Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari dihitung dari


hari pertama haid terakhir (HPHT). Kehamilan aterm adalah usia kehamilan
antara 38-42 minggu dan ini merupakn periode terjadinya persalinan normal.
Namun, sekitar 3,4 14 % atau rata-rata 10 % kehamilan berlangsung hingga 42
minggu atau lebih. Angka ini bervariasi dari beberapa peneliti bergantung pada
kriteria yang dipakai. 1
Kehamilan postterm disebut juga kehamilan serotinus atau postterm
pregnancy, yaitu kehamilan yang berlangsung selama lebih atau sama dengan 42
minggu atau 294 hari. Beberapa penulis menghitung waktu 42 minggu setelah
HPHT, ada pula yang mengambil 43 minggu.1
Postterm, prolonged, postdates, dan postmature merupakan istilah yang
lazim digunakan untuk kehamilan yang waktunya melebihi batas waktu normal
(40 minggu). Menurut standar Internasional dari American Collage of
Obstetricians

and

Gynecologist,

kehamilan

jangka

panjang

(Prolonged

pregnancy) ialah kehamilan yang terjadi dalam jangka waktu lengkap 42 minggu
(294 hari) atau lebih, yang dihitung dari HPHT. Yang dimaksud lengkap 42
minggu ialah 41 minggu 7 hari, jika 41 minggu 6 hari belum bisa dikatakan
lengkap 42 minggu. Kehamilan yang terjadi dalam jangka waktu > 40 minggu
sampai dengan 42 minggu disebut kehamilan lewat tanggal atau postdate
pregnancy.2
Kehamilan postterm merupakan salah satu kehamilan yang berisiko tinggi,
dimana dapat terjadi komplikasi pada ibu dan janin. Kehamilan postterm terutama
berpengaruh terhadap janin, meskipun hal ini masih banyak diperdebatkan sampai
sekarang. Dalam kenyataannya kehamilan postterm mempunyai pengaruh
terhadap perkembangan janin sampai kematian janin. Kehamilan postterm
mempunyai hubungan erat dengan mortalitas, morbiditas perinatal, ataupun

makrosomia. Sementara itu, risiko pada ibu dengan kehamilan postterm dapat
berupa pendarahan pascapersalinan ataupun tindakan obstetrik yang meningkat. 1
Berbeda dengan angka kematian ibu yang cenderung menurun, kematian
perinatal tampaknya masih menunjukkan angka yang cukup tinggi sehingga
pemahaman dan penatalaksanaan yang tepat terhadap kehamilan postterm akan
memberikan sumbangan besar dalam upaya menurunkan angka kematian terutama
kematian perinatal. 1

BAB II
STATUS PASIEN

I.

II.

IDENTIFIKASI
a. Nama
: Ny. RBA
b. Umur
: 32 tahun
c. Alamat
: Perum Griya Sari, Gandus, Palembang
d. Suku
: Palembang
e. Bangsa
: Indonesia
f. Agama
: Islam
g. Pendidikan : SLTA
h. Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
i. MRS
: 18 Desember 2015
j. No. RM
: 927675
ANAMNESIS (Autoanamnesis pada 18 Desember 2015, pukul 11.00)
Keluhan Utama
Hamil lewat bulan
Riwayat Perjalanan Penyakit
Kurang lebih 1 hari SMRS, pasien kontrol ke bidan karena merasa
hamil sudah cukup bulan dan dikatakan oleh bidan hamil lewat bulan.
Pasien kemudian dirawat dan diberikan obat penguat namun tidak ada
kemajuan persalinan. Pasien kemudian dirujuk ke RSMH. Riwayat perut
mulas yang menjalar ke pinggang hilang timbul makin lama makin sering
dan kuat (-), riwayat keluar darah lendir (-), riwayat keluar air-air (-) pasien
mengaku hamil lewat bulan dan gerakan janin masih dirasakan.
Riwayat minum obat-obatan penghilang nyeri (-), obat KB (-).
Riwayat demam (-), riwayat berdebar-debar (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hamil lewat bulan pada kehamilan sebelumnya (-), riwayat
hipertensi (-), diabetes mellitus (-), asthma (-), maupun penyakit berat
lainnya (-).
3

Riwayat Dalam Keluarga


Riwayat keluarga dengan hamil lewat waktu (-).
Status Sosial Ekonomi dan Gizi
Status Perkawinan
Status Reproduksi
Status Persalinan

: Sedang
: Menikah 1 kali, lamanya 6 tahun
: Menarche usia 13 tahun, siklus haid
teratur 28 hari lamanya 4 hari,
HPHT 28 februari 2015
: 1. 2010, perempuan ,BBL 3300 g,
lahir spontan, ditolong bidan,
sehat
2. 2015, Hamil ini.

III. PEMERIKSAAN FISIK ( Tanggal 18 Desember 2015, pukul 11.15)


PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

BB

: 70 Kg

TB

: 165 Cm

Status gizi

: IMT 25,9

Tekanan Darah

: 130/80 mmHg

Nadi

: 86 x/ menit, isi/kualitas cukup, reguler

Respirasi

: 20 x/menit, reguler

Suhu

: 36,5 oC

PEMERIKSAAN KHUSUS
Mata

: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema


palpebra (-), pupil isokor 3 mm, refleks cahaya (+/+).

Hidung

: kavum nasi dextra et sinistra lapang, sekret (-),


perdarahan (-).

Telinga

: CAE destra et sinistra lapang, sekret (-), serumen (+),


MT sulit dinilai.
4

Mulut

: Perdarahan di gusi (-), sianosis sirkumoral (-), mukosa


mulut dan bibir kering (-), fisura (-), cheilitis (-).

Lidah

: Atropi papil (-).

Faring/Tonsil

: Dinding faring posterior hiperemis (-), tonsil T1-T1,


tonsil tidak hiperemis, detritus (-).

Kulit

: CRT < 3 s

LEHER
Inspeksi
Palpasi

: Tidak ada kelainan


: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

THORAX
Inspeksi
Palpasi
PARU
Perkusi
Auskultasi
JANTUNG
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: simetris, retraksi intercostal, subkostal, suprasternal (-)


: Stem fremitus kanan = kiri
: sonor pada kedua lapangan paru.
: vesikular (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
: iktus cordis tidak terlihat
: iktus cordis tidak teraba, tidak ada thrill
: Jantung dalam batas normal
: BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-).

ABDOMEN
Inspeksi : Cembung
Lihat pemeriksaan obstetrik
EKSTREMITAS
Akral hangat (+), edema pretibial (-).
PEMERIKSAAN OBSTETRIK
Pemeriksaan Luar

Tinggi fundus uteri 3 jari bawah processus xyphoideus (34 cm), letak
memanjang, punggung kiri, presentasi kepala, penurunan kepala 4/5, His (-),
DJJ 145x/mnt, TBJ 3255 g
Pemeriksaan Dalam
Vaginal toucher
Portio lunak, letak posterior, eff 50 %, 1 cm, ketuban (+), kepala, H I-II,
penunjuk sulit dinilai.
IV.

PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi (Tanggal 18 Desember 2015)
Pemeriksaan
Hematologi
Hb
RBC
WBC
Ht
Trombosit
Diff. Count

V.

Hasil

Nilai Normal

11,2 mg/dl
3,73 juta/m3
8,2 x 103/m3
32%
192.000/m3
0/1/67/27/5

11,7-15,5 mg/dl
4,2-4,87 juta/m3
4,5-11 x 103/m3
43-49 %
150-450/m3
0-1/1-6/50-70/20-40/2-8

DIAGNOSIS KERJA
G2P1A0 hamil 42 minggu belum inpartu janin tunggal hidup preskep.

VI.

PROGNOSIS
Prognosis Ibu : dubia ad bonam
Prognosis Janin : dubia ad bonam

VII. TATALAKSANA (Planning / P)


a. TERAPI
IVFD RL gtt xx/menit
Cek lab darah rutin, cross match
Pematangan servik dengan misoprostol 25 ug/6 jam

b. MONITORING
Observasi tanda vital ibu, His, DJJ, tanda inpartu.

VIII. FOLLOW UP
Follow up (18 Desember 2015, pukul 19:30)
S
O

A
P

Mau melahirkan
KU:
Tampak sakit sedang
Kesadaran: CM
TD: 120/80 mmHg, N: 92 x/menit, RR: 24 x/menit, T: 36,8C
Status obstetri:
Pemeriksaan luar:
Tinggi fundus uteri 3 jari di bawah prosesus xiphoideus (34 cm), letak memanjang,
punggung kiri, presentasi kepala, penurunan 4/5, his (+) 2x/10 menit/20, DJJ: 120
x/menit, TBJ 3255 gram.
Pemeriksaan dalam:
Portio lunak, posterior, eff 75 %, pembukaan 3 cm, ketuban (-), jernih, bau (-),
kepala, H I-II, penunjuk belum dapat dinilai.
G2P1A0 hamil 42 minggu inpartu kala I fase laten janin tunggal hidup presentasi
kepala + Oligohidramnion (Hasil USG)
Observasi TVI, His, dan observasi DJJ ketat.
IVFD RL gtt XX/menit.
O2 3 L/menit via nasal kanul
Posisi miring ke kiri

Follow up (18 Desember 2015, pukul 20:00)


S
O

A
P

Mau melahirkan + penurunan DJJ (gawat janin)


Status obstetri:
KU:
Tampak sakit sedang
Kesadaran: CM
TD: 130/80 mmHg, N: 97 x/menit, RR: 24 x/menit, T: 36,9C
Pemeriksaan luar:
Tinggi fundus uteri 3 jari di bawah prosesus xiphoideus (34 cm), letak memanjang,
punggung kiri, presentasi kepala, penurunan 4/5, his (+) 2x/10 menit/25, DJJ: 118
x/menit, TBJ 3255 gram.
Pemeriksaan dalam:
Portio lunak, posterior, eff 75 %, pembukaan 3 cm, ketuban (-), jernih, bau (-),
kepala, H I-II, penunjuk belum dapat dinilai.
G2P1A0 hamil 42 minggu inpartu kala I fase laten janin tunggal hidup presentasi
kepala + Oligohidramnion + gawat janin
Observasi TVI, His, dan observasi DJJ ketat.
IVFD RL gtt XX/menit.
O2 3 L/menit via nasal kanul
7

R/ Terminasi kehamilan perabdominam

Laporan Operasi
Jenis operasi: seksio sesarea transperitoneal profunda a.i gawat janin dan
oligohidramnion + insersi IUD
21.50 Operasi dimulai
22.00 Lahir neonatus hidup, perempuan, BB 3.800 gram, PB 51 cm, A/S 7/9
22.05 Lahir plasenta lengkap, BP 580 gram, PTP 47 cm, ukuran 20x21 cm2
22.50 Operasi selesai

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

KEHAMILAN POSTTERM
Pengertian
Menurut FIGO (International Federation of Gynecology and Obstetrics)
dan ACOG (American Collage of Obstetricians and Gynecologists), kehamilan
yang berlangsung hingga 42 minggu atau lebih didefinisikan sebagai kehamilan
postterm (KPT).3 Kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung hingga
usia gestasi 42 minggu atau lebih (294 hari), atau perkiraan taksiran kehamilan +
14 hari (ACOG, 2004).4 Sedangkan menurut WHO (World Health Organization)
kehamilan postterm adalah suatu kehamilan 42 minggu (complete week) atau lebih
yang dihitung berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT).5
Epidemiologi
Insidens KPT berkisar 7% dari semua kehamilan. Prevalensi kejadian ini
bervariasi tergantung pada karakteristik populasi dan kebijakan manajemen
setempat. Karakteristik populasi yang dapat mempengaruhi prevalensi KPT antara
lain persentasi primigravida pada populasi setempat, prevalensi obesitas, KPT
pada kehamilan sebelumnya, dan predisposisi genetik. Proporsi wanita dengan
komplikasi kehamilan dan frekuensi kehamilan preterm juga dapat mempengaruhi
prevalensi KPT. Hubungan antara etnik dan durasi kehamilan belum diketahui
dengan pasti.4
Kebijakan manajemen setempat yang dapat mempengaruhi prevalensi KPT
antara lain jadwal induksi persalinan, perbedaan penggunaan ultrasound (USG)
awal untuk menentukan usia kehamilan, dan prevalensi sectio cesarea (SC)
elektif. Di Amerika Serikat sebagai contoh, peningkatan angka induksi persalinan
pada dekade terakhir diketahui berhubungan dengan penurunan jumlah kehamilan
yang berlangsung melebihi 41 dan 42 minggu, dari 18% dan 10% pada tahun
1998 menjadi 14% dan 4% pada tahun 2005. Sama hal nya dengan penggunaan
9

USG secara awal untuk menentukan usia kehamilan, juga diketahui berhubungan
dengan penurunan signifikan insiden KPT, dari 12% menjadi 3%. 4
Prevalensi KPT yang biasa dilaporkan bervariasi dari 4-10%. Di Eropa,
prevalensi KPT diperkirakan berkisar 0.8%-8.1%, variasi yang luas tersebut lagilagi menunjukkan bahwa kebijakan yang berbeda mengenai induksi persalinan
dan metode penentuan usia kehamilan sangat berpengaruh pada prevalensi
kejadian ini. Penentuan usia kehamilan berdasarkan USG lebih akurat jika
dibandingkan dengan HPHT dan pemeriksaan rutin menggunkan USG secara
signifikan dapat menurunkan KPT. Jika kehamilan secara rutin diperiksa dengan
USG maka kehamilan yang berlangsung lebih dari 294 hari hanya 7% dan yang
melebihi 301 hari hanya 1,4 %. 3
Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab paling sering terjadinya kehamilan postterm adalah penentuan
usia kehamilan yang tidak akurat. Penggunaan kriteria klinis untuk menentukan
taksiran persalinan berpotensi menimbulkan overestimate usia kehamilan dan
berkonsekuensi meningkatkan insiden KPT. Kriteria klinis yang sering digunakan
untuk menentukan usia kehamilan antara lain hari pertama haid terakhir (HPHT),
ukuran uterus melalui pemeriksaan bimanual pada trimester pertama, persepsi
gerakan janin, auskultasi denyut jantung janin, dan tinggi fundus pada kehamilan
janin tunggal. 4
Jika KPT benar-benar terjadi maka penyebabnya secara umum tidak
diketahui dengan pasti. Faktor risiko yang umum mencakup primiparitas, riwayat
kehamilan postterm sebelumnya, janin laki-laki, obesitas, faktor hormonal dan
predisposisi genetik. 4
Salah satu hal penting yang telah diketahui adalah bahwa indeks massa
tubuh (IMT) berpengaruh terhadap durasi kehamilan dan waktu persalinan, dan
menariknya wanita obesitas memiliki insiden yang lebih tinggi terhadap kejadian
KPT, sedangkan wanita dengan IMT yang rendah memiliki insidens lebih tinggi
terjadinya kehamilan preterm (kelahiran dengan usia gestasi < 37 minggu).
Karena jaringan lemak bersifat aktif secara hormonal, dan karena wanita obesitas

10

mengalami perubahan status metabolik, maka memungkinkan jika faktor endokrin


yang berperan dalam terjadinya inisiasi persalinan mengalami perubahan pada
wanita obesitas. 4
Diantara banyak faktor yang mempengaruhi KPT, maka obesitas adalah
salah satu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dengan mengatur pola diet dan
melakukan aktivitas fisik sebelum dan selama kehamilan. Modifikasi tersebut juga
akan berdampak terhadap meningkatnya kesehatan ibu secara umum, selain itu
karena KPT berhubungan dengan berbagai komplikasi perinatal, maka
pencegahan kejadiannya akan bermanfaat terhadap janin. 4
Perubahan kadar hormon diketahui memiliki peran dalam terjadinya
persalinan spontan dan juga kemungkinan memiliki peranan terhadap kejadian
KPT. Defisiensi sulfatase plasenta, sebagai contoh, merupakan salah satu kelainan
X-linked resesif yang jarang, yang dapat mencegah terjadinya persalinan spontan
akibat defek pada aktivitas sulfatase plasenta dan menyebabkan penurunan kadar
estriol (E3). Insufisiensi adrenal dan hipoplasia adrenal pada janin, begitu juga
dengan anensefali janin (tanpa adanya polihidramnion), walaupun jarang terjadi,
juga memiliki hubungan dengan terjadinya kehamilan postterm. 4
Hipoplasia adrenal atau insufisiensi hipofise janin juga dapat menyebabkan
penurunan produksi prekursor untuk estriol sintetis. 7 Adanya kelainan janin seperti
anensefalus juga dapat menyebabkan kehamilan postterm. Hal ini dapat terjadi
karena ketiadaan tulang kranium menyebabkan tidak adanya penekanan pada
pleksus Frankenhauser yang menyebabkan tidak adanya rangsangan untuk uterus
berkontraksi.7
Faktor genetik juga berperan dalam pemanjangan usia kehamilan. Wanita
yang lahir dari ibu dengan KPT memiliki risiko untuk kejadian KPT lebih tinggi
(relative risk is 1.3). Wanita dengan riwayat KPT pada kehamilan sebelumnya
berisiko lebih tinggi untuk mengalami KPT (27% jika memiliki riwayat KPT 1
kali& 39% jika mengalami KPT 2 kali). Kejadian KPT meningkat pada wanita
yang memiliki saudara kembar dengan KPT, namun hubungan ini lebih besar pada
kembar monozigot dibanding kembar dizigot. 4

11

Patogenesis
Patogenesis terjadinya kehamilan postterm masih belum dimengerti dengan
pasti. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, beberapa faktor risiko dicurigai
berperan dalam kejadian ini, namun patogenesis kondisi tersebut secara jelas
belum dipahami. Walau pemahaman mengenai parturisi beberapa tahun ini
semakin baik, masih terdapat ketidakjelasan pada mekanisme yang mengawali
terjadinya persalinan dan kemajuan yang mengikutinya. Agar pemahaman
mengenai patogenesis KPT menjadi jelas, hal esensial yang diperlukan terlebih
dahulu adalah mengetahui patofisiologi parturisi (proses persalinan) dan
memahami mengapa mekanisme tersebut gagal terjadi pada kondisi postterm.
Mekanisme parturisi meliputi interaksi antara mekanisme hormonal dan proses
inflamasi, dimana plasenta, ibu, dan janin masing-masing memiliki peranan
penting. 4
Produksi peptida corticotrophin releasing hormone (CRH) oleh plasenta
berhubungan dengan lamanya kehamilan berlangsung. Sintesis CRH oleh plasenta
akan meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan dan mencapai puncak
pada saat persalinan. Pada wanita yang mengalami persalinan preterm,
peningkatan CRH terjadi lebih cepat, sedangkan pada wanita dengan kehamilan
postterm peningkatan hormon ini terjadi dengan lambat. Data ini menunjukkan
bahwa persalinan postterm terjadi karena perubahan mekanisme biologis yang
mengatur durasi kehamilan. Hal ini dapat terjadi akibat predisposisi genetik
karena adanya polimorfisme pada gen yang mengatur pola fisiologis hubungan
CRH dengan kelahiran. Kemungkinan lain yaitu terdapat perubahan respon
jaringan ibu terhadap sinyal hormon untuk kelahiran karena adanya perubahan
fenotip seperti yang terjadi pada wanita obesitas. 4
CRH secara langsung dapat menstimulasi produksi dHeas adrenal janin,
suatu prekusor untuk sintesis estriol plasenta. Konsentrasi CRH plasma ibu
berhubungan dengan konsentrasi estriol. Peningkatan estriol diinduksi oleh
peningkatan CRH pada akhir masa gestasi yang terjadi dengan cepat
menyebabkan peningkatan rasio estriol terhadap estradiol yang diperkirakan
menimbulkan suatu lingkungan estrogenik pada minggu akhir kehamilan. Secara

12

bersamaan penambahan konsentrasi progesteron dalam plasma ibu mengalami


penurunan atau bahkan berhenti pada akhir kehamilan. Hal ini terjadi akibat
inhibisi CRH plasenta terhadap sintesis progesteron. Sehingga efek progesteron
yang mempertahankan kehamilan (relaksasi) menurun dan kerja estriol yang
menimbulkan persalinan (kontraksi) meningkat. 4
Diagnosis
Diagnosis kehamilan postterm cukup sederhana, yaitu kehamilan yang
terjadi 42 minggu atau lebih berdasarkan HPHT. Sayangnya, walaupun siklus
menstruasi yang teratur, usia kehamilan sesungguhnya sering ditemukan berbeda
dengan tafsiran usia kehamilan pada beberapa kasus. Metode paling akurat untuk
menentukan usia kehamilan adalah dengan biometri janin menggunakan USG
pada awal kehamilan.3
Penentuan Usia Kehamilan
1.

Riwayat haid
Kesalahan terkait penentuan usia kehamilan berdasarkan HPHT sering

terjadi. Jika terjadi underestimate terhadap usia kehamilan, maka akan terjadi
misdiagnosis prematuritas, dan tindakan obstetrik yang tidak seharusnya
dilakukan dapat terjadi. Namun, overestimasi terhadap usia kehamilan dapat
meningkatkan risiko induksi persalinan yang tidak dibutuhkan. Penentuan usia
kehamilan dengan HPHT memerlukan ingatan pasien yang akurat dan bahwa
ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi. Kesalahan dalam menentukan
HPHT umumnya terjadi akibat ingatan pasien yang salah. 6
Durasi fase folikular bervariasi, dari 7 hingga 21 hari. Sekitar 68% wanita
hamil yang awalnya diperkirakan memiliki kehamilan lebih dari 42 minggu
berdasarkan HPHT ternyata tidak hamil dengan usia selanjut itu jika tanggal
terjadinya ovulasi ditentukan berdasarkan temperatur basal tubuh. Penundaan
ovulasi merupakan penyebab penting terjadinya tafsiran KPT. Kebanyakan
kehamilan dengan usia gestasi > 41 minggu ditemukan bukan merupakan
kehamilan > 41 minggu saat dilakukan konfirmasi dengan USG untuk

13

menentukan usia kehamilan.5 Selain itu terjadinya kesalahan penentuan usia


kehamilan berdasarkan HPHT terjadi akibat siklus menstruai yang tidak teratur,
penggunaan kontrasepsi hormonal dalam waktu dekat, atau adanya perdarahan
pada awal kehamilan.3 USG biometri yang dilakukan pada trimester II kehamilan
merupakan metode penentuan usia gestasi yang akurat. Biometri akan menjadi
lebih akurat jika digunakan 2 atau lebih parameter, seperti diameter biparietal,
lingkar abdomen, dan panjang femur, untuk menentukan usia gestasi. 6
2.

Denyut jantung janin


Denyut jantung janin mulai dapat didengar pada saat umur kehamilan 18-21

minggu. Tetapi bila didengarkan dengan fetalphone Doppler, maka sudah dapat
didengar pada umur 10-12 minggu. Sehingga apabila telah lewat 32 minggu sejak
dapat didengarnya denyut jantung janin dengan fetalphone Doppler maka
mempunyai kemungkinan terjadinya kehamilan postterm.7
3.

Gerakan janin
Pada umur kehamilan 18-20 minggu wanita hamil akan merasakan gerakan-

gerakan yang berdenyut halus di abdomen, gerakan ini secara bertahap akan
bertambah intensitasnya. Kehamilan postterm dapat dipikirkan bila janin belum
lahir setelah lewat 24 minggu dari saat dirasakan gerakan janin pertama kali.7
4.

Pemeriksaan ultrasonografi
Jika menggunakan USG untuk menentukan usia kehamilan, maka perlu

dipahami batas kesalahan (margin of error) yang dilaporkan sesuai waktu


dilakukannya USG. USG yang dilakukan hingga usia kehamilan 20 minggu
memiliki kesalahan 7 hari, 20 30 minggu memiliki kesalahan 14 hari, dan
lebih dari 30 minggu memiliki kesalahan 21 hari (ACOG, 2004). 4
Rekomendasi:6
1. USG pada trimester awal kehamilan harus dilakukan pada semua wanita
(biasanya di usia kehamilan 11-14 minggu), karena USG pada masa ini
merupakan cara terakurat dalam menentukan usia kehamilan.

14

2. Jika terdapat perbedaan > 5 hari antara usia kehamilan yang ditentukan
dengan HPHT dan USG trimester I, maka tafsiran persalinan didasarkan
oleh USG trimester I.
3. Jika terdapat perbedaan > 10 hari antara usia kehamilan yang ditentukan
dengan HPHT dan USG trimester II, maka tafsiran persalinan
didasarkan oleh USG trimester II.
4. Jika terdapat perbedaan pada USG trimester I dan II, maka usia
kehamilan ditentukan oleh USG yang paling awal.
Pada umur kehamilan 6 minggu sudah terlihat cincin kehamilan yang sangat
khas, gerakan denyut janin terlihat jelas pada umur kehamilan 8 minggu. Sampai
umur kehamilan 12 minggu panjang puncak kepala-bokong (Crown Rump Length/
CRL) dalam milimeter memberikan ketepatan sekitar 4 hari dari taksiran
persalinan. Umur kehamilan 16-20 minggu dilakukan penuekuran Biparietal
Diameter (BPD) dalam milimeter serta Femur Length (FL) dalam milimeter
memberikan ketepatan sekitar 7 hari dari taksiran persalinan.
5. Pemeriksaan Radiologis
Pada pemeriksaan foto polos abdomen dapat diperkirakann umur kehamilan
dengan melihat inti penulangan seperti yang dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel Umur Kehamilan berdasarkan Inti Penulangan
INTI PENULANGAN
Kalkaneus
Talus
Femur distal
Tibia proksimal
Kuboid
Humerus proksimal
Korpus kapitatum
Korpus hamatum
Kuneiformis ke 3
Femur proksimal

UMUR KEHAMILAN
(MINGGU)
24 - 26
26 28
32
36
38 40
38 40
40 +
40 +
40 +
40 +

Tatalaksana
Antepartum Fetal Surveillance

15

Wanita hamil yang mencapai usia kehamilan 42 minggu dan memilih untuk
melanjutkan kehamilannya dengan perawatan konservatif harus menjalani
antenatal fetal surveillance (AFS). Pilihan yang tersedia untuk mengevaluasi
kesejahteraan janin antara lain nonstress testing (CTG), biofisik profil (BPP) atau
BPP modifikasi (CTG + estimasi volume cairan amniotik), contraction stress
testing, dan kombinasi antara modalitas tersebut. 4
Penilaian volume cairan amnion dengan USG penting dilakukan, dan
persalinan harus dipertimbangkan jika terjadi gawat janin atau oligohidramnion.
Jika terjadi oligohidramnion maka akan timbul masalah seperti rendahnya Apgar
skor dan meningkatkan perawatan bayi postpartum di ruang intensif.
Oligohidramnion dapat timbul akibat insufisiensi feto-plasenta atau peningkatan
resistensi arteri renalis dan merupakan predisposisi terjadinya kompresi tali pusat,
sehingga menyebabkan hipoksemia janin, lewatnya mekonium, atau aspirasi
mekonium. Pemeriksaan yang lebih sering (2 kali seminggu) pada kehamilan
postterm harus dilakukan karena cairan amnion dapat mengalami penurunan
drastis dalam 24-48 jam. Tidak terdapat definisi oligohidramnion yang pasti pada
kehamilan postterm. Definisi yang ada antara lain, 1) diameter vertikal terbesar
kantung cairan < 2 cm atau 2) amniotic fluid index (AFI) <5 cm. 4
Induksi Persalinan
Induksi persalinan diindikasikan jika manfaat dilakukannya persalinan
melebihi risiko yang berhubungan dengan induksi tersebut. Perhatian utama yang
meliputi induksi persalinan pada KPT tanpa risiko lainnya yaitu overstimulasi
uterus, distress janin, kegagalan induksi dan peningkatan angka sectio cesarea
(SC). Selain itu terdapat beberapa risiko yang berkaitan dengan induksi persalinan
pada beberapa pasien dengan faktor risiko spesifik, seperti risiko ruptur uterus
pada wanita dengan riwayat SC sebelumnya. Induksi persalinan memiliki angka
kesuksesan sesuai dengan kondisi serviks. Induksi kemungkinan akan berhasil
jika serviks telah matang.

Beberapa metode yang digunakan untuk menilai

kematangan serviks antara lain pemeriksaan serviks digital (bishop skor),

16

penilaian panjang serviks dengan USG dan belakang ini mulai digunakan
beberapa biomarker (rasio estriol/estradiol). 4
Serviks dikatakan matang jika memiliki skor bishop 6. Pemeriksaan
dengan bishop skor ini diketahui lebih superior jika dibandingkan penilaian
panjang serviks menggunakan USG untuk memprediksi interval waktu dari
induksi persalinan dengan waktu terjadinya kelahiran. Namun pemeriksaan
serviks digital ini masih bersifat subjektif dan tergantung pada kemampuan
pemeriksa. 4
Estrogen diketahui memainkan peranan penting dalam regulasi berbagai
fungsi selama masa kehamilan. Estriol (E3), estradiol (E2), dan rasio
estriol/estradiol memiliki peran penting dalam mengontrol parturisi dengan
menciptakan lingkungan estrogenik saat onset persalinan. 4
Telah diketahui bahwa rasio estriol/estradiol serum ibu secara signifikan
lebih tinggi pada wanita yang berespon terhadap induksi persalinan. Data ini
sejalan dengan penelitian lain. Penelitian ini menunjukkan bahwa saat kehamilan
mendekati waktu persalinan maka kadar estriol/estradiol mengalami peningkatan.
Penelitian juga menunjukkan bahwa aktivasi estrogen pada proses persalinan
dimediasi dengan peningkatan respon estrogen miometrial. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa kombinasi antara penilaian panjang serviks secara USG
dan rasio E3/E2 merupakan pemeriksaan yang baik untuk memprediksi
kesuksesan induksi persalinan pada KPT.4
Wanita dengan serviks yang matang umumnya akan mengalami persalinan
spontan, dan jika dilakukan induksi persalinan, maka induksi tersebut biasanya
akan berhasil. Penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan kehamilan postterm
dan serviks yang matang maka tidak ada indikasi bahwa persalinan yang
dilakukan secara spontan akan menimbulkan efek negatif terhadap persalinannya.4
Sebanyak 80% wanita yang kehamilannya mencapai 42 minggu umumnya
belum memiliki serviks yang matang (bishop Score < 6). Melakukan pematangan
serviks sebelum dilakukannya induksi persalinan diketahui akan memberi manfaat
terhadap prognosis. Pematangan serviks sebelum melakukan induksi persalinan
akan menurunkan terjadinya kegagalan induksi, menurunkan morbiditas ibu dan

17

bayi, menurunkan biaya perawatan, dan menurunkan angka persalinan SC secara


umum dalam populasi.4
Sistemik review Cochrane mendemostrasikan bahwa prostaglandin (PGs)
dapat membantu pematangan serviks dan dapat mengawali kontraksi uterus.
Walaupun berbagai penelitian telah dilakukan terhadap penggunaan PG dalam
induksi persalinan, tidak ada dosis standar yang ditetapkan. Secara keseluruhan,
obat-obatan dapat ditoleransi dengan baik tanpa ada efek samping bermakna yang
timbul pada pasien. Penggunaan PG dosis tinggi (terutama PGe1) telah
dihubungkan dengan peningkatan risiko takisistole uterus dan hiperstilmulasi
yang akhirnya menyebabkan distress janin . Pada dosis rendah (seperti
misoprostol 25 mikrogram intravaginal) lebih disarankan daripada dosis
misoprostol 50 mikrogram. Selama penggunaan misoprostol, maka harus
dilakukan monitoring denyut jantung janin secara rutin untuk mengetahui
kesejahteraan janin karena adanya kemungkinan hiperstimulasi uterus. 4
Walaupun kehamilan postterm didefinisikan sebagai masa kehamilan yang
mencapai 42 minggu atau lebih, beberapa penelitian multi-centre randomized
mengenai manajemen kehamilan lebih dari 40 minggu menyatakan bahwa luaran
yang lebih baik akan dihasilkan dengan melakukan induksi persalinan di awal
masa kehamilan 41 minggu.4
Komplikasi
Risiko Neonatus
Kehamilan postterm berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan
morbiditas fetus dan neonatus. Angka mortalitas perinatal, didefinisikan sebagai
kelahiran mati ditambah dengan kematian neonatus dini, dan pada kehamilan 42
minggu angka ini lebih tinggi 2 kali lipat dibanding kehamilan aterm atau sama
tingginya dengan kehamilan preterm. Pada kehamilan 43 minggu angka ini
menjadi 4 kali lebih tinggi dan pada kehamilan 44 minggu angka ini meningkat
hingga 5-7 kali lebih tinggi. Penyebab tingginya angka mortalitas perinatal ini
adalah insufisiensi uteroplasenta, aspirasi mekonium, dan infeksi intrauterine. 4

18

Morbiditas janin juga meningkat pada kehamilan yang berlangsung hingga


41 minggu. Kelainan yang mungkin terjadi seperti meconium aspiration syndrome
(MAS), makrosomia dan dismaturitas. Kehamilan postterm juga merupakan faktor
risiko independen terhadap rendahnya pH tali pusat (neonatal acidemia), skor
Apgar yang rendah pada menit ke-5 dan neonatal encephalopathy, dan kematian
bayi di tahun pertama kehidupan. 4
Sindrom aspirasi mekonium mengacu pada gangguan pernapasan dengan
takipnea, sianosis, dan penurunan fungsi paru pada bayi baru lahir akibat paparan
terhadap mekonium dalam rahim. Hal ini tampak lebih sering terjadi pada
neonatus postterm. Di Amerika Serikat kejadian sindrom aspirasi mekonium telah
menunjukkan penurunan 4 kali lipat antara tahun 1990 dan 1998 (dari 5,8%
menjadi 1,5% pada bayi lebih dari 37 minggu; P <0,003). Hal ini terjadi terutama
akibat penurunan angka kehamilan postterm. Intervensi konvensional seperti
amnio-infusion atau pengisapan nasofaring dan orofaring rutin pada mekonium di
perineum saat persalinan telah berkontribusi dalam penurunan angka ini. 4
Bayi postterm lebih besar dari bayi aterm dan memiliki insiden janin
makrosomia yang lebih tinggi (2,5-10% di postterm dibandingkan 0,8-1% pada
jangka). Makrosomia janin didefinisikan sebagai berat janin 4,5 kg (ACOG,
2000), terkait dengan persalinan lama, disproporsi kepala panggul, dan distosia
bahu. Distosia bahu dikaitkan dengan risiko cedera ortopedi (misalnya fraktur
pada humerus dan klavikula) dan juga cedera syaraf seperti cedera pleksus
brakialis dan cerebral palsy. 4
Sekitar 20% janin postterm mengalami sindrom dismaturitas, yang
mengacu pada bayi dengan karakteristik restriksi pertumbuhan intrauterin kronis
akibat insufisiensi utero-plasenta. Gambaran yang terlihat berupa kulit tipis yang
terkelupas (deskuamasi berlebihan), tubuh kurus (kekurangan gizi), rambut dan
kuku panjang, oligohidramnion dan keluarnya mekonium. Kehamilan ini
meningkatkan risiko kompresi tali pusat dari oligohidramnion, aspirasi
mekonium, dan komplikasi neonatal seperti hipoglikemia, kejang, dan insufisiensi
pernapasan. 4

19

Meskipun banyak usaha telah dilakukan pada kehamilan postterm,


beberapa risiko seperti lahir mati, keluarnya mekonium, dan neonatal acidaemia
meningkat kejadiannya pada minggu ke-41 dan bahkan pada minggu ke-40
kehamilan dibandingkan minggu ke-39 kehamilan. Sebuah studi dari Skotlandia
yang diterbitkan tahun 2010 menunjukkan peningkatan risiko bayi lahir mati (baik
secara keseluruhan dan lahir mati yang tidak dapat dijelaskan) terutama setelah 39
minggu kehamilan. Yudkin dkk. (1987) juga membuktikan bahwa risiko bayi lahir
mati yang tidak dapat dijelaskan meningkat empat kali lipat setelah 39 minggu
sampai maksimum pada 41 minggu. Tingkat aspirasi mekonium dan neonatal
acidaemia meningkat seperti pada progress kehamilan aterm di atas 38 minggu.
Morbiditas neonatal termasuk cedera saat persalinan juga meningkat setelah 38
minggu. 4
Sindroma Postmaturitas
Sindroma

postmaturitas

dapat

dikenali

pada

neonatus

ddengan

ditemukannya beberapa tanda seperti gangguan pertumbuhan, dehidrasi, kulit


kering, keriput seperti kertas (hilangnya lemak subkutan), kuku tangan dan kaki
panjang, tulang tengkorak lebih keras, hilangnya verniks kaseosa dan lanugo,
maserasi kulit terutama daerah lipat paha dan genital luar, wana coklat kehijauan
atau kekuningan pada kulit dan tali pusat, muka tampak menderita, dan rambut
kepala banyak atau tebal. Tidak seluruh neonatus kehamilan postterm
menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta. Umumnya didapat
sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda postmaturitas pada kehamilan postterm.
Berdasarkan derajat insufisiensi plasenta yang terjadi, tanda postmaturitas dapat
dibagi menjadi 3 stadium:1
1.

Stadium I: kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan maserasi


berupa kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.

2.

Stadium II: gejala diatas disertai pewarnaan mekonium (kehijauan) pada kulit

3.

Stadium III: disertai pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat. 1

20

Risiko Maternal
Kehamilan postterm dikaitkan dengan risiko signifikan terhadap ibu.
Terdapat peningkatan risiko: 1) distosia persalinan (9-12% dibandingkan 2-7%
pada aterm); 2) laserasi perineum yang berat terkait dengan makrosomia (robekan
derajat 3 & 4) (3,3% dibandingkan 2,6% pada aterm); 3) peningkatan seksio
sesaria (14% dibandingkan 7% aterm). Persalinan sesar dikaitkan dengan
peningkatan risiko endometritis dan perdarahan. Morbiditas ibu juga meningkat
pada kehamilan setelah 42 minggu. Komplikasi seperti korioamnionitis, laserasi
perineum

yang

parah,

persalinan

sesar,

perdarahan

postpartum,

dan

endomiometritis meningkat progresif setelah 39 minggu kehamilan. 4

21

BAB IV
ANALISIS KASUS

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul BS, Trijatmo R, Gulardi HW [Editor]. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo Edisi Keempat. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2010.
2. Cunningham FG, et al. Postterm Pregnancy. Williams Obstetric, 22st ed.
Mc.Graw Hill Publishing Divisions, New York; 2005.
3. Giampaolo M, Zarko A, Frank C, Amos G, Runa H, et al. Guidelines for
the manajemen of postterm pregnancy. J. Perinat. Med, 38:111119; 2010.
4. GalalM., Symond I, Murray H, Etraglia F, Smith R. Postterm pregnancy.
FVV in ObGyn, 4 (3): 175-187; 2012.
5. Dianggara PS. Perbandingan Induksi Misoprostol Dengan Induksi
OksitosinTerhadap Lama Persalinan Pada Kehamilan Posttermdi RSU
PKU Muhammadiyah Delanggu Klaten.Jurnal Kedokteran Indonesia,
1(2):131-136 ;2009.
6. Delaney M, Sack AR, et al. Guidelines for the Manajemen of Pregnancy at
41+0 to 42+0 Weeks. SOGC Clinical Practice Guideline, 214: 800-810;
2008.
7. Wiknjosastro H, Saifudin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan. Jakarta:
YBP Sarwono Prawirohardjo, 2010.

23

Anda mungkin juga menyukai