Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

PREEKLAMSIA BERAT

Oleh:
Sherly Yunita (1202006012)
Krisnhaliani Wetarini (1202006019)
I Ketut Gede Arya Surya Pranata (1202006047)

Pembimbing
dr. I Nyoman Rudi Susantha, Sp.OG (K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN/SMF ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUD SANJIWANI GIANYAR
2016
LAPORAN KASUS

PREEKLAMPSIA BERAT

Oleh:
Sherly Yunita (1202006012)
Krisnhaliani Wetarini (1202006019)
I Ketut Gede Arya Surya Pranata (1202006047)

Pembimbing
dr. I Nyoman Rudi Susantha, Sp.OG (K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN/SMF ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUD SANJIWANI GIANYAR
2016

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat-Nya maka laporan kasus dengan topik Preeklampsia Berat ini dapat selesai
pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini. Laporan kasus ini
disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di bagian
Ilmu Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUD
Sanjiwani Gianyar.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:
1 dr. Pande Geriawan, Sp.OG selaku Kepala SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi
RSUD Sanjiwani Gianyar yang telah memberikan kami kesempatan untuk
belajar di rumah sakit ini;
2 dr. I Nyoman Rudi Susantha, Sp.OG(K) selaku pembimbing yang telah
memberikan pengarahan, kritik, dan saran di dalam pembuatan laporan kasus
ini;
3 Dokter-dokter residen yang juga turut membimbing kami dalam pembelajaran
mengenai kasus ini; dan
4 Seluruh pihak yang membantu penulis dalam penyusunan laporan kasus.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Gianyar, Juni 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN .............................................................................................i


KATA PENGANTAR ............................................................................................ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I Pendahuluan
1
BAB II Tinjauan Pustaka
3
2.1 Definisi
3
2.2 Epidemiologi
4
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
4
2.4 Patofisiologi
5

2.5 Diagnosis
8

2.6 Diagnosis Banding


9

2.7 Komplikasi
9
2.8 Penatalaksanaan
9
2.9 Prognosis
12
BAB III Laporan Kasus
14
3.1 Identitas Pasien
14

3
3.2 Anamnesis
14
3.3 Pemeriksaan Fisik ..........................................................................15
3.4 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................16
3.5 Diagnosis Kerja...............................................................................16
3.6 Penatalaksanaan..............................................................................17
3.7 Perjalanan Penyakit.........................................................................17
BAB IV Pembahasan
18
4.1 Diagnosis
18
4.2 Faktor Risiko
19
4.3 Penatalaksanaan
19
4.4 Penatalaksanaan
20
BAB V Simpulan
21
DAFTAR PUSTAKA

4
BAB I
PENDAHULUAN

Kehamilan merupakan suatu peristiwa indah yang sangat dinanti oleh hampir
setiap calon ibu dan keluarga. Kondisi tersebut merupakan suatu berkah dan menjadi
bukti bahwa ibu dapat menjalankan perannya dalam meneruskan keturunan.
Meskipun demikian, di dalam masa kehamilan dapat terjadi kondisi-kondisi
patologis yang dapat membahayakan kondisi ibu maupun janin yang dikandungnya,
salah satunya adalah hipertensi dalam kehamilan. Hipertensi dalam kehamilan
(HDK) merupakan suatu kondisi terjadinya peningkatan tekanan darah pada masa
kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah sistolik 140 mmHg dan/atau
diastolik 90 mmHg. Adapun pengukuran tekanan darah dilakukan pada dua kali
pemeriksaan berjarak waktu 4-6 jam.1,2 Menurut American College of Obstetricians
and Gynecologists (ACOG), HDK dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori,
yaitu preeklampsia-eklampsia, hipertensi kronis dengan penyebab apapun, hipertensi
kronis dengan superimposed preeklampsia, dan hipertensi gestasional. Dari
klasifikasi tersebut, diketahui bahwa sindroma preeklampsia, baik yang berdiri
sendiri maupun superimposed, merupakan kondisi yang paling berbahaya.3
Hipertensi berkontribusi sebagai komplikasi pada 5-10% kehamilan dan
merupakan salah satu dari tiga penyebab morbiditas dan mortalitas maternal selain
perdarahan dan infeksi. Sedangkan dari kategori HDK yang ada, preeklampsia
sendiri diketahui terjadi pada 3,9% kehamilan.4 Berdasarkan penelitian terakhir pada
tahun 2011 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, didapatkan prevalensi
HDK keseluruhan adalah sebesar 9,32%, dengan prevalensi preeklampsia ringan
sebesar 1,36% dan preeklampsia berat sebesar 4,7%. Dari jumlah tersebut,
ditemukan pula bahwa 20% dari kematian maternal disebabkan oleh HDK, di mana
dari keseluruhan kasus kematian maternal disebabkan oleh preeklampsia dan
komplikasinya.5
Preeklampsia merupakan suatu kondisi hipertensi pada ibu hamil yang
muncul pada usia kehamilan di atas 20 minggu, dengan disertai atau tanpa adanya
peningkatan kadar protein dalam urine (proteinuria). Meskipun proteinuria tidak lagi
menjadi tanda wajib dalam preeklampsia, namun kondisi tersebut merupakan kriteria
diagnosis yang penting oleh karena merupakan bukti objektif terjadinya kebocoran
endotel sistemik dan dapat mengarah pada kegagalan fungsi organ tubuh lainnya.3,4

1
Sampai saat ini, penyebab terjadinya kejadian preeklampsia masih belum
diketahui dengan jelas. Meskipun demikian, beberapa teori tentang patogenesis telah
dikemukakan untuk menjelaskan terjadinya gejala klinis preeklampsia tersebut.
Hipotesis yang telah diterima secara luas oleh para ahli adalah teori iskemik plasenta
yang disebabkan oleh kegagalan invasi trofoblas ke dalam arteri spiralis, sehingga
akan menyebabkan suplai darah ke plasenta menjadi terganggu. Iskemik plasenta
tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terlepasnya beberapa mediator molekuler
yang mempengaruhi fungsi endotel.4
Manifestasi klinis preeklamsia yang terjadi pada wanita hamil seringkali
lambat terdeteksi sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat dapat timbul keadaan
yang dapat membahayakan ibu dan janin. Munculnya preeklampsia pada kehamilan
dapat menyebabkan komplikasi pada ibu, seperti terjadinya eklampsia, sindroma
hemolysis, elevated liver enzyme, and low platelets count (HELLP), perdarahan
intraserebral, edema pulmoner, dan gagal ginjal akut. Selain itu, preeklampsia juga
dapat menyebabkan gangguan kesejahteraan terhadap janin, seperti terjadinya
kelahiran prematur, intrauterine growth restriction (IUGR), sampai dengan
intrauterine fetal death (IUFD).6
Pemahaman yang mendasar mengenai sindroma preeklamsia menjadi sangat
penting bagi dokter layanan primer sehingga dapat melakukan penanganan yang
sesuai dan rujukan yang tepat dalam penanganan preeklamsia. Melalui perawatan
antenatal yang teratur dan penggunaan pendekatan kedokteran pencegahan, yaitu
dengan mengenal faktor risiko, mengenal tanda-tanda dini preeklampsia, serta
mengenal tanda-tanda munculnya komplikasi preeklampsia, juga diharapkan dapat
menurunkan kejadian dan kematian akibat preeklampsia. Di dalam karya tulis ini
akan diuraikan sebuah kasus perawatan konservatif pasien preeklamsia berat (PEB)
dari aspek teori, penatalaksanaan, kesesuaian teori dengan penatalaksanaannya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Secara klasik, preeklampsia dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi
terjadinya hipertensi dan adanya proteinuria pada usia kehamilan 20 minggu.
Hipertensi merupakan tekanan darah sistolik 140 mmHg dan/atau diastolik
90 mmHg. Sedangkan proteinuria merupakan ekskresi protein abnormal pada
urine 300 mg/24 jam, atau perbandingan protein : kreatinin 0,3, atau hasil
uji dipstick protein 30 mg/dL atau +4.4 Meskipun demikian, seringkali wanita
hamil dengan hipertensi dapat menunjukkan gejala gangguan organ
multisistemik tanpa adanya proteinuria. Sehingga pada tahun 2013, ACOG
mendeklarasikan definisi baru mengenai preeklamsia, yaitu dengan tidak
terdapatnya proteinuria, diagnosis preklampsia pada wanita hamil ditegakkan
apabila terdapat kondisi trombositopenia (platelet 100.000/mikroliter),
gangguan fungsi hati (peningkatan kadar enzim liver transminase di dalam
darah sebesar dua kali dari konsentrasi normal), insufisiensi ginjal
(peningkatan serum kreatinin 1,1 mg/dL atau peningkatan ganda serum
kreatinin tanpa adanya penyakit ginjal lain), edema pulmoner, dan gangguan
pada serebral dan fungsi penglihatan.3
Sedangkan berdasarkan tingkat severitasnya, preeklampsia dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:2
1. Preeklamsia Ringan, yaitu tekanan darah 140/90 mmHg pada usia
kehamilan > 20 minggu dan tes celup urin menunjukkan proteinuria +1
atau pemeriksaan protein kuantitatif menunjukkan hasil > 300 mg/24 jam.2
2. Preeklampsia Berat, yaitu tekanan darah 160/110 mmHg pada usia
kehamilan > 20 minggu dan tes celup urin menunjukkan proteinuria +2
atau pemeriksaan protein kuantitatif menunjukkan hasil > 5 g/24 jam. Jika
tanpa proteinuria, disertai keterlibatan gangguan organ lain, seperti:
a. Trombositopenia (< 100.000 sel/L), hemolisis mikroangiopati
b. Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas
c. Sakit kepala, skotoma penglihatan
d. Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
e. Edema paru dan/atau gagal jantung kongestif
f. Oliguria (< 500 ml/24 jam), kreatinin > 1,2 mg/dL.2

2.2. Epidemiologi
Preeklampsia diperkirakan telah menyebabkan kematian bagi hampir
50.000 wanita hamil di dunia. Kondisi tersebut merupakan penyumbang
mortalitas dan morbiditas maternal dan perinatal terbesar. Adapun insiden
terjadinya preeklampsia berkisar antara 2-10% dari kehamilan di berbagai
negara, dengan presentase yang lebih tinggi seringkali ditemukan pada negara
berkembang.7 Preeklampsia diketahui menyumbang lima kali lipat jumlah
kematian perinatal pada negara berkembang.5 Tidak hanya itu, di negara maju
seperti Amerika Serikat, preeklampsia juga merupakan salah satu dari
komplikasi yang paling sering terjadi, dengan prevalensi mencapai 5-7%
kehamilan.3
Di Indonesia sendiri, insiden terjadinya HDK, termasuk preeklampsia
di dalamnya, mencapai angka 3,4-8,5%. Selain itu, HDK juga menjadi
penyebab kematian ibu terbesar setelah komplikasi puerperium dan perdarahan
pascapersalinan, dengan presentase sebesar 32%. Sedangkan di RSUP Sanglah,
PEB memiliki prevalensi terbesar dari seluruh spektrum HDK, yaitu sebesar
4,7%.5

2.3. Etiologi dan Faktor Risiko


Preeklampsia merupakan kondisi patologis pada kehamilan yang sangat
sering ditemui. Namun sampai saat ini, tidak diketahui secara pasti penyebab
terjadinya kejadian preeklampsia pada wanita hamil.7 Namun beberapa kondisi
baik pada ibu dan janin diketahui dapat meningkatkan risiko terjadinya
preeklampsia. Secara umum, faktor risiko tersebut dapat dibagi menjadi:
1. Faktor risiko maternal, seperti kehamilan primigravida, usia ibu < 18
tahun atau > 35 tahun, memiliki riwayat pernah mengalami preeklampsia
pada kehamilan sebelumnya, riwayat hipertensi dalam keluarga, obesitas
(BMI 30 kg/m2), dan jarak antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.
Selain itu, adanya riwayat penyakit medis penyerta pada ibu, seperti
hipertensi kronis, diabetes mellitus, penyakit ginjal, trombofilia, migrain,
systemic lupus erythematosus, serta penggunaan obat serotonin-uptake
inhibitor antidepressant (SSRI) juga diketahui dapat meningkatkan risiko
kejadian preeklampsia.3,6
2. Faktor risiko fetal, seperti kehamilan ganda, hydrops fetalis, penyakit
trofoblastik gestasional, dan kromosom triploid.6

2.4. Patofisiologi
Sampai saat ini, penelitian mengenai mekanisme terjadinya
preeklampsia telah dilakukan sejak tahun 2200 SM.4 Banyak teori yang
menjelaskan patofisiologi terjadinya preeklampsia pada ibu hamil. Namun,
teori yang berkembang saat ini adalah mengenai preeklampsia sebagai 2-
stages disease, yang berarti bahwa mekanisme patofisiologi terjadinya
preeklampsia dapat dibagi menjadi dua tahapan. Pertama disebabkan oleh
terjadinya proses abnormalitas pada implantasi plasenta yang terjadi < 20
minggu usia kehamilan, kemudian diikuti dengan tahapan kedua, yaitu dampak
implantasi yang buruk tersebut sehingga terjadi aktivasi sel endotel dan
inflamasi.3,4 Akibat abnormalitas implantasi plasenta, dapat terjadi hipoksia
plasenta dan reperfusi hipoksia yang menghasilkan kerusakan pada sinsitium
dan gangguan pertumbuhan pada janin.
1. Teori Kelainan Invasi Trofoblas pada Implantasi Plasenta
Arteri spiralis merupakan percabangan sistem vaskularisasi yang berfungsi
memberikan aliran darah bagi rahim dan plasenta pada masa kehamilan.
Pada implantasi yang normal, terjadi proses remodeling arteri spiralis yang
berperan untuk memberikan vaskularisasi dari ibu kepada janin.1
Pada trimester pertama, cytotropoblast stem cells akan membentuk lapisan
sinsitiotropoblas dan beragregasi membentuk sederetan trofoblas yang
invasif, yang menyusun vili koriales yang disebut anchoring villous
tropoblast. Cytotropoblast di dalam vili tersebut akan menembus
sinsitium pada beberapa tempat sehingga membentuk suatu kelompok sel
berlapis yang disebut extravillous tropoblast cells. Kelompok sel inilah
yang secara fisik menghubungkan plasenta dengan dinding uterus ibu.
Perkembangan selanjutnya dari sel trofoblas ekstravilus itu akan
mengikuti 2 jalur, jalur pertama yaitu sel-sel tersebut menginvasi dinding
uterus (interstitial invasion) dan jalur kedua adalah sel sel itu menembus
pembuluh darah (endovascular invasion). Invasi endovaskuler ke arteri
spiralis ini merupakan bagian yang sangat penting pada proses ini, di mana
peristiwa ini terjadi paling awal pada umur kehamilan 4-6 minggu. Proses
tersebut terjadi dalam dua gelombang, gelombang pertama menembus
pembuluh darah di desidua dan yang kedua menembus pembuluh darah
pada tingkat miometrium. Setelah mengalami invasi, trofoblas nantinya
akan menggantikan posisi endotel dan lapisan muskularis pembuluh darah.
Perubahan fisik arteria spirales seperti itu menyebabkan suatu kondisi
sirkulasi darah yang high flow dan low resistance sehingga aliran
darah ke plasenta menjadi sangat besar.4
Pada HDK, terjadi invasi trofoblas yang tidak sempurna, yaitu proses
invasi trofoblas pada lapisan otot serta jaringan matriks sekitar arteri
spiralis hanya terjadi secara superfisial. Dengan demikian, hanya
pembuluh darah pada lapisan desidua saja yang mengalami proses
remodeling, sementara pembuluh darah yang lebih dalam tidak mengalami
perubahan pada lapisan endotel dan jaringan muskuloelastiknya.
Akibatnya arteri spiralis yang seharusnya berdilatasi, justru tetap
mengalami konstriksi dan memiliki resistensi pembuluh darah yang
tinggi.4 Adapun penyebab pasti terjadinya invasi trofoblas yang abnormal
masih belum jelas. Terdapat teori yang menyebutkan terjadinya
abnormalitas disebabkan oleh tidak adanya reseptor JAG1 yang pada
kehamilan normal berperan dalam signaling substansi Notch2 di dalam
proses pengaturan diameter pembuluh darah dan perfusi plasenta. Ada
pula teori mengenai pengaruh kompleks imunitas dan sel natural killer
yang dapat memengaruhi abnormalitas implantasi plasenta.3
Abnormalitas yang terjadi pada plasenta menyebabkan terjadinya gejala
gangguan maternal pada ibu. Awal terjadinya gangguan tersebut terjadi
oleh karena hipoksia dan iskemia plasenta yang terjadi akibat penurunan
aliran darah menuju plasenta. Sebagai respon dari hipoksia, plasenta akan
memproduksi faktor patogenik ke dalam sistem sirkulasi maternal yang
nantinya akan menyebabkan aktivasi dan disfungsi endotel. Endotel
memiliki peran penting dalam pengaturan pembuluh darah, seperti
pengaturan tonus otot polos pembuluh darah melalui pengeluaran faktor
vasokonstriksi dan vasodilatasi, serta regulasi antikoagulasi, antiplatelet,
dan fungsi fibrinolitik.
Faktor angiogenik berupa angiogenic growth factors itu adalah vascular
endothelial growth factor (VEGF), placenta growth factor (PlGF), dan
transforming growth factor-beta (TGF) diduga memiliki keterkaitan
penting di dalam timbulnya manifestasi klinis preeklampsia. Selain
berperan dalam angogenesis, faktor-faktor ini juga berperan penting dalam
menjaga fungsi endotel pembuluh darah sistemik. Pada preeklampsia,
iskemia plasenta akan menyebabkan dikeluarkannya soluble FMS-like
tyrosine kinase-1 (sFlt-1) yang merupakan bentuk soluble dari reseptor
VEGF dan PIGF yang bersifat antiangiogenik. Peningkatan sFlt-1 di
dalam sirkulasi akan menyebabkan penurunan VEGF dan PIGF bebas di
dalam darah, yang kemudian akan menurunkan fungsi keduanya di dalam
stimulasi angiogenesis dan menjaga fungsi integritas endotel. Pada ginjal,
inaktivasi VEGF bebas dapat menyebabkan endoteliosis glomerular, yang
merupakan awal mula terjadinya proteinuria.3 Selain itu, terjadi pula
pengeluaran soluble Endoglin (sEng) yang merupakan suatu molekul yang
memblok endoglin yang berperan sebagai ko-reseptor TGF. Akibatnya,
akan terjadi penurunan fungsi dilatasi endotel pembuluh darah.4
2. Teori Intoleransi Imunologik antara Ibu, Plasenta, dan Janin
Faktor imunologik dianggap merupakan salah satu penyebab terjadinya
preeklampsia. Adanya teori ini didukung dengan adanya fakta bahwa
primigravida mempunyai risiko lebih besar dibandingkan dengan
multigravida. Begitu pula apabila seorang ibu multipara menikah lagi,
maka ia akan mempunyai risiko menderita preeklampsia yang lebih besar
dibandingkan apabila pasangan/suaminya tetap. Hal tersebut dikarenakan
oleh pada ibu yang sudah pernah hamil dari suami pertamanya, maka ibu
tersebut telah memiliki toleransi terhadap materi genetik yang dibawa oleh
suami pertamanya. Sementara, apabila ibu kembali hamil dengan suami
kedua, maka akan terdapat materi genetik baru sehingga menyebabkan
reaksi imunologis terhadap plasenta.
Hasil konsepsi merupakan hasil penggabungan materi genetik dari ibu dan
suami. Oleh karena hasil konsepsi tersebut tidak seutuhnya merupakan
bagian dari ibu, maka hasil konsepsi dapat dianggap sebagai benda asing
yang berada pada tubuh ibu. Namun, pada wanita dengan kehamilan
normal, terdapat human leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang
berperan penting untuk memodulasi respons imunitas ibu, sehingga ibu
tidak memberikan reaksi penolakan imunitas terhadap hasil konsepsi yang
dikandungnya. Selain itu, adanya HLA-G juga berperan untuk membantu
proses terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu.1
Pada HDK, terdapat penurunan ekspresi HLA-G oleh trofoblas
ekstravillus pada ibu. Adapun mekanisme terjadinya peningkatan
pembuluh darah adalah akibat terganggunya proses invasi trofoblas ke
dalam lapisan desidua ibu. Hal tersebutlah yang pada akhirnya
menyebabkan kegagalan terjadinya dilatasi pada arteri spiralis dan
menyebabkan tekanan darah meningkat.1,4
3. Teori Genetik
Adanya faktor genetik atau keturunan pada preeklampsia dikaitkan oleh
karena terdapatnya interaksi yang berasal dari berbagai gen paternal
maupun maternal. Adapun di antaranya adalah methylene tetrahydrofolate
reductase (MTHFR), F5 (Leiden), AGT (M235T), HLA (Various), NOS3
(Glu 298 Asp), F2 (G20210A), ACE (I/D atIntron 16), CTLA4, LPL, dan
SERPINE1. Gen tersebut memiliki kontrol di dalam mengatur sistem
regulasi enzimatik dan metabolisme setiap organ di tubuh. Adanya
paparan faktor risiko dari ibu maupun lingkungan, dapat memicu reaksi
genetik sehingga menyebabkan preeklamsia.
Ditemukan bahwa insiden preeklampsia terjadi pada 20-40% pada wanita
dengan riwayat ibu mengalami preeklampsia, serta 11-37% pada wanita
dengan saudara kandung perempuan juga mengalami preeklamsia.
Meskipun demikian, wanita yang memiliki genotif preeklamsia belum
tentu memiliki ekspresi fenotip yang serupa dengan wanita lain dengan
genotif yang sama.4

2.5. Diagnosis
Diagnosis preeklampsia berat apabila didapatkan satu atau lebih gejala
di bawah ini pada usia kehamilan > 20 minggu:3,8,9,10
1. Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan diastolik 110 mmHg.
Tekanan darah ini tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat dan
menjalani tirah baring
2. Proteinuria lebih dari 5 g/L dalam 24 jam atau pada pemeriksaan
kualitatif +4
3. Oligouria. Jumlah produksi urine kurang dari 500 cc dalam 24 jam
yang disertai kenaikan kadar kreatinin darah
4. Adanya keluhan subjektif:
a. Gangguan visus: mata berkunang-kunang
b. Gangguan serebral: kepala pusing
c. Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen
d. Hiperefleks
5. Adanya sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low
Platelets Count)
6. Edema paru atau sianosis
7. Pertumbuhan janin terhambat (PJT).

2.6. Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari preeklampsia berat antara lain sebagai berikut.8
1. Hipertensi kronik dalam kehamilan
2. Kehamilan dengan penyakit jantung
3. Kehamilan dengan sindroma nefrotik.

2.7. Komplikasi
Preeklampsia berat dapat menyebabkan komplikasi baik pada ibu
maupun bayi. Komplikasi preeklampsia berat pada ibu termasuk edema paru,
infark miokard, stroke, acute respiratory distress syndrome, koagulopati, gagal
ginjal berat, dan cedera retinal. Komplikasi pada janin merupakan akibat dari
paparan terhadap insufisiensi plasenta atau dari kelahiran preterm atau
keduanya. Pada kasus yang sangat berat dapat ditemui fetal distress baik pada
saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.3

2.8. Penatalaksanaan
Berdasarkan Williams Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan; maka sikap
terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
1 Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan
bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa.
2 Aktif: berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberian pengobatan medikamentosa.5

2.8.1. Perawatan Konservatif


1.
Bila umur kehamilan kurang dari 35 minggu tanpa adanya keluhan
subjektif dengan keadaan janin baik
2.
Pengobatan dilakukan di kamar bersalin (selama 24 jam)
a. Tirah baring miring ke sisi kiri secara intermiten
b. Infus Ringer Laktat yang mengandung 5% Dekstrose
c. Diberikan MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang
Loading dose (initial dose): 4g MgSO4 40% dilarutkan dalam
normal Saline I.V/ 10-15 menit
Maintenance dose: MgSO4 1g/jam/IV dalam 24 jam
Cara pemberian:
Ambil 4g MgSO4 40%(10 cc) dilarutkan dalam Normal Saline 10
cc I.V. /10-15menit. Sisanya, 6g MgSO4 40% (15 cc) dimasukkan
ke dalam satu botol (500 cc) larutan Ringer Dektrose 5%
diberikan perinfus dengan tetesan 28 tetes per menit atau habis
dalam 6 jam.
Syarat-syarat pemberian MgSO4 lanjutan:
- Refleks patella normal
- Respirasi > 16 kali/menit
- Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya > 100 cc ; 0,5 cc/kg
BB/jam
- Tersedia Kalsium Glukonat 10% dalam 10 cc.
Antidotum: bila timbul gejala dan tanda intoksikasi MgSO4,
maka diberikan injeksi Kalsium Glukonat 10% dalam 10cc dalam
3 menit.
d. Pemberian antihipertensi jika tekanan darah 180/110 atau MAP >
125 mmHg. Diberikan Nifedipin 3 x 10 mg atau Nicardipin drip.
Jika tidak tersedia nifedipin, maka dapat diberikan methyldopa 500-
3000 mg per oral dibagi 2-4 dosis.
e. Dilakukan pemeriksaan laboratorium tertentu (fungsi hati dan ginjal)
dan jumlah produksi urine 24 jam
f. Konsultasi dengan bagian penyakit dalam, bagian mata, bagian
jantung, dan yang lain sesuai dengan indikasi
3. Pengobatan dan evaluasi selama rawat tinggal di ruang bersalin (selama
24 jam di ruang bersalin)
a. Tirah baring
b. Medikamentosa
c. Pemerikaan laboratorium: darah lengkap dan hapusan darah tepi,
homosistein, fungsi ginjal dan hati, urine lengkap, produksi urine 24
jam, penimbangan berat badan setiap hari, dan indeks gestosis
d. Diet biasa
e. Dilakukan penilaian kesejahteraan janin (USG/NST/Doppler USG)
4. Perawatan konservatif dianggap gagal bila:
a. Adanya tanda-tanda impending eklampsia (keluhan subjektif)
b. Kenaikan progresif dari tekanan darah
c. Adanya sindroma HELLP
d. Adanya kelainan fungsi ginjal
e. Penilaian kesejahteraan janin jelek
5. Penderita boleh pulang bila penderita sudah mencapai perbaikan
dengan tanda-tanda preeklampsia ringan, perawatan dilanjutkan
sekurang-kurangnya selama 3 hari lagi
6. Bila keadaan penderita tetap, dilakukan pematangan paru dilanjutkan
dengan terminasi.

2.8.2. Perawatan Aktif


1. Bila umur kehamilan 35 minggu
2. Kehamilan diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk
stabilisasi ibu
3. Kehamilan harus segera diakhiri tanpa memandang umur kehamilan
bila dijumpai: kejang-kejang, gagal ginjal akut, stroke, edema paru,
solutio plasenta dan fetal distress
4. Pada HELLP syndrome, persalinan bisa ditunda dalam 48 jam bila
umur kehamilan < 35 minggu, untuk memberikan kesempatan
pematangan paru
Catatan:
1. Persalinan sedapat mungkin diarahkan pervaginam
2. Penderita belum inpartu
Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop >5. Bila perlu dilakukan
pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus
sudah mencapai kala II dalam waktu 24 jam
Indikasi seksio sesarea adalah:
a. Tidak memenuhi syarat persalinan pervaginam.
b. Induksi persalinan gagal
c. Terjadi gawat janin.
3. Penderita sudah inpartu
a. Kemajuan persalinan dikelola dengan partograf WHO atau kurva
Friedman
b. Monitor tekanan darah tiap 30 menit
c. Tindakan operatif pervaginam (vakum atau forceps sesuai indikasi);
tidak rutin dikerjakan kecuali:
Tekanan darah tidak terkontrol (MAP > 125 mmHg)
Tanda-tanda impending eklampsia
Kemajuan kala II tidak adekuat
d. Seksio sesarea dilakukan apabila terdapat kegawatan ibu dan/atau
janin, atau indikasi obstetrik
e. Bila harus dilakukan SC, pilihan anestesianya adalah regional atau
epidural dan tidak diajurkan anestesia umum.8

2.9. Prognosis
Prognosis preeklampsia dapat dibedakan menjadi prognosis pada ibu dan bayi.
Prognosis pada ibu sangat tergantung pada waktu ditemukannya kondisi
preeklampsia pada ibu hamil, kondisi klinis ibu, hasil laboratorium, komplikasi
yang terjadi dan ketepatan pelaksanaan yang diberikan. Apabila preeklampsia
ditemukan lebih dini dan mendapatkan penatalaksanaan yang optimal, maka
prognosis cenderung baik. Bila ditemukan lebih lambat dengan kondisi ibu
yang buruk, hasil laboratorium buruk, dan terdapat komplikasi, maka
prognosisnya cenderung buruk.
Prognosis preeklampsia pada bayi cenderung buruk. Adapun risiko komplikasi
pada bayi, yaitu pertumbuhan janin terhambat, kelahiran prematur, sampai
kematian janin dalam rahim.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : NWS
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Bangli, 1 Juli 1979
Umur : 37 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Br. Tabu, Songan A, Bangli
Suku / Bangsa : Bali / Indonesia
Agama : Hindu
Status Perkawinan : Menikah
Nama Suami : JS
Tanggal MRS : 27 Februari 2017

3.2. Anamnesis
Keluhan Utama: Nyeri pada simfisis
Pasien merupakan rujukan dari Puskesmas Kintamani V dengan diagnosis
G7P4024 UK 35-36 minggu dengan HDK dan proteinuria +2. Pasien diketahui
memiliki tekanan darah tinggi sejak memeriksakan diri ke puskesmas pada saat
kontrol kehamilan pertama ke bidan. Saat pemeriksaan awal, pasien mengeluh
nyeri pada simfisis yang hilang timbul sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
dan terasa semakin nyeri serta semakin sering. Selain nyeri, pasien juga
mengeluh sulit bernafas dan terasa sesak sejak timbul nyeri tersebut. Keluhan
lain seperti sakit kepala, pandangan kabur, dan nyeri ulu hati disangkal oleh
pasien. Pasien juga menyatakan tidak ada keluhan nyeri perut hilang timbul
serta keluar air, lendir, dan darah per vaginam. Gerak anak dirasakan baik dan
aktif oleh pasien.
Riwayat Menstruasi : Menarche : 12 tahun
Siklus Haid : 28 hari
Lama : 3 hari
HPHT : 22 Juli 2017
TP : 29 Maret 2017
Keluhan saat haid : Nyeri perut ringan
Riwayat Perkawinan : 1 kali
Usia saat menikah : 16 tahun
Riwayat Persalinan : 1. Abortus UK 6 minggu
2. Aterm/Perempuan/16th/Spt-B/BB ibu lupa
3. Abortus UK lupa
4. Aterm/Perempuan/12th/Spt-B/BB 3000gr
5. Aterm/Laki-laki/9th/Spt-B/BB ibu lupa
6. Aterm/Perempuan/6th/Spt-B/BB 2400gr
7. Hamil ini
Riwayat KB : Pemakaian KB suntik 3 bulan sejak kelahiran anak terakhir
hingga bulan Januari 2016.
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal
Riwayat Penyakit Terdahulu : Riwayat asma, DM, hipertensi, dan penyakit
jantung disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak terdapat riwayat penyakit pada keluarga
Riwayat Sosial : Merokok : disangkal
Konsumsi Alkohol : disangkal

3.3. Pemeriksaan Fisik


Status Present

Keadaan Umum : Baik


Tekanan Darah : 200/110 mmHg
Kesadaran : E4V5M6 (Compos Mentis)
Nadi : 96 kali/menit
Respirasi : 22 kali/menit
Suhu Aksila : 36.5C
Suhu Rektal : 36.8C
Berat Badan : 61.5 kg
Tinggi Badan : 157 cm
IMT : 24.95 kg/m2

Status General
Mata : Anemia -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ bulat isokor
Leher : Pembesaran KGB (-)
THT : Kesan normal
Thoraks : Mammae : Hiperpigmentasi areola mammae
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur tidak ada
Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : ~ Status Obstetri
Ekstremitas : Akral hangat +|+ , Edema -|-
+|+ -|-
Status Obstetri
Abdomen : TFU pertengahan pusat - symphisis
Linea nigra (+), striae albicans (-)
Nyeri ulu hati (-), nyeri simfisis (-), nyeri tekan (-)
Tanda cairan bebas (-)
DJJ 146 kali/menit, His (-)
McD 25cm
TBJ : 2015gr
Insp V/V : dalam batas normal
VT : v/v normal, porsio lunak, PO mencucu, blood slyme (-)

3.4. Pemeriksaan Penunjang


Darah Lengkap (27/02/2017) :
WBC : 10,4 . 103/L (N)
RBC : 4,84 . 106/L (N)
HGB : 12,3 g/dL (N)
HCT : 36,9 % (N)
PLT : 287 . 103/L (N)
Urinalisis (27/02/2017) :
Warna : Kuning Glukosa : Negatif
Bau : Khas Bilirubin : Negatif
Leukosit : Negatif Urobilin : Negatif
pH : 6,0 Keton : Negatif
Protein : +2 Nitrit : Negatif
Berat Jenis : 1,015 Eritrosit : Banyak

Kimia darah (27/02/2017)


Urea : 16mg/dL (N)
ALT : 16 U/L (N)
Trigliserida : 731 mg/dL (H)
AST : 46 U/L (H)
Cholesterol : 274 mg/dL (H)
Creatinine : 0.83 mg/dL (N)

USG (27/02/2017)

- Hasil:
FL= 61mm
GA= 31 minggu 1 hari
EDD = 17/04/2017
Kesan IUGR

Hasil NST (27/2/2017)


Baseline : 150 bpm
Variability: >6 bpm
3.5. Diagnosis Kerja
G7P4024 UK 35-36 minggu T/H + Super Imposed Preeklampsia+
IUGR+Hipertensi Emergensi+Dislipidemia

3.6. Penatalaksanaan
Penunjang diagnostik : NST, USG, UL, DL, Kimia Lengkap, Konsul interna
Terapi :
O2 nasal kanul 2 lpm
IVFD Ringer Laktat 500 + MgSO 4 40% 4 gr (10cc) ~ dalam 10-
15menit
Nifedipin 3x10 mg IO
IVFD D5% + MgSO4 40% 6 gr ~ dalam 6 jam (28 tpm)
DC
Monitoring : Keluhan, Tanda Vital, denyut jantung janin,
CM/CK, tanda impending eclampsia, tanda
intoksikasi MgSO4
KIE : Diagnosis, rencana tindakan dan risiko tindakan
pada pasien dan keluarga.

3.7. Perjalanan Penyakit


Tanggal S O A P
28-02- Nyeri perut St.Present G7P4024 UK Pdx : -
2017 (-), pusing (-), Kes : CM 35-36 minggu Tx :
gerak anak T : 180/100 mmHg T/H dengan IVFD RL dengan
(+) baik N : 80 x/menit super imposed kecepatan 20tpm
R : 20x/menit pre eklamsia Nifedipine 3 x 10 mg
T : 36,2oC +IUGR Mx :
St. General : +hipertensi keluhan, His, DJJ,
dbn emergensi + tanda vital, intoksikasi
St. Obstetrik Dislipidemia MgSO4
Abd : TFU KIE
pertengahan antara
procesus
xyphoideus dengan
pusat, nyeri (-)
VT: Portio
mencucu, blood
slym (-)
01-03- Nyeri perut St.Present G7P4024 UK Pdx : -
2017 (-), pusing (-), Kes : CM 35-36 minggu Tx :
gerak anak T : 200/100 mmHg T/H dengan IVFD RL 20
(+) baik N : 92 x/menit super imposed tetes/menit
R : 20 x/menit pre eklamsia Nifedipine 3 x 10 mg
T : 36,8oC +IUGR Mx :
St. General : dbn +hipertensi keluhan, His, DJJ,
St. Obstetrik emergensi + tanda vital
Abd : TFU Dislipidemia KIE
pertengahan antara
procesus
xyphoideus dengan
pusat, nyeri (-)
Vagina : tde
02-03- Nyeri perut St.Present G7P4024 UK Pdx : -
2017 (-), pusing (-), Kes : CM 35-36 minggu Tx :
gerak anak T : 200/110 mmHg T/H dengan IVFD RL 20
(+) baik N : 92 x/menit super imposed tetes/menit
R : 20 x/menit pre eklamsia Nifedipine 3 x 10 mg
T : 36,2oC +IUGR Mx :
St. General : dbn +hipertensi keluhan, His, DJJ,
St. Obstetrik emergensi + tanda vital
Abd : TFU Dislipidemia KIE
pertengahan antara
procesus
xyphoideus dengan
pusat, nyeri (-)
Vagina : tde
03-03- Nyeri perut St.Present G7P4024 UK Pdx : -
2017 (-), pusing (-), Kes : CM 35-36 minggu Tx :
gerak anak T : 190/110 mmHg T/H dengan IVFD RL 20
(+) baik N : 90 x/menit super imposed tetes/menit
R : 20 x/menit pre eklamsia Nifedipine 3 x 10 mg
T : 36,2oC +IUGR Dexamethasone
St. General : dbn +hipertensi 12,5mg/12jam (iv)
St. Obstetrik emergensi + Mx :
Abd : TFU Dislipidemia keluhan, His, DJJ,
pertengahan antara tanda vital
procesus KIE
xyphoideus dengan
pusat, nyeri (-)
Vagina : tde
04-03- Nyeri perut St.Present G7P4024 UK Pdx : -
2017 (-), pusing (-), Kes : CM 35-36 minggu Tx :
gerak anak T : 180/110 mmHg T/H dengan IVFD RL 20
(+) baik N : 88 x/menit super imposed tetes/menit
R : 20 x/menit pre eklamsia Nifedipine 3 x 10 mg
T : 36,2oC +IUGR Dexamethasone
St. General : dbn +hipertensi 12,5mg/12jam (iv)
St. Obstetrik emergensi + Mx :
Abd : TFU Dislipidemia keluhan, His, DJJ,
pertengahan antara tanda vital
procesus KIE
xyphoideus dengan
pusat, nyeri (-)
Vagina : tde

Hasil Pemeriksaan USG


(2/3/2017)
BPD : 86.8mm (35W3D)
AC : 26.9cm (31W0D)
FL : 64.6mm (33W1D)
EFW: 2047
AVE: 33W1D (19-04-2017)
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Diagnosis
Penegakan diagnosis pada pasien ini dilakukan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien
mengeluh tekanan darah tinggi disertai bengkak pada tangan dan kaki. Pada
kasus ini umur kehamilan pasien adalah 33-34 minggu berdasarkan
perhitungan HPHT. Tekanan darah pasien diketahui tinggi saat kehamilan yang
sekarang. Pada saat pasien datang ke VK, didapatkan tekanan darah pasien
160/110 mmHg. Pada hasil anamnesis juga diketahui bahwa pasien tidak
memiliki riwayat hipertensi sebelum kehamilannya yang sekarang. Dengan
demikian diagnosis hipertensi kronik dan superimposed preeklampsia dapat
disingkirkan karena hipertensi timbul setelah umur kehamilan 20 minggu.
Pasien juga mengaku tidak memiliki riwayat penyakit ginjal dan penyakit
jantung, sehingga diagnosis kehamilan dengan penyakit jantung dan sindroma
nefrotik dapat disingkirkan.
Untuk membedakan apakah hipertensi pada pasien ini adalah hipertensi
gestasional atau preeklampsia/eklampsia, dilakukan pemeriksaan urine
midstream untuk mengetahui apakah terdapat proteinuria atau tidak. Setelah
pemeriksaan urine acak dilakukan, diketahui terdapat proteinuria (+3),
sehingga kemungkinan hipertensi gestasional dapat disingkirkan. Dengan
demikian diagnosis hipertensi dalam kehamilan pada pasien ini dapat
dikategorikan ke dalam preeklampsia berat karena umur kehamilan > 20
minggu, dengan peningkatan tekanan darah disertai proteinuria +3. Pada pasien
ini tidak terdapat riwayat kejang yang menyertai peningkatan tekanan darah
(menyingkirkan kemungkinan diagnosis eklampsia). Tidak ditemukan tanda-
tanda subyektif seperti gangguan penglihatan, nyeri epigastrium, sakit kepala,
mual sehingga pada pasien ini tidak ditemukan tanda impending eklampsia.
Jadi pasien ini didiagnosis dengan G1P0000, 33 minggu 4 hari T/H dengan
Preeklampsia Berat.
4.2. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya preeklampsia berat pada pasien ini adalah dilihat dari
faktor primigravida. Sebagaimana yang disebutkan, wanita muda dengan
riwayat kehamilan nuliparitas memiliki risiko untuk mengalami preeklamsia
yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang berusia lebih tua.
Didapatkan bahwa insiden terjadinya preeklampsia pada wanita nulipara
adalah mencapai 3-10% di dunia. Faktor risiko tersebut juga dikaitkan dengan
adanya pengaruh ras, etnis, dan faktor genetik.4
Faktor risiko lain adalah obesitas yang dialami oleh pasien. Hubungan yang
terjadi antara preeklampsia dan berat badan ibu bersifat progresif. Wanita
dengan BMI < 20 kg/m2 dinyatakan memiliki risiko untuk menderita
preeklampsia sebesar 4,3%. Sedangkan pada wanita dengan BMI > 35 kg/m 2
dinyatakan memiliki risiko sebesar 13,3%.4

4.3. Penatalaksanaan
Adanya proteinuria dan hipertensi selama kehamilan secara nyata
meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas perinatal. Tujuan dasar
penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit preeklampsia adalah
(1) mencegah kejang (2) mencegah gangguan fungsi organ vital (3) terminasi
kehamilan dengan trauma sekecil mungkin bagi ibu dan janinnya, (4) lahirnya
bayi sehat yang kemudian dapat berkembang, serta (5) pemulihan sempurna
kesehatan ibu.11
Pada pasien ini segera dilakukan rawat inap. Hospitalisasi sedini mungkin
sangat diperlukan agar observasi dapat dilakukan secara cermat dan terus-
menerus, sehingga evaluasi lebih mudah oleh karena perjalanan penyakit sukar
diramalkan. Pemeriksaan yang teliti diikuti dengan observasi harian tentang
tanda-tanda klinik berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium dan
peningkatan berat badan yang cepat.4
Pemberian terapi yang diberikan pada pasien ini adalah MgSO4 sesuai protap.
MgSO4 bekerja dengan menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan saraf-saraf yaitu menghambat transmisi neuromuskular, sehingga
mencegah terjadinya kejang pada pasien ini. Selain itu, MgSO4 juga merupakan
vasodilator serebral. Pemberian MgSO4 harus memenuhi beberapa syarat
sebagai berikut: harus terdapat refleks patella kuat, antidotum berupa kalsium
glukonas 10%, dan frekuensi pernapasan >16 kali per menit dan tidak ada
tanda-tanda distress pernapasan.. Sebelum diberikan MgSO4 pasien terlebih
dahulu dipasang kateter untuk memantau produksi urin 1 x 24 jam guna
mengamati adanya gejala intoksikasi MgSO4.
Pasien juga diberikan obat nifedipine sebanyak 3x10 mg untuk menurunkan
tekanan darahnya sampai MAP < 125 mmHg. Nifedipine bekerja dengan cara
menghambat masuknya kalsium ke dalam sel otot polos endotel, sehingga
kontraktilitas menurun dan menyebabkan vasodilatasi.
Pemberian kortikosteroid dapat menurunkan kejadian respiratory distress
syndrome (RDS), kematian neonatal, dan perdarahan intraventrikuler.
Pemberiannya dianjurkan pada kehamilan 24-34 minggu. Pada kasus ini umur
kehamilan pasien adalah 33-34 minggu, sehingga memenuhi indikasi
pemberian kortikosteroid. Kortikosteroid yang diberikan pada pasien ini adalah
deksametason 1x12 mg IM (2 hari).
Pada follow up tanggal 07 Juni 2016, tidak ditemukan tanda-tanda impending
eklampsia. Dari anamnesis terhadap keluhan pasien, tidak ditemukan tanda-
tanda intoksikasi MgSO4. Pemeriksaan tekanan darah menemukan tekanan
darah saat itu 130/80 mmHg.
Pasien dapat dipulangkan bila sudah mencapai perbaikan dengan tanda-tanda
preeklampsia ringan selama tiga hari. Bila keadaan penderita menetap atau
memburuk, maka dilakukan terminasi kehamilan.

4.4. Prognosis
Prognosis pasien ini dubia ad bonam karena pasien sudah mendapatkan
penatalaksanaan sesuai dengan prosedur penanganan preeklamsia berat.
Dengan demikian, tekanan darah dan protein urin pasien menjadi terkontrol,
dan kehamilan pasien dapat dipertahankan. Prognosis pasien akan menjadi
buruk jika tekanan darah tidak diperiksa secara rutin pada antenatal care, dan
pasien terlanjur mengalami eklampsia atau sindroma HELLP. Bila
preeklampsia berat memburuk menjadi eklampsia atau sindroma HELLP, maka
prognosis janin akan buruk. Sering kali janin mati intrauterin atau pada fase
neonatal karena keadaan janin sudah buruk.
BAB V
SIMPULAN

Pada kasus ini preeklampsia berat terjadi pada wanita 23 tahun pada
kehamilan pertama dengan umur kehamilan preterm (33-34 minggu). Diagnosis
dapat ditegakkan dengan jelas berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini, terjadinya preeklampsia dapat dipengaruhi
oleh karena faktor kehamilan primigravida dan kondisi obesitas pada ibu.
Pada pasien ini segera dilakukan rawat inap. Hospitalisasi sedini mungkin
sangat diperlukan agar observasi dapat dilakukan secara cermat dan terus-menerus,
sehingga evaluasi lebih mudah oleh karena perjalanan penyakit sukar diramalkan.
Pemeriksaan yang teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-tanda klinik
berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium dan peningkatan berat badan
yang cepat. Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah MgSO 4 sesuai protap untuk
mencegah terjadinya kejang. Nifedipine 3x10mg PO jika MAP 125 mmHg
diberikan untuk mengontrol tekanan darah. Deksametason 1x12 mg IM (2 hari)
diberikan untuk pematangan paru-paru janin. Pemasangan DC 1x 24 jam untuk
mengamati adanya gejala intoksikasi MgSO4. Pasien dapat dipulangkan bila sudah
mencapai perbaikan dengan tanda-tanda pre eklampsia ringan selama tiga hari. Bila
keadaan penderita menetap atau memburuk, maka dilakukan terminasi kehamilan.
Dengan penanganan yang baik, prognosis kondisi preeklampsia berat akan
menjadi baik. Namun demikian apabila tidak dilakukan penanganan dan pengamatan
yang baik pada pasien, penyakit ini dapat membahayakan jiwa ibu dan janin.
DAFTAR PUSTAKA

1. Angsar MD. Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam: Ilmu Kebidanan Sarwono


Prawirohardjo Ed. 3 Cet. 4. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2010; hal. 530-560.
2. Kemenkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013;
hal. 109-117.
3. Task Force on Hypertension in Pregnancy. Hypertension in Pregnancy.
Washington: American College of Obstetricians and Gynecologists. 2013.

4. Cunningham FG, Gant NF, Leveno, KJ, et al. Williams Obstetric 24th Edition.
New York: McGraw Hill Education. 2014; hal. 728-770.
5. Sutopo H dan Surya IGP. Characteristics of patients with hypertension in
pregnancy at Sanglah Hospital. Indones J Obstet Gynecol. July 2011; 35(3):
97-99.
6. Carson MP. Hypertension and Pregnancy. Medscape. Diakses melalui:
http://emedicine.medscape.com/article/261435. Diakses pada: 12 Juni 2016.
7. Shamsi U, Saleem S, Nishter N. Epidemiology and risk factors of
preeclampsia; an overview of observational studies. Al Ameen J Med Sci.
2013; 6(4):292-300.
8. Anonim. Prosedur tetap obstetri dan ginekologi. Denpasar: Bagian/SMF
Obsterti dan Ginekologi FK Unud/RS Sanglah. 2015.

9. Duhig KE dan Shennan AH. Recent advances in the diagnosis and


management of pre-eclampsia. F1000 Prime Reports. 2015;7:24.
10. SMFM. Evaluation and management of severe preeclampsia before 34 weeks
gestation. Am J Obstet Gynecol. 2011.
11. WHO. WHO Recommendations for Prevention and Treatment of Pre-
eclampsia and Eclampsia. Geneva: WHO Library and Cataloguing in
Publication Data. 2011.

Anda mungkin juga menyukai