PENDAHULUAN
Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil,
yang dilaporkan dapat hidup diluar kandungan, mempunyai berat badan 297 gram
waktu lahir. Akan tetapi, karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan
dibawah 500 gram dapat hidup terus, maka abortus ditentukan sebagai pengakhiran
kehamilan sebelum janin mencapai berat badan 500 gram atau kurang dari 20
minggu. Sedangkan abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau
lebih secara berturut-turut.(1)
Seorang wanita menderita abortus habitualis, apabila ia mengalami abortus 3
kali atau lebih secara berturut-turut. Angka kejadian jenis abortus ini adalah 0,4% dari
semua kehamilan. Wanita yang mengalami peristiwa tersebut, umumnya tidak
mengalami kesulitan untuk menjadi hamil, akan tetapi kehamilannya tidak dapat
berlangsung terus dan terhenti sebelum waktunya, biasanya pada trimester pertama
tetapi kadang-kadang pada kehamilan yang lebih tua.(2)
Keguguran yang repetitive biasanya terjadi pada usia kehamilan yang sama
dalam kehamilan yang berurutan. Abortus habitualis dapat dibagi menjadi abortus
habitualis primer dan sekunder. Abortus habitualis primer berkenaan dengan wanita
dengan keguguran berulang yang tidak pernah mengalami kehamilan yang dapat
melahirkan bayi hidup. Abortus habitualis sekunder berkenaan dengan wanita yang
sebelumnya pernah melahirkan bayi yang dapat bertahan hidup.(3)
Pada tahun 200, lebih dari setengah aborsi (58%) terjadi pada saat usia
kehamilan 8 minggu atau kurang. Keguguran pada awal masa kehamilan adalah
kejadian yang sangat umum. Secara keseluruhan, sekitar 12-15% kehamilan yang
diketahui secara klinis berakhir dalam abortus spontan antara usia kehamilan 4 dan 20
1
minggu. Akan tetapi, angka keguguran pada awal masa kehamilan yang
sesungguhnya adalah 2 hingga 4 kali lebih besar, bergantung pada usia. Secara
keseluruhan, resikonya masih tetap kurang dari 40% setelah keguguran sebanyak 4
kali dan tidak lebih tinggi dari 50% bahkan pada keguguran sebanyak 6 kali atau
lebih; resiko akan bertambah tinggi untuk wanita dengan abortus habitualis dan tidak
pernah melahirkan bayi hidup.(4, 5)
Polan dan rekan, juga melaporkan angka aborsi spontan sebesar 20% pada
wanita yang mengalami satu kali abortus spontan sebelumnya, tetapi pada wanita
yang melaporkan 3 atau lebih abortus, kemungkinan terjadi abortus yang selanjutnya
meningkat hingga sebesar 50%. Hasil ini sama dengan yang dilaporkan oleh James,
yang menambahkan bahwa wanita dengan paling tidak satu kelahiran bayi hidup yang
diikuti oleh abortus sebanyak tiga kali atau lebih hanya memiliki kemungkinan
sebesar 30% untuk mengalami kejadian abortus yang selanjutnya.(5)
ETIOLOGI
Genetic
Abnormalitas kromosom parental
Berdasarkan teknik banding Geisma yang konvensional, sebuah abnormalitas
struktur kromosom orang tua teridentifikasi dalam 3-5% pasangan yang menderita
abortus habitualis. Abnormalitas yang paling sering adalah translokasi balanced atau
reciprocal. Sementara pembawa dari translokasi balanced reciprocal secara fenotip
normal, segregasi yang abnormal padda melosis menyebabkan gamet mereka antara
50 dan 70% dan embrionya menjadi tidak seimbang. Perempuan dua kali lipat lebih
banyak daripada laki-laki teridentifikasi sebagai pembawa abnormalitas kromosom
structural. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan oleh abnormalitas structural pada
laki-laki lebih terkait dengan sterilitas. Sementara itu translokasi telah dilaporkan
untuk semua kromosom dalam berbagai macam kombinasi, angka keguguran klinis
dan hasil kehamilan yang selanjutnya belum pernah dilaporkan.(6)
Pada translokasi balanced reciprocal bagian dari dua autosom yang berbeda
terjadi translokasi (tertukar). Pada translokasi balanced Robertsonian, dua
sentrometer dari dua kromosom akrosentrik bergabung menjadi bentuk kromosom
tunggal yang terdiri dari lengan panjang dari dua kromosom yang terpengaruh; lengan
yang pendek (mengandung sedikit atau tidak ada material genetic yang penting)
menghilang. Pada kedua kasus, pembawa translokasi diseimbangkan secara genetic
dan normal secara fenotip. Sayangnya, ketika oogonia mereka atau spermatogonia
mereka mengalami meiosis untuk membentuk oosit atau sperma haploid, bagian besar
dari gamet menjadi tidak seimbang dan abnormal secara genetic, mengalami
defisiensi atau hilangnya material genetic. Ketika gamet yang tidak seimbang secara
kromosom bergabung dengan gamet yang normal dari pasangan yang tidak terkena,
hasil konsepsi akan menjadi trisomi dan/atau monosomi dan hampir akan selalu
mengalami abortus; hasil konsepsi yang tidak seimbang terkadang bisa selamat, tetapi
mereka beresiko tinggi mengalami malformasi dan retardasi mental.(4)
Menurut teori, seperempat gamet yang dihasilkan oleh pembawa translokasi
resiprokal dapat normal, seperempatnya bisa abnormal tetapi seimbang, dan
setengahnya bisa abnormal dan tidak seimbang, menyebabkan kemungkinan sebesar
50% hamil normal (hasil konsepsi yang normal atau seimbang) dan kemungkinan
sebesar 50% hamil abnormal (abortus atau mampu lahir tapi mengalami anomaly),
dengan asumsi penyatuan dengan gamet yang normal secara kromosom yang berasal
dari pasangan yang tak terpengaruh. Namun, ketika translokasi robertsonian
melibatkan kedua anggota dari untaian kromosom tunggal, pembawa tidak akan
menghasilkan gamet yang normal karena semuanya akan memiliki 2 salinan atau
tidak ada sainan dari kromosom yang terpengaruh.(4)
cepat hingga mencapi 30% pada usia 40 tahun, 50% pada usia 43 tahun, dan hampir
100% setelah usia 45 tahun. Pengamatan-pengamatan ini memberikan penjelasan
yang logis untuk keseluruhan peningkatan insidensi keguguran yang berkaitan dengan
usia dan semakin tingginya prevalensi aneuploidi pada abortus pada wanita yang
berusia tua. (4,6)
Prevalensi tes persedian ovarium yang abnormal pada wanita dengan abortus
habitualis yang tidak dapat dijelaskan lebih tinggi daripada wanita dengan penyebab
abortus habitualis yang diketahui lainnya dan setara dengan yang diamati pada
populasi wanita infertile. Pengamatan ini menunjukkan bahwa wanita pada tingkat
deplesi folikular ovarium yang telah lanjut beresiko lebih tinggi mengalami
keguguran tanpa memandang usianya.(4)
Faktor Endokrin
Banyak kasus abortus habitualis telah dipertimbangkan diakibatkan oleh
kelainan enddokrin. Perhatian biasanya dipusatkan pada konsep kurangnya sekresi
progesterone oleh korpus luteum yang menyebabkan keguguran pada awal masa
kehamilan. Hal ini telah diistilahkan sebagai defek fase luteal yang telah dilaporkan
terjadi pada antara 23 dan 60% wanita dengan abortus habitualis. Diagnosis dari
defek fase luteal berdasarkan pada level progesterone fase luteal dan biopsy
endometrial pada siklus non-fertil. Pemeriksaan ini kurang dapat dipercaya karena
terdapat keterkaitqan yang rendah natara endokrin dan variable histologist pada
siklus. Apalagi, profil hormone pro-konseptual sama pada saat kehamilannya sukse
dan mereka yang berakhir dengan keguguran.(6)
Diabetes yang terkontrol bukanlah sebuah faktor resiko untuk abortus
habitualis. Wanita yang menderita diabetes dengan control metabolic yang bagus
tidak memiliki kemungkinan mengalami keguguran yang lebih besar daripada wanita
yang tidak menderita diabetes, tetapi wanita diabetic yang mengalami peningkatan
level glukosa darah dan glycosylated hemoglobin (A1C) pada saat trimester pertama
5
yang besar yang dikontrol oleh placebo dari cohort yang telah ditetapkan dengan baik
mengenai wanita dengan abortus habitualis.(6)
Sindrom Antifosfolipid
Sindrom antifosfolipid adalah keadaan autoimun yang ditandai oleh hasil
keluaran obstetric yang buruk (abortus habitualis atau keguguran pada akhir masa
kehamilan, KJDR) dan trombofilia pada keadaan autoantibody yang menyebabkan
hiperkoagulasi invivo. Hal ini terjadi pada 15% abortus habitualis. Autoantibody ini
meningkatkan thrombosis plasenta dan inflamasi dan dapat mengganggu invasi
normal
dari
jaringan
trophoblastik
janin
kedalam
pembuluh
darah
1. Antibody anticardiolipin, IgM atau IgG, pada titer medium atau tinggi
(padahal sangat jarang nilai standar antara satu laboratorium dengan
laboratorium yang lain, mereka biasanya dilaporkan lebih besar daripada
40 GPL (IgG) atau MPL (IgM) unit, atau lebih dari 99 persentil antibody
anticardiolipin dalam populasi normal). Antibody yang sama harus
meningkat paling tidak pada dua waktu, yang terpisah 6 hingga 12
minggu.
2. Antobodi antikoagulan lupus, yang dideteksi dengan langkah-langkah
berikut ini, pada dua waktu, yang terpisah 6 minggu:
i. Pemanjangan koagulasi yang tergantung
fosfolipid
pada
walaupun
sindrom
antifosfatidylserine,
dan
antibody
anti-I22-
Faktor alloimun
Pengenalan dan respon imun maternal tidak diragukan lagi memainkan
peranan penting dalam kehamilan yang normal dan gangguan alloimun dapat
menyebabkan abortus habitualis yang tidak dapat dijelaskan. Saat ini, disregulasi
sitokin pada mekanisme imun yang bekerja pada maternal-fetal interface adalah
mekanisme yang paling mungkin terlibat. Akan tetapi, semua metode terbaru untuk
pemeriksaan alloimunopatologi yang dicurigai, termasuk pemeriksaan HLA, evaluasi
sel imun (kultur mixed limfosit, pemeriksaan sel natural killer) dan pemeriksaan
sitokin (untuk membedakan mereka pola respon imun dengan t-helper limfosit-1 dan
t-helper limfosit-2 dengan antigen trofoblast in vitro) harus dipertimbangkan.(4)
Faktor Anatomi
Prevalensi anomaly uterus pada wanita yang menderita abortus habitualis
telah dilaporkan berkisar antara 1,8% dan 37,6%. Rentang yang lebar ini
mencerminkan perbedaan pada criteria dan teknik yang digunakan untuk
mendiagnosis dan fakta bahwa penelitian yang ada telah memasukkan wanita yang
mengalami keguguran 2 kali, 3 kali atau lebih pada wal dan akhir masa kehamilan.
Tinjauan retrospektif terbaru mengenai performa reproduksi pada pasien dengan
anomaly uterus yang tidak diobati telah menunjukkan bahwa wanita ini mengalami
angka keguguran dan persalinan preterm yang tinggi.(6)
Abnormalitas uterus congenital dan yang didapatkan merupakan predisposisi
terhadap peningkatan resiko keguguran dan dapat teridentifikasi oleh sonohisterografi
atau HSG tradisional; magnetic resonance imaging mungkin diperlukan untuk
membedakan septate dan bikornu uterus dengan akurat. Septate uterus adalah
anomaly mallerian yang paling sering, salah satu anomaly yang paling sering terkait
dengan keguguran, dan malformasi yang paling mudah dan dan paling dapat
dikoreksi; histeroskopi septoplasty diindikasikan pada wanita dengan abortus
habitualis dan memiliki septate uterus. Mioma uteri seringkali teridentifikasi pada
wanita yang menderita abortus habitualis, tetapi hanya mioma submukosa dan fibroid
intramural yang lebih besar.(4)
PATOLOGI ANATOMI
10
11
sebesar 5,34%
Lakukan hysterosal pingogram, hysteroscopy, atau laparaskopi untuk
menghapuskan kemungkinan adanya abnormalitas anatomi dari saluran
reproduksi.
Minta pemeriksaan laboratorium untuk T3, T4, TSH, pemeriksaan
abnormalitas glukosa (1 atau 2 jam post prandial), SMA, dan antibody
dengan
Abnormalitas genetic.
Jika telah ditetapkan bahwa salah satu anggota pasangan memiliki translokasi
kromosom seimbang, terdapat beberapa pilihan:
1. Pasangan tersebut dapat terus melanjutkan usahanya untuk hamil tanpa
bantuan konsepsi buatan. Jika hanya salah satu saja orang yang
12
pengobatan fertilitas.(8)
Abnormalitas anatomi pada saluran reproduksi
Gunakan pengangkatan polip atau septum uterus secara histereskopik, operasi
uterus (misal, prosedur Jones, Tompkins, Strassman, miomektomi), cervical
hiperandrogenisme.
Faktor imunologis
Penggunaan limfosit paternal yang dimurnikan masih dipertanyakan dan yang
sedang
meningkat,
immunoglobulin
intravena
menunjukkan
sebagai
13
14