Anda di halaman 1dari 65

MAKALAH

ENDOMETRIOSIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Program Pendidikan


Profesi Dokter Bagian Ilmu Kandungan dan Kebidanan
di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh:
Aida Tazkiyyatun Nufus 30101206780
Fadhila Nurrahma 30101306938
Fatimatuzzahra 30101306942

Pembimbing:
dr. Yulice Soraya Nur Intan, Sp.OG

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Rumusan Masalah

Endometriosis merupakan keadaan dimana jaringan endometrium

(kelenjar-kelenjar endometrium dan stroma) terdapat di luar kavum uteri,

sedangkan bila jaringan endometrium tersebut terdapat di dalam myometrium

disebut adenomiosis. Menurut World Health Organization (WHO) sekitar 10% –

20% wanita di dunia mengalami menoragia dan 6% - 10% diantaranya menderita

endometriosis secara umum (Shaw, 2013). Data lain menyebutkan bahwa 30 –

45% pasien dengan endometriosis mengalami infertilitas (Oepomo, 2007). Angka

kejadian endometriosis di Indonesia masih belum diketahui secara pasti namun

pada 60% pasien dengan endometriosis di Indonesia mengalami gejala berupa

bercak pra menstruasi (spotting), menoragi (periode menstruasi yang pendek),

desminore, nyeri perut bawah, dispareuni dan gangguan siklus haid.

Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak ginekologi yang sering

terjadi pada perempuan usia reproduksi yang ditandai dengan gejala menoragia

dan dismenore. Angka kejadian endometriosis tertinggi terjadi pada perempuan

usia 25-35 tahun. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa endometriosis dapat

menyebabkan kehamilan ektopik (Suparman, 2012) dan penelitian lain

menyebutkan bahwa endometriosis dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker

ovarii sekitar 50% (Vercellini, 2017). Perdarahan yang timbul dari

lesi endometriosis akan menyebabkan pertumbuhan jaringan di dalam pelvis dan


perlengketan dengan jaringan sekitarnya sehingga motilitas tuba mengalami

penurunan dan dapat terjadi infertilitas (Suparman, 2012)

Referat ini akan membahas tentang endometriosis dan adenomiosis

bersadarkan etiologi, tanda dan gejala, patofisiologi, prosedur diagnostik dan

manajemen penatalaksanaan.

1.2 Batasan Masalah

Referat ini akan membahas tentang endometriosis dan adenomiosis

bersadarkan etiologi, tanda dan gejala, patofisiologi, prosedur diagnostik

dan manajemen penatalaksanaan.

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui tentang endometriosis dan adeniometriosis

secara komprehensif.

1.3.2. Tujuan Khusus

Mengetahui tentang prosedur diagnostik serta manajemen

penatalaksanaan endometriosis dan adenometriosis.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan referat ini adalah tinjauan kepustakaan yang

merujuk pada berbagai literatur.


BAB II

PEMBAHASAN

ENDOMETRIOSIS

2.1.Definisi

Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yaitu

kelenjar dan stroma berada di luar cavum uteri, terutama di rongga pelvis dan

peritoneum. Jika jaringan endometrium berada di dalam miometrium disebut

adenomiosis,sementara endometriosis eksterna terjadi diluar cavum uteri seperti

pada ovarium, ligamen uterus, septum rectovaginalis, peritoneum pelvis,

umbilikus, luka laparotomi, kantung hernia, appendiks, vagina, vulva, serviks,

kelenjar lympha, kandung kencing, ureter, pleura dan paru-paru.

Gambar 1.Lokasi Endometriosis Pada Pelvic

2.2.Lokasi Endometrosis
Berdasarkan urutan tersering endometrium ditemukan ditempat-tempat

sebagai berikut :

1) Ovarium;

2) Peritoneum dan ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dinding

belakang uterus, tuba Fallopi, plika vesiko uterina, ligamentum

rotundum, dan sigmoid.

3) Septum rektovaginal;

4) Kanalis inguinalis;

5) Apendiks;

6) Umbilikus;

7) Serviks uteri, vagina, kandung kencing, vulva, perineum;

8) Parut laparotomi;

9) Kelenjar limfe; dan

10) Walaupun sangat jarang, endometriosis dapat ditemukan di lengan,

paha, pleura, dan perikardium

Gambar 2.Lokasi Endometriosis Pada Pelvic


2.3. Histogenesis

Teori histogenesis dari endometriosis yang paling banyak penganutnya

adalah teori Sampson. Menurut teori ini, endometriosis terjadi karena darah haid

mengalir kembali ( regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah

dibuktikan bahwa dalam darah haid didapati sel-sel endometrium yang masih

hidup. Sel – sel endometrium yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan

implatasi di pelvis.

Teori lain menurut Robert Meyer bahwa endometriosis terjadi akibat

rangsangan pada sel-sel epitel berasal dari selom yang dapat mempertahankan

hidupnya di daerah pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasi dari sel-

sel epitel itu sehingga terbentuk jaringan endometriom.

2.4.Epidemiologi

Angka kejadian endometriosis biasanya terjadi pada usia reproduksi si usi

25-29 tahun. Tetapi dapat juga terjadi pada wanita yang telah menopause yang

mendapatkan terapi hormonal. Penyakit ini juga dapat ditemukan pada seluruh

etnis dan kelompok sosial manapun.

2.5. Etiologi dan Patogenesis

Endometriosis merupakan estrogen-dependent disease dimana hingga saat

ini terdapat 3 teori yang mengemukakan perjalanan penyakit tersebut, yaitu:

a) Transplantasi ektopik dari jaringan endometrium


Menurut hipotesis Sampson pada tahun 1920, endometriosis terjadi karena

adanya implantasi atau penempatan sel endometrial karena adanya obstruksi aliran

menstruasi sehingga terjadi regurgitasi transtubal selama menstruasi.Dan

endometriosis ovarium terjadi karena regurgitasi mentruasi atau karena aliran

limfatik dari uterus ke ovarium .Faktor resiko terjadinya retrograde menstrual

adanya siklus menstruasi yang pendek, menstruasi berat dan durasi pengeluaran

darah yang memanjang.

Gambar 3.Patogenesis Endometriosis Pada Pelvic

Faktor resiko terjadinya endometriosis adalah pertumbuhan dan

keberlangsungan implan endometriosis dibawah pengaruh steroid ovarium terkait

dengan perubahan yang terjadi atas dasar perubahan hormonal, imunologi dan

genetic individu.Hormon yang mempengaruhi adanya terlalu panjangnya terpapar

hormon endogen estrogen bisa disebabkan menache yang terlalu dini, menopause

yang terlambat dan obesitas.


b) Coelomic metaplasia

Secara embriologi, epitel germinal dan peritoneum pelvis berasal dari

epitel coelom.Dilanjutkan dengan adanya transformasi (metaplasia ) dari epitel

coelom menjadi jaringan endometrium namun teori ini belum didukung oleh hasil

penelitian yang kuat.

c) Induction theory

Teori ini merupakan kelanjutan dari teori coelomic metaplasia, didapatkan

bahwa terdapat faktor biokimia endogen yang dapat menginduksi sel-sel

peritoneum yang tidak berdiferensiasi kemudian berkembang menjadi jaringan

endometrium. Namun teori ini baru didukung oleh penelitian terhadap kelinci.

Selain dari 3 teori yang dikemukakan di atas, terdapat faktor yang

mendukung terjadinya endometriosis seperti faktor genetik, faktor imunologis dan

inflamasi. Pada beberapa penelitian terhadap suatu populasi di dapatkan adanya

resiko genetik antara ibu dan anak yang dapat mengalami endometriosis sekitar

7.2 persen.

Sementara itu pada faktor imunologis didapatkan bahwa tidak semua

pasien menstruasi yang mengalami inflamasi berkembang menjadi endometriosis.

Sistem imun berubah pada wanita dengan endometriosis, dimana terjadi

penurunan fungsi clearance cairan peritoneal yang diakibatkan karena penurunan

aktivitas sel NK atau penurunan aktivitas makrofag.Penurunan cell-mediated

cytotoxicity terhadap sel endometrial asing. Jumlah NK sel bergantung pada

faktor lain seperti merokok dan penggunaan obat-obatan.Penelitian lain

mengatakan bahwa endometrium ektopik dianggap sebagai self tissue sehingga ia

tidak dihancurkan oleh sel NK dan makrofag.


Sementara jika terdapat inflamasi pada peritoneum, yang ditandai dengan

peningkatan cairan peritoneal, peningkatan konsentrasi WBC peritoneal dan

peningkatan sel-sel inflamasi seperti sitokin,growth factor dan substansi

angiogenesis (EGF,MDGF, fibronectin dan integrin) dapat menyebabkan sel

endometrium menempel pada peritoneal, terdapat invasi dan pertumbuhan sel

yang dimediasi oleh matrix metalloproteinase (MMP) dan inhibitor jaringan

lainnya.

Inflamasi lokal dan sekresi prostaglandin berhubungan dengan perbedaan

antara endometrial aromatase antara wanita dengan atau tanpa

endometriosis.Adanya aromatase cytochromeprotein P450 dan mRNA terdapat

pada implan endometriotik tapi tidak ada pada endometrium normal, meyakinkan

bahwa ektopik endometrium memproduksi estrogen yang berfungsi sebagai

pertumbuhan jaringan yang berinteraksi dengan reseptor estrogen.Inaktivasi 17β

estradiol diketahui tidak bekerja pada jaringan endometrial karena defisiensi 17β

hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2 yang normalnya terdapat pada endometrium

ektopik karena berespon terhadap progesteron.

Terdapatnya aromatase yang tidak seimbang pada lesi endometriosis

distimulasi oleh PGE2. Reaksi ini menyebabkan produksi lokal dari E2 yang

menstimulasi produksi PGE,menghasilkanpositive feedback antara inflamasi lokal

dan pertumbuhan lokal ektopik endometrium.

Pada wanita endometriosis dapat menyebabkan infertil karena dapat

mengurangi pergerakan sperma, peningkatan fagositosis sperma dan adanya

peningkatan sekresi sitokin seperti TNF alfa yang dapat menyebabkan implantasi

ektopik endometrium pada pelvis.


Tanda dan Gejala

Gejala klasik dari endometriosis meliputi dysmenorea, dyspareunia,

dyschezia dan atau infertilitas.

Tabel 1. Gejala Klinik Pasien endometrisis

Dismenorea pada endometriosis biasanya merupakan rasa nyeri yang

semakin lama sekalin menghebat, mungkin ada hubungannya dengan

vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu sebelum dan

semasa haid.

Dispareunia yang merupakan gelaja yang sering dijumpai, disebabkan oleh

karena adanya endometriosis di kavum douglasi. Defekasi yang sukar dan sakit

terutama pada saat haid, disebabkan oleh karena adanya endometriosis pada

dinding rectosigmoid.

Gejala lainnya dapat terjadi endometriosis pada kandung kemih dengan

gejala kesulitan miksi dan hematuria pada waktu haid. Gangguan haid dan

siklusnya dapat juga terjadi jika fungsi ovarium terganggu akibat adanya

endometriosis yang meluas di ovarium.

Faktor terpenting terjadinya infertilitas pada endometriosis adalah apabila

mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan sekitarnya.


Klasifikasi

Klasifikasi tingkat endometriosis didasarkan pada Revised American

Fertility Society (AFS) yang diperbaharui. Pembagian ini berdasarkan permukaan,

ukuran dan kedalaman implantasi ovarium dan peritoneum. Namun, kelemahan

pembagian ini adalah derajat beratnya klasifikasi endometriosis tidak selalu

merujuk beratnya derajat nyeri yang ditimbulkan ataupun efek infertilitasnya.


Gambar 4. Stage Endometriosis Pada Pelvic
Gambar 5. Stage Endometriosis Pada Pelvic

Dalam sistem ini dibagi menjadi empat derajat keparahan, yakni :

 Stadium I (minimal) : 1-5

 Stadium II (ringan) : 6-15

 Stadium III (sedang) : 16-40

 Stadium IV (berat) : >40

Selain itu terdapat klasifikasi menurut Enzian score yang digunakan

sebagai instrumen untuk mengklasifikasikan endometriosis dengan infiltrasi

dalam, yang terutama difokuskan pada endometriosis bagian retroperitoneal yang

berat
Gambar 6. Stage Endometriosis Pada Pelvic

2.6. Diagnosis

Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesisdisertai dengan

pemeriksaan fisik yang diantaranya.

a) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan melakukan inspeksi

pada vagina menggunakan spekulum, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan

bimanual dan palpasi rektovagina.Pemeriksaan bimanual dapat menilai ukuran,

posisi dan mobilitas dari uterus.Pemeriksaan rektovagina diperlukan untuk

mempalpasi ligamentum sakrouterina dan septum rektovagina untuk mencari ada

atau tidaknya nodul endometriosis. Selain itu dapat ditemukan dengan menarik

serviks yang tertarik ke satu sisi akibat dorongan atau implan di cavum Douglas

atau ligamnetum uterosakral. ditemukannya juga nodul nyeri di daerah cul-de-sac,

ligamentum uterosacral atau septum rectovaginal, penebalan dan indurasi

ligamentum uterosacral. Nyeri goyang pada portio pun dapat ditemukan

b) Ultrasonografi (USG)

Hanya dapat digunakan untuk mendiagnosis endometriosis (kista

endometriosis) > 1 cm, tidak dapat digunakan untuk melihat bintik-bintik

endometriosis ataupun perlengketan. Dengan menggunakan USG transvaginal dan

transrektal dapat terlihat gambaran karakteristik kista endometriosis dalam bentuk

kistik dan rectovaginal endometriosis.

c)Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Tidak menghasilkan tampilan yang lebih superior dibandingkan dengan

USG. MRI dapat digunakan untuk melihat kista, massa ekstraperitoneal, adanya

invasi ke usus dan septum rektovagina.

d) Pemeriksaan serum CA-125

Pada endometriosis terjadi peningkatan kadar CA125. Namun hasil

peningkatan tidak menunjukkan diagnosis pasti karena CA 125 juga meningkat

pada keadaan infeksi radang panggul, mioma dan trimester awal kehamilan.
e) Bedah laparoskopi

Laparoskopi merupakan alat diagnostik yang merupakan gold standart untuk

mendiagnosis endometriosis.Lesi aktif yang baru berwarna merah terang,

sedangkan lesi aktif yang sudah lama berwarna merah kehitaman.Lesi non aktif

trelihat berwarna putih dengan jaringan parut.Pada endometriosis yang tumbuh di

ovarium dapat terbentuk kista yang disebut endometrioma. Biasanya isinya

berwarna coklat kehitaman sehingga juga diberi nama kista cokelat yang berisi

hemosiderin akibat perdarahan intaovarian sebelumnya.

Patologi

Secara makroskopis,endometriosis memiliki berbagai macam variasi.

Yang sering ditemukan adalah tumor massa di kiri-kanan pelvis yang melekat di

bagoian bawah uterus. Ukuran kista jarang melebihi jeruk.

Dan jika dilihat secara mikroskopis, beberapa jenis lesi memiliki derajat

aktivitas proliferasi dan sekretori glandular yang berbeda-beda.Endometrik implan

mengandung kelenjar dan stroma endometrial, dengan atau tanpa hemosiderin-

laden macrophages.Vaskularisasi, aktivitas mitotik dan struktur 3 dimensi yang

berbeda.Deep endometriosis pada jenis spesifik pada pelvic endometriosis

digambarkan dengan proliferasi kelenjar dan stroma fibrosa padat dan jaringan

otot polos.
Gambar 7. Histologic Endometriosis

2.7. Differential Diagnosis

Tabel 1. Differential Diagnosis Endometriosis


2.8. Penanganan

Endometriosis dianggap sebagai penyakit yang bergantung pada estrogen,

sehingga salah satu pilihan pengobatan adalah dengan menekan hormon

menggunakan obat-obatan untuk mengobatinya. Saat ini, pil kontrasepsi,

progestin, GnRH agonis dan aromatase inhibitor adalah jenis obat-obatan yang

sering dipakai dalam tatalaksana medikamentosa endometriosis. Dalam penelitian

pengobatan endometriosis dengan hormon terutama estrogen mulai ditinggalkan

karena dapat mengakibatkan hiperplasia endometrium yang dapat berkembang

menjadi kanker endometrium

a) Penanganan medis

 Pengobatan simtomatik

Dengan pemberian analgesik seperti parasetamol 500 mg 3 kali sehari atau

ibuprofen 400 mg 3 kali sehari atau asam mefenamat 500 mg 3 kali sehari.8

 Pil kontrasepsi kombinasi

Pemberian pil kontrasepsi dosis rendah yang mengandung 30-35 µg

etinilestradiol yang berfungsi untuk menginduksi amenorea, dengan

pemberian selama 6-12 bulan. Obat ini bekerja dengan cara menekan LH

dan FSH dan juga akan mengurangi aliran menstruasi, desidualisasi implant

endometriosis, dan meningkatkan apoptosis pada endometrium eutopik.

 Progestin

Menyebabkan desisualisasi pada jaringan endometrium diikuti dengan

adanya atrofi, menghambat enzim aromatase dan ekspresi COX-2 dan


produksi PGE2 selain itu dapat mengurangi rasa

nyeri.Medroxyprogesterone Acetate (MPA) dimulai dengan dosis 30 mg per

hari dan kemudian ditingkatkan sesuai dengan repson klinis dan pola

perdarahan.

Pilihan lain dengan menggunakan AKDR yang mengandung progesterone

untuk pengobatan endometrosis. Atau dapat juga menggunakan

didrogestron (20-30 mg per hari) atau lynesterol 10 mg per hari.

 Danazol

Keberhasilan pengobatan danazol disebabkan efek hormonal dan imunologi.

Berfungsi untuk meningkatkan level androgen dalam jumlah tinggi dan

estrogen dalam jumlah yang rendah sehingga menekan perkembangan

endometriosis dengan menginduksi amenore. Dimulai dengan dosis 400-800

mg per hari, dimulai dengan memberikan 200 mg dua kali sehari selama 6

bulan.

 Gestrinon

Bekerja untuk meningkatkan kadar testosteron dan mengurangi kadar Sex

Hormone Binding Globuline (SHBG), menurunkan nilai serum estradiol ke

tingkat folikular awal, mengurangi kadar LH dan menghambat lonjakan LH.

Diberikan dengan dosis 2,5-10 mg dua sampai tiga kali seminggu selama 6

bulan.

 Gonadotropin Releasing Hormon Agonist (GnRHa)

Menyebabkan sekresi terus menerus FSH dan LH sehingga hipofisis

mengalami disensitiasi dengan menurunnya sekresi FSH dan LH mencapai


keadaan hipogonadotropik hipogonadisme, dimana ovarium tidak aktif

sehingga tidak terjadi siklus haid.

 Aromatase inhibitor

Berfungsi untuk menghambat perubahan C19 androgen menjadi C18

estrogen.

 Anti prostaglandin

Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan kadar prostaglandin di cairan

peritoneum dan lesi endometriosis pada wanita dengan endometriosis.

Sehingga obat anti inflamasi non steroid banyak digunakan dalam

penatalaksanaan nyeri terkait endometriosis.


Gambar 2. Medical Treatment Endometriosis

b) Pembedahan

Berfungsi untuk menghilangkan gejala, meningkatkan kesuburan,

menghilangkan bintik-bintik dan kista endometriosis serta menahan laju

kekambuhan.
 Pembedahan konservatif

Bertujuan untuk mengangkat semua sarang endometriosis dan melepaskan

perlengketan dan memperbaiki kembali struktur anatomi reproduksi.

Sarang endometriosis dibersihkan dengan eksisi, ablasi kauter, ataupun

laser. Sementara itu kista endometriosis < 3 cm di drainase dan di kauter

dinding kist, kista > 3 cm dilakukan kistektomi dengan meninggalkan

jaringan ovarium yang sehat. Dapat dilakukan dengan cara laparotomi atau

laparoskopi.

 Pembedahan radikal

Dilakukan dengan cara histerektomi dan bilateral salfingo-oovorektomi.8

Dan selanjutnya diberikan terapi hormonal setelah oovorektomi dengan

memberikan estrogen.

 Pembedahan simtomatik

Dilakukan dengan cara pre-sacral neurectomy atau LUNA (Laser

Uterosacral Nerve Ablation).Dengan pembedahan ini diharapkan

terputusnya saraf sensoris sehingga nyeri akan berkurang. Sementara PSN

akan melibatkan pemutusan jalur persarafan yang lebih banyak

dibandingkan LUNA

 Peritoneal endometriosis

Lesi dapat dibuang selama laparoskopi dengan eksisi dengan gunting,

bipolar coagulation, dan metode laser (CO2 laser,potassium-titany-

phosphate laser dan argon laser).

 Ovarian endometriosis
Endometrioma ovarium dengan ukuran < 3 cm dapat di aspirasi, irigasi

dan di inspeksi dengan ovarian cystoscopy pada lesi intrakistik. Jika > 3

cm harus di aspirasi, diikuti oleh insisi dan membuang dinding kista dari

korteks ovarium.

 Deep rectovaginal dan Rectosigmoidal Endometriosis

Jika pemeriksaan dan persiapan pre-operative terpenuhi, maka eksisi

lengkap pada rectovaginal endometriosis dapat dilakukan. Reseksi

segmental rectosigmoid dapat dilakukan dengan laparotomi, laparoskopi

dengan intracorporeal suturing dan laparoskopi dengan teknik vaginal.


Tabel3. Pengobatan terkini untuk nyeri terkait endometriosis (diadaptasi dari

Stratton dan Berkley)


Gambar 8. Alur Tatalaksana Nyeri pada Endometriosis2

2.9. Prognosis

Sulit disembuhkan kecuali jika seorang wanita telah menopause. Setelah

diberikan bedah konservatif, angka kesembuhan 10-20% per tahun. Jarang terjadi
menjadi ganas. Penanganan endometriosis selain obat obatan juga sebaiknya pola

makan juga diperhatikan karena hal ini dapat membantu kesembuhan penderita.

ADENOMIOSIS

3.1. Definisi & Klasifikasi

Bird et al. (1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi

jinak jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan

pembesaran uterus difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma

endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium

hipertrofik dan hiperplastik. Definisi tersebut masih berlaku hingga sekarang

dengan modifikasi. Adenomiosis adalah keberadaan kelenjar dan stroma

endometrium pada sembarang lokasi di kedalaman miometrium. Isu kedalaman

menjadi penting sebab batas JZ seringkali ireguler, dan adenomiosis harus

dibedakan dengan invaginasi miometrium basalis minimal. Ada dua cara

membedakannya, pertama apakah ada hipertrofi miometrial di sekitar fokus

adenomiotik bila JZ tidak tampak. Kedua, jarak JZ dengan fokus adenomiotik

tidak lebih dari 25% total ketebalan miometrium.

Sathyanarayana (1991) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori

berdasarkan kedalaman lokasi lesi yaitu lesi terbatas pada lapisan basal, lapisan

dalam dan lapisan permukaan.

Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem klasifikasi adenomiosis

sederhana berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus. Pertama, hiperplasia JZ

sederhana, ketebalan JZ ≥8 mm tetapi ˂12 mm pada wanita berusia ≤35 tahun.


Kedua, adenomiosis parsial atau difus, ketebalan JZ ≥12 mm, fokus miometrial

berintensitas sinyal tinggi, dan melibatkan komponen di luar miometrium <⅓, <⅔

atau >⅔. Dan ketiga, adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan

intensitas sinyal rendah pada semua sekuens MRI.

Secara tradisional, diagnosis histologis adenomiosis ditegakkan ketika

ditemukannya kelenjar & stroma endometrium > 4 mm di bawah endomyometrial

junction. Sedangkan menurut Zaloudek & Norris, disebut adenomiosis jika jarak

antara batas bawah endometrium dengan daerah miometrium yang terkena + 2,5

mm. Adenomiosis sub-basalis diartikan sebagai invasi minimal kelenjar

endometrium < 2 mm di bawah stratum basalis endometrium.

Menurut Hendrickson & Kempson, disebut adenomiosis jika lebih dari

sepertiga total ketebalan dinding uterus yang terkena. Sedangkan Ferenczy tetap

mempertahankan pendapatnya bahwa diagnosis adenomiosis jika jarak antara

endomyometrial junction dengan fokal adenomiosis terdekat > 25% total

ketebalan miometrium.

Siegler & Camilien mengelompokkan adenomiosis berdasarkan

kedalaman penetrasi ke dalam miometrium, yaitu:

· Derajat 1, mengenai 1/3 miometrium (Adenomiosis superfisial)

· Derajat 2, mengenai 2/3 miometrium

· Derajat 3, mengenai seluruh miometrium (Deep adenomyosis)


Selanjutnya adenomiosis juga dibagi berdasarkan jumlah pulau-pulau

endometrium pada pemeriksaan histologi menjadi ringan (1-3), sedang (4-9) &

berat (>10).

3.2. Epidemiologi

Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur lain

dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria

diagnostik yang dipakai . Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari 10% .

Studi di Nepal oleh Shrestha et al. (2012) melaporkan insidens 23,4% pada 256

spesimen histerektomi. Jauh sebelumnya, sebuah studi di Itali oleh Parazzini et

al. (1997) melaporkan insidens serupa sekitar 21,2% pada 707 wanita yang

menjalani histerektomi atas berbagai indikasi. Meskipun insidensnya lumayan

tinggi, tetapi studi epidemiologi seputar adenomiosis masih sangat jarang.

Telah disinggung pada bagian pendahuluan bahwa perkembangan

teknologi memungkinkan diagnosis adenomiosis preoperatif sehingga eksplorasi

hubungannya dengan infertilitas dapat dilakukan. De Souza et al. melaporkan

insidens 54% hiperplasia JZ pada wanita subfertil dengan keluhan menoragi dan

dismenore. Bukti lain melaporkan kehamilan pada wanita infertil setelah diterapi

adenomiosis dengan agen GnRH agonis. Penelitian terbaru oleh Maubon et al.

(2010) melibatkan 152 pasien in vitro fertilisation (IVF) untuk menilai pengaruh

ketebalan JZ uterus yang diukur dengan MRI terhadap keberhasilan implantasi,

dilaporkan bahwa peningkatan ketebalan JZ uterus berkorelasi signifikan dengan

kegagalan implantasi pada IVF. Kegagalan implantasi terjadi pada 95,8% pasien

dengan JZ 7-10 mm versus 37,5% pada subjek lain.


3.3. Faktor Risiko

Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara

lain usia antara 40-50 tahun, multipara, riwayat hiperplasia endometrium, riwayat

abortus spontan, dan polimenore. Sedangkan usia menarke, usia saat partus

pertama kali, riwayat abortus provokatus, riwayat seksio sesarea, endometriosis,

obesitas, menopause, panjang siklus dan lama haid, penggunaan kontrasepsi oral

dan IUD dilaporkan tidak berkaitan dengan adenomiosis.

Paritas dan usia merupakan faktor risiko yang signifikan untuk

adenomiosis. Secara khusus, hampir 90 persen kasus pada perempuan parous dan

hampir 80 persen berkembang pada wanita di usia empat puluhan dan lima

puluhan.

3.4. Histologi

Junctional zone (JZ) pada lapisan terdalam miometrium atau disebut juga

archimetra memiliki karakter khas yang membedakannya dengan tautan lain,

berperan sebagai membran protektif lemah dan memungkinkan kelenjar

endometrium berkontak langsung dengan miometrium. MRI T2-weighted

menunjukkan tiga lapisan berbeda pada uterus wanita usia produktif : (1) lapisan

dalam, mukosa endometrium, intensitas tinggi (2) lapisan intermediet, JZ (3) dan

lapisan serosa.

Penelitian terkini berhasil mengungkap sifat dan fungsi JZ. Zona tersebut bersifat

hormone-dependent sehingga mengalami perubahan ketebalan secara siklis

menyerupai endometrium. Karakter itu pula yang memicu timbulnya peristaltik


uterus di luar kehamilan. Lapisan miometrium pasca menopause tampak kabur

pada MRI akibat supresi aktivitas ovarium atau pemberian analog GnRH.

3.5. Patofisiologi

3.5.1 Anatomi

Pada pemeriksaan kotor, biasanya terdapat pembesaran uterus secara

menyeluruh, tetapi pembesarannya jarang melebihi kehamilan 12 minggu. Kontur

permukaan halus dan teratur, tekstur rahim melunak, dan kemerahan warna

miometrium seperti pada umumnya. Padapotongan ,permukaan rahim biasanya

memperlihatkan gambaran spons dengan perdarahan fokal.

Gambar 2.1 Adenomyosis. A. Gross bivalved uterine specimen. Note the spongy texture

of this uterus with adenomyosis.Gambar 2.2B. Microscopically benign endometrial glands

(arrows) and stroma infiltrate deeply into the myometrium. (Courtesy of Dr. Raheela Ashfaq.)

3.5.2 Patologi Anatomi


Teori yang paling banyak dipakai mengenai perkembangan adenomiosis

menggambarkan invaginasi ke bawah lapisan basalis endometrium dalam ke

miometrium.

Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam

miometrium masih belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara fisiologis

berproliferasi secara lebih aktif dibandingkan lapisan basalis. Hal ini

memungkinkan lapisan fungsional menjadi tempat implantasi blastokista

sedangkan lapisan basalis berperan dalam proses regenerasi setelah degenerasi

lapisan fungsional selama menstruasi. Selama periode regenerasi kelenjar pada

lapisan basalis mengadakan hubungan langsung dengan sel-sel berbentuk

gelondong pada stroma endometrium.

Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi dari

stratum basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa dilihat adanya

hubungan langsung antara stratum basalis endometrium dengan adenomiosis di

dalam miometrium. Di daerah ekstra-uteri misalnya pada plika rektovagina,

adenomiosis dapat berkembang secara embriologis dari sisa duktus Muller.

Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada

masih harus dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas mitosis

menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA & siliogenesis di

lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan basalis. Lapisan fungsional

sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai sumber

produksi untuk regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional

saat menstruasi. Pada saat proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis
berhubungan langsung dengan sel-sel stroma endometrium yang membentuk

sistem mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran sitoplasma

pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar endometrium

adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam studi invitro menunjukkan

sel-sel endometrium memiliki potensial invasif dimana potensial invasif ini bisa

memfasilitasi perluasan lapisan basalis endometrium ke dalam miometrium.

Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu

menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih

mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada endometrium

yang normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH.

Hal ini mungkin meskipun belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor

epitel endometrium berkaitan dengan kemampuan untuk menembus miometrium

dan membentuk fokal adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan

ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada karsinoma endometrii dibandingkan

kelenjar endometrium yang normal seperti halnya yang ditemukan pada trofoblas

invasif dibandingkan yang non-invasif pada koriokarsinoma.

Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan hasil

yang tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor

progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan

ekspresi reseptor progesterone yang lebih tinggi dibandingkan estrogen. Dengan

menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi

baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun

adenomiosis.
Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium

yang menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas evidensnya,

hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi semenjak ditemukan

banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan adenomiosis.

Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan dalam perkembangan adenomiosis

sebagaimana halnya endometriosis. Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap

lingkungan estrogen dengan pemberian Danazol menyebabkan involusi dari

endometrium ektopik yang dikaitkan dengan gejala menoragia & dismenorea.

Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti karsinoma

endometri, endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat

reseptor Estrogen, namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi

androgen menjadi estrogen. Prekursor utama androgen, Andronostenedione,

dikonversi oleh aromatase menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu

Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi

Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan adenomiosis. Nantinya Estrone akan

dikonversi lagi menjadi 17β-estradiol yang meningkatkan tingkat aktivitas

estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi, akan menstimulasi

pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen. mRNA sitokrom

P450 aromatase (P450arom) merupakan komponen utama aromatase yang

terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir secara

imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.

Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada

manusia masih dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas


mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA &

ciliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan basalis.

Lapisan fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan

basalis sebagai sumber produksi untuk regenerasi endometrium akibat degenerasi

dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada saat proses regenerasi, sel-sel epitel

dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan sel-sel stroma endometrium

yang membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran

sitoplasma pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar

endometrium adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam studi invitro

menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial invasif dimana potensial

invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan basalis endometrium ke dalam

miometrium.

Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu

menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih

mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada endometrium

yang normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH.

Hal ini mungkin meskipun belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor

epitel endometrium berkaitan dengan kemampuan untuk menembus miometrium

dan membentuk fokal adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan

ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada Carsinoma endometrii dibandingkan

kelenjar endometrium yang normal seperti halnya yang ditemukan pada trofoblas

invasif dibandingkan yang non-invasif pada Choriocarsinoma.


Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan hasil

yang tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor

progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan

ekspresi reseptor progesterone yang lebih tinggi dibandingkan estrogen. Dengan

menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi

baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun

adenomiosis.

Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium

yang menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas evidensnya,

hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi semenjak ditemukan

banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan adenomiosis.

Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan dalam perkembangan adenomiosis

sebagaimana halnya endometriosis. Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap

lingkungan estrogen dengan pemberian Danazol menyebabkan involusi dari

endometrium ektopik yang dikaitkan dengan gejala menoragia & dismenorea.

Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti Carsinoma

endometrii, endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat

reseptor Estrogen, namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi

androgen menjadi estrogen. Prekursor utama androgen, Andronostenedione,

dikonversi oleh aromatase menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu

Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi Estrone,

yang hanya terdapat dalam jaringan adenomiosis. Nantinya Estrone akan

dikonversi lagi menjadi 17β-estradiol yang meningkatkan tingkat aktivitas


estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi, akan menstimulasi

pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen.

Gambar 2.3 skematis mekanisme pertumbuhan adenomiosisyang estrogen-

dependent.

Di dalam jaringan terdapat reseptor estrogen, aromatase & sulfatase.

Produksi estrogen lokal meningkatkan konsentrasi estrogen yang bersama-sama

dengan estrogen dalam sirkulasi, merangsang pertumbuhan jaringan yang

termediasi oleh reseptor estrogen.

mRNA sitokrom P450 aromatase (P450arom) merupakan komponen

utama aromatase yang terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom

terlokalisir secara imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.

PERKEMBANGAN ENDOMETRIOSIS & ADENOMIOSIS


Hiperperistaltik uterus mempunyai peranan penting dalam perkembangan

endometriosis & adenomiosis. Hiperperistaltik dapat dipicu oleh peningkatan

kadar estradiol perifer di dalam darah. Namun, estradiol yang memicu

hiperperistaltik ini dapat juga berasal dari endometrium itu sendiri. Adanya

ekspresi P450 aromatase selama fase luteal, dimana lapisan basalis endometrium

merupakan kelenjar endokrin yang memproduksi estrogen dari prekursor

androgen. Pada wanita dengan adenomiosis dan endometriosis, konsentrasi

estrogen dalam darah saat haid lebih tinggi dibandingkan wanita normal.

Konsep tentang hiperestrogenisme archimetrium non-ovarium merupakan

salah satu kejadian awal dalam tahap perkembangan endometriosis yang

dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lingkungan seperti perusak endokrin dan

konsumsi makanan, tetapi hal ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Pada

penelitian dengan hewan coba, dioxin meningkatkan aktivitas peristaltik tuba dan

diaktifkan melalui reseptor estrogen. Faktor keturunan juga diteliti pada koloni

monyet Rhesus yang menunjukkan ada kaitannya dengan endometriosis.

Pada gambar berikut menerangkan konsep perkembangan endometriosis

dan adenomiosis. Archimiometrium distimulasi oleh peningkatan lokal dari

estradiol dan oksitosin endometrium beserta reseptornya. Kejadian yang

menyebabkan hiperestrogenisme archimetrium sampai saat ini belum diketahui.

Diduga karena peranan P450 aromatase yang karena aktivasi P450 aromatase

menyebabkan peningkatan produksi lokal dari estrogen. Hiperestrogenisme

archimetrium menghasilkan hiperperistaltik uterus dan peningkatan tekanan

uterus.
Gambar 2.4 skema patofisiologi endometriosis dan adenomiosis

Hiperperistaltik menyebabkan trauma mekanik sehingga terjadi

peningkatan deskuamasi fragmen endometrium basalis dan juga terjadi

peningkatan kapasitas transport uterus retrograde sehingga terjadi diseminasi

fragmen-fragmen tersebut melalui tuba. Fragmen-fragmen dapat berimplantasi

dimanapun di dalam cavum peritoneum. Setelah proses implantasi, terjadi

proliferasi dan pertumbuhan infiltrative yang tergantung dari potensial

proliferative dari fragmen basalis masing-masing. Gambaran endometriosis pelvis

yang pleimorfik merupakan rantai yang panjang sejak gangguan awal pada tingkat

archimetrium sampai berkembangnya lesi endometriosis.

Dalam perkembangan adenomiosis, rantai kejadian ini lebih pendek.

Adanya hiperperistaltik dan peningkatan tekanan uterus menyebabkan dehisiensi

miometrium yang dapat terinfiltasi oleh endometrium basalis. Terbentuklah


adenomiosis fokal atau difus. Adenomiosis fokal biasanya berada di dinding

anterior dan atau posterior, namun terutama di dinding posterior dan tidak pernah

berada di dinding lateral atau corpus uteri.

3.6. Diagnosis

Diagnosis biasanya didasarkan pada temuan histologis spesimen bedah,

meskipun salah satu bentuk dapat diduga secara klinis. Dengan demikian,

dilaporkan insiden di spesimen histerektomi bervariasi tergantung pada kriteria

histologis serta tingkat sectioning, tetapi berkisar antara 20 sampai 60 persen

(Bird, 1972; Parazzini, 1997).

Adanya riwayat menorragia & dismenorea pada wanita multipara dengan

pembesaran uterus yang difus seperti hamil dengan usia kehamilan 12 minggu

dapat dicurigai sebagai adenomiosis. Dalam kenyataannya, diagnosis klinis

adenomiosis seringkali tidak ditegakkan (75%) atau overdiagnosis. Sehingga

adanya kecurigaan klinis akan adenomiosis dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan

pencitraan berupa USG transvaginal dan MRI.

Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal

ini disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga

ditemukan pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun

endometriosis. Dulu, diagnosis adenomiosis hanya dapat ditegakkan secara

histologis setelah dilakukan histerektomi. Dengan kemajuan dalam tehnik


pencitraan, diagnosis prehisterektomi bisa ditegakkan dengan tingkat akurasi yang

tinggi.

Pencitraan mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien yang

dicurigai adenomiosis secara klinis. Pertama, untuk menegakkan diagnosis dan

diagnosis diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang mirip seperti leiomioma.

Kedua, beratnya penyakit dapat disesuaikan dengan gejala klinisnya. Ketiga,

pencitraan dapat digunakan untuk monitoring penyakit pada pasien dengan

pengobatan konservatif. Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang

dicurigai adenomiosis yaitu Histerosalpingografi (HSG), USG transabdominal,

USG transvaginal dan MRI.

Gambaran karakteristik utama pada HSG berupa daerah yang sakit dengan

kontras intravasasi, meluas dari cavum uteri ke dalam miometrium. HSG memiliki

sensitivitas yang rendah.

Kriteria diagnostik dengan USG transabdominal yaitu uterus yang

membesar berbentuk globuler, uterus normal tanpa adanya fibroid, daerah kistik

di miometrium dan echogenik yang menurun di miometrium. Bazot dkk pada

2001 melaporkan bahwa USG transabdominal memiliki spesifisitas 95%,

sensitivitas 32,5% dan akurasi 74,1% untuk mendiagnosis adenomiosis. USG

transabdominal memiliki kapasitas diagnostik yang terbatas untuk adenomiosis

terutama pada wanita yang terdapat fibroid.

Biasanya USG transabdominal dikombinasikan dengan USG transvaginal

yang menghasilkan kemampuan diagnostik yang lebih baik. Kriteria diagnostik


dengan USG transvaginal untuk adenomiosis yaitu tekstur miometrium yang

heterogen/distorsi, echotekstur miometrium yang abnormal dengan batas yang

tidak tegas, stria linier miometrium dan kista miometrium. Bazot dkk melaporkan

sensitivitas 65%, spesifisitas 97,5% dan tingkat akurasi 86,6% dengan USG

transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis dimana kriteria yang paling sensitif

& spesifik untuk adenomiosis adalah adanya kista miometrium. MRI merupakan

modalitas pencitraan yang paling akurat untuk evaluasi berbagai keadaan uterus.

Hal ini karena kemampuannya dalam diferensiasi jaringan lunak. MRI dapat

melihat anatomi internal uterus yang normal dan monitoring berbagai perubahan

fisiologis. Menurut Bazot dkk, kriteria MRI yang paling spesifik untuk

adenomiosis yaitu adanya daerah miometrium dengan intensitas yang tinggi dan

penebalan junctional zone >12 mm.

Beberapa studi telah membandingkan akurasi pemeriksaan MRI dengan

USG transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis. Dalam studi-studi terdahulu

menunjukkan tingkat akurasi yang lebih tinggi pada MRI dibandingkan USG

transvaginal. Namun dalam studi-studi terakhir dikatakan tidak ada perbedaan

tingkat akurasinya.

Kanker Antigen 125

Selama bertahun-tahun, diagnosis adenomiosis dalam banyak kasus telah dibuat

secara retrospektif dengan histerektomi. serum dari CA125 tumor marker telah

dievaluasi sebagai alat diagnostik tetapi belum terbukti bermanfaat. Meskipun

tingkat CA125 biasanya meningkat pada wanita dengan adenomiosis, mereka juga
dapat meningkat pada orang-orang dengan leiomioma, endometriosis, infeksi

panggul, dan keganasan panggul.

Sonografi

Karena sonografi transabdominal tidak konsisten mengidentifikasi perubahan

miometrium pada adenomiosis, pencitraan dengan TVS lebih disukai, dan

pencitraan MR mungkin lebih banyak mendapat pujian.

Di tangan sonographers berpengalaman, temuan adenomiosis difus dapat meliputi:

(1) anterior atau posterior dinding miometrium tampak lebih tebal daripada yang

lain, (2) heterogenitas miometrium, (3) kista hypoechoic miometrium kecil,

mewakili kelenjar cystic dalam pusat endometrium ektopik , dan (4) proyeksi

lurik linear membentang dari endometrium ke dalam miometrium.

Adenomiosisfokal muncul sebagai nodul diskrit hypoechoic yang dapat dibedakan

dengan leiomioma oleh pinggiran/ batas yang susahdijelaskan,lebihberbentuk

elips daripada bentuk globular, efek massa minimal pada jaringan sekitarnya,

kurangnya kalsifikasi, dan adanya kista anechoic dengandiameter bervariasi.

Karena temuan ini mungkin susah, pengalaman operator mempengaruhi akurasi

diagnostik berpengaruh lebih dari kebanyakan patologi panggul lainnya. Selain

itu, adanya penyakit bersamaan rahim lainnya seperti leiomioma atau kanker

endometrium juga membatasi akurasi. Dalam pengaturan ini, MR pencitraan telah

terbukti sangat akurat untuk diagnosis (lihat Gambar. 2-26).

3.7. GambaranKlinis
Sekitar sepertiga dari wanita dengan adenomiosis memiliki gejala.

keparahan mereka berkorelasi dengan meningkatnya jumlah fokus ektopik dan

luasnya invasi (Levgur, 2000; Nishida, 1991; Sammour, 2002). Biasanya terdapat

gejala Menorrhagia dan dismenore. Menorrhagia mungkin akibat dari peningkatan

dan vaskularisasi abnormal dari lapisan endometrium. Dismenore diduga

disebabkan oleh peningkatan produksi prostaglandin ditemukan dalam jaringan

adenomyotic dibandingkan dengan miometrium normal. Mungkin 10 persen

mengeluhkan dispareunia. Karena adenomiosis biasanya berkembang pada wanita

parous tua di 40-an dan 50-an, infertilitas bukanlah keluhan umum .

Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga

menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif. Dalam sebuah

studi dimana telah ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis yang dibuat dari

spesimen histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki gejala yang khas. Gejala

adenomiosis yang umum yaitu menorragia, dismenorea dan pembesaran uterus.

Gejala seperti ini juga umum terjadi pada kelainan ginekologis yang lain. Gejala

lain yang jarang terjadi yaitu dispareunia & nyeri pelvis yang kronis atau terus-

menerus.

Tabel 3.1 Presentasi klinis adenomiosis

Gejala Klinis Adenomiosis

1. Asimtomatis

Ditemukan tidak sengaja (pemeriksaan abdomen atau pelvis; USG transvaginal


atau MRI;

bersama dengan patologi yg lain)

2. Perdarahan uterus abnormal

Dikeluhkan perdarahan banyak, berhubungan dengan beratnya proses

adenomiosis

(pada 23-82% wanita dengan penyakit ringan – berat)

Perdarahan ireguler relatif jarang, hanya terjadi pada 10% wanita dengan

adenomiosis

3. Dismenorea pada >50% wanita dengan adenomiosis

4. Gejala penekanan pada vesica urinaria & usus dari uterus bulky (jarang)

5. Komplikasi infertilitas, keguguran, hamil (jarang)

Perdarahan banyak berhubungan dengan kedalaman penetrasi dari kelenjar

adenomiosis ke dalam miometrium dan densitas pada gambaran histologis dari

kelenjar adenomiosis di dalam miometirum. Kedalaman adenomiosis dan

hubungannya dengan perdarahan banyak menentukan pilihan strategi

penatalaksanaannya. McCausland menunjukkan bahwa dari biopsi reseksi

endometrium, kedalaman penetrasi adenomiosis ke dalam miometrium

berhubungan dengan jumlah perdarahan banyak yang dilaporkan. Sehingga pada

adenomiosis superfisial dilakukan reseksi atau ablasi endometrium. Sedangkan

pada kasus adenomiosis yang lebih dalam atau dengan perdarahan banyak yang

berlanjut, perlu dilakukan penatalaksanaan bedah konvensional yaitu histerektomi.


2.8 Diagnosis Banding

Gejala mungkin seperti pada penderita leiomioma, kanker endometrium,

endometriosis, dan penyakit radang panggul kronis. Kanker endometrium,

hipertrofi miometrium, atau kontraksi uterus mungkin tampak seperti ademiosis

difus pada pencitraan sonografi. Adenomiosis fokal dapat memberikan

karakteristik sonografi leiomyomas.

3.8. Penatalaksanaan

Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi reproduksi

selanjutnya. Dismenorea sekunder yang diakibatkan oleh adenomiosis dapat

diatasi dengan tindakan histerektomi, akan tetapi perlu dilakukan intervensi

noninvasif terlebih dahulu. Obat-obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), obat

kontrasepsi oral dan progestin telah menunjukkan manfaat yang signifikan.

Penanganan adenomiosis pada prinsipnya sesuai dengan protokol penanganan

endometriosis.

a. Terapi Hormonal

Pemberian terapi hormonal pada adeomiosis tidak memberikan hasil yang

memuaskan. Tidak ada bukti klinis yang menunjukkan adanya manfaat terapi

hormonal dapat mengatasi infertilitas akibat adenomiosis. Pemberian obat

hormonal hanya mengurangi gejala dan efeknya akan hilang setelah pemberian

obat dihentikan. Obat hormonal yang paling klasik adalah gonadotrophin

releasing hormone agonist(GnRHa), yang dapat dikombinasikan dengan terapi

operatif. Mekanisme kerja GnRHa adalah dengan menekan ekspresi sitokrom

P450, suatu enzim yang mengkatalisis konversi androgen menjadi estrogen. Pada
pasien dengan adenomiosis dan endometriosis enzim ini diekpresikan secara

belebihan.

b. Terapi Operatif

Sampai saat ini histerektomi merupakan terapi definitif untuk

adenomiosis. Indikasi operasi antara lain ukuran adenomioma lebih dari 8 cm,

gejala yang progresif seperti perdarahan yang semakin banyak dan infertilitas

lebih dari 1 tahun walaupun telah mendapat terapi hormonal konvensional. Suatu

teknik operasi baru telah dipublikasikan oleh Osada pada tahun 2011. Dengan

teknik adenomiomektomi yang baru ini, jaringan adenomiotik dieksisi secara

radikal dan dinding uterus direkonstruksi dengan teknik triple flap. Teknik ini

diklaim dapat mencegah ruptur uterus apabila pasien hamil. Dalam penelitian

tersebut, dari 26 pasien yang mengharapkan kehamilan, 16 di antaranya berhasil

dan 14 dapat mempertahankan kehamilannya hingga aterm dengan bayi sehat

tanpa penyulit selama kehamilan. Akan tetapi teknik ini belum diterima secara

luas karena masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.


BAB III

3.1.Hubungan antara Endometriosis dengan Fertilitas

Endometriosis mempunyai efek negative pada fertilitas yang menyebabkan

kejadian infertilitas meningkat. Pada anatominya, penderita endometriosis akan

mengalami gangguan kesuburan karena terjadi perlengketan pelvis dan panggul

terasa terganggu, yang akhirnya akan mengganggu pengeluaran oosit, mengurangi

motilitas sperma, menyebabkan kontraksi myometrium, serta merusak fertilitas

dan transportasi embrio. Beberapa yang dapat mengganggu fertilitas pada kasus

endometriosis sebagai berikut:

a. Gangguan Pada Gamet dan Embrio

Perubahan produksi oosit dan ovulasi terlihat pada endometriosis dan

hubungan dengan sel-sel inflamasi yang akan meningkatkan cairan

peritoneal dan endometrioma. Inflamasi yang dihasilkan dari adanya

endometrioma telah terbukti mempengaruhi produksi oosit dan ovulasi

dalam ovarium yang terkena. Terjadi gangguan fase luteal pada

endometriosis yang mungkin timbul dari disregulasi reseptor

progesteron serta efek pada progesteron agen target yang pada

akhirnya menyebabkan penurunan reseptor endometrium. Kualitas dan

fungsi sperma akan menurun akibat dari inflamasi yang

mempengaruhi cairan peritoneal dan peningkatan aktivitas makrofag.

Peningkatan jumlah sel sel inflamasi dalam cairan peritoneal tidak

hanya merusak oosit dan sperma tetapi juga telah terbukti memiliki

efek toksik pada embrio. Selain itu penelitian telah menunjukkan


ekspresi menyimpang dari glutation peroksidase dan katalase dalam

endometrium pasien dengan endometriosis dan dapat diduga bahwa

ada juga peningkatan radikal bebas endometrium dan kemudian

pengaruh negatif terhadap kelangsungan hidup embrio .

b. Gangguan PadaTuba Fallopi dan Transportasi Embrio

Transportasi gamet juga dipengaruhi oleh adanya inflamasi dan terjadi

peningkatan sitokin pada endomtriosis. Peradangan merusak fungsi

tuba dan mengurangi motilitas tuba. Kontraksi myometrium yang

berhubungan dengan endometriosis juga dapat megganggu transportasi

gamet dan implantasi embrio.

c. Gangguan pada endometrium

Selain efek inflamasi, ada semakin banyak bukti yang mendukung

endometriosis mempengaruhi endometrium dan menyebabkan

kegagalan inplantasi, namun mekanisme sinyal seluler atau molekul

dari lesi ke rahim tidak diketahui. Banyak gen yang secara acak

terdapat dalam endometrium wanita dengan endometriosis. Peneliti

menunjukkan bahwa sel-sel berpindah dari jaringan endometriosis di

organ lain ke endometrium.

Hasil pemeriksaan Green Fluorescent Protein (GFP) dari

endometrium yang ditanamkan ke dalam rongga peritonium ditemukan

GFP + dari rongga peritonium pada endometrium di lapisan stratum

basalis. Selain itu, ekspresi gen dari GFP+ menunjukkan peningkatan

marker di seluruh sel epitel dan terjadi regulasi di gen Wnt7a

bersama dengan 17 gen lain dalam jalur yang sama. Gen Wnt7a
bersama sangat penting untuk pertumbuhan uterus yang diinduksi oleh

estrogen pada tikus percobaan dengan cara merangsang sel epitel dan

stroma. Menurut teori Lio menyatakan bahwa aktivitas yang

menyimpang dari jalur gen Wnt7a mengganggu perkembangan

endometrium selama implantasi. Peningkatan ekspresi gen Win 7a di

luar yang endometrium kemungkinan mengganggu sel epitel dan

stroma normal yang diperlukan dalam proses kehamilan.

Diperkirakan ada dua arah pergerakan sel dari jaringan endometrium

normal dan jaringan endometriosis. Sel dari jaringan endometriosis

cenderung kembali ke jaringan endometrium normal dan

menimbulkan rangsangan sehingga terjadi ekspresi gen yang tidak

beraturan dan kegagalan implantasi.

Studi lain mengusulkan bahwa eksperimen ekspresi gen yang

menyimpang di jaringan endometrium normal dan jaringan

endometriosis mungkin terkait dengan infertilitas atau pembentukan

penyakit.

Contoh dari ekspresi gen menyimpang adalah gen Hoxa10 atau

Hoxa10. Gen ini terlibat langsung dalam embriogenesis pada rahim

dan kemudian dalam regenarasi endometrium pada setiap tikus

menstruasi. Ekspresi gen ini diperlukan dalam proses implantasi pada

endometrium. Tikus yang diberi gen hoxa 10 akan mengalami

gangguan implantasi endometrium total. Demikian pula wanita dengan

tingkat ekspresi gen hoxa 10 yang lebih rendah maka implantasi

cenderung terganggu. Pada wanita ekspresi siklus endometrium dari


gen ini memuncak selama masa implantasi karena adanya respon

terhadap estrogen dan progesterone. Perempuan dengan endometriosis

tidak mengalami peningkatan pada fase mid luteal hal ini merupakan

salah satu penyebab infertilitas.

3.2.Hubungan antara Adenomiosis dengan Fertilitas

Seperti yang telah ditekankan, munculnya teknik pencitraan

resolusi tinggi telah sepenuhnya merevolusi kemampuan kita untuk

mengidentifikasi adanya bentuk adenomiosis yang lebih ringan dan,

oleh karena itu, dapat untuk mengeksplorasi kemungkinan hubungan

dengan infertilitas.

Meskipun tidak terdapat bukti epidemiologi, tersedia data tidak

langsung dan dapat memberikan kasus yang baik untuk hubungan

antara adenomiosis dan infertilitas. Sudah lima belas tahun yang lalu,

de Souza dkk. melaporkan kejadian dari 54% hiperplasia JZ

myometrium (tanda yang jelas dari adenomiosis) pada pasien subfertil

yang mengeluhkan menoragia atau dismenorea. Usia rata-rata wanita

ini adalah 34 tahun dan sekitar 70% dari mereka adalah nullipara.

Beberapa penelitian telah mengkonfirmasi karya awal de Souza:

penyakit ini dapat muncul bahkan pada wanita muda dan dikaitkan

dengan keduanya, baik endometriosis pelvis maupun infertilitas dan

oleh karena itu hal ini mungkin merupakan faktor yang berkontribusi.

Terlebih karena sejak hari ini, di negara-negara barat, terdapat

peningkatan jumlah wanita yang menunda kehamilan pertama mereka

sampai usia akhir 30-an atau awal 40-an dan, sebagai akibatnya, lebih
banyak wanita ditemukan memiliki adenomiosis di klinik fertilitas

selama pemeriksaan diagnostik mereka .

Beberapa bukti dari asosiasi juga diperoleh dari laporan

wanita infertil yang berhasil memperoleh kehamilan setelah dirawat

oleh karena adenomiosis. Agen pertama yang digunakan untuk tujuan

ini adalah GnRH-A dan pada beberapa laporan kasus atau seri kecil

yang telah diterbitkan dengan pemberian analog saja, atau yang

dikombinasi dengan operasi. Dalam hubungan ini, telah ditemukan

bahwa, dalam siklus IVF, evaluasi MR dari ketebalan zona junctional

adalah faktor prediktif terbaik dari kegagalan implantasi, dalam arti

bahwa peningkatan diameter JZ berbanding terbalik dengan tingkat

implantasi. Bahkan, penebalan JZ merupakan faktor independen untuk

kegagalan implantasi embrio, terutama dari kualitas embrio, subtipe

infertilitas, atau usia pasien. Pengamatan ini memiliki implikasi klinis

yang penting, yaitu: dengan adanya JZ yang lebih tebal dari 10mm,

perlu untuk mendiskusikan dengan pasien apakah akan segera

melanjutkan dengan IVF, atau untuk menunda prosedur dan

melakukan perawatan dengan analog GnRH, yaitu prosedur yang

memiliki potensi untuk mengurangi ketebalan JZ sebagaimana dinilai

oleh MR secara berturut-turut. Hasil awal dapat mengkonfirmasi

peningkatan hasil IVF setelah terapi semacam ini. Selain itu, pra-

perawatan berkepanjangan dengan GnRH-A sebelum IVF telah

dilaporkan dapat meningkatkan tingkat kehamilan klinis pada wanita

infertil dengan endometriosis. Meskipun, tidak terdapat data pada


wanita dengan adenomiosis, tampaknya masuk akal untuk

menyimpulkan bahwa dalam kasus ini pra-perawatan juga mungkin

bermanfaat.

Analog dapat menawarkan banyak keuntungan sebagai

pengobatan untuk infertilitas terkait adenomiosis, melebihi dan di atas

kondisi hipoestrogenik yang mereka hasilkan: terapi dengan GnRHA

menurunkan ekspresi aromatase sitokrom P450 pada endometrium

eutopik pada wanita dengan adenomiosis dan endometriosis dan

diketahui dengan baik bahwa enzim ini diekspresikan berlebih pada

pasien dengan kondisi tersebut. Pada wanita dengan adenomiosis,

GnRH-A dapat menekan pembentukan peroxynitrite, senyawa yang

diketahui menyebabkan cedera jaringan.

Terdapat beberapa laporan pada penggunaan GnRH-A dalam

pengobatan infertilitas terkait adenomiosis; kasus pertama, berakhir

dengan keguguran, kembali pada tahun 1993; kemudian diikuti pada

tahun 1994 dengan laporan pertama kehamilan yang sukses. Laporan

dari serangkaian kecil pengobatan kombinasi (GnRH-A plus operasi)

yang sukses pada wanita dengan adenomiosis yang mencari kehamilan

juga telah muncul. Bukti tambahan yang menghubungkan antara

adenomiosis dan infertilitas berasal dari penelitian kecil oleh Jepang

yang menggunakan sistem intrauterin yang melepaskan danazol, di

mana tiga dari empat wanita infertil hamil setelah dilakukan

pengangkatan. Pilihan kedua, yang lebih baru ditawarkan oleh

levonorgestrelreleasing IUS, yang dikenal sebagai Mirena, meskipun


— sejauh ini — hal itu hanya digunakan untuk menghilangkan gejala

yang berhubungan dengan adenomiosis. Pada akhirnya, operasi juga

telah digunakan untuk mengembalikan fertilitas pada wanita dengan

adenomiosis; teknik bedah konservatif baru yang disebut

"adenomyomectomy" tampaknya menawarkan hasil yang baik

(tingkat kehamilan sekitar 50%).

Pada bagian yang berbeda, terdapat bukti eksperimental yang

menghubungkan adenomiosis dengan infertilitas. Memang, pada kera,

adenomiosis tidak hanya sangat terkait dengan infertilitas primer yang

berlangsung seumur hidup, tetapi juga secara statistik terkait dengan

endometriosis. Pada akhirnya, telah diketahui beberapa kali bahwa

subfamili gen homeoboks bernama Abdominal B (AbdB), terlibat

dalam pengembangan sistem urogenital pada vertebrata. Satokata dkk.

telah melakukan mutasi pada salah satu gen AbdB bernama Hoxa10

pada tikus dan mengamati bahwa homozigot wanita berovulasi secara

normal, tetapi — jika kehamilan terjadi — pada mayoritas besar

hewan itu berakhir dengan kematian semua embrio, dan aborsi terjadi

pada saat gen Hoxa10 harus diekspresikan (2,5 hingga 3,5 hari setelah

koitus). Hal ini membuktikan bahwa ekspresi yang tepat dari gen

Hoxa10 ibu diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup

embrio sebelum berimplantasi, dan, baru-baru ini, telah terbukti

bahwa pada wanita dengan adenomiosis, ekspresi gen Hoxa10

menurun selama fase sekretori pada siklus, penjelasan yang mungkin


untuk tingkat implantasi rendah yang diamati pada wanita dengan

adenomiosis [54].

3. Kemungkinan Mekanisme yang Terlibat dalam Adenomiosis

Terkait Infertilitas

Data yang disebutkan di atas tidak hanya mendukung hipotesis bahwa

adenomiosis mungkin terkait dengan infertilitas; mereka juga

menyediakan sejumlah petunjuk mengenai mekanisme mana yang

mungkin terlibat. Memang, kerusakan struktural dan fungsional dari

JZ uterus, serta adanya beberapa protein yang tidak teregulasi dapat

menyebabkan kegagalan implantasi.

Selain itu, sejumlah kondisi lain dapat, setidaknya secara teori,

mengganggu fertilitas: adanya tingkat abnormal dari radikal bebas

intrauterin; perkembangan endometrium yang menyimpang sepanjang

siklus menstruasi, mungkin sebagai konsekuensi dari metabolisme

steroid lokal yang abnormal; kurangnya ekspresi dari beberapa

"marker implantasi"; fungsi gen penting yang berubah untuk

perkembangan embrio.

3.1. Disregulasi Arsitektur dan Fungsi Miometrium

Analisis komparatif yang menarik dari ekspresi protein dalam jaringan

adenomiotik dan pada miometrium normal telah dilakukan oleh Liu et

al., yang menemukan bahwa pada wanita dengan adenomiosis terdapat

12 tempat protein yang tidak teregulasi dan mampu mengidentifikasi

10 dari mereka dengan spektrometri massa. Pada subjek dengan miosit

adenomiosis menunjukkan hipertrofi seluler, dimana sel otot polos


menjadi sangat berbeda dari sel otot polos uteri normal. JZ

menunjukkan hipertrofi seluler dan nukleus, bentuk nukleus dan

mitokondria yang abnormal, dan sejumlah kelainan lain yang dapat

menyebabkan gangguan dalam siklus kalsium normal pada miosit

yang terkena, dengan penurunan kontraksi rhythmic normal

berikutnya. Meskipun terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa

fenomena ini dapat menciptakan kondisi subfertilitas, telah terbukti

bahwa adenomiosis menyebabkan gangguan transportasi sperma yang

cepat, berkelanjutan, dan akurat ke dalam rahim akibat kerusakan

arsitektur normal dari JZ myometrium. Pasien-pasien ini juga

menunjukkan adanya penurunan kapasitas transportasi uterotubal,

yang semakin menurun dengan meningkatnya keparahan penyakit;

juga, gangguan utama transportasi uterotubal telah terdeteksi

menggunakan radionuklida pada wanita dengan adenomiosis difus dan

infertilitas primer. Pada akhirnya, adenomiosis dapat dikaitkan dengan

hilangnya serabut saraf pada antarmuka endometrium-miometrium.

Meskipun tidak ada penjelasan yang pasti untuk peran

penebalan JZ dalam mengurangi tingkat implantasi, hipotesis telah

diajukan bahwa, di bawah pengaruh hormonal yang abnormal,

kelenjar endometrium ektopik dapat memicu reaksi "inflamasi". Hal

ini akan dimediasi oleh sitokin, prostaglandin, atau faktor lainnya

yang masih tidak ditentukan dan akan menentukan proliferasi otot

polos yang, pada gilirannya, akan mengubah kontraksi uterus.


3.2. Perubahan Fungsi Endometrium dan Daya Penerimaan

Dalam endometrium itu sendiri, adanya tingkat konsentrasi radikal

bebas yang abnormal merupakan kemungkinan penyebab infertilitas

pada pasien adenomiosis. Hal ini disebabkan adanya gangguan

keseimbangan antara spesies oksigen reaktif dan antioksidan

menghasilkan stres oksidatif dan lingkungan dengan radikal bebas

yang berlebihan. Pada saatnya, hal ini dapat merusak sel telur yang

dibuahi dan menghambat perkembangan embrio dan kehamilan, dan

Noda dkk. telah menunjukkan bahwa konsentrasi radikal bebas yang

rendah diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang sesuai untuk

perkembangan awal embrio. Dengan adanya tingkat radikal bebas

yang abnormal, embrio akan diserang oleh makrofag yang telah

diaktifkan atau oleh sel T, atau terkena nitrit oksida yang berlebihan,

yang dapat menyebabkan keguguran awal. Sejumlah penelitian telah

berfokus pada enzim yang memproduksi atau menghilangkan radikal

bebas: dua diantaranya sangat menarik dalam konteks ini: xanthine

oxidase (XO) yang menghasilkan superoksida dan superoksida

dismutase (SOD) yang dapat menghilangkan radikal bebas, sambil

menghasilkan radikal hidroksil, hal itu, pada saatnya, dapat

dihilangkan dengan glutathione peroxidase (GPx). Telah dibuktikan

bahwa pada wanita dengan adenomiosis, nitrit oksida sintase (NOS),

XO, SOD, dan tingkat katalase tidak berfluktuasi dan diekspresikan

secara berlebihan; menariknya, sebagaimana telah disebutkan,


administrasi dari GnRH-A menekan ekspresi eNOS dan iNOS serta

pembentukan peroxynitrite pada adenomiosis.

Perubahan ekuilibrium stres oksidatif bukan satu-satunya

mekanisme, di mana lingkungan uterus yang menghambat

perkembangan embrio, dapat diproduksi pada wanita dengan

adenomiosis. Kelainan penting lainnya yang dapat menyebabkan

gangguan implantasi kini telah diidentifikasi: pada wanita dengan

adenomiosis, ada perkembangan endometrium yang menyimpang

sepanjang fase proliferasi, dan hal ini dapat menyebabkan kelainan

pada fase sekresi. Hal ini tampaknya disebabkan karena perubahan

vaskularisasi endometrium, peningkatan faktor regulasi yang terlibat

dalam proliferasi pembuluh darah endometrium dan perubahan marker

molekuler endometrium terhadap inflamasi. Memang, pada subjek

dengan adenomiosis, baik di endometrium eutopik maupun ektopik

terdapat aktivitas yang jauh lebih besar dari faktor pertumbuhan

endotel vaskular (VEGF) dari kepadatan microvessel dan faktor

hypoxia-diinduksi-1alpha. Selain itu, serangkaian kelainan telah

ditemukan dalam sekresi interleukin di kedua endometria eutopik dan

ektopik dari subjek dengan adenomiosis, yang sekali lagi mengarah ke

gangguan pada kejadian awal terkait dengan implantasi. Kelainan ini

melibatkan sekresi interleukin-6 yang tidak semestinya, -8, dan -10.

Kesimpulannya, pada wanita dengan adenomiosis, tampaknya terdapat

respon inflamasi yang abnormal dan mengganggu proses nidasi.


Terdapat mekanisme ketiga di mana perubahan endometrium

dapat menyebabkan kegagalan implantasi, yaitu: metabolisme

intraendometrium yang abnormal. Karena pada adenomiosis, IL-6

diekspresikan berlebih, hal ini dapat menyebabkan peningkatan

ekspresi reseptor estrogen dan, memang, ekspresi isoform yang

berbeda dari reseptor estrogen alpha (ER-α) dan beta (ER-β) serta

progesterone receptor A (PR-A) dan B (PR-B) dimodulasi secara

diferensial dalam uterus dengan adenomiosis dibandingkan dengan

kontrol. Selain itu, pada endometrium subjek dengan adenomiosis

terdapat ekspresi berlebih dari sitokrom P450; fenomena ini

meningkatkan produksi estrogen lokal, dan telah menunjukkan bahwa

ekspresi berlebihan dari aromatase endometrium secara signifikan

menurunkan tingkat kehamilan klinis (dengan jumlah yang sama dari

oosit yang diambil dan embrio yang diganti sehubungan dengan

kontrol). Pada para wanita ini juga terdapat kelainan pada reseptor

progesteron dan kehilangan kegunaannya; perubahan keseimbangan

antara estrogen dan progesteron ini menghasilkan persistensi ER-α,

mengingat bahwa penurunan regulasi reseptor ini merupakan salah

satu fungsi utama progesteron. Ekspresi yang berlebih dari ER-α pada

fase midsekretori akan mengurangi sekresi beta 3 integrin, yang secara

negatif diatur oleh estrogen, sehingga mengubah daya penerimaan

uterus. Pengurangan yang diamati pada ekspresi PR dapat

menjelaskan bahwa terdapat respon yang buruk terhadap agen

progestasional pada wanita dengan adenomiosis.


Dalam fokus adenomiotik, pewarnaan ER-α tidak didapatkan

bervariasi selama siklus menstruasi baik pada kelenjar maupun

stroma; sebaliknya, tidak ada perubahan siklus pada ekspresinya di

miometrium terdalam atau di luar. Selain itu, ekspresi ER-β dalam

fase proliferatif secara statistik signifikan lebih tinggi pada bagian

fungsionalis dari kelenjar dibandingkan dengan kontrol. Ekspresi

tersebut juga didapatkan lebih tinggi pada basalis, stroma, JZ, dan

myometrium luar, dibandingkan dengan jaringan kontrol di mana

didapatkan ekspresi lemah dan tidak menunjukkan variasi yang

signifikan secara statistik dengan fase siklus. Ekspresi ER-β yang

lebih tinggi pada miometrium dari uteri adenomiotik, dengan

demikian mungkin berkontribusi terhadap munculnya hiperplasia

miometrium yang dijelaskan secara klasik.

Mekanisme keempat yang dapat menyebabkan kegagalan

implantasi adalah kurangnya ekspresi beberapa molekul, yaitu

"marker implantasi," yang diekspresikan oleh endometrium dan

diperlukan untuk keberhasilan interaksi antara embrio dan

endometrium. Pada tahun 2006, Yen dkk. telah melaporkan bahwa

selama masa implantasi, beberapa marker ini menurun pada

endometrium wanita dengan adenomiosis, menunjukkan bahwa hal ini

mungkin merupakan salah satu mekanisme molekuler yang berkaitan

dengan penurunan tingkat implantasi.

Secara khusus, telah ditunjukkan bahwa yang disebut Leukimia

Inhibitory Factor (LIF) dikaitkan dengan daya penerimaan


endometrium dan lebih rendah pada wanita dengan infertilitas

dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Hal ini juga telah

menunjukkan bahwa ekspresi LIF menurun pada endometrium pada

wanita dengan adenomiosis selama fase midsekretori dan, ketika

wanita ini memiliki riwayat infertilitas, mereka menunjukkan tingkat

LIF yang lebih rendah pada cairan uterus, dibandingkan dengan

kontrol yang fertil.

Salah satunya, integrin α-4, β-3 muncul baik pada permukaan

sel epitel embrio maupun endometrium dan pada permukaan maternal

sekitar siklus hari ke 19 hingga 20 dan terus diekspresikan selama

kehamilan. Meskipun tidak diketahui apakah ekspresinya berubah

pada wanita dengan adenomiosis, telah terbukti bahwa integrin hilang

pada sebagian wanita dengan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan

dan endometriosis. Informasi mengenai hal ini dan beberapa protein

lain seperti glycodelin, osteopontin, dan vitronektin, yang diyakini

memediasi interaksi antara trofoblas-endometrium selama implantasi

dan menurunkan regulasi pada wanita dengan endometriosis, masih

kurang pada kasus adenomiosis, tetapi setidaknya dapat

dipertimbangkan bahwa mekanisme semacam ini juga mungkin

terlibat.

Faktor penting kelima yang mungkin menyebabkan gangguan

implantasi pada wanita dengan adenomiosis, yang sudah disebutkan,

adalah perubahan fungsi gen HoxaA10. Sebagaimana dijelaskan di

atas, gen ini adalah bagian dari faktor transkripsi homeobox yang
penting untuk perkembangan embrio dan pertumbuhan endometrium

dewasa yang tepat selama siklus menstruasi dan pada wanita dengan

adenomiosis ekspresinya secara signifikan lebih rendah selama fase

midsekretori dibandingkan dengan kontrol yang fertil.


DAFTAR PUSTAKA

1. Schorge JO et al, Williams Gynecology, 1st ed. New York, McGraw Hill,

2008

2. Pernol ML. Benson and Pernol’s Handbook of Obstetrics and Gynecology 10th

Ed. 2001. New York :The McGraw-Hill Companies, Inc.

3. Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Human Reproduction Update

1998; 4: 312-322.

4. Benagiano G and Brosens I. History of adenomyosis (Abstract). Best Pract

Res ClinObstetGynaecol. 2006 Aug;20(4):449-63. Epub 2006 Mar 2.

5. Campo S, Campo V, Benagiano G. Review Article Adenomyosis and

Infertility. Obstetrics and Gynecology International Volume 2012, Article ID

786132.

6. Shrestha A,ShresthaR,SedhaiLB,Pandit U. Adenomyosis at Hysterectomy:

Prevalence, Patient Characteristics, Clinical Profile and Histopatholgical

Findings.KathmanduUniv Med J 2012;37(1):53-6.

7. DeCherney AH and Nathan L. Current Obstetric &Gynaecologic Diagnosis &

Treatment 9th Ed. 2003. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.

8. Reuter, K. Adenomyosis Imaging, Online (cited on December 21st 2012).

www.medscape.com.

9. Edmonds DK. Dewhurst’s Handbook of Obstetrics and Gynaecology 7th Ed.

2007. London : Blackwell Science, Ltd.

10. Chopra S, Lev-Toaff AS, Ors F, Bergin D. Adenomyosis:Common and

Uncommon Manifestations on Sonography and Magnetic Resonance Imaging,

J Ultrasound Med 2006; 25:617–627.


11. Parazzini F et al. Risk factors for adenomyosis. Human Reproduction vol.12

no.6 pp.1275–1279, 1997.

12. Berek, JS. Berek& Novak's Gynecology 14th Ed. 2007. Pennsylvania :

Lippincott Williams & Wilkins.

13. Roservear SK. Handbook of Gynecology Management. 2002. London :

Blackwell Science, Ltd.

14. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Nyeri Endometriosis. Dalam

: Panduan Nasional Pelayanan Kesehatan

15. Erna Suparman . et al. Jurnal Biomedik. Dalam; Penatalaksanaan

Endometriosis Vol. 4 No.2 2012

16. Panduan praktik Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas

Padjajaran Bandung. Endometriosis. Dalam : Ginekologi. 2015;p.226-227

17. Sarina Schrager, MD, MS; Julianne Falleroni, DO, MPH; and Jennifer

Edgoose, MD, MPH. : “Evaluation and Treatment of Endometriosis”.

University of Wisconsin School of Medicine and Public Health, Madison,

Wisconsin. 2013.

18. Robert N. Taylor, Lone Hummelshoj , Pamela Stratton , Paolo Vercellini :

Pain and endometriosis: Etiology, impact, and therapeutics. 2012.

19. Shawki M.K Sharouda1, Emad Abdellatif Daoud , Abeer S.M Mohamed ,

Gehan G Ali , Abeer M. Elsayed, Soha El-Attar and Mohammed Taema :

Endometriosis in a cesarean section scar: A series of 12 patients. 2016.

20. Holoch KJ, Lessey BA. Endometriosis and infertility. Clinical obstetrics and

gynecology. 2010; 53 (2): 429-438. Epub 2010/05/04


21. Guidice LC. Kao LC. Endometriosis. Lancet. 2004; 365 (9447): 1789-1799.

Epub 2004/11/16.

22. Oral E, Arici A, Olive DL, Huszar G. Peritonealfluid from women with

moderate pr severe endometriosis inhibits sperm motility: the role of seminal

fluid components. Fertility and sterility. 1996.

23. N. M. de Souza, J. J. Brosens, J. E. Schwieso, T. Paraschos, and R. M. L.

Winston, “The potential value of magnetic resonance imaging in infertility,”

Clinical Radiology, vol. 50, no. 2, pp. 75–79, 1995

24. N. M. de Souza, J. J. Brosens, J. E. Schwieso, T. Paraschos, and R. M. L.

Winston, “The potential value of magnetic resonance imaging in infertility,”

Clinical Radiology, vol. 50, no. 2, pp. 75–79,1995.

25. S. Campo, V. Campo, and G. Benagiano, “Adenomyosis and infertility,”

Reproductive BioMedicine Online. In press.

26. G. Kunz, D. Beil, P. Huppert, M. Noe, S. Kissler, and G. Leyendecker,

“Adenomyosis in endometriosis—prevalence and impact on fertility: evidence

from magnetic resonance imaging,” Human Reproduction, vol. 20, no. 8, pp.

2309–2316,2005.

27. G. Leyendecker, G. Kunz, S. Kissler, and L. Wildt, “Adenomyosis and

reproduction,” Best Practice and Research: Clinical Obstetrics and

Gynaecology, vol. 20, no. 4, pp. 523–546, 2006

28. T. T. Zacharia and M. J. O’Neill, “Prevalence and distribution of adnexal

findings suggesting endometriosis in patients with MR diagnosis of

adenomyosis,” British Journal of Radiology, vol. 79, no. 940, pp. 303–307,

2006.
29. S. Kissler, S. Zangos, I. Wiegratz et al., “Utero-tubal sperm

transport and its impairment in endometriosis and adenomyosis,” Annals of

the New York Academy of Sciences, vol. 1101, pp. 38–48, 2007.

30. R. Devlieger, T. D’Hooghe, and D. Timmerman, “Uterine adenomyosis in the

infertility clinic,” Human Reproduction Update, vol. 9, no. 2, pp. 139–147,

2003.

31. D. R. Grow and R. B. Filer, “Treatment of adenomyosis with long-term GnRH

analogues: a case report,” Obstetrics & Gynecology, vol. 78, no. 3, pp. 538–

539, 1991.

32. P. Piver, “Uterine factors limiting ART coverage,” Journal de Gynecologie

Obstetrique et Biologie de la Reproduction, vol. 34, no. 7, part 2, pp. 5S30–

5S33, 2005.

Anda mungkin juga menyukai