Anda di halaman 1dari 14

ABORTUS HABITUALIS

PENDAHULUAN
Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil,
yang dilaporkan dapat hidup diluar kandungan, mempunyai berat badan 297 gram
waktu lahir. Akan tetapi, karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan
dibawah 500 gram dapat hidup terus, maka abortus ditentukan sebagai pengakhiran
kehamilan sebelum janin mencapai berat badan 500 gram atau kurang dari 20
minggu. Sedangkan abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau
lebih secara berturut-turut.(1)
Seorang wanita menderita abortus habitualis, apabila ia mengalami abortus 3
kali atau lebih secara berturut-turut. Angka kejadian jenis abortus ini adalah 0,4% dari
semua kehamilan. Wanita yang mengalami peristiwa tersebut, umumnya tidak
mengalami kesulitan untuk menjadi hamil, akan tetapi kehamilannya tidak dapat
berlangsung terus dan terhenti sebelum waktunya, biasanya pada trimester pertama
tetapi kadang-kadang pada kehamilan yang lebih tua.(2)
Keguguran yang repetitive biasanya terjadi pada usia kehamilan yang sama
dalam kehamilan yang berurutan. Abortus habitualis dapat dibagi menjadi abortus
habitualis primer dan sekunder. Abortus habitualis primer berkenaan dengan wanita
dengan keguguran berulang yang tidak pernah mengalami kehamilan yang dapat
melahirkan bayi hidup. Abortus habitualis sekunder berkenaan dengan wanita yang
sebelumnya pernah melahirkan bayi yang dapat bertahan hidup.(3)
Pada tahun 200, lebih dari setengah aborsi (58%) terjadi pada saat usia
kehamilan 8 minggu atau kurang. Keguguran pada awal masa kehamilan adalah
kejadian yang sangat umum. Secara keseluruhan, sekitar 12-15% kehamilan yang
diketahui secara klinis berakhir dalam abortus spontan antara usia kehamilan 4 dan 20
1

minggu. Akan tetapi, angka keguguran pada awal masa kehamilan yang
sesungguhnya adalah 2 hingga 4 kali lebih besar, bergantung pada usia. Secara
keseluruhan, resikonya masih tetap kurang dari 40% setelah keguguran sebanyak 4
kali dan tidak lebih tinggi dari 50% bahkan pada keguguran sebanyak 6 kali atau
lebih; resiko akan bertambah tinggi untuk wanita dengan abortus habitualis dan tidak
pernah melahirkan bayi hidup.(4, 5)
Polan dan rekan, juga melaporkan angka aborsi spontan sebesar 20% pada
wanita yang mengalami satu kali abortus spontan sebelumnya, tetapi pada wanita
yang melaporkan 3 atau lebih abortus, kemungkinan terjadi abortus yang selanjutnya
meningkat hingga sebesar 50%. Hasil ini sama dengan yang dilaporkan oleh James,
yang menambahkan bahwa wanita dengan paling tidak satu kelahiran bayi hidup yang
diikuti oleh abortus sebanyak tiga kali atau lebih hanya memiliki kemungkinan
sebesar 30% untuk mengalami kejadian abortus yang selanjutnya.(5)
ETIOLOGI
Genetic
Abnormalitas kromosom parental
Berdasarkan teknik banding Geisma yang konvensional, sebuah abnormalitas
struktur kromosom orang tua teridentifikasi dalam 3-5% pasangan yang menderita
abortus habitualis. Abnormalitas yang paling sering adalah translokasi balanced atau
reciprocal. Sementara pembawa dari translokasi balanced reciprocal secara fenotip
normal, segregasi yang abnormal padda melosis menyebabkan gamet mereka antara
50 dan 70% dan embrionya menjadi tidak seimbang. Perempuan dua kali lipat lebih
banyak daripada laki-laki teridentifikasi sebagai pembawa abnormalitas kromosom
structural. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan oleh abnormalitas structural pada
laki-laki lebih terkait dengan sterilitas. Sementara itu translokasi telah dilaporkan

untuk semua kromosom dalam berbagai macam kombinasi, angka keguguran klinis
dan hasil kehamilan yang selanjutnya belum pernah dilaporkan.(6)
Pada translokasi balanced reciprocal bagian dari dua autosom yang berbeda
terjadi translokasi (tertukar). Pada translokasi balanced Robertsonian, dua
sentrometer dari dua kromosom akrosentrik bergabung menjadi bentuk kromosom
tunggal yang terdiri dari lengan panjang dari dua kromosom yang terpengaruh; lengan
yang pendek (mengandung sedikit atau tidak ada material genetic yang penting)
menghilang. Pada kedua kasus, pembawa translokasi diseimbangkan secara genetic
dan normal secara fenotip. Sayangnya, ketika oogonia mereka atau spermatogonia
mereka mengalami meiosis untuk membentuk oosit atau sperma haploid, bagian besar
dari gamet menjadi tidak seimbang dan abnormal secara genetic, mengalami
defisiensi atau hilangnya material genetic. Ketika gamet yang tidak seimbang secara
kromosom bergabung dengan gamet yang normal dari pasangan yang tidak terkena,
hasil konsepsi akan menjadi trisomi dan/atau monosomi dan hampir akan selalu
mengalami abortus; hasil konsepsi yang tidak seimbang terkadang bisa selamat, tetapi
mereka beresiko tinggi mengalami malformasi dan retardasi mental.(4)
Menurut teori, seperempat gamet yang dihasilkan oleh pembawa translokasi
resiprokal dapat normal, seperempatnya bisa abnormal tetapi seimbang, dan
setengahnya bisa abnormal dan tidak seimbang, menyebabkan kemungkinan sebesar
50% hamil normal (hasil konsepsi yang normal atau seimbang) dan kemungkinan
sebesar 50% hamil abnormal (abortus atau mampu lahir tapi mengalami anomaly),
dengan asumsi penyatuan dengan gamet yang normal secara kromosom yang berasal
dari pasangan yang tak terpengaruh. Namun, ketika translokasi robertsonian
melibatkan kedua anggota dari untaian kromosom tunggal, pembawa tidak akan
menghasilkan gamet yang normal karena semuanya akan memiliki 2 salinan atau
tidak ada sainan dari kromosom yang terpengaruh.(4)

Inversi kromosom jarang terjadi dibandingkan translokasi dan mungkin atau


tidak memiliki implikasi reproduksi, bergantung pada ukuran dan lokasi mereka.
Inversi perisentrik (yang melibatkan sentromer) seringkali tidak menimbulkan
konsekuensi klinis; inverse perisentrik pada kromosom 9, inv (9)(p11q13) sangat
umum terjadi sehingga beberapa ahli mempertimbangkannya sebagai variasi normal.
Akan tetapi, persilangan dan rekombinasi yang dapat terjadi dengan inverse
parasentrik (yang tidak berlokasi pada satu sentromer) seringkali menyebabkan
hilangnya materi genetic yang dapat menyebabkan aborsi atau anomaly janin.(4)
Anamnesis mengenai riwat reproduksi harus dilakukan pada kedua pasangan,
dan pemeriksaan kariotipik harus dilakukan. Pasangan dengan riwayat masalah
reproduksi yang lain, seperti KJDR atau anomaly congenital, lebih besar
kemungkinan terkena abnormalitas kromosom structural balanced. Jika kecacatannya
paternal, inseminasi buatan dengan menggunakan donor dapat dilakukan. Untuk
kecacatan maternal, donor telur dapat difertilisasi dengan menggunakan sperma
suami.(7)
Aneuploidi Janin
Aneuploidi (trisomi atau monosomi) adalah abnormalitas kromosom yang
paling sering teridentifikasi pada manusia dan aneuploidi janin adalah penyebab
tunggal keguguran yang paling sering. Sekitar 30% dari semua abortus adalah trisomi
dan 10% diakibatkan oleh monosomi atau polyploidy kromosom seks. Insidensi janin
trisomi meningkat seiring dengan peningkatan usia ibu, sedangkan monosmi dan
polyploidy kromosom seks tidak. Beberapa bukti menyatakan bahwa instabilitas yang
berkaitan dengan usia atau degradasi mekanisme seluler yang mengatur pembentukan
dan fungsi meiotic spindle yang menyebabkan peningkatan insidensi kesalahan
segregasi meiotic dan peningkatan jumlah oosit aneuploid yang cepat pada saat akhir
usia reproduksi. Estimasi terbaik yang tersedia menunjukkan bahwa prevalensi oosit
aneuploii relative rendah sebelum usia 35( kurang dari 10%) tetapi meningkat dengan

cepat hingga mencapi 30% pada usia 40 tahun, 50% pada usia 43 tahun, dan hampir
100% setelah usia 45 tahun. Pengamatan-pengamatan ini memberikan penjelasan
yang logis untuk keseluruhan peningkatan insidensi keguguran yang berkaitan dengan
usia dan semakin tingginya prevalensi aneuploidi pada abortus pada wanita yang
berusia tua. (4,6)
Prevalensi tes persedian ovarium yang abnormal pada wanita dengan abortus
habitualis yang tidak dapat dijelaskan lebih tinggi daripada wanita dengan penyebab
abortus habitualis yang diketahui lainnya dan setara dengan yang diamati pada
populasi wanita infertile. Pengamatan ini menunjukkan bahwa wanita pada tingkat
deplesi folikular ovarium yang telah lanjut beresiko lebih tinggi mengalami
keguguran tanpa memandang usianya.(4)
Faktor Endokrin
Banyak kasus abortus habitualis telah dipertimbangkan diakibatkan oleh
kelainan enddokrin. Perhatian biasanya dipusatkan pada konsep kurangnya sekresi
progesterone oleh korpus luteum yang menyebabkan keguguran pada awal masa
kehamilan. Hal ini telah diistilahkan sebagai defek fase luteal yang telah dilaporkan
terjadi pada antara 23 dan 60% wanita dengan abortus habitualis. Diagnosis dari
defek fase luteal berdasarkan pada level progesterone fase luteal dan biopsy
endometrial pada siklus non-fertil. Pemeriksaan ini kurang dapat dipercaya karena
terdapat keterkaitqan yang rendah natara endokrin dan variable histologist pada
siklus. Apalagi, profil hormone pro-konseptual sama pada saat kehamilannya sukse
dan mereka yang berakhir dengan keguguran.(6)
Diabetes yang terkontrol bukanlah sebuah faktor resiko untuk abortus
habitualis. Wanita yang menderita diabetes dengan control metabolic yang bagus
tidak memiliki kemungkinan mengalami keguguran yang lebih besar daripada wanita
yang tidak menderita diabetes, tetapi wanita diabetic yang mengalami peningkatan
level glukosa darah dan glycosylated hemoglobin (A1C) pada saat trimester pertama
5

mengalami peningkatan resiko terjadinya abortus spontan yang signifikan. Pada


wanita dengan diabetes yang tidak terkontrol baik, mengalami peningkatan resiko
keguguran yang seiring dengan level A1C hemoglobin. Pada wanita yang menderita
abortus habitualis, diindikasikan pemeriksaan glukosa darah dan level AIC
hemoglobin pada mereka yang diketahui atau dicurigai menderita diabetes.
Sementara itu prevalensi auto-antibodi thyroid meningkat diantara wanita dengan
abortus habitualis. Angka kelahiran hidup pada wanita dengan abortus habitualis yang
memiliki antibody tiroid sama dengan mereka yang tidak memiliki antibody ini.
Yang menjadi perhatian adalah hubungan antara polikistik ovarium (PCO),
berbagai macam endokrinopati yang berkaitan dengan sindrom polikistik ovarium
(PCOS) dan abortus habitualis. Prevalensi PCO, dengan menggunakan criteria
ultrasound yang telah ditetapkan, lebih tinggi pada wanita dengan abortus habitualis
dibandingkan dengan mereka dengan riwayat reproduksi yang tidak memiliki
komplikasi. Sebelumnya telah dipertimbangkan bahwa hipersekresi luteinizing
hormone (LH) adalah penyebab dari keguguran pada wanita yang menjalani konsepsi
dengan bantuan atau mereka yang hamil secara spontan. Hal ini bukan lagi menjadi
kasusnya. Penelitian prospektif yang diacak melaporkan bahwa penekanan LH
endogen yang diikuti oleh induksi ovulasi tidak menurunkan angka keguguran.(6)
Sekarang perhatian lebih dipusatkan pada hubungan antara PCO, resistensi
insulin dengan keguguran. Resistensi insulin telah dilaporkan terkait dengan angka
keguguran yang lebih tinggi pada wanita dengan PCOS yang menjalani induksi
ovulasi dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami resistensi insulin.
Penelitian terbaru melaporkan bahwa agen yang mensensitisasi insulin, seperti
metformin, menurunkan hiperinsulinemia, membalikkan endokrinopati PCOS dan
menormalkan fungsi endokrin, metabolic dan reproduktif. Penelitian retrospektif
melaporkan bahwa penggunaan metformin pada saat kehamilan berkaitan dengan
penurunan yang signifikan pada angka keguguran diantara wanita dengan PCOS.
Akan tetapi Efek dari metformin ini masih harus di uji dalam penelitian prospektif
6

yang besar yang dikontrol oleh placebo dari cohort yang telah ditetapkan dengan baik
mengenai wanita dengan abortus habitualis.(6)
Sindrom Antifosfolipid
Sindrom antifosfolipid adalah keadaan autoimun yang ditandai oleh hasil
keluaran obstetric yang buruk (abortus habitualis atau keguguran pada akhir masa
kehamilan, KJDR) dan trombofilia pada keadaan autoantibody yang menyebabkan
hiperkoagulasi invivo. Hal ini terjadi pada 15% abortus habitualis. Autoantibody ini
meningkatkan thrombosis plasenta dan inflamasi dan dapat mengganggu invasi
normal

dari

jaringan

trophoblastik

janin

kedalam

pembuluh

darah

maternal/endometrium uterus. Hasil akhirnya aalah peningkatan resiko terjadinya


keguguran.
Untuk memastikan keakuratan diagnosis, paling tidak satu dari criteria klinis
berikut ini dan satu criteria laboratorium ini harus dipenuhi.
a. Criteria klinis (satu dari dua)
1. Thrombosis: satu atau lebih kejadian thrombosis pembuluh darah vena
atau arteri; yang harus dikonfirmasikan dengan pemeriksaan radiologi,
seperti pemeriksaan Doppler
2. Morbiditas kehamilan (satu dari tiga):
i. Satu atau lebih kematian janin yang tidak dapat dijelaskan pada
janin yang normal secara morfologi diatas usia kehamilan 10
minggu
ii. Satu atau lebih kelahiran premature dari neonates yang normal
secara morfologi yang kurang atau sama dengan usia kehamilan 34
minggu, yang diakibatkan baik itu eklampsia/preeclampsia atau
insufisiensi plasenta yang dibuktikan dengan pemeriksaan jani
yang menunjukkan adanya hipoksia janin.
iii. Tiga atau lebih abortus spontan yang berurutan sebelum usia
kehamilan 10 minggu, dengan mengeluarkan penyebab lain.
b. Criteria laboratorium
7

1. Antibody anticardiolipin, IgM atau IgG, pada titer medium atau tinggi
(padahal sangat jarang nilai standar antara satu laboratorium dengan
laboratorium yang lain, mereka biasanya dilaporkan lebih besar daripada
40 GPL (IgG) atau MPL (IgM) unit, atau lebih dari 99 persentil antibody
anticardiolipin dalam populasi normal). Antibody yang sama harus
meningkat paling tidak pada dua waktu, yang terpisah 6 hingga 12
minggu.
2. Antobodi antikoagulan lupus, yang dideteksi dengan langkah-langkah
berikut ini, pada dua waktu, yang terpisah 6 minggu:
i. Pemanjangan koagulasi yang tergantung

fosfolipid

pada

pemeriksaan, seperti activated partial thromboplastin time (aPTT),


waktu pembekuan kaolin, dilute russel viper venom time, dilute
prothrombin time, atau textarin time
ii. Gagal untuk mengkoreksi pemanjangan waktu koagulasi dengan
cara mencampur dengan plasma yang kurang mengandung platelet
normal
iii. Memendekkan atau mengkoreksi pemanjangan waktu koagulasi
dengan menambahkan fosfolipid
iv. Eksklusi dari koagulopati yang lain
v. Penting untuk menekankan bahwa

walaupun

sindrom

antifosfolipid dapat menyebabkan pembekuan yang abnormal


secara klinis, antikoagulan lupus dapat menyebabkan pemanjangan
perdarahan in vitro
vi. Antibody antifosfolipid yang lain, termasuk antibody IgA
anticardiolipin,

antifosfatidylserine,

dan

antibody

anti-I22-

glikoprotein, tidak terkait dengan RPL.


Defek Trombofilik
Kehamilan adalah keadaan hiperkoagulasi yang diakibatkan peningkatan level
faktor koagulasi tertentu dan penurunan secara simulatan level protein antikoagulan
dan fibrinolisis. Keuntungan yang evolusioner dari respon ini adalah untuk melawan

instabilities inheren yang berkaitan dengan haemochorial placentation. Hipotesis


yang lebih lanjut bahwa beberapa kasus abortus habitualis dan komplikasi pada akhir
masa kehamilan diakibatkan oleh peningkatan respon hemostatik pada saat kehamilan
yang menyebabkan thrombosis dari pembuluh darah uteroplasenta dan selanjutnya
dapat menyebabkan kematian janin. Hipotesis ini didukung oleh data histologist
yang melaporkan bahwa mikrotrombus adalah hasil temuan yang umum pada
pembuluh darah plasenta dari wanita yang mengalami abortus habitualis dan oleh
penelitian prospektif yang melaporkan peningkatan prevalensi abnormalitas
trombofilik pada wanita dengan abortus habitualis.
Penelitian prevalensi yang pertama mengenai abnormalitas koagulasi pada
wanita dengan riwayat hasil persalinan yang buruk yang muncul pada pertengahan
tahun 1990-an. Sejak saat itu, banyak publikasi telah melaporkan prevalensi defek
koagulasi individual pada wanita yang mengalami keguguran yang berulang yang
sama atau lebih tinggi ketika dibandingkan dengan control.(6)
Faktor Imun
Faktor autoimun
Penyakit autoimun seperti lupus eritomatous sistemik adalah gangguan
imunologi yang dapat diidentifikasi dan dapat diobati yang terkait dengan abortus
habitualis. Saat ini, pemeriksaan untuk antikoagulan lupus dan antikadiolipin adalah
satu-satunya tes imunologis yang tervalidasi yang memiliki kegunaan klinis untuk
mengevaluasi wanita dengan abortus habitualis.

Faktor alloimun
Pengenalan dan respon imun maternal tidak diragukan lagi memainkan
peranan penting dalam kehamilan yang normal dan gangguan alloimun dapat

menyebabkan abortus habitualis yang tidak dapat dijelaskan. Saat ini, disregulasi
sitokin pada mekanisme imun yang bekerja pada maternal-fetal interface adalah
mekanisme yang paling mungkin terlibat. Akan tetapi, semua metode terbaru untuk
pemeriksaan alloimunopatologi yang dicurigai, termasuk pemeriksaan HLA, evaluasi
sel imun (kultur mixed limfosit, pemeriksaan sel natural killer) dan pemeriksaan
sitokin (untuk membedakan mereka pola respon imun dengan t-helper limfosit-1 dan
t-helper limfosit-2 dengan antigen trofoblast in vitro) harus dipertimbangkan.(4)
Faktor Anatomi
Prevalensi anomaly uterus pada wanita yang menderita abortus habitualis
telah dilaporkan berkisar antara 1,8% dan 37,6%. Rentang yang lebar ini
mencerminkan perbedaan pada criteria dan teknik yang digunakan untuk
mendiagnosis dan fakta bahwa penelitian yang ada telah memasukkan wanita yang
mengalami keguguran 2 kali, 3 kali atau lebih pada wal dan akhir masa kehamilan.
Tinjauan retrospektif terbaru mengenai performa reproduksi pada pasien dengan
anomaly uterus yang tidak diobati telah menunjukkan bahwa wanita ini mengalami
angka keguguran dan persalinan preterm yang tinggi.(6)
Abnormalitas uterus congenital dan yang didapatkan merupakan predisposisi
terhadap peningkatan resiko keguguran dan dapat teridentifikasi oleh sonohisterografi
atau HSG tradisional; magnetic resonance imaging mungkin diperlukan untuk
membedakan septate dan bikornu uterus dengan akurat. Septate uterus adalah
anomaly mallerian yang paling sering, salah satu anomaly yang paling sering terkait
dengan keguguran, dan malformasi yang paling mudah dan dan paling dapat
dikoreksi; histeroskopi septoplasty diindikasikan pada wanita dengan abortus
habitualis dan memiliki septate uterus. Mioma uteri seringkali teridentifikasi pada
wanita yang menderita abortus habitualis, tetapi hanya mioma submukosa dan fibroid
intramural yang lebih besar.(4)
PATOLOGI ANATOMI
10

Pendarahan ke dalam desidua basalis, yang diikuti oleh nekrosis


jaringan yang berdekatan dengan pendarahan, biasanya menyertai abortus. Jika pada
awal, terlepasnya sel telur, merangsang kontraksi rahim yang berakibat pada
pengeluaran tersebut. Ketika kantung kehamilan dibuka, cairan ini umumnya
ditemukan di sekitar janin kecil yang termaserasi, atau tidak ada janin terlihat-yang
disebut blighted ovum.(9)
Dalam abortus yang terjadi di akhir masa kehamilan, beberapa hasil keluaran
mungkin terjadi. Janin tetap dapat mengalami maserasi, di mana tulang tengkorak
hancur, perut tegang dengan cairan yang tercampur darah, dan organ-organ internal
berdegenerasu. Kulit dapat terkelupas didalam rahim atau karena sentuhan yang
lembut. Atau, ketika cairan amnionic diserap, janin dapat menjadi tertekan dan
kering, membentuk compressus fetus. Kadang-kadang janin dapat menjadi begitu
kering dan terkompresi yang menyerupai-fetus papyraceous.(9)
DIAGNOSIS
Regimen untuk mendiagnosis harus dimulai dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang menyeluruh, dengan pertanyaan yang spesifik mengenai usia
kehamilan yang pasti pada saat keguguran dan gejala inkompetensi serviks yang
mungkin ada. Pemeriksaan darah yang pertinent mencakup level TSH, tes untuk
mendeteksi aktivitas antikoagulan lupus, dan antibody antifosfolipid. Jika pasiennya
menderita diabetes, pemeriksaan A1C hemoglobin berguna untuk memperlihatkan
level control glukosa. Pemeriksaan hysterosalpingogram atau sonohysterogram harus
dilakukan untuk mendiagnosa anomaly uterus. Jika pemeriksaan ini memperlihatkan
tidak ada abnormalitas, kariotipe parental dapat dilakukan. Namun, pemeriksaan ini
sangat mahal, dan hanya memberikan sedikit perubahan pada pengelolaan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

11

Selain anamnesis rutin dan pemeriksaan fisis, beberapa pemeriksaan dibawah


ini dapat berguna:

Dapatkan pemeriksaan karyotypic dari kedua orang tua. Pengaturan ulang


kromosom secara structural pada pasangan dengan abortus habitualis adalah

sebesar 5,34%
Lakukan hysterosal pingogram, hysteroscopy, atau laparaskopi untuk
menghapuskan kemungkinan adanya abnormalitas anatomi dari saluran

reproduksi.
Minta pemeriksaan laboratorium untuk T3, T4, TSH, pemeriksaan
abnormalitas glukosa (1 atau 2 jam post prandial), SMA, dan antibody

antinuclear atau antibody pada DNA untaian ganda.


Biopsy endometrium pada saat fase luteal, atau dapatkan serum progesterone

untuk menilai korpus luteum, atau lakukan keduanya


Lakukan pemeriksaan jaringan sevikal atau endometrium

dengan

menggunakan pemeriksaan kultur untuk listeria monocytogenes, Chlamydia,


mycoplasma, U. urealyticum, Neisseiria gonorrhoeae,cytomegalovirus, dan
herpes simpleks dan titer serum untuk treponema pallidum, brucella abortus,
dan Toxoplasma gondii.(10)
PENGOBATAN
Terapi yang diberikan harus sesuai dengan pemeriksaan dan diagnosis yang
ditegakkan.

Abnormalitas genetic.
Jika telah ditetapkan bahwa salah satu anggota pasangan memiliki translokasi
kromosom seimbang, terdapat beberapa pilihan:
1. Pasangan tersebut dapat terus melanjutkan usahanya untuk hamil tanpa
bantuan konsepsi buatan. Jika hanya salah satu saja orang yang

12

mengalami translokasi seimbang, masih ada kemungkinan terjadinya


konsepsi normal yang spontan
2. Fertilisasi in vitro dan diagnosis preimplantasi genetic untuk
menentukan embrio normal untuk konsepsi
3. Donor gamet dapat digunakan yang dikombinasikan dengan

pengobatan fertilitas.(8)
Abnormalitas anatomi pada saluran reproduksi
Gunakan pengangkatan polip atau septum uterus secara histereskopik, operasi
uterus (misal, prosedur Jones, Tompkins, Strassman, miomektomi), cervical

cerclage (abdominal atau vaginal), atau rekonstruksi servikal.


Abnormalitas hormone
Ketika terjadi defisiensi, berikan thyroid, progesterone, atau klomifen sitrat.
Dan juga, mungkin perlu untuk mengobati hiperprolaktinemia dan

hiperandrogenisme.
Faktor imunologis
Penggunaan limfosit paternal yang dimurnikan masih dipertanyakan dan yang
sedang

meningkat,

immunoglobulin

intravena

menunjukkan

sebagai

pengobatan yang potensial untuk keterkaitan imunologis dengan abortus


habitualis. Terapi yang lain meliputi heparin, aspirin, dan keduanya.
Prednisone (saja dan dikombinasikan dengan aspirin) mungkin diperlukan
untuk mengobati keadaan yang mendasarinya, tetapi sudah banyak diganti

dengan terapi heparin dan aspirin.


Obati gangguan sistemik secara tepat dengan menggunakan terapi yang

spesifik untuk penyakit tertentu.


Ciptakan lingkungan yang paling kondusif agar bisa hamil. Hal ini
melibatkan: hentikan pemakaian zat fetotoksin (misal, alcohol, rokok,
kokain), mengurangi stress, dan penggunaan asam folat sebelum terjadinya
kehamilan

13

14

Anda mungkin juga menyukai