Anda di halaman 1dari 23

Bab 1

PENDAHULUAN

Penyakit trofoblas gestasional (PTG) merupakan spektrum


tumor yang berasal dari proliferasi abnormal jaringan trofoblas
plasenta, mencakup mola hidatidosa (komplit dan parsial), mola invasif,
koriokarsinoma, placental site trophoblastic tumor, dan epithelioid
trophoblastic tumor. Keempat bentuk terakhir termasuk ke dalam
kelompok tumor trofoblas gestasional (TTG) yang dapat menginvasi,
bermetastasis, dan menyebabkan kematian bila tidak ditangani (Lurain
J, 2010).
Penyakit trofoblas gestasional berasal dari kelainan pada
perkembangan sel-sel trofoblas. Trofoblas normal terdiri atas
sitotrofoblas, sinsitiotrofoblas, dan trofoblas intermediet. Fungsi
sitotrofoblas adalah mensuplai sinsitium dengan sel-sel untuk membentuk
vili korion yang membungkus kantung korion. Vili korion yang menempel
pada endometrium dan lapisan basal dari endometrium bersama-sama
membentuk plasenta untuk pemberian nutrisi dari ibu ke fetus dan
ekskresi. Sinsitiotrofoblas menginvasi stroma endometrium dengan
implantasi blastosis dan merupakan tipe sel yang memproduksi human
chorionic gonadotrophin (β-hCG). Trofoblas intermediet berada di vili
korion, tempat implantasi, dan chorion laeve. Ketiga tipe trofoblas bila
berploriferasi dapat menyebabkan Penyakit Trofoblas Gestasional (Lurain
J, 2010).
Petanda tumor yang khas pada penyakit ini adalah subunit β
human Chorionic Gonadotropin (β-hCG) yang memiliki kecenderungan
invasi lokal dan penyebaran. Neoplasia trofoblas gestational (NTG –
Neoplasia Trophoblastic Gestational) adalah bagian PTG yang
berkembang menjadi jejas keganasan (Williams, 2015).

1
Bab 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit trofoblastik gestasional (PTG) adalah suatu spektrum
yang saling berhubungan tapi secara histologi berbeda, tumor ini berasal
dari plasenta. Penyakit ini dikarakteristikan oleh penanda tumor yaitu,
subunit β chorionik gonadotropin (β-hCG), memiliki kecenderungan
beragam invasi lokal dan penyebarannya (Williams, 2015).
Jaringan trofoblastik gestasional terbentuk dari sel perifer
blastokista beberapa hari setelah konsepsi. Jaringan tersebut dibagi
menjadi 2 lapisan yaitu; lapisan luar sinsitiotrofoblas yang dibentuk oleh
sel-sel besar multinucleated dan lapisan dalam dari sel mononuclated
yang membentuk sitotrofoblas. Sinsitiotrofoblas menginvasi endometrium
secara agresif membentuk suatu hubungan antara fetus dan ibu yang
dikenal sebagai plasenta. Normalnya pertumbuhan trofoblas diatur secara
ketat oleh mekanisme yang belum bisa ditentukan untuk mencegah
perkembangan metastasis lebih lanjut. Penyakit trofoblastik gestasional
ganas muncul ketika mekanisme pengontrol ini gagal, menghasilkan invasi
dari jaringan trofoblas yang mencapai miometrium, yang mengizinkan
penyebaran secara hematogen dan pembentukan emboli tumor (Kenny L,
2010).

2.2 Epidemiologi
Studi epidemiologi melaporkan variasi regional yang luas pada
insidensi mola hidatidosa. Studi yang dilakukan di Amerika Utara,
Australia, Selandia Baru, dan Eropa menunjukkan insidensi mola
adalah 0,57-1,1 per 1.000 kehamilan, sedangkan studi di Asia Tenggara
dan Jepang menunjukkan insidensi yang tinggi yaitu 2 dari 1.000
kehamilan. Negara-negara dengan frekuensi mola hidatidosa tertinggi
adalah Mexico, Iran, dan Indonesia. Sejumlah studi dilakukan untuk
mencari hubungan antara insidensi mola hidatidosa yang lebih tinggi

2
pada kelompok etnis tertentu dengan faktor genetik dan berbagai
faktor lingkungan seperti makanan, defisiensi vitamin A, kemiskinan,
dan virus. Data tentang insidensi korio-karsinoma lebih terbatas
karena koriokarsinoma lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan
mola hidatidosa dan sulit membedakan koriokarsinoma postmolar dari
mola invasif. Di Eropa dan Amerika Utara, koriokarsinoma terjadi pada
1 per 40.000 kehamilan2 dan 1 per 40 mola hidatidosa, sedangkan di
Asia Tenggara dan Jepang angka kejadian lebih tinggi yaitu 9,2 dan
3,3 per 40.000 kehamilan (Wargasetia, 2012).
Faktor-faktor risiko utama penyebab mola hidatidosa komplit
adalah usia ibu yang terlalu muda/tua dan riwayat kehamilan molar.
Resiko mengalami mola hidatidosa komplit pada wanita usia lebih dari 35
tahun dan kurang dari 21 tahun adalah 1,9 kali lebih tinggi dibandingkan
usia 21-35 tahun. Resiko meningkat menjadi 7,5 kali pada wania lebih dari
40 tahun. Wanita dengan riwayat mola hidatidosa sebelumnya
mempunyai kecenderungan untuk mengalami kehamilan molar. Faktor-
faktor risiko untuk koriokarsinoma adalah riwayat mengalami mola
hidatidosa komplit, etnis, dan kehamilan pada usia tua (Lurain J,
2010).
Risiko mengalami mola hidatidosa komplit meningkat 2 kali
pada wanita berusia lebih dari 35 tahun, dan 7,5 kali pada wanita lebih
dari 40 tahun. Peningkatan risiko mengalami koriokarsinoma terjadi
pada wanita pengguna kontrasepsi oral jangka panjang dan
mempunyai golongan darah (Lurain J, 2010).

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi dibuat oleh World Health Organization Scientific Groups
on Gestational Tropoblastic Disease pada tahun 1983, kemudian
diperbaruhi oleh International Federation of Gynecology and Obstetric (
FIGO Oncology Committee) pada tahun 2002 dan disempurnakan oleh
American Collage of Obstetircs and Gynecology pada tahun 2004 sebagai
berikut.

3
Table 2.1 klasifikasi PTG

2.4 Faktor resiko


2.4.1 Umur ibu
Umur saat hamil terlalu muda ataupun terlalu tua mempunya resiko
lebih tinggi terjadi PTG. Hal ini lebih sering terjadi pada kehamilan
molahidatidosa komplit. Apabila dibandingkan, antara wanita yang
hamil pada umur 15 tahun atau lebih muda, resiko lebih besar terjadi
pada wanita berumur 45 tahun atau lebih (meningkat 17% pada umur
50 tahun). Sel ovum pada wanita yang lebih tua mempunyai resiko
terjadinya fertilisasi abnormal lebih besar (Williams, 2015).

2.4.2 Riwayat Obsteri


Riwayat kehamilan sebelumnya yang tidak normal meningkatkan
resiko terjadinya PTG. Contoh, wanita yang pernah mempunyai riwayat
spontan abortus memiliki resiko dua kali lipat terjadinya
molahidatidosa. Jika sebelumnya telah mengalami kehamilan
molahidatidosa sebanak 2 kali berturut-turut maka 23% untuk
kehamilan selanjutnya akan terjadi kehamilan molahidatidosa lagi.
Maka pada wanita hamil dengan riwayat kehamilan molahidatidosa
dianjurkan melakukan pemeriksaan USG pada trimester pertama
(Williams, 2015).

4
2.4.3 Faktor lain
Pada beberapa penelitian, mengkonsumsi obat kontrasepsi juga
meningkatkan resiko terjadinya PTG. Resiko meningkat pada wanita
yang mengkonsumsi obat oral KB tapi terjadi kehamilan. Pada wanita
hamil yang kekurangan vitamin A dan intake karotin yang rendah juga
meningkatkan resiko terjadinya hamil molar komplit. Sedangkan resiko
terjadianya kehamilan mola parsial berhubungan dengan level
pengetahuan ibu yang rendah, merokok, siklus haid yang tidak teratur,
dan riwayat kehamilan sebelumnya (Williams, 2015).

2.5 Patologi
Kehamilan mola dan neoplasma trofoblastik gestasional semuanya
berasal dari trofoblas plasenta. Trofoblas normal tersusun dari
sitotrofoblas, sinsitiotrofoblas, dan trofoblas intermediet. Sinsitiotrofoblas
menginvasi stroma endometrium dengan implantasi dari blastokista dan
merupakan sebuah tipe sel yang memproduksi human chorionic
gonadotropin (β-hCG). Fungsi sitotrofoblas adalah untuk menyuplai
sinsitium dengan sel-sel sebagai tambahan untuk pembentukan kantong
luar yang menjadi vili korion sebagai pelindung kantung korion. Vili korion
berbatasan dengan endometrium dan lamina basalis dari endometrium
membentuk plasenta fungsional untuk nutrisi fetal-maternal dan
membuang sisa-sisa metabolisme. Trofoblas intermediet terletak di dalam
vili, tempat implantasi, dan kantong korion. Semua tipe dari trofoblas dapat
mengakibatkan penyakit trofoblas gestasional ketika mereka berproliferasi.
(Lurain, 2013).

5
Tabel 2.2 Gambaran Klinikopatologi dari PTG

2.5.1 Mola Hidatidosa


Mola hidatidosa mengacu pada kehamilan abnormal yang ditandai
dengan berbagai tingkat proliferasi trofoblas (sitotrofoblas dan
sinsitiotrofoblas) dan pembengkakan vesikuler dari vili plasenta yang
berhubungan dengan ketidakadaan atau abnormalitas fetus/embrio. Dua
sindrom dari mola hidatidosa telah diuraikan berdasarkan pada kriteria
morfologi dan sitogeneti (Lurain, 2013).
Mola hidatidosa komplit menjalani pembesaran hidatidosa awal
yang seragam dari vili dengan tidak adanya fetus atau embrio yang pasti,
trofoblas secara konsisten hiperplastik dengan berbagai tingkat atipia, dan
vili kapiler tidak ada. Hampir 90% dari mola hidatidosa komplit adalah 46,
XX, berasal dari duplikasi kromosom dari sperma haploid setelah fertilisasi
telur dimana kromosom maternal inaktif atau absen. 10% dari mola
hidatidosa adalah 46, XY, atau 46, XX, sebagai hasil dari fertilisasi ovum
kosong oleh 2 sperma (dispermi). Neoplasia trofoblastik (mola invasif atau
koriokarsinoma) mengikuti mola hidatidosa komplit pada 15-20% kasus.
Mola hidatidosa parsial menunjukkan jaringan fetal atau embrionik yang
teridentifikasi, vili korion dengan edema fokal yang bervariasi dalam

6
bentuk dan ukuran, scalloping dan inklusi stroma trofoblastik yang
menonjol, sirkulasi vili yang berfungsi, sebagaimana hiperplasia
trofoblastik fokal dengan hanya atipia ringan. (Lurain, 2013).

Gambar 2.1 . Mola hidatidosa komplit. Mola hidatidosa komplit dengan hydropic
villi, tidak adanya pembuluh darah villi, dan proliferasi dari hiperplastik
sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas.

Sebagian mola parsial memiliki kariotipe triplet (biasanya 69, XXY),


sebagai hasil dari fertilisasi ovum normal oleh 2 sperma. Kurang dari 5%
mola parsial akan berkembang menjadi postmola GTN; metastasis jarang
terjadi dan diagnosis histopatologi dari koriokarsinoma belum pernah
dikonfirmasi setelah mola parsial (Lurain, 2013).

7
Gambar 2.2 Mola Hidatidosa Parsial. Mola hidatidosa parsial dengan vili korionik
dengan ukuran bervariasi dari ukuran dan bentuk dengan edema fokal dan
scalloping, stroma trofoblastik.

2.5.2 Mola invasif


Mola invasif adalah tumor jinak yang timbul dari invasi myometrial
terhadap mola hidatidosa melalui perluasan langsung menembus jaringan
atau saluran vena. Sekitar 10-17% dari mola hidatidosa akan
menyebabkan mola invasif, dan sekitar 15% dari jumlah ini akan
bermetastasis ke paru atau vagina. Mola invasif lebih sering didiagnosis
secara klinis daripada patologi berdasarkan kenaikan hCG yang menetap
setelah evakuasi mola dan lebih sering diobati dengan kemoterapi tanpa
diagnosis histopatologi (Lurain, 2013).

Gambar 2.3 Mola invasive. Mola invasive dengan ekstensi langsung


jaringan mola, termasuk hydropic vili, dan hiperplastik trofoblas yang
meliputi myometrium.

8
2.5.2 Koriokarsinoma
Koriokarsinoma adalah suatu penyakit keganasan yang ditandai
dengan hiperplasia trofoblastik abnormal dan anaplasia, ketidakadaan vili
korion, perdarahan, dan nekrosis, dengan invasi langsung ke miometrium
dan invasi vaskular yang mengakibatkan penyebaran ke tempat-tempat
yang jauh, paling sering ke paru, otak, hati, pelvis dan vagina, ginjal, usus,
dan limpa. Koriokarsinoma telah dilaporkan berhubungan dengan setiap
kejadian kehamilan, Sekitar 25% dari kasus diikuti aborsi atau kehamilan
tuba. 25% berhubungan dengan kehamilan preterm atau aterm, dan 50%
lainnya timbul dari mola hidatidosa, meskipun hanya 2-3% dari mola
hidatidosa yang berkembang menjadi koriokarsinoma (Lurain, 2013)

Gambar 2.4 Koriokarsinoma. Koriokarsinoma terdiri dari sitotrofoblas


dan sinsitiotrofoblas abnormal, dengan hyperplasia dan anaplasia, tidak
ada vili korionik, pendarahan, dan nekrosis.

9
2.5.3 Placental site trophoblastic tumor
PSTT adalah suatu penyakit yang sangat jarang yang timbul dari
tempat implantasi plasenta dan terutama terdiri dari trofoblas mononuklear
intermediet tanpa infiltrasi vili korion di dalam lembaran-lembaran atau tali-
tali antara serat-serat myometrial. PSTT berhubungan dengan invasi
vaskular yang kurang, nekrosis, dan perdarahan yang lebih dari
koriokarsinoma, dan memiliki kecenderungan untuk bermetastase ke
sistem limfatik. Pewarnaan imunohistokimia memperlihatkan adanya
sitokeratin yang difus dan laktogen plasenta manusia, dimana β-hCG
hanyalah fokal. Studi sitogenik telah memperlihatkan bahwa PSTT lebih
sering diploid daripada aneuploid . Sebagian besar PSTT mengikuti
kehamilan nonmola (Lurain, 2013).

Gambar 2.5. Placental site trophoblastic tumor. Placental site trophoblastic tumor
dengan lembaran mononuclear intermediate trophoblast cells tanpa chorionic villi
yang menginfiltrasi diantara serat myometrial.

10
2.5.4 Epithelioid trophoblastic tumor (ETT)

Epithelioid trophoblastic tumor (ETT) adalah varian jarang dari


PSTT yang menstimulasi karsinoma. Berdasarkan sifat morfologi dan
histokimia, kelihatannya ini berkembang dari transformasi neoplastik
trofoblas intermediet tipe korionik. Sebagian besar ETT timbul beberapa
tahun setelah persalinan aterm. (Lurain, 2013).

2.6 Presentasi Klinis


2.6.1 Mola hidatidosa komplit
Mola hidatidosa komplit terutama menunjukkan gejala perdarahan
pervaginam, 80-90% kasus terjadi pada 6-16 minggu gestasi. Gejala dan
tanda klinis klasik lain seperti pembesaran uterus lebih dari usia gestasi
yang diperkirakan (28%), hiperemesis (8%), dan hipertensi yang diinduksi
kehamilan pada trimester pertama dan kedua (1%), jarang terjadi pada
beberapa tahun belakangan karena dapat didiagnosis lebih awal sebagai
akibat dari meluasnya penggunaan ultrasonografi dan tes β-hCG yang
akurat. Pembesaran kista teka lutein ovarium bilateral terjadi pada sekitar
15% kasus, kadar β-hCG sering > 100.000 mIU/mL, dan detak jantung
fetus tidak ada. Selain itu tanda dan gejala dari hipertiroidisme dapat
muncul akibat stimulasi kelenjar tiroid oleh kadar sirkulasi β-hCG atau
oleh substansi penstimulasi tiroid (seperti, tirotropin) yang tinggi yang
diproduksi oleh trofoblas (Moore Le, 2012).

2.6.2 Mola parsial


Manifestasi klinis mola parsial tidak sama dengan mola komplit.
Lebih dari 90% pasien dengan mola parsial mempunyai gejala seperti
abortus inkomplit atau missed abortion, dan diagnosis dibuat setelah
pemeriksaan histologi post kuretase. Gejala utama mola parsial adalah
perdarahan pervaginam, yang terjadi pada sekitar 75% pasien.
Pembesaran uterus berlebihan, hiperemesis, hipertensi yang diinduksi
kehamilan, hipertiroidisme, dan yang jarang adalah adanya kista teka

11
lutein. Kadar β-hCG peevakuasi mola >100.000mIU/mL pada <10%
pasien dengan mola parsial (Lurain, 2013).

2.6.3 Neoplasia Trofoblas Gestasional


Manifestasi neoplasia trofoblas gestasional bervariasi tergantung
pada kehamilan sebelumnya, derajat penyakit, dan histopatologi.
Neoplasia trofoblas gestasional postmola (mola invasif atau
khoriokarsinoma) sebagian besar menunjukkan perdarahan ireguler
setelah evakuasi mola hidatidosa. Tanda yang menunjukkan neoplasia
trofoblas gestasional postmolar adalah pembesaran ireguler uterus dan
pembesaran ovarium bilateral persisten. Lesi metastasis ke vagina dapat
terlihat saat evakuasi, kerusakan lesi tersebut dapat menyebabkan
perdarahan yang tak terkontrol. (Lurain, 2013).
Korioarsinoma yang berhubungan dengan kehamilan non mola
tidak mempunyai karakteristik gejala dan tanda, dimana hal ini
berhubungan dengan invasi tumor ke uterus atau tempat metastasis.
Pada pasien dengan perdarahan uterus pospartum dan subinvolusi,
neoplasia trofoblas gestasional harus dipertimbangkan dengan penyebab
lainnya, seperti retensi hasil-hasil konsepsi atau endomyometritis, tumor
primer atau metastase ke sistem organ atau kehamilan lainnya yang
terjadi sesaat setelah yang pertama. Perdarahan karena perforasi uterus
atau lesi metastasis dapat menyebabkan nyeri abdomen, hemoptisis,
melena, atau adanya peningkatan tekanan intracranial dari perdarahan
intraserebral menyebabkabkan sakit kepala, kejang atau hemiplegia.
Pasien mungkin juga dapat menunjukkan gejala pulmonal seperti dipsnea,
batuk, dan nyeri dada, yang disebabkan metastasis ke paru. (Lurain, 2013).
PSST dan ETT hampir selalu menyebabkan perdarahan uterus
ireguler sering jauh dari kehamilan mola sebelumnya, dan jarang virilisasi
dan sindrom nefrotik. Uterus biasanya membesar secara simetris, dan
kadar β-hCG serum hanya sedikit meningkat (Lurain, 2013).

12
2.7 Diagnosis dan Stadium PTG
2.7.1 Mola hidatidosa komplit
Mola hidatidosa komplit terutama menunjukkan gejala perdarahan
pervaginam, 80-90% kasus terjadi pada 6-16 minggu gestasi, sehingga
biasanya juga disertai anemia. Gejala dan tanda klinis klasik lain seperti
pembesaran uterus lebih dari usia gestasi yang diperkirakan (28%),
hyperemesis gravidarum (8%), dan hipertensi yang diinduksi kehamilan
pada trimester pertama dan kedua (1%), jarang terjadi pada beberapa
tahun belakangan karena dapat didiagnosis lebih awal sebagai akibat dari
meluasnya penggunaan ultrasonografi dan tes β-hCG yang akurat.
Pembesaran kista teka lutein ovarium bilateral terjadi pada sekitar
15% kasus, kadar β-hCG sering > 100.000 mIU/mL, dan detak jantung
fetus tidak ada. Selain itu tanda dan gejala dari hipertiroidisme dapat
muncul akibat stimulasi kelenjar tiroid oleh kadar sirkulasi β-hCG atau oleh
substansi penstimulasi tiroid (seperti, tirotropin) yang tinggi yang
diproduksi oleh trofoblas. Ukuran kista antara 3 – 20 cm dan titer β-hCG
menurun setelah dilakukan pengangakatan kista (Williams, 2015).
Level plasma tiroksin sering meningkat pada kehamilan molar
komplit, namun jarang disertai gejala hipertiroid. Peningkatan tiroksin
disebabkan thyrotropin-like effect dari β-hCG (Williams, 2015).

2.7.2 Mola hidatidosa parsial


Pasien dengan kehamilan molahidatidosa parsial biasanya datang
dengan tanda dan gejala seperti abortus inkomplit atau missed abortion .
kebanyakan wanita datang dengan keluhan keluar darah pervagina, tapi
karena proliferasi tropoblastik ringan dan fokal, maka jarang didapatkan
pembesaran uterus yang tidak sesuai umur kehamilan. Kadar β-hCG
sebelum dilakukan pengangakatan lebih rendah dibandingkan
molahidatidosa komplit dan kadaranya tidak melebihi 100.000 mIU per
milliliter. Sehingga mola hidatidosa parsial jarang teridentifikasi sampai
telah dilakukan pemeriksaan histologi dari specimen hasil kuretase
(Williams , 2015).

13
2.7.3 Koriokarsinoma, Placental site trophoblastic tumor (PSTT),
dan Epithelioid Trophoblastic Tumor (ETT)
Bentuk koriokarsinoma PSTT/ETT bisa jauh lebih sulit untuk di
diagnosis karena penyakit dapat berkembang dalam hitungan bulan atau
tahun setelah kehamilan sebelumnya. Oleh karena itu penting untuk
mengukur β-hCG pada wanita usia subur dengan penyakit metastasis
yang tidak dapat dijelaskan. Biopsi lesi tanpa kemampuan untuk
mengendalikan perdarahan sangat berisiko pada penyakit ini dan tidak
diperlukan untuk memulai kemoterapi. Namun, pengangkatan seluruh
massa dapat memberikan konfirmasi histologis untuk konfirmasi
diagnostik atau analisis genetik. Secara mikroskopis, tumor ETT mirip
dengan PSTT , namun pada ETT sel lebih kecil dan sedikit pleomorphism
nuclear cel (Williams , 2015)l.
Hampir keseluruhan pasien PTG paska molahidatidosa terdeteksi
melalui pemantauan β-hCG. Informasi yang diperlukan untuk menentukan
terapi dapat diperoleh dari riwayat klinis, pemeriksaan, pengukuran β-
hCG serum dan USG doppler pelvik untuk konfirmasi tidak adanya
kehamilan, untuk mengukur ukuran dan volume rahim, penyebaran
penyakit pelvis dan vaskularisasi. Penilaian pulsatility index dengan
doppler nantinya dapat menjadi faktor prognostik independen untuk
resistensi terhadap kemoterapi agen tunggal metotreksat (MTX) dan saat
ini sedang dievaluasi dalam penelitian prospektif. Metastasis paru adalah
penyebaran yang paling umum, sehingga rontgen dada sangat penting
(Williams , 2015).
Computed tomography (CT) dada tidak diperlukan jika rontgen
dada normal, karena penemuan mikrometastasis, yang didapati pada 40%
pasien, tidak mempengaruhi hasil akhir. Namun, jika dijumpai lesi pada
toraks, magnetic resonance imaging (MRI) otak dan CT tubuh diperlukan
untuk menyingkirkan penyebaran penyakit lainnya, seperti pada otak dan
hati yang secara signifikan akan mengubah penanganan. FIGO
melaporkan data pada penggunaan sistem skor prognostik dan sistem
stadium anatomis pada PTG. Sejak tahun 2002, semua penanganan PTG

14
harus menggunakan sistem ini untuk memungkinkan perbandingan data.
Skor prognostik digunakan untuk memprediksi kemungkinan resistensi
terhadap kemoterapi agen tunggal dengan MTX atau Act-D (Williams ,
2015).
Skor 0-6 dan ≥7 menunjukkan risiko rendah dan tinggi terhadap
resistensi. Risiko tinggi hampir tidak memiliki kemungkinan sembuh
dengan terapi agen tunggal dan membutuhkan pemberian agen multiple.
Stadium anatomis tidak membantu penentuan terapi, tetapi memberikan
informasi tambahan untuk membantu klinisi yang membutuhkan
perbandingan data antar pusat PTG (Williams , 2015)
Berdasarkan FIGO 2012, diagnosis PTG dibuat berdasarkan
peningkatan kadar β-hCG, jika memungkinkan diperlukan bukti histologis
atau radiologis. Kriteria diagnosis PTG meliputi:
1) Sekurang-kurangnya 4 kali pengukuran nilai plateu β-hCG dalam 3
minggu atau lebih (hari 1, 7, 14 dan 21) atau lebih lama, atau
peningkatan β-hCG secara sekuensial selama 2 minggu (hari 1, 7,
14) atau lebih lama.
2) Peningkatan β-hCG secara berurutan selama 3 minggu atau lebih,
selama 2 minggu atau lebih (hari 1, 7, 14)
3) β-hCG tetap meningkat selama 6 bulan atau lebih
4) Secara histologis didiagnosa koriokarsinoma
5) Metastasis paru yang ditemukan pada X-Ray toraks.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam diagnosis maupun
monitoring PTG adalah:3
1. Pemeriksaan klinis (menilai ada tidaknya metastasis vagina)
2. Pengukuran β-hCG serum serial mingguan
3. Pemeriksaan darah lengkap dan trombosit, PT, PTT, fibrinogen,
BUN, kreatinin, tes fungsi hati
4. Foto toraks
5. CT Scan atau MRI otak (menilai ada tidaknya metastasis otatk)
6. CT Scan hati bila ada indikasi. CT Scan seluruh tubuh biasanya
dilakukan pada pasien yang memiliki metastasis paru

15
7. Kuretase harus dilakukan bila ada perdarahan uterus. Biopsi
dilakukan pada daerah yang memungkinkan. Ada risiko perdarahan
hebat pada tempat biopsi.
8. MRI bila diindikasikan.
9. T4, tes fungsi tiroid bila diindikasikan.
10. Scanning selektif dengan antibodi anti- β-hCG radioaktif iodin atau
indium bila ada resistensi terhadap kemoterapi.

Pada tahun 2000, FIGO merekomendasikan stadium klinis tumor


trofoblastik gestasional seperti di bawah ini:3

Tabel 2.3

Gambar 2.6. Stadium Penyakit Gestasional Neoplasia

16
Molahidatidosa tidak boleh dikategorikan stadium 0 karena bila β-hCG
tetap meningkat dan pasien memerlukan kemoterapi, diperlukan penilaian
ulang stadium (Williams , 2015).
Pada tahun 2000, FIGO menerima sistem skor WHO berdasarkan
faktor prognostik yang pertama kali dikenalkan oleh Bagshawe. Nilai untuk
faktor risiko adalah 1,2 dan 4. Ambang batas neoplasia risiko rendah dan
tinggi disepakati oleh FIGO pada angka 6. Skor ≤ 6 dikategorikan risiko
rendah dan skor ≥ 7 dikategorikan risiko tinggi. Kombinasi stadium FIGO
dan WHO telah disetujui sejak tahun 2002

Tabel 2.4

2.8 Terapi
Terapi pada wanita dengan penyakit torofoblastik gestational
adalah dengan onkologis, terapi utamanya biasanya adalah
kemoterapi. Tindakan operatif berulang tidak dianjurkan karena
dapat beresiko terjadinya perforasi uterus, perdarahan, infeksi, atau
terbentuknya intrauterine adhesion. Pada beberapa kasus,
kuretase dapat dipertimbangkan jika terdapat perdarahan atau
adanya massa yang melekat pada jaringan. Meskipun banyak
kontroversi, beberapa ahli juga merekomendasikan uterine
evacuation sebagai terapi utama untuk menghindari atau
meminimalisir penggunaan kemoterapi (Pezeshki, 2004; Van
Trommel, 2005)

17
 PTG risiko rendah, skor WHO kurang dari FIGO Stadium I, II, dan
III :
a) Methotreksate 0,4 mg/KgBB IM tiap hari selama 5 hari, diulang
tiap 2 minggu.
b) Methotreksate 1,0mg/KgBB selang satu hari sampai 4 dosis
dengan ditambahkan Leukovorin 0,1 mg/KgBB 24 jam setelah
MTX, diulang tiap 2 minggu.
c) Methotrexate 50 mg/m2 diberikan setiap minggu.
d) Actinomycin-D 1,25 mg/m2 diberikan tiap 2 minggu
e) Actinomycin-D 12 ug/KgBB IV tiaphari selama 5 hari diulang
tiap 2 minggu. Protokol ini digunakan pada pasien dengan
gangguan fungsi hati.
f) Methotreksate 250 mg infuse selama 12 jam, diulang tiap 2
minggu
g) Kemoterapi dilanjutkan 1 atau 2 kali setelah kadar β-hCG
normal.

 PTG risiko tinggi, FIGO stadium I, II, III dengan skore WHO lebih dari
atau sama 7 atau stadium IV.
 Terapi primer adalah EMA-CO (Etoposide, MTX, Actinomysin,
Cyclophospamid dan Oncovin (Vincristine).
 Jika respon kurang baik atau resisten alternatif lain adalah :
a. EMA – PA (Etoposide,MTX, Actinomysin – Cis Platin
dan Adriamysin)
b. EMA – EP (Etoposide, MTX, Actinomysin – Etoposide
Platinum).
 Jika EMA-EP resisten dapat diberikan alternatif :
a. Paklitaxel – Cisplatin
b. Paklitaxel – Etoposide
c. Paklitaxel – 5 FU
d. ICE ( Iphosphamid , Cisplatin, dan Etoposide)
e. BEP regimen.

18
 Plasental site of trophoblastic tumor (PSTT)
Pengelolaannya terpisah dari PTG yang lain. Terapi
dilakukan secara kombinasi baik dengan operasi maupun
kemoterapi (Williams, 2015)

19
Gambar 2.7 Bagan Penatalaksanaan

20
2.9 Penanganan Lanjutan
Pengamatan lanjutan untuk penderita PTG dilakukan dengan
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan β-hCG tiap mingu hingga kadarnya
mencapai normal. Setelah itu dilakukan setiap bulan selama 6 bulan
selanjutnya tiap 2 bulan sampai 6 bulan berikutnya untuk menyakinkan β-
hCG benar-benar normal (Williams, 2015).

21
Bab 3
KESIMPULAN

Penyakit trofoblas gestasional (PTG) merupakan spektrum


tumor yang berasal dari proliferasi abnormal jaringan trofoblas
plasenta, mencakup mola hidatidosa (komplit dan parsial), mola invasif,
koriokarsinoma, placental site trophoblastic tumor, dan epithelioid
trophoblastic tumor.
Jaringan trofoblastik gestasional terbentuk dari sel perifer
blastokista beberapa hari setelah konsepsi. Jaringan tersebut dibagi
menjadi 2 lapisan yaitu; lapisan luar sinsitiotrofoblas yang dibentuk oleh
sel-sel besar multinucleated dan lapisan dalam dari sel mononuclated
yang membentuk sitotrofoblas. Sinsitiotrofoblas menginvasi endometrium
secara agresif membentuk suatu hubungan antara fetus dan ibu yang
dikenal sebagai plasenta. Normalnya pertumbuhan trofoblas diatur secara
ketat oleh mekanisme yang belum bisa ditentukan untuk mencegah
perkembangan metastasis lebih lanjut. Penyakit trofoblastik gestasional
ganas muncul ketika mekanisme pengontrol ini gagal, menghasilkan invasi
dari jaringan trofoblas yang mencapai miometrium, yang mengizinkan
penyebaran secara hematogan dan pembentukan emboli tumor.
Pemeriksaan pada penyakit trofoblas gestasional meliputi
pemeriksaan USG, kadar hCG, dan diagnosis patologi. Penatalaksanaan
dari penyakit trofoblas gestasional meliputi terapi pembedahan,
kemoterapi, dan terkadang membutuhkan radioterapi pada penyakit
trofoblastik neoplasia.

22
DAFTAR PUSTAKA

Alazzam M, Tidy J, Hancock BW, Powers HJ. Gestational trophoblastic


neoplasia, an ancient disease: new light and potential therapeutic targets.
Anticancer Agents Med Chem. 2010

Berkowitz R. Gestational trophoblastic disease. In: Berek J, editor.


Novak's gynecology. 24 ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins;
2015

Kenny L, Seckl JM. Treatments for gestational trophoblastic disease.


Diunduh dari : https://www.medscape.com/viewarticle/718375 , 5 January
2018

Lurain J. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology, pathology,


clinical presentation and diagnosis of gestational trophoblastic desease.
Am J Obstet Gynecol. 2010

Lurain JR. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology, pathology,


clinical presentation and diagnosis of gestational trophoblastic disease,
and management of hydatidiform mole. Diunduh dari: www.scribd.com, 29
September 2013.

Moore LE, Huh KW. Mola Hidatidiform. Diunduh dari :


http://emedicine.medscape.com/article/254657-overview#showall, 30
Januari 2018.

Shih I, Kurman RJ. Pathogenesis of gestational trophoblastic lesions. In:


Giordano A BA, Kurman R, editor. Current Clinical Oncology: Molecular
Pathology of Gynecologic Cancer. Totowa: Humana Press, Inc; 2007.

Wargasetia, Teresa L. , Heda M. D. Nataprawira dan M. Nurhalim


Shahib.2012. Aspek Patobiologis pada Penyakit Trofoblas Gestasional .
Bandung : Jurnal Kedokteran Maranatha volume 10

23

Anda mungkin juga menyukai