PENDAHULUAN
1
Bab 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit trofoblastik gestasional (PTG) adalah suatu spektrum
yang saling berhubungan tapi secara histologi berbeda, tumor ini berasal
dari plasenta. Penyakit ini dikarakteristikan oleh penanda tumor yaitu,
subunit β chorionik gonadotropin (β-hCG), memiliki kecenderungan
beragam invasi lokal dan penyebarannya (Williams, 2015).
Jaringan trofoblastik gestasional terbentuk dari sel perifer
blastokista beberapa hari setelah konsepsi. Jaringan tersebut dibagi
menjadi 2 lapisan yaitu; lapisan luar sinsitiotrofoblas yang dibentuk oleh
sel-sel besar multinucleated dan lapisan dalam dari sel mononuclated
yang membentuk sitotrofoblas. Sinsitiotrofoblas menginvasi endometrium
secara agresif membentuk suatu hubungan antara fetus dan ibu yang
dikenal sebagai plasenta. Normalnya pertumbuhan trofoblas diatur secara
ketat oleh mekanisme yang belum bisa ditentukan untuk mencegah
perkembangan metastasis lebih lanjut. Penyakit trofoblastik gestasional
ganas muncul ketika mekanisme pengontrol ini gagal, menghasilkan invasi
dari jaringan trofoblas yang mencapai miometrium, yang mengizinkan
penyebaran secara hematogen dan pembentukan emboli tumor (Kenny L,
2010).
2.2 Epidemiologi
Studi epidemiologi melaporkan variasi regional yang luas pada
insidensi mola hidatidosa. Studi yang dilakukan di Amerika Utara,
Australia, Selandia Baru, dan Eropa menunjukkan insidensi mola
adalah 0,57-1,1 per 1.000 kehamilan, sedangkan studi di Asia Tenggara
dan Jepang menunjukkan insidensi yang tinggi yaitu 2 dari 1.000
kehamilan. Negara-negara dengan frekuensi mola hidatidosa tertinggi
adalah Mexico, Iran, dan Indonesia. Sejumlah studi dilakukan untuk
mencari hubungan antara insidensi mola hidatidosa yang lebih tinggi
2
pada kelompok etnis tertentu dengan faktor genetik dan berbagai
faktor lingkungan seperti makanan, defisiensi vitamin A, kemiskinan,
dan virus. Data tentang insidensi korio-karsinoma lebih terbatas
karena koriokarsinoma lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan
mola hidatidosa dan sulit membedakan koriokarsinoma postmolar dari
mola invasif. Di Eropa dan Amerika Utara, koriokarsinoma terjadi pada
1 per 40.000 kehamilan2 dan 1 per 40 mola hidatidosa, sedangkan di
Asia Tenggara dan Jepang angka kejadian lebih tinggi yaitu 9,2 dan
3,3 per 40.000 kehamilan (Wargasetia, 2012).
Faktor-faktor risiko utama penyebab mola hidatidosa komplit
adalah usia ibu yang terlalu muda/tua dan riwayat kehamilan molar.
Resiko mengalami mola hidatidosa komplit pada wanita usia lebih dari 35
tahun dan kurang dari 21 tahun adalah 1,9 kali lebih tinggi dibandingkan
usia 21-35 tahun. Resiko meningkat menjadi 7,5 kali pada wania lebih dari
40 tahun. Wanita dengan riwayat mola hidatidosa sebelumnya
mempunyai kecenderungan untuk mengalami kehamilan molar. Faktor-
faktor risiko untuk koriokarsinoma adalah riwayat mengalami mola
hidatidosa komplit, etnis, dan kehamilan pada usia tua (Lurain J,
2010).
Risiko mengalami mola hidatidosa komplit meningkat 2 kali
pada wanita berusia lebih dari 35 tahun, dan 7,5 kali pada wanita lebih
dari 40 tahun. Peningkatan risiko mengalami koriokarsinoma terjadi
pada wanita pengguna kontrasepsi oral jangka panjang dan
mempunyai golongan darah (Lurain J, 2010).
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi dibuat oleh World Health Organization Scientific Groups
on Gestational Tropoblastic Disease pada tahun 1983, kemudian
diperbaruhi oleh International Federation of Gynecology and Obstetric (
FIGO Oncology Committee) pada tahun 2002 dan disempurnakan oleh
American Collage of Obstetircs and Gynecology pada tahun 2004 sebagai
berikut.
3
Table 2.1 klasifikasi PTG
4
2.4.3 Faktor lain
Pada beberapa penelitian, mengkonsumsi obat kontrasepsi juga
meningkatkan resiko terjadinya PTG. Resiko meningkat pada wanita
yang mengkonsumsi obat oral KB tapi terjadi kehamilan. Pada wanita
hamil yang kekurangan vitamin A dan intake karotin yang rendah juga
meningkatkan resiko terjadinya hamil molar komplit. Sedangkan resiko
terjadianya kehamilan mola parsial berhubungan dengan level
pengetahuan ibu yang rendah, merokok, siklus haid yang tidak teratur,
dan riwayat kehamilan sebelumnya (Williams, 2015).
2.5 Patologi
Kehamilan mola dan neoplasma trofoblastik gestasional semuanya
berasal dari trofoblas plasenta. Trofoblas normal tersusun dari
sitotrofoblas, sinsitiotrofoblas, dan trofoblas intermediet. Sinsitiotrofoblas
menginvasi stroma endometrium dengan implantasi dari blastokista dan
merupakan sebuah tipe sel yang memproduksi human chorionic
gonadotropin (β-hCG). Fungsi sitotrofoblas adalah untuk menyuplai
sinsitium dengan sel-sel sebagai tambahan untuk pembentukan kantong
luar yang menjadi vili korion sebagai pelindung kantung korion. Vili korion
berbatasan dengan endometrium dan lamina basalis dari endometrium
membentuk plasenta fungsional untuk nutrisi fetal-maternal dan
membuang sisa-sisa metabolisme. Trofoblas intermediet terletak di dalam
vili, tempat implantasi, dan kantong korion. Semua tipe dari trofoblas dapat
mengakibatkan penyakit trofoblas gestasional ketika mereka berproliferasi.
(Lurain, 2013).
5
Tabel 2.2 Gambaran Klinikopatologi dari PTG
6
bentuk dan ukuran, scalloping dan inklusi stroma trofoblastik yang
menonjol, sirkulasi vili yang berfungsi, sebagaimana hiperplasia
trofoblastik fokal dengan hanya atipia ringan. (Lurain, 2013).
Gambar 2.1 . Mola hidatidosa komplit. Mola hidatidosa komplit dengan hydropic
villi, tidak adanya pembuluh darah villi, dan proliferasi dari hiperplastik
sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas.
7
Gambar 2.2 Mola Hidatidosa Parsial. Mola hidatidosa parsial dengan vili korionik
dengan ukuran bervariasi dari ukuran dan bentuk dengan edema fokal dan
scalloping, stroma trofoblastik.
8
2.5.2 Koriokarsinoma
Koriokarsinoma adalah suatu penyakit keganasan yang ditandai
dengan hiperplasia trofoblastik abnormal dan anaplasia, ketidakadaan vili
korion, perdarahan, dan nekrosis, dengan invasi langsung ke miometrium
dan invasi vaskular yang mengakibatkan penyebaran ke tempat-tempat
yang jauh, paling sering ke paru, otak, hati, pelvis dan vagina, ginjal, usus,
dan limpa. Koriokarsinoma telah dilaporkan berhubungan dengan setiap
kejadian kehamilan, Sekitar 25% dari kasus diikuti aborsi atau kehamilan
tuba. 25% berhubungan dengan kehamilan preterm atau aterm, dan 50%
lainnya timbul dari mola hidatidosa, meskipun hanya 2-3% dari mola
hidatidosa yang berkembang menjadi koriokarsinoma (Lurain, 2013)
9
2.5.3 Placental site trophoblastic tumor
PSTT adalah suatu penyakit yang sangat jarang yang timbul dari
tempat implantasi plasenta dan terutama terdiri dari trofoblas mononuklear
intermediet tanpa infiltrasi vili korion di dalam lembaran-lembaran atau tali-
tali antara serat-serat myometrial. PSTT berhubungan dengan invasi
vaskular yang kurang, nekrosis, dan perdarahan yang lebih dari
koriokarsinoma, dan memiliki kecenderungan untuk bermetastase ke
sistem limfatik. Pewarnaan imunohistokimia memperlihatkan adanya
sitokeratin yang difus dan laktogen plasenta manusia, dimana β-hCG
hanyalah fokal. Studi sitogenik telah memperlihatkan bahwa PSTT lebih
sering diploid daripada aneuploid . Sebagian besar PSTT mengikuti
kehamilan nonmola (Lurain, 2013).
Gambar 2.5. Placental site trophoblastic tumor. Placental site trophoblastic tumor
dengan lembaran mononuclear intermediate trophoblast cells tanpa chorionic villi
yang menginfiltrasi diantara serat myometrial.
10
2.5.4 Epithelioid trophoblastic tumor (ETT)
11
lutein. Kadar β-hCG peevakuasi mola >100.000mIU/mL pada <10%
pasien dengan mola parsial (Lurain, 2013).
12
2.7 Diagnosis dan Stadium PTG
2.7.1 Mola hidatidosa komplit
Mola hidatidosa komplit terutama menunjukkan gejala perdarahan
pervaginam, 80-90% kasus terjadi pada 6-16 minggu gestasi, sehingga
biasanya juga disertai anemia. Gejala dan tanda klinis klasik lain seperti
pembesaran uterus lebih dari usia gestasi yang diperkirakan (28%),
hyperemesis gravidarum (8%), dan hipertensi yang diinduksi kehamilan
pada trimester pertama dan kedua (1%), jarang terjadi pada beberapa
tahun belakangan karena dapat didiagnosis lebih awal sebagai akibat dari
meluasnya penggunaan ultrasonografi dan tes β-hCG yang akurat.
Pembesaran kista teka lutein ovarium bilateral terjadi pada sekitar
15% kasus, kadar β-hCG sering > 100.000 mIU/mL, dan detak jantung
fetus tidak ada. Selain itu tanda dan gejala dari hipertiroidisme dapat
muncul akibat stimulasi kelenjar tiroid oleh kadar sirkulasi β-hCG atau oleh
substansi penstimulasi tiroid (seperti, tirotropin) yang tinggi yang
diproduksi oleh trofoblas. Ukuran kista antara 3 – 20 cm dan titer β-hCG
menurun setelah dilakukan pengangakatan kista (Williams, 2015).
Level plasma tiroksin sering meningkat pada kehamilan molar
komplit, namun jarang disertai gejala hipertiroid. Peningkatan tiroksin
disebabkan thyrotropin-like effect dari β-hCG (Williams, 2015).
13
2.7.3 Koriokarsinoma, Placental site trophoblastic tumor (PSTT),
dan Epithelioid Trophoblastic Tumor (ETT)
Bentuk koriokarsinoma PSTT/ETT bisa jauh lebih sulit untuk di
diagnosis karena penyakit dapat berkembang dalam hitungan bulan atau
tahun setelah kehamilan sebelumnya. Oleh karena itu penting untuk
mengukur β-hCG pada wanita usia subur dengan penyakit metastasis
yang tidak dapat dijelaskan. Biopsi lesi tanpa kemampuan untuk
mengendalikan perdarahan sangat berisiko pada penyakit ini dan tidak
diperlukan untuk memulai kemoterapi. Namun, pengangkatan seluruh
massa dapat memberikan konfirmasi histologis untuk konfirmasi
diagnostik atau analisis genetik. Secara mikroskopis, tumor ETT mirip
dengan PSTT , namun pada ETT sel lebih kecil dan sedikit pleomorphism
nuclear cel (Williams , 2015)l.
Hampir keseluruhan pasien PTG paska molahidatidosa terdeteksi
melalui pemantauan β-hCG. Informasi yang diperlukan untuk menentukan
terapi dapat diperoleh dari riwayat klinis, pemeriksaan, pengukuran β-
hCG serum dan USG doppler pelvik untuk konfirmasi tidak adanya
kehamilan, untuk mengukur ukuran dan volume rahim, penyebaran
penyakit pelvis dan vaskularisasi. Penilaian pulsatility index dengan
doppler nantinya dapat menjadi faktor prognostik independen untuk
resistensi terhadap kemoterapi agen tunggal metotreksat (MTX) dan saat
ini sedang dievaluasi dalam penelitian prospektif. Metastasis paru adalah
penyebaran yang paling umum, sehingga rontgen dada sangat penting
(Williams , 2015).
Computed tomography (CT) dada tidak diperlukan jika rontgen
dada normal, karena penemuan mikrometastasis, yang didapati pada 40%
pasien, tidak mempengaruhi hasil akhir. Namun, jika dijumpai lesi pada
toraks, magnetic resonance imaging (MRI) otak dan CT tubuh diperlukan
untuk menyingkirkan penyebaran penyakit lainnya, seperti pada otak dan
hati yang secara signifikan akan mengubah penanganan. FIGO
melaporkan data pada penggunaan sistem skor prognostik dan sistem
stadium anatomis pada PTG. Sejak tahun 2002, semua penanganan PTG
14
harus menggunakan sistem ini untuk memungkinkan perbandingan data.
Skor prognostik digunakan untuk memprediksi kemungkinan resistensi
terhadap kemoterapi agen tunggal dengan MTX atau Act-D (Williams ,
2015).
Skor 0-6 dan ≥7 menunjukkan risiko rendah dan tinggi terhadap
resistensi. Risiko tinggi hampir tidak memiliki kemungkinan sembuh
dengan terapi agen tunggal dan membutuhkan pemberian agen multiple.
Stadium anatomis tidak membantu penentuan terapi, tetapi memberikan
informasi tambahan untuk membantu klinisi yang membutuhkan
perbandingan data antar pusat PTG (Williams , 2015)
Berdasarkan FIGO 2012, diagnosis PTG dibuat berdasarkan
peningkatan kadar β-hCG, jika memungkinkan diperlukan bukti histologis
atau radiologis. Kriteria diagnosis PTG meliputi:
1) Sekurang-kurangnya 4 kali pengukuran nilai plateu β-hCG dalam 3
minggu atau lebih (hari 1, 7, 14 dan 21) atau lebih lama, atau
peningkatan β-hCG secara sekuensial selama 2 minggu (hari 1, 7,
14) atau lebih lama.
2) Peningkatan β-hCG secara berurutan selama 3 minggu atau lebih,
selama 2 minggu atau lebih (hari 1, 7, 14)
3) β-hCG tetap meningkat selama 6 bulan atau lebih
4) Secara histologis didiagnosa koriokarsinoma
5) Metastasis paru yang ditemukan pada X-Ray toraks.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam diagnosis maupun
monitoring PTG adalah:3
1. Pemeriksaan klinis (menilai ada tidaknya metastasis vagina)
2. Pengukuran β-hCG serum serial mingguan
3. Pemeriksaan darah lengkap dan trombosit, PT, PTT, fibrinogen,
BUN, kreatinin, tes fungsi hati
4. Foto toraks
5. CT Scan atau MRI otak (menilai ada tidaknya metastasis otatk)
6. CT Scan hati bila ada indikasi. CT Scan seluruh tubuh biasanya
dilakukan pada pasien yang memiliki metastasis paru
15
7. Kuretase harus dilakukan bila ada perdarahan uterus. Biopsi
dilakukan pada daerah yang memungkinkan. Ada risiko perdarahan
hebat pada tempat biopsi.
8. MRI bila diindikasikan.
9. T4, tes fungsi tiroid bila diindikasikan.
10. Scanning selektif dengan antibodi anti- β-hCG radioaktif iodin atau
indium bila ada resistensi terhadap kemoterapi.
Tabel 2.3
16
Molahidatidosa tidak boleh dikategorikan stadium 0 karena bila β-hCG
tetap meningkat dan pasien memerlukan kemoterapi, diperlukan penilaian
ulang stadium (Williams , 2015).
Pada tahun 2000, FIGO menerima sistem skor WHO berdasarkan
faktor prognostik yang pertama kali dikenalkan oleh Bagshawe. Nilai untuk
faktor risiko adalah 1,2 dan 4. Ambang batas neoplasia risiko rendah dan
tinggi disepakati oleh FIGO pada angka 6. Skor ≤ 6 dikategorikan risiko
rendah dan skor ≥ 7 dikategorikan risiko tinggi. Kombinasi stadium FIGO
dan WHO telah disetujui sejak tahun 2002
Tabel 2.4
2.8 Terapi
Terapi pada wanita dengan penyakit torofoblastik gestational
adalah dengan onkologis, terapi utamanya biasanya adalah
kemoterapi. Tindakan operatif berulang tidak dianjurkan karena
dapat beresiko terjadinya perforasi uterus, perdarahan, infeksi, atau
terbentuknya intrauterine adhesion. Pada beberapa kasus,
kuretase dapat dipertimbangkan jika terdapat perdarahan atau
adanya massa yang melekat pada jaringan. Meskipun banyak
kontroversi, beberapa ahli juga merekomendasikan uterine
evacuation sebagai terapi utama untuk menghindari atau
meminimalisir penggunaan kemoterapi (Pezeshki, 2004; Van
Trommel, 2005)
17
PTG risiko rendah, skor WHO kurang dari FIGO Stadium I, II, dan
III :
a) Methotreksate 0,4 mg/KgBB IM tiap hari selama 5 hari, diulang
tiap 2 minggu.
b) Methotreksate 1,0mg/KgBB selang satu hari sampai 4 dosis
dengan ditambahkan Leukovorin 0,1 mg/KgBB 24 jam setelah
MTX, diulang tiap 2 minggu.
c) Methotrexate 50 mg/m2 diberikan setiap minggu.
d) Actinomycin-D 1,25 mg/m2 diberikan tiap 2 minggu
e) Actinomycin-D 12 ug/KgBB IV tiaphari selama 5 hari diulang
tiap 2 minggu. Protokol ini digunakan pada pasien dengan
gangguan fungsi hati.
f) Methotreksate 250 mg infuse selama 12 jam, diulang tiap 2
minggu
g) Kemoterapi dilanjutkan 1 atau 2 kali setelah kadar β-hCG
normal.
PTG risiko tinggi, FIGO stadium I, II, III dengan skore WHO lebih dari
atau sama 7 atau stadium IV.
Terapi primer adalah EMA-CO (Etoposide, MTX, Actinomysin,
Cyclophospamid dan Oncovin (Vincristine).
Jika respon kurang baik atau resisten alternatif lain adalah :
a. EMA – PA (Etoposide,MTX, Actinomysin – Cis Platin
dan Adriamysin)
b. EMA – EP (Etoposide, MTX, Actinomysin – Etoposide
Platinum).
Jika EMA-EP resisten dapat diberikan alternatif :
a. Paklitaxel – Cisplatin
b. Paklitaxel – Etoposide
c. Paklitaxel – 5 FU
d. ICE ( Iphosphamid , Cisplatin, dan Etoposide)
e. BEP regimen.
18
Plasental site of trophoblastic tumor (PSTT)
Pengelolaannya terpisah dari PTG yang lain. Terapi
dilakukan secara kombinasi baik dengan operasi maupun
kemoterapi (Williams, 2015)
19
Gambar 2.7 Bagan Penatalaksanaan
20
2.9 Penanganan Lanjutan
Pengamatan lanjutan untuk penderita PTG dilakukan dengan
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan β-hCG tiap mingu hingga kadarnya
mencapai normal. Setelah itu dilakukan setiap bulan selama 6 bulan
selanjutnya tiap 2 bulan sampai 6 bulan berikutnya untuk menyakinkan β-
hCG benar-benar normal (Williams, 2015).
21
Bab 3
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
23