul regangan segmen bawah uterus
dan pembentukan lingkaran retraksi patologik (bandl).
Keadaan ini terkenal dengan nama rupture uteri
mengancam; apalagi tidak segera diambil tindakan untuk
mengurangi regangan, akan timbul rupture uteri
(Prawirohardjo, 2010).
c. Dengan persalinan tidak maju karena disproporsi
sefalopelvik, jalan lahir pada suatu tempat mengalami
tekanan yang lama antara kepala janin dan tulang panggul.
Hal itu menimbulkan gangguan sirkulasi dengan akibat
terjadinya iskemia dan kemudian nekrosis pada tempat
tersebut. Beberapa hari post partum akan terjadi fistula
vesikoservikalis, atau fistula vesikovagnalis, atau fistula
rektovaginalis (Prawirohardjo, 2010).
Bahaya pada janin :
a. Partus lama dapat dapat meningkatkan kematian perinatal,
apalagi jika di tambah dengan infeksi intrapartum
(Prawirohardjo, 2010)
b. Prolapsus funikul, apabila terjadi, mengandung bahaya yang
sangat besar bagi janin dan memerlukan kelairannya
dengan segera apabila ia masih hidup (Prawirohardjo, 2010)
c. Dengan adanya disproporsi sefalopelvik kepala janin dapat
melewati rintangan mengadakan moulage. Moulage dapat

17
dialami oleh kepala janin tanpa akibat yang jelek sampai
batas-batas tertentu, akan tetapi apabila batas-batas
tersebut dilampaui, terjadi sobekan pada tentorium serebelli
dan perdarahan intracranial (Prawirohardjo, 2010).
d. Selanjutnya tekanan oleh promontorium atau kadang-
kadang oleh simfisis pada panggul picak menyebabkan
perlukaan pada jaringan diatas tulang kepala janin, malahan
dapat pula menimbulkan fraktur pada os paretalis
(Prawirohardjo, 2010).

2.4.3 Penanganan
Dewasa ini 2 tindakan dalam penanganan disproporsi sefalopevik
yang dahulu banyak dilakukan tidak diselenggarakan lagi. Cunam tinggi
dengan menggunakan axis-traction forceps dahulu dilakukan untuk
membawa kepala kepala janin yang dengan ukuran besarnya belum
melewati pintu atas panggul - ke dalam rogga panggul dan terus keluar.
Tindakan ini yang sangat berbahaya bagi janin dan ibu, kini diganti oleh
seksio sesarea yang jauh lebih aman. Induksi partus premarturus
umumnya juga tidak dilakukan lagi (Prawirohardjo, 2010).
Dewasa ini 2 cara merupakan tindakan utama untuk menangani
persalinan pada disproporsi sefalopelvik, yakni seksio sesarea dan partus
percobaan. Di samping itu kadang-kadang ada indikasi untuk melakukan
simfisiotomia dan kraniotomia, akan tetapi simfisiotomia jarang sekali
dilakukan di Indonesia, sedangkan kraniotomia hanya dikerjakan pada
janin mati (Prawirohardjo, 2010).

Seksio sesarea : Seksio sesarea dapat dilakukan secara elektif


atau primer, yakni sebelum persalinan mulai atau pada awal
persalinan, secara sekunder, yakni sesudah persalinan
berlangsung selama beberapa waktu. Seksio sesarea elektif
direncanakan lebih dahulu dan dilakukan pada kehamilan cukup
bulan karena kesempitan panggul yang cukup berat atau karena

18
terdapat disproporsi sefalopelvik yang nyata. Selain itu seksio
tersebut diselenggarakan pada kesempitan ringan apabila ada
faktor-faktor lain yang merupakn komplikasi, seperti primigravida
tua, kelainan letak janin yang tidak dapat diperbaiki, kehamilan
pada wanita yang mengalami masa infertilitas yang lama, penyakit
jantung dan lain-lain. Seksio sesarea sekunder dilakukan karena
persalinanpercobaan dianggap gagal, atau karena timbul indikasi
untuk menyelesaikan persalinan selekas mungkin, sedang syarat-
syarat untuk persalinan pervaginam tidak atau belum dipenuhi
(Prawirohardjo, 2010).
Persalinan percobaan : Setelah pada panggul sempit berdasarkan
pemeriksaan yang teliti pada hamil tua diadakan penilaian tentang
bentuk serta ukuran-ukuran panggul dalam semua bidang dan
hubungan antara kepala janin dan panggul, dan setelah dicapai
kesimpulan bahwa ada harapan bahwa persalinan dapat
berlangsung pervaginam dengan selamat, dapat diambil keputusan
untuk menyelenggarakan persalinan percobaan. Dengan demikian
persalinan ini merupakan suatu test terhadap kekuatan his dan
daya akomodasi, termasuk moulage kepala janin; kedua faktor ini
tidak dapat diketahui sebelum persalinan berlangsung selama
beberapa waktu. Pemilihan kasus-kasus untuk persalinan
percobaan harus dilakukan dengan cermat. Di atas sudah dibahas
indikasi-indikasi untuk seksio sesarea elektif; keadaan keadaan
ini dengan sendirinya merupakan kontra indikasi untuk persalinan
percobaan. Selain ini beberapa hal perlu pula mendapat perhatian.
Janin harus berada dalam presentasi kepala dan tuanya kehamilan
tidak lebih dari 42 minggu. Alasan bagi ketentuan yang terakhir ini
ialah kepala janin bertambah besar serta lebih sukar mengadakan
moulage, dan berhubung dengan kemungkinan adanya disfungsi
plasenta janin mungkin kurang mampu mengatasi kesukaran yang
dapat timbul pada persalinan percobaan. Perlu disadari pula bahwa
kesempitan panggul dalam satu bidang, seperti pada panggul

19
picak, lebih menguntungkan daripada kesempitan dalam beberapa
bidang (Prawirohardjo, 2010).
Simfisiotomi
Simfisiotomi ialah tindakan untuk memisahkan tulang panggul kiri
dari tulang panggul kanan pada simfisis supaya dengan demikian
rongga panggul menjadi lebih luas . Tindakan ini tidak banyak lagi
dilakukan oleh karena terdesak oleh seksio sesarea. Satu-satunya
indikasi ialah apabila pada panggul sempit dengan janin masih
hidup terdapat infeksi intrapartum berat, sehingga seksio sesarea
dianggap terlalu berbahaya (Prawirohardjo, 2010).
Kraniotomi
Pada persalinan yang dibiarkan berlarut-larut dan dengan janin
sudah meninggal, sebaiknya persalinan diselesaikan dengan
kraniotomi dan kranioklasi. Hanya jika panggul demikian sempitnya
sehingga janin tidak dapat dilahirkan dengan kraniotomi, terpaksa
dilakukan seksio sesarea (Prawirohardjo, 2010).

2.4.4 Distosia karena Kelainan Traktus Genitalis


Vulva
Kelainan yang bisa menyebabkan distosia ialah edema, stenosis
dan tumor. Edema bisa timbul waktu hamil, biasanya sebagai
gejala preeklampsia akan tetapi dapat pula mempunyai sebab lain
misalnya gangguan gizi. Pada persalinan lama dengan penderita
dibiarkan meneran terus, dapat timbul pula edema pada vulva.
Kelainan ini umumnya jarang merupakan rintangan bagi kelahiran
pervaginam (Prawirohardjo, 2010).
Stenosis pada vulva biasanya terjadi sebagai akibat perlukaan
dan radang , yang menyebabkan ulkus-ulkus dan yang sembuh
dengan parut-parut yang dapat menimbulkan kesulitan, walaupun
umumnya dapat diatasi dengan mengadakan episiotomi yang
cukup luas. Kelainan kongenital pada vulva yang menutup sama
sekali hingga hanya orifisium uretra eksternum tampak dapat pula

20
terjadi. Penanganan ialah mengadakan sayatan median
secukupnya untuk melahirkan kepala janin (Prawirohardjo, 2010).
Tumor dalam bentuk neoplasma jarang ditemukan pada vulva;
lebih sering terdapat kondilomata akuminata, kista atau abses
glandula Bartholin. Abses yang pecah pada waktu persalinan
dapat menyebabkan infeksi puerperalis (Prawirohardjo, 2010).
Vagina
Stenosis vagina kongenital jarang terdapat, lebih sering
ditemukan septum vagina yang memisahkan vagina secara
lengkap atau tidak lengkap dalam bagian kanan dan bagian kiri .
Septum lengkap biasanya tidak menimbulkan distosia karena
bagian vagina yang satu umumnya cukup lebar, baik untuk koitus
maupun untuk lahirnya janin. Septum tidak lengkap kadang-
kadang menahan turunnya kepala janin pada persalinan dan
harus di potong terlebih dahulu.stenosis dapat terjadi karena
parut-parut akibat perlukaan dan radang, pada stenosis vagina
yang tetap kaku dalam kehamilan dan merupakan halangan untuk
lahirnya janin, perlu di pertimbangkan seksio sesarea
(Prawirohardjo, 2010).
Tumor vagina dapat merupakan rintangan bagi lahirnya janin
pervaginam. Adanya tumor vagina bisa pula menyebabkan
persalinan pervaginam di anggap mengandung terlampau banyak
resiko, tergantung dari jenis dan besarnya tumor, perlu di
pertimbangkan apakah persalinan dapat berlangsung pervaginam
atau harus di selesaikan dengan seksio sesarea (Prawirohardjo,
2010).
Serviks Uteri
Distosia secara servikalis karena dysfunctional uterine ection atau
karena parut pada serviks uteri sudah di bicarakan dalam bab lain
(Prawirohardjo, 2010).
Konglutinasio orivisii eksterni ialah keadaan yang jarang terdapat,
disini dalam kala satu serviks uteri menipis akan tetapi

21
pembukaan tidak terjadi, sehingga merupakan lembaran kertas
dibawah kepala janin, diagnosis dibuat dengan menemukan
lubang kecil yakni ostium uteri eksternum di tengah-tengah
lapisan tipis tersebut, dengan jari yang di masukan kedalam
lubang itu pembukaan dapat di perlebar dengan mudah dan
dalam waktu yang tidak lama pembukaan dapat menjadi lengkap
dengan sendirinya (Prawirohardjo, 2010).
Uterus
Myoma uteri, tumor ini juga sudah di bahas dalam bab
lain.distosia karena myoma uteri dapat terjadi: a) apabila letak
myoma uteri menghalangi lahirnya janin pervagina b) apabila
berhubungan dengan adanya myoma uteri terdapat kelainan letak
janin;dan c) apabila berhubungan dengan adanya myoma terjadi
inersia uteri dalam persalinan (Prawirohardjo, 2010).
Pada umumnya persalinan dengan myoma uteri berlangsung
seperti biasa, sehingga penanganan persalinan itu dapat di batasi
pada pengawasan yang seksama. Kelainan letak janin atau
kelainan yang his di hadapi dengan sesuai dengan sikap yang
lazim. Apabila myoma uteri merupakan halangan dari lahirnya
janin pervaginam, perlu dilakukan seksio sesarea. Sedapat-
dapatnya dilakukan seksio sesarea transperitonealis profunda,
akan tetapi kadang-kadang berhubungan dengan lokasi myoma
perlu dilakukan seksio sesarea klasik. Myomektomi sesudah
seksio sesarea umumnya tidak di anjurkan berhubungan dengan
bahaya perdarahan banyak dan tertinggalnya luka-luka yang tidak
rata pada myometrium yang memudahakan terjadinya infeksi
puerperal.dalam masa puerperium, myoma uteri dapat mengecil
malahan bisa menjadi lebih kecil dari pada sebelum
kehamilan.akan tetapi bahaya mekrosis dan infeksi selalu ada,
walaupun tidak besar, sehingga puerperium perlu di awasi
dengan baik. Jika peristiwa yang terakhir ini terjadi dan
pengobatan konservatif tidak memberi hasil yang di harapkan

22
perlu di pertimbangkan histerektomi. Sebagai profilaksis
dianjurkan agar tidak memberikan oksitosin yang dapat
mengganggu peredaran darah ke myomata yang kemudian
menjadi nekrotik dan mudah terinfeksi (Prawirohardjo, 2010).
Ovarium
Distosia karena tumor ovarium terjadi apabila tumor tersebut
menghalangi lahirnya janin pervaginam. Tumor demikan itu untuk
sebagian atau seluruhnya terletak dalam kavum
doglas.membiarkan persalinan berlarut-larut mengandung bahaya
pecahnya tumor (bila tumor kistik),atau ruptura uteri (bila tumor
solid) dan garis miring atau infeksi.intrapartum.apabila pada
permulaan persalinan di temukan tumor ovarium dalam kavum
doglas,boleh di coba dengan hati-hati apakah tumor dapat di
angkat ke atas rongga panggul,sehingga tidak menghalangi
persalinan.apabila percobaan itu tidak berhasil atau persalinan
telah maju sehingga percobaan reposisi lebih sukar dan lebih
berbahaya,sebaikya dilakukan seksio sesarea diikuti dengan
pengangkatan tumor.pada tumor ovari yang tidak merupakan
halangan bagi persalinan pervagina,persalinan di biarkan
berlangsung spntan dan tumor di angkat dalam mada nifas.dalam
masa ini ada kemungkinan terjadi putaran tangkai tumor yang
memerlukan tindakan pembedahan segera (Prawirohardjo, 2010).

2.5 Distosia karena kelainan yang melibatkan janin (passanger)


2.5.1 Presentasi Muka
Presentasi muka ialah keadaan di mana kepala dalam kedudukan
defleksi maksimal, sehingga oksiput menempel pada pada punggung dan
muka merupakan bagian terendah menghadap ke bawah. Presentasi
muka dikatakan primer apabila sudah terjadi sejak masa kehamilan, dan
dikatakan sekunder bila baru terjadi saat persalinan (Prawirohardjo, 2010).
Muka janin dapat tampil sebagai dagu (mentum) anterior atau
posterior, relatif terhadap symphysis pubis ibu.Banyak presentasi mentum

23
posterior yang berubah spontan menjadi presentasi mentum anterior
bahkan pada tahap akhir persalinan (Duff, 1981). Jika tidak, dahi (bregma)
janin akan tertekan oleh symphysis pubis ibu. Posisi ini menghambat fleksi
kepala janin yang diperlukan untuk membuka jalan lahir.Oleh karena itu,
presentasi mentum posterior tidak mungkin diterminasi kecuali janin yang
sangat prematur.Persalinan pervaginam pada presentasi muka jarang
terjadi (Cunningham, 2014).

2.5.1.1 Etiologi
Pada umumnya penyebab terjadinya presentasi muka adalah
keadaan-keadaan yang memaksa terjadinya defleksi kepala atau
keadaan-keadaan yang menghalangi terjadinya fleksi kepala. Oleh karena
itu, presentasi muka dapat ditemukan pada panggul sempit atau pada
janin besar .Multiparitas juga merupakan faktor yang memudahkan
terjadinya presentasi muka. Selain itu kelainan janin seperti anensefalus
dan tumor di leher bagian depan mengakibatkan presentasi muka
(Prawirohardjo, 2010).

24
2.5.1.2 Diagnosa
Presentasi muka didiagnosis melalui pemeriksaan dalam (vaginal
touche) dan palpasi bagian-bagian muka.Merupakan hal yang mungkin
didapatkan kesalahan membedakan presentasi bokong dengan presentasi
muka, karena anus dapat disangka mulut dan tuberositas ischii dianggap
prominensia zigomatikus (tonjolan tulang pipi). Hasil pemeriksaan
radiografik yang menunjukkan kepala bayi dalam posisi hiperekstensi dan
tulang-tulang facial yang berada pada atau sedikit di bawah pintu atas
panggul merupakan gambaran yang khas.

2.5.1.3 Mekanisme Persalinan


Presentasi muka jarang ditemukan di atas pintu atas panggul. Pada
umumnya yang muncul adalah presentasi dahi, yang biasanya akan
berubah menjadi presentasi muka setelah terjadi ekstensi kepala lebih
lanjut selama penurunan kepala. Mekanisme persalinan pada kasus-
kasus seperti ini terdiri atas beberapa gerakan utama (cardinal
movements) yaitu penurunan kepala, putaran paksi dalam, fleksi, serta
gerakan tambahan seperti ekstensi dan putaran paksi luar. Penurunan
disebabkan oleh faktor-faktor yang sama seperti pada presentasi kepala.
Ekstensi terjadi akibat hubungan antara tubuh bayi dengan kepala yang
terdefleksi, yang berubah menjadi luas 2 lengan dengan lengan yang lebih
panjang menjulur dari condylus occipitalis ke occiput.Bila dijumpai
tahanan, occiput harus didorong ke arah punggung bayi sementara dagu
turun (Cunningham, 2014).

25
26
Mekanisme persalinan pada posisi mentoposterior kanan yang diikuti
dengan rotasi mentum anterior dan pelahiran.

27
Tujuan putar paksi dalam pada presentasi muka adalah untuk membawa
dagu ke bawah symphisis pubis. Hanya dengan cara ini, leher akan
berada di bawah permukaan posterior symphisis pubis. Jika dagu
langsung memutar ke arah posterior, leher yang relative pendek tak dapat
terentang sepanjang permukaan anterior sacrum yang panjangnya sekitar
12 cm. Oleh sebab itu, kelahiran kepala jelas tidak mungkin terjadi kecuali
bila bahu telah masuk panggul pada saat yang sama, yaitu suatu kejadian
yang baru bias terjadi kalau bayi sangat kecil atau sudah mengalami
maserasi. Putaran paksi dalam terjadi akibat faktor-faktor yang sama
seperti pada presentasi puncak kepala (Cunningham, 2014).
Setelah rotasi anterior dan penurunan kepala, dagu dan mulut akan
tampak pada vulva, permukaan bawah dagu menekan symphisis dan
kepala dapat dilahirkan dengan fleksi kepala. Hidung, mata, dahi
(bregma), dan occiput secara berturut-turut tampak di atas margo anterior
perineum. Setelah kepala lahir, occiput menggantung ke belakang ke arah
anus.Kemudian, dagu mengadakan putaran paksi luar ke arah sisi bagian
dagu mula-mula menghadap, dan bahu dilahirkan seperti pad presentasi
kepala (Cunningham, 2014).

2.5.1.4 Management
Posisi dagu di anterior adalah syarat yang harus dipenuhi apabila
janin presentasi muka hendak dilahirkan pervaginal.Apabila tidak ada
gawat janin dan persalinan berlangsung dengan kecepatan normal, maka
cukup dilakukan observasi terlebih dahulu hingga terjadi pembukaan
lengkap. Apabila setelah pembukaan lengkap dagu berada di anterior ,
maka persalinan vaginal dilanjutkan seperti persalinan dengan presentasi
belakang kepala. Bedah sesar dilakukan apabila setelah pembukaan
lengkap posisi dagu masih posterior, didapatkan tanda-tanda disproporsi ,
atau atas indikasi obstetric lainnya.
Stimulasi oksitosin hanya di perkenankan pada posisi dagu anterior
dan tidak ada tanda-tanda disproporsi .Melakukan perubahan posisi dagu
secara manual ke arah anterior atau mengubah presentasi muka menjadi

28
presentasi belakang kepala sebaiknya tidak dilakukan karena lebih
banyak menimbulkan bahaya. Melahirkan bayi presentasi muka
menggunakan ekstraksi vakum tidak diperkenankan . Pada janin yang
meninggal , kegagalan melahirkan ekstraksi vakum tidak diperkenankan .
Pada janin yang meninggal , kegagalan melahirkan vaginal secara
spontan dapat diatasi dengan kraniotomi atau bedah sesar.
2.5.2 Presentasi Dahi
Presentasi dahi ialah keadaan di mana keadaan di mana
kedudukan kepala defleksi maksimal, sehingga dahi merupakan bagian
terendah . Pada umumnya presentasi dahi ini merupakan kedudukan yang
bersifat sementara, dan sebagian besar akan berubah menjadi presentasi
muka atau presentasi belakang kepala. Angka kejadian dahi kurang lebih
satu diantara persalinan (Prawirohardjo, 2010).
Keadaan ini sangat jarang dijumpai dan didiagnosis bila bagian dari
kepala janin yang berada di antara tonjolan orbita dengan ubun-ubun
besar tampak pada pintu atas panggul.Kepala janin kemudian menempati
posisi di tengah-tengah antara fleksi penuh (occiput) dan ekstensi penuh
(mentum atau muka) (Cunningham, 2014).

29
2.5.2.1 Etiologi
Penyebab presentasi dahi persisten pada prinsipnya sama dengan
pada presentasi muka. Pada umumnya presentasi dahi tidak stabil dan
akan berubah menjadi presentasi muka atau presentasi occiput
(Cunningham, 2014).

2.5.2.2 Diagnosa
Diagnosa pada presentasi dahi dapat ditegakkan apabila pada
pemeriksaan vaginal dapat diraba pangkal hidung , tepi atas orbital, sutura
frontalis, dan ubun-ubun besar , tetapi tidak dapat meraba dagu atau
mulut janin. Kelainan presentasi ini harus dicurigai apabila pada
persalinan , kepala janin tidak dapat turun ke dalam rongga panggul pada
wanita yang pada persalinan-persalinan sebelumnya tidak pernah
mengalami kesulitan. Pada pemeriksaan dalam dapat diraba sutura
frontalis , yang bila diikuti , pada ujung yang satu diraba ubun-ubun besar
dan pada ujung yang satu diraba ubun-ubun besar dan pada ujung lain
teraba pangkal hidung dan lingkaran orbital. Pada presentasi dahi mulut
dan dagu tidak dapat diraba (Prawirohardjo, 2010).

2.5.2.3 Mekanisme Persalinan


Kepala masuk melalui pintu atas panggul dengan sirkumferensia
maksiloparietalis serta sutura frontalis melintang atau miring.Setelah
terjadi maoulage , dan ukuran terbesar kepala telah melalui pintu atas
panggul, dagu memutar ke depan. Sesudah dagu berada di depan ,
dengan fossa kanina sebagai hipomoklion , terjadi fleksi sehingga ubun-
ubun besar dan belakang kepala lahir melewati perineum. Kemudian
terjadi defleksi, sehingga mulut dan dagu lahir di bawah simfisis, yang
menghalangi presentasi dahi untuk berubah menjadi presentasi muka,
biasanya karena terjadi moulage dan kaput suksedaneum yang besar
pada dahi waktu kepala memasuki panggul , sehingga sulit terjadi
penambahan defleksi (Prawirohardjo, 2010).

30
Karena biasanya ukuran ini , kepala baru dapat masuk ke dalam
rongga panggul setelah terjadi moulage, untuk menyesuaikan diri pada
besar dan bentuk pintu atas panggul. Persalinan membutuhkan waktu
lama dan hanya 15% berlangsung spontan. . Angka kematian perinatal
lebih dari 20% , sedangkan persalinan per vaginam berakibat perlukaan
luas pada perineum dan jalan lahir lainnya (Prawirohardjo, 2010).

2.5.2.4 Management
Prinsipnya pada dasarnya sama dengan pada presentasi muka.
Bila, secara kebetulan, proses persalinan spontan berlangsung tanpa
tanda-tanda kegawatan pada bayi yang dipantau dengan ketat, dan tanpa
adanya kontraksi uterus yang sangat kuat, tidak diperlukan tindakan
intervensi (Cunningham, 2014).
Prognosis
Pada presentasi dahi yang terjadi sesaat, prognosis bergantung
pada presentasi terakhir. Jika presentasi dahi berlangsung persisten,
prognosis persalinan pervaginam jelek, kecuali bila bayi kecil atau jalan
lahir sangat besar (Cunningham, 2014).

2.5.3 Letak Lintang


Keadaan ini terjadi bila sumbu panjang janin kira-kira tegak lurus
dengan sumbu panjang tubuh ibu. Bila sumbu panjang tersebut
membentuk sudut lancip, hasilnya adalah letak lintang oblik. Letak lintang
oblik biasanya hanya terjadi sementara karena kemudian akan berubah
menjadi posisi longitudinal (Cunningham, 2014).
Pada letak lintang, bahu berada di PAP sedangkan kepala terletak
di salah satu fossa iliaka dan bokong pada fossa iliaka yang lain. Keadaan
ini disebut presentasi bahu. Punggung dapat mengarah ke superior atau
ke inferior (Cunningham, 2014)

31
2.5.3.1 Etiologi
1. Relaksasi berlebihan dinding abdomen akibat multiparitas yang
tinggi.
2. Janin prematur.
3. Plasenta previa.
4. Uterus abnormal
5. Cairan amnion berlebih.
6. Panggul sempit.
Wanita dengan multipara lebih besar resikonya dibandingkan dengan
wanita primipara (Cunningham, 2014).

2.5.3.2 Diagnosis
Dianosis letak lintang biasanya mudah ditegakkan, bahkan sering
hanya dengan inspeksi saja. Abdomen biasanya melebar dan fundus
uteri membentang hingga sedikit di atas umbilicus. Tidak ditemukan
bagian bayi di fundus, dan balo-temen kepala teraba pada salah satu
fossa iliaka dan bokong pada fossa iliaka yang lain. Pada saat yang sama,
posisi punggung mudah diketahui bila punggungnya terletak di anterior
(Cunningham, 2014).

2.5.3.3 Proses Persalinan


Bayi dengan letak lintang tidak mungkin terjadi kelahiran spontan
normal seperti bayi pada umumnya. Setelah ketuban pecah bahu janin
akan dipaksa masuk ke dalam panggul serta tangan sering menumbul.
Setelah terjadi sedikit penurunan, bahu tertahan oleh tepi pintu atas
panggul, dengan kepala di salah satu fossa iliaka dan bokong pada fossa
iliaka yang lain. Setelah itu bahu akan terjepit kuat di bagian atas panggul.
Uterus kemudian berkontraksi dengan kuat dalam upayanya yang sia-sia
untuk mengatasi halangan tersebut. Setelah beberapa saat, cincin retraksi
yang semakin lama semakin meninggi dan semakin nyata. Keadaan ini
disebut sebagai letak lintang kasep. Jika tidak cepat ditangani dengan
benar, uterus akhirnya akan mengalami ruptur dan baik ibu pun bayi dapat
meninggal. Bila janin amat kecil(biasanya kurang dari 800 g) dan panggul
sangat lebar, persalinan spontan dapat terjadi meskipun kelainan letak

32
tersebut menetap. Janin akan tertekan dengan kepala terdorong ke
abdomen. Bagian dinding dada di bawah bahu kemudian menjadi bagian
yang paling bergantung dan tampak di vulva. Kepala dan dada kemudian
melewati rongga panggul secara bersamaan, dan bayi dapat dikeluarkan
dalam keadaan terlipat (Cunningham, 2014).

2.5.3.4 Prognosis
Persalinan dengan presentasi bahu meningkatkan risiko kematian
pada bayi. Kebanyakan kematian ibu akibat komplikasi kasus kasep
terjadi karena ruptur uteri spontan atau traumatik akibat penanganan yang
keliru atau terlambat (Cunningham, 2014)

2.5.3.5 Penatalaksanaan
Secara umum, wanita dengan kehamilan letak lintang merupakan
indikasi seksio sesarea. Sebelum persalinan, dengan ketuban masih utuh,
upaya versi luar layak dicoba. Dan direkomendasikan upaya tersebut
setelah usia kehamilan 39 minggu karena tingginya upaya perubahan
spontan menjadi letak longitudinal. Jika selama persalinan kepala bayi
dapat diputar dengan manipulasiabdomen hingga masuk ke PAP maka
perlu di pertahankan. Jika tindakan ini semua gagal maka tindakan seksio
sesaria perlu dilakukan (Cunningham, 2014).

2.5.4 Letak Sungsang


2.5.4.1 Definisi
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak
memanjang dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian
bawah kavum uteri. Tipe letak sungsang yaitu: Frank breech (50-70%)
yaitu kedua tungkai fleksi ; Complete breech (5-10%) yaitu tungkai atas
lurus keatas, tungkai bawah ekstensi ; Footling (10-30%) yaitu satu atau
kedua tungkai atas ekstensi, presentasi kaki (Cunningham, 2005).
2.5.4.2 Etiologi
Faktor predisposisi dari letak sungsang adalah prematuritas,
abnormalitas uterus (malformasi, fibroid), abnormalitas janin (malformasi
CNS, massa pada leher, aneploid), overdistensi uterus (kehamilan ganda,

33
polihidramnion), multipara dengan berkurangnya kekuatan otot uterus,
dan obstruksi pelvis (plasenta previa, myoma, tumor pelvis lain). Dengan
pemeriksaan USG, prevalensi letak sungsang tinggi pada implantasi
plasenta pada cornu-fundal. Lebih dari 50 % kasus tidak ditemukan faktor
yang menyebabkan terjadinya letak sungsang (Schiara et al, 1997).

2.5.4.3 Diagnosis
Diagnosis letak bokong dapat ditentukan dengan persepsi gerakan
janin oleh ibu, pemeriksaan Leopold, auskultasi denyut jantung janin di
atas umbilikus, pemeriksaan dalam, USG dan Foto sinar-X (Schiara et al,
1997).

2.5.4.4 Penatalaksanaan
Untuk memilih jenis persalinan pada letak sungsang Zatuchni dan
Andros telah membuat suatu indeks prognosis untuk menilai apakah
persalinan dapat dilahirkan pervaginam atau perabdominan. Jika nilai
kurang atau sama dengan 3 dilakukan persalinan perabdominan, jika nilai
4 dilakukan evaluasi kembali secara cermat, khususnya berat badan janin;
bila nilai tetap dapat dilahirkan pervaginam, jika nilai lebih dari 5 dilahirkan
pervaginam (Setjalilakusuma, 2000). ALARM memberikan kriteria seleksi
untuk partus pervaginam yaitu jenis letak sungsang adalah frank atau
bokong komplit, kepala fetus tidak hiperekstensi dan taksiran berat janin
2500-3600 gram serta tindakan augmentasi dan induksi persalinan
diperbolehkan pada janin letak sungsang (Wiknjosastro, 2005).
Zatuchni dan Andros telah membuat suatu indeks prognosis untuk
menilai lebih tepat apakah persalinan dapat dilahirkan pervaginam atau
perabdominan, sebagai berikut (Cunningham, 2005).

34
0 1 2
Paritas Primigravida Multigravida
Umur >39 minggu 38 minggu < 37 minggu
Kehamilan
Taksiran >3630 gr 3629 gr -3176 < 3176 gr
berat janin gr
Pernah Tidak 1x >2x
letak
sungsang
Pembukaan <2 cm 3 cm >4cm
serviks
Station <3 <2 1 atau lebih
rendah

Arti nilai :
< 3 : persalinan perabdomen
4 : evaluasi kembali secara cermat, khususnya berat badan
janin bila nilainya tetap maka dapat dilahirkan pervaginam
> 5 : dilahirkan pervaginam
Prosedur persalinan sungsang secara spontan :
a. Tahap lambat : mulai lahirnya bokong sampai pusar merupakan
fase yang tidak berbahaya.
b. Tahap cepat : dari lahirnya pusar sampai mulut, pada fase ini
kepala janin masuk PAP, sehingga kemungkinan tali pusat
terjepit.
c. Tahap lama : lahirnya mulut sampai seluruh bagian kepala,
kepala keluar dari ruangan yang bertekanan tinggi (uterus) ke
dunia luar yang tekanannya lebih rendah sehingga kepala harus
dilahirkan perlahan-lahan untuk menghindari pendarahan
intrakranial (adanya tentorium cerebellum).

35
Teknik persalinan
a. Persiapan ibu, janin, penolong dan alat yaitu cunam piper.
b. Ibu tidur dalam posisi litotomi, penolong berdiri di depan vulva
saat bokong mulai membuka vulva, disuntikkan 2-5 unit oksitosin
intramuskulus. Dilakukan episiotomi.
c. Segera setelah bokong lahir, bokong dicengkram dengan cara
Bracht, yaitu kedua ibu jari penolong sejajar sumbu panjang
paha, sedangkan jari-jari lain memegang panggul. Saat tali pusat
lahir dan tampak teregang, tali pusat dikendorkan terlebih
dahulu.
d. Penolong melakukan hiperlordosis badan janin untuk menutupi
gerakan rotasi anterior, yaitu punggung janin didekatkan ke perut
ibu, gerakan ini disesuaikan dengan gaya berat badan janin.
Bersamaan dengan hiperlordosis, seorang asisten melakukan
ekspresi kristeller. Maksudnya agar tenaga mengejan lebih kuat
sehingga fase cepat dapat diselesaikan. Menjaga kepala janin
tetap dalam posisi fleksi, dan menghindari ruang kosong antara
fundus uterus dan kepala janin, sehingga tidak teradi lengan
menjungkit.
e. Dengan gerakan hiperlordosis, berturut-turut lahir pusar, perut,
bahu, lengan, dagu, mulut dan akhirnya seluruh kepala.
f. Janin yang baru lahir diletakkan diperut ibu.

Prosedur manual aid (partial breech extraction) :


Indikasi : jika persalinan secara bracht mengalami kegagalan
misalnya terjadi kemacetan saat melahirkan bahu atau kepala.
Tahapan :
a. Lahirnya bokong sampai pusar yang dilahirkan dengan tenaga
ibu sendiri.
b. Lahirnya bahu dan lengan yang memakai tenaga penolong
dengan cara klasik (Deventer), Mueller, Louvset, Bickenbach.
c. Lahirnya kepala dengan cara Mauriceau (Veit Smellie), Wajouk,
Wid and Martin Winctel, Prague Terbalik, Cunan Piper.

Cara klasik :

36
a. Prinsip-prinsip melahirkan lengan belakang lebih dahulu karena
lengan belakang berada di ruangan yang lebih besar (sacrum),
baru kemudian melahirkan lengan depan di bawah simpisis
tetapi jika lengan depan sulit dilahirkan maka lengan depan
diputar menjadi lengan belakang, yaitu dengan memutar gelang
bahu ke arah belakang dan kemudian lengan belakang
dilahirkan.
b. Kedua kaki janin dilahirkan dan tangan kanan menolong pada
pergelangan kakinya dan dielevasi ke atau sejauh mungkin
sehingga perut janin mendekati perut ibu.
c. Bersamaan dengan itu tangan kiri penolong dimasukkan ke
dalam jalan lahir dan dengan jari tengah dan telunjuk menelusuri
bahu janin sampai fossa cubiti kemudian lengan bawah
dilahirkan dengan gerakan seolah-olah lengan bawah mengusap
muka janin.
d. Untuk melahirkan lengan depan, pegangan pada pergelangan
kaki janin diganti dengan tangan kanan penolong dan ditarik
curam ke bawah sehingga punggung janin mendekati punggung
ibu.
e. Dengan cara yang sama lengan depan dilahirkan.
f. Jika lengan depan sukar dilahirkan, maka harus diputar menjadi
lengan belakang. Gelang bahu dan lengan yang sudah lahir
dicengkram dengan kedua tangan penolong sedemikian rupa
sehingga kedua ibu jari tangan penolong terletak di punggung
dan sejajar dengan sumbu badan janin sedang jari-jari lain
mencengkram dada. Putaran diarahkan ke perut dan dada janin
sehingga lengan depan terletak di belakang kemudian lengan
dilahirkan dengan cara yang sama.
Cara Mueller
a. Prinsipnya : melahirkan bahu dan lengan depan lebih dahulu
dengan ekstraksi, baru kemudian melahirkan bahu dan lengan
belakang.
b. Bokong janin dipegang secara femuro-pelviks, yaitu kedua ibu
jari penolong diletakkan sejajar spina sacralis media dan jari

37
telunjuk pada crista illiaca dan jari-jari lain mencengkram paha
bagian depan. Badan janin ditarik curam ke bawah sejauh
mungkin sampai bahu depan tampak dibawah simpisis, dan
lengan depan dilahirkan dengan mengait lengan di bawahnya.
c. Setelah bahu depan dan lengan depan lahir, maka badan janin
yang masih dipegang secara femuro-pelviks ditarik ke atas
sampai bahu ke belakang lahir. Bila bahu belakang tak lahir
dengan sendirinya, maka lengan belakang dilahirkan dengan
mengait lengan bawah dengan kedua jari penolong.

Cara louvset :
a. Prinsipnya : memutar badan janin dalam setengah lingkaran
bolak-balik sambil dilakukan traksi curam ke bawah sehingga
bahu yang sebelumnya berada dibelakang akhirnya lahir
dibawah simpisis.
b. Badan janin dipegang secara femuro-pelviks dan sambil
dilakukan traksi curam ke bawah, badan janin diputar setengah
lingkaran, sehingga bahu belakang menjadi bahu depan.
Kemudian sambil dilakukan traksi, badan janin diputar lagi ke
arah yang berlawanan setengah lingkaran. Demikian seterusnya
bolak-balik sehingga bahu belakang tampak di bawah simpisis
dan lengan dapat dilahirkan.

38
Cara Mauriceau (Veit-Smellie) :
a. Tangan penolong yang sesuai dengan muka janin dimasukkan
ke dalam jalan lahir. Jari tengah dimasukkan ke dalam mulut dan
jari telunjuk dan jari ke 4 mencengkram fossa kanina, sedangkan
jari lain mencengkeram leher. Badan anak diletakkan di atas
lengan bawah penolong, seolah-olah janin menunggang kuda.
Jari telunjuk dan jari ke 3 penolong yang lain mencengkeram
leher janin dari arah punggung.
b. Kedua tangan penolong menarik kepala janin curam ke bawah
sambil seorang asisten melakukan ekspresi kristeller. Tenaga
tarikan terutama dilakukan oleh tangan penolong yang
mencengkeram leher janin dari arah punggung. Jika suboksiput
tampak di bawah simpisis, kepala janin diekspasi ke atas dengan
suboksiput sebagai hipomoklion sehingga berturut-turut lahir
dagu, mulut, hidung, mata, dahi, ubun-ubun besar dan akhirnya
lahir seluruh kepala janin.

Cara cunam piper :


Pemasangan cunam pada after coming head tekniknya sama
dengan pemasangan lengan pada letak belakang kepala. Hanya
pada kasus ini, cunam dimasukkan pada arah bawah, yaitu sejajar
pelipatan paha belakang. Hanya pada kasus ini cunam dimasukkan
dari arah bawah, yaitu sejajar pelipatan paha belakang. Setelah
suboksiput tampak dibawah simpisis, maka cunam dielevasi ke
atas dan dengan suboksiput sebagai hipomoklion berturut-turut
lahir dagu, mulut, muka, dahi dan akhirnya seluruh kepala lahir.

39
2.5.5 Presentasi Ganda
Pada presentasi ganda, satu ekstremitas menumbung di sisi bagian
terbawah janin, dan kedua bagian ini sekaligus berada di dalam panggul
(Cunningham, 2014).

2.5.5.1 Etiologi
Kejadian yang lebih jarang lagi adalah prolapse salah satu atau
kedua ekstremitas bawah bersama-sama presentasi kepala ataupun
tangan disertai presentasi bokong.penyebab presentasi ganda adalah
keadaan yang menghalangi oklusi sempurna PAP oleh kepala bayi,
termasuk persalinan premature (Cunningham, 2014)

2.5.5.2 Prognosis dan Penatalaksanaan


Kematian perinatal meningkat akibat persalinan premature,
prolapse tali pusat, dan tindakan obsteti yang traumatic. Pada sebagian
besar kasus, bagian yang menumbung di birkan karena tidak menghalangi
persalinan. Dari 50 kasus yang tidak diikuti prolapse tali pusat, hampir

40
separuh kasus dapat lahir spontan dengan persalinan normal, dan hanya
satu kasus dengan kematian bayi. Jika lengan menumbung di atas kepala,
maka harus diamati secara ketat untuk memastikan lengan turun
bersamaan dengan bagian bawah bayi. Jika lengan tidak turun
bersamaan dengan bagian bawah janin atau menghalangi penurunan
kepala, lengan yang menumbung tersebut harus secara perlahan lahan di
dorong keatas, dan bersamaan dengan itu kepala bayi akan turun karena
tekanan fundus uteri (Cunningham, 2014).

2.5.6 Kehamilan Multipel


2.5.6.1 Definisi
Kehamilan kembar atau kehamilan multipel ialah suatu kehamilan
dengan dua janin atau lebih. Kehamilan multipel dapat berupa kehamilan
ganda atau gemelli (2 janin), triplet ( 3 janin ), kuadruplet ( 4 janin ),
Quintiplet ( 5 janin ) dan seterusnya (Cunningham, 2005).

2.5.6.2 Etiologi
Terjadinya kehamilan kembar atau multipel umumnya disebabkan
oleh adanya pembuahan satu atau lebih ovum yang berbeda. Pada
kehamilan ganda sepertiganya berasal dari satu ovum yang mengalami
pembuahan kemudian membelah menjadi dua struktur yang serupa.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya kehamilan multipel
antara lain (Cunningham, 2005) :
1) Ras
Kehamilan multipel terjadi pada 1 dari 100 kehamilan pada orang
kulit putih dan 1 dari 80 kehamilan pada orang kulit hitam.
2) Hereditas
Memiliki riwayat keturunan dari ibu lebih banyak mempengaruhi
dibanding riwayat keturunan dari ayah.
3) Usia ibu dan paritas
Kehamilan multijanin umumnya terjadi pada ibu dengan usia mulai
dari pubertas hingga usia 37 tahun karena adanya aktivitas ovulasi
ganda yang cukup tinggi pada usia reproduksi aktif yang
dipengaruhi oleh peningkatan kadar hormon FSH. Kehamilan

41
multipel lebih sering terjadi pada ibu nullipara dibandingkan dengan
ibu yang sudah pernah melahirkan sebelumnya.
4) Faktor Gizi
Kehamilan kembar 20 sampai 30 persen lebih sering terjadi pada
ibu yang memiliki ukuran lebih tinggi dan lebih berat dibandingkan
dengan ibu yang memiliki ukuran tubuh yang lebih pendek dan
kecil. Selain itu tingginya asupan gizi sebelum kehamilan dan
suplementasi asam folat perikonsepsi dapat meningkatkan
terjadinya kehamilan kembar.
5) Terapi Kesuburan
Induksi ovulasi dengan menggunakan obat-obatan hormonal
gonadotropin dapat meningkatkan terjadinya kehamilan multipel
karena adanya peningkatan secara mendadak hormon
gonadotropin dapat memicu adanya ovulasi ganda.

2.5.6.3 Diagnosis
Penegakan diagnosa pada kehamilan kembar dapat ditegakkan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
(Cunningham, 2005).
1) Anamnesis
Anamnesis yang dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis
kehamilan kembar adalah riwayat adanya kehamilan kembar
sebelumnya atau keturunan kembar dalam keluarga, telah
mendapat pengobatan infertilitas, adanya uterus yang cepat
membesar dari amenorea, gerakan janin yang terlalu sering dan
adanya penambahan berat badan ibu menyolok yang tidak
disebabkan obesitas atau edema (Cunningham, 2005).
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan palpasi abdomen didapatkan adanya dua kepala janin
yang berada di kuadran uterus yang berbeda, banyak didapatkan
bagian bagian kecil janin, teraba dua atau lebih bagian besar, dan
teraba dua ballotemen. Tinggi fundus uteri lebih besar dari
kehamilan pada umumnya. Denyut jantung janin yang terdengar
lebih dari satu di tempat yang berbeda dengan perbedaan 10 atau
lebih (Cunningham, 2005).

42
3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan USG dapat menunjukkan adanya 2 bayangan janin
atau lebih dengan 1 atau lebih kantong amnion. Diagnosis
menggunakan USG yang dilakukan pada trimester pertama masih
sulit untuk mendiagnosis jumlah janin pada uterus, jumlah kantong
gestasional yang terlihat, dan posisi dari janin di dalam uterus
(Cunningham, 2005).

2.5.6.4 Penatalaksanaan
Penyulit dalam persalinan pada kehamilan kembar diantaranya
persalinan preterm, disfungsi uterus, kelainan presentasi, prolaps tali
pusat, dan perdarahan post partum. Sepanjang persalinan pasien harus
sudah diberikan infus dengan cairan RL, penyediaan transfusi darah,
ampisilin 2 gram untuk pencegahan infeksi, dan disiapkannya alat USG
untuk mengevaluasi setelah janin pertama lahir. Sebagian besar janin
kembar dalam presentasi kepala-kepala, kepala-bokong, bokong-bokong,
kepala-melintang, dan lain-lain. Presentasi kepala-kepala merupakan
presentasi paling stabil selama persalinan dan memungkinkan untuk
terjadinya persalinan pervaginam. Apabila presentasi janin pertama
bokong , dapat menyebabkan terjadinya penyulit dalam persalinan apabila
janin terlalu besar, janin terlalu kecil, adanya prolapsus tali pusat. Apabila
ditemui keadaan seperti ini sebaiknya dilakukan persalinan per
abdominam (Cunningham, 2005).

43
2.5.7 Makrosomia (Distosia Bahu)
2.5.7.1 Definisi
Makrosomia dimana janin diperkirakan memiliki berat > 4000 gram.
Faktor resiko terjadinya makrosomia yaitu riwayat melahirkan bayi besar
sebelumnya, obesitas pada ibu, multiparitas, kehamilan postterm, dan ibu
dengan diabetes mellitus. Makrosomia dapat menyebabkan terjadinya
penyulit pada persalinan diantaranya distosia bahu dan chepalo pelvic
disproportion (CPD) (Cunningham, 2005).
Distosia bahu adalah suatu keadaan dimana diperlukannya
tambahan manuver obstetrik oleh karena terjadi impaksi bahu depan
diatas simphisis sehingga dengan tarikan ke arah belakang pada kepala
bayi tidak bisa untuk melahirkan bayi (Prawirohardjo, 2009).

2.5.7.2 Etiologi
Penyebab terjadinya distosia bahu antara lain :
1. Makrosomia ( bayi yang dikandung oleh seorang ibu dengan
diabetes mellitus, obesitas, dan kehamilan postterm).
2. Kelainan bentuk panggul.
3. Kegagalan bahu untuk melipat kedalam panggul.

2.5.7.3 Diagnosis
Penegakan diagnosis pada kondisi terjadinya persalinan dengan
distosia bahu antara lain (Prawirohardjo, 2009) :
1. Kepala janin telah lahir namun masih menekan vulva dengan
kencang.
2. Dagu tertarik dan menekan perineum.
3. Turtle sign : suatu keadaan dimana kepala sudah dilahirkan gagal
melakukan putaran paksi luar dan tertahan akibat adanya tarikan
yang terjadi antara bahu posterior dengan kepala.
4. Traksi pada kepala tidak berhasil melahirkan bahu.

44
2.5.7.4 Penatalaksanaan
Penanganan persalinan dengan distosia bahu dikenal dengan
ALARM (Ask for help, Lift the legs and buttocks, Anterior shoulder
disimpaction, Rotation of posterior shoulder, Manual remover posterior
arm).
1) Ask for help
Meminta bantuan asisten untuk melakukan pertolongan persalinan.
2) Lift the legs and buttocks
Melakukan manuver McRoberts yang dimulai dengan
memposisikan ibu dalam posisi McRoberts yaitu ibu terlentang,
memfleksikan kedua paha sehingga posisi lutut menjadi sedekat
mungkin dengan dada, dan merotasikan kedua kaki ke arah luar.
Manuver ini dapat menyebabkan terjadinya pelurusan relatif dari
sakrum terhadap vertebra lumbal disertai dengan rotasi simphisis
phubis ke arah kepala ibu serta pengurangan sudut kemiringan
panggul. Mintalah asisten untuk melakukan penekanan
suprasimphisis ke arah posterior menggunakan pangkal tangan
(Manuver Massanti). Penekanan ini bertujuan untuk menekan bahu
anterior agar mau masuk ke simphisis. Sementara itu lakukanlah
tarikan pada kepala janin ke arah posterokaudal (Cunningham,
2005).

45
3) Anterior shoulder disimpaction
Melakukan disimpaksi bahu depan dengan menggunakan dua cara
yaitu eksternal dan internal. Disimpaksi bahu depan secara
eksternal dapat dilakukan dengan menggunakan manuver
massanti, sedangkan disimpaksi bahu depan secara internal dapat
dilakukan dengan menggunakan manuver rubin. Manuver Rubin
dilakukan dengan cara (masih dalam manuver McRoberts)
masukkan tangan pada bagian posterior vagina, tekanlah daerah
ketiak bayi sehingga bahu berputar menjadi posisi obliq atau
transversa dan dengan bantuan penekanan simphisis maka akan
membuat bahu bayi semakin abduksi sehingga diameternya
mengecil (Prawirohardjo, 2009).
4) Rotation of posterior shoulder
Melakukan rotasi bahu belakang dengan manuver Woods. Manuver
ini dilakukan dengan cara memasukkan tangan penolong sesuai
dengan punggung bayi (jika punggung kanan gunakan tangan
kanan, dan sebaliknya) ke vagina dan diletakkan di belakang bahu
janin. Bahu kemudian diputar 180 derajat ke anterior dengan
gerakan seperti membuka tutup botol (Cunningham, 2005).

5) Manual remover posterior arm

46
Pelahiran bahu belakang secara manual dapat dilakukan dengan
menggunakan manuver Shwartz. Manuver ini dilakukan dengan
cara memasukkan tangan ke vagina sepanjang humerus posterior
janin yang dipisahkan ketika lengan disapukan ke arah dada,
namun tetap terfleksi pada siku. Tangan janin digenggam dan
ditarik sepanjang sisi wajah dan kemudian lengan belakang
dilahirkan dari vagina (Cunningham, 2005).

47
2.5.8 Hidrosefalus
2.5.8.1 Definisi
Hidrosefalus adalah suatu kondisi dimana terjadi penumpukan
cairan serebrospinal yang berlebihan di ventrikel dan mengakibatkan
terjadinya pembesaran dari kranium. Volume cairan biasanya 500 1500
ml namun bisa juga mencapai 5000 ml. Lingkar kepala bayi aterm normal
berkisar antara 32 hingga 38 cm, namun pada hidrosefalus dapat
mencapai 50 cm. Pada presentasi apapun umumnya hidrosefalus dapat
mengakibatkan terjadinya cephalo pelvic disproportion yang berat
(Cunningham, 2005).

2.5.8.2 Etiologi
Hidrosefalus sebagian besar disebabkan oleh tidak lancarnya aliran
serebrospinalis atau berlebihannya produksi cairan serebrospinal pada
janin.

2.5.8.3 Diagnosis
Hidrosefalus pada janin dapat didiagnosis melalui (Cunningham,
2005):
1. Pada letak kepala dapat ditemukan kepala lebih besar dari
biasanya sehingga menonjol diatas simphisis.
2. Djj terletak lebih tinggi dari biasanya.
3. Pada pemeriksaan VT dapat diraba adanya sutura dan ubun-
ubun yang melebar tegang dan tulang kepala tipis.
4. Pada pemeriksaan USG didapatkan adanya BPD lebih besar
dari usia kehamilannya.

2.5.8.4 Penatalaksanaan
Persalinan pada janin dengan hidrosefalus upaya yang pertama
kali dilakukan adalah pengecilan ukuran kepala bayi dengan
menggunakan sefalosintesis sehingga bayi dapat dilahirkan pervaginam
atau perabdominam. Namun, sefalosintesis dapat mengakibatkan
terjadinya perdarahan intrakranial pada janin sehingga sebaiknya teknik
ini digunakan pada janin dengan kelainan yang sudah cukup parah. Pada
kehamilan dengan janin hidrosefalus sebaiknya dilakukan pelahiran
secara perabdominam (Cunningham, 2005).

48
2.6 Komplikasi dengan Distosia
2.6.1 Komplikasi Pada Ibu
Distosia, khususnya pada persalinan yang memanjang (prolonged).
perdarahan postpartum karena atonia uteri meningkat dengan prolong dan
persalinan besar. Dan juga ada kemungkinan terjadi robeknya uterus dan
diperlukan hysterotomy jika kepala fetus terjadi impact di pelvis
(Cunningham, 2014).
Rupture uteri
Kelainan segmen bawah bawah uterus menghasilan persalinan
prolong yang berbahaya, karena segment bawah uterus menjadi sangat
regang dan bias mengakibatkan rupture (Cunningham, 2014).
Pembentukan Fistula
Selama persalinan, jaringan jalan lahir mengalami kompresi dari
kepala fetus dan tekanan kebawah karena ibu mengejan. Bila tekanan
berlebihan, dapat menyebabkan terganggunya sirkulasi. Sehingga akan
terjadi nekrosis dan dalam beberapa hari akan timbul fistula vesikovaginal,
vesikoservikal, atau rektovaginal (Cunningham, 2014).
Cedera pelvis
Selama persalinan, pelvis floor mengalami kompresi dari kepala
fetus dan tekanan kebawah karena ibu mengejan. Hal ini mengakibatkan
perubahan secara fungsi dan anatomis pada otot, saraf, dan connective
tissue (Cunningham, 2014).
Cedera saraf pada ektremitas bawah pasca partus
Terjadi mekanisme kompresi ekternal common fibular nerve,
biasanya disebabkan posisi kaki yang salah khususnya pada saat prolong
kala dua (Cunningham, 2014).

2.6.2 Komplikasi perinatal


Sama seperti ibu, insiden terjadinya peripartum fetal sepsis
meningkat saat persalinan (Cunningham, 2014).

49
50
BAB III
KESIMPULAN

Distosia berarti persalinan yang sulit dan ditandai oleh persalinan


yang lambat. Keadaan ini disebabkan empat abnormalitas berbeda, yang
dapat terjadi satu demi satu atau dalam kombinasi, antara lain: kelainan
gaya dorong (ekspulsi), kelainan tulang panggul ibu, dan kelainan jaringan
lunak saluran reproduksi, serta kelainan presentasi, posisi, atau
perkembangan janin. Kelainan-kelainan ini telah secara mekanistis
disederhanakan oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists menjadi tiga kategori :
Kelainan kekuatan (power)
Kelainan jalan lahir (passage)
Kelainan yang melibatkan janin (passanger)
Komplikasi dari distosia ini pada ibu meliputi ruptur uteri, pembentukan
fistula, maupun cedera pelvis. Pada fetus dapat menyebabkan peripartum
fetal sepsis.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F. Gary, Kenneth J. Leveno, et al. 2014. Williams


Obstetrics 24th Edition. New York: McGraw-Hill.
2. Cuningham F G, Norman F, Kenneth J, Larry C, John C, Katharine
D, et al.. Williams Obstetrics 22nd Edition. Thw Mc Graw-Hill
Companies, New York. 2005
3. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka.
4. Winkjosastro, Hanifa, 2006. Ilmu kebidanan Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta

52

Anda mungkin juga menyukai