Anda di halaman 1dari 11

Gambar 2.

Jenis-jenis anomali mullerian

Gambar 1. Translokasi resiprokal dan Robertsonian

.2 Faktor Genetik
Kelainan kromosom pada embrio menyebabkan abortus sporadik pada
trimester pertama sekitar 50% dan 29% - 57% kejadian abortus pada pasangan dengan
abortus habitualis. Walaupun demikian, banyak studi menggunakan analisis
sitogenetik konvensional yang hanya mengidentifikasi aberasi/penyimpangan
kromosom. Baru-baru ini analisis jaringan dengan hibridisasi genomik, suatu teknik
yang mendeteksi kelainan kromosom tanpa memerlukan kulturisasi menunjukkan
bahwa analisis sitogenetika konvensional tidak menganggap penting insiden anomali
kromosom dan bahwa kontribusi kromosom abnormal terhadap kejadian abortus pada
trimester pertama hampir 70%.

a) Kelainan penyusunan kromosom parental


Abortus adalah kasus yang sangat sering terjadi dan dianggap sebagai suatu
seleksi alam untuk memilih keturunan yang normal. Kenyataannya, ada studi yang
mengatakan bahwa sedikitnya 50% abortus disebabkan oleh karena kelainan
kromosom.7 Sekitar 3% - 5% pasangan dengan abortus habitualis, salah satu
pasangannya membawa kelainan kelainan struktural kromosom yang seimbang.
Wanita lebih mungkin menjadi carrier dibandingkan dengan laki-laki. Tipe
kelainan kromosom parental yang paling banyak adalah translokasi seimbang,
baik timbal balik (resiprokal) atau Robertsonian. Pada translokasi timbal balik,
segmen distal terbagi menjadi kromosom yang saling bertukar. Pada translokasi
Robertsonian, dua kromosom akrosentrik bersatu pada wilayah sentromer dengan
hilangnya lengan pendek. Walaupun carrier translokasi seimbang ini memiliki
fenotip yang normal, kehamilannya berisiko tinggi berakhir sebagai abortus dan
dapat mengakibatkan lahirnya anak dengan cacat bawaan atau cacat mental karena
pengaturan kromosom yang tidak seimbang. Risiko abortus dipengaruhi oleh
ukuran dan isi genetik dari segmen kromosom yang diatur kembali.
Translokasi yang seimbang menyebabkan abortus rekuren. Translokasi yang
tidak seimbang dapat menyebabkan abortus, anomali fetus, atau bayi lahir mati.
Walaupun demikian, prognosisnya masih baik dan 85% pasangan dapat memiliki
bayi yang sehat. Dengan demikian, riwayat abortus atau anomali fetus pada
trimester kedua seharusnya dicurigai adanya kelainan pola kromosom pada salah
satu pasangan.

b) Aneuploidi dan poliploidi embrionik


Aneuploidi disebabkan oleh nondisjungsi selama meiosis yang
menghasikan kromosom tambahan (trisomi) atau hilangnya kromosom
(monosomi). Triploidi dan tetraploidi terkait dengan fertilisasi yang tidak normal.
Triploidi biasanya terjadi karena fertilisasi oosit oleh dua spermatozoa atau akibat
kegagalan salah satu bagian pematangan baik pada oosit maupun pada
spermatozoa. Tetraploidi (empat kali jumlah haploid) biasanya disebabkan
kegagalan untuk menyelesaikan pemisahan zigotik pertama. Pada pasangan
dengan abortus habitualis, analisis sitogenetik konvensional melaporkan insiden
trisomi, poliploidi dan monosomi X pada jaringan adalah 30%, 9% dan 4%.
Kebanyakan kelainan kromosom utama adalah trisomi autosomal, polipoid
dan monosomi X. Kebanyakan kelainan trisomi menunjukkan kesalahan tahap
meiosis sebagai efek peningkatan usia ibu, dengan kromosom 16 dan 22 paling
sering terlibat. Sekitar 30% abortus spontan karena kelainan kromosom adalah
tipe triploid dan tetraploid. Fetus yang triploid biasanya memiliki kromosom 69,
XXY atau 69, XXX dan berasal dari fertilisasi dispermik seperti yang telah
disebutkan di atas. Beberapa hasil konsepsi triploid muncul sebagai mola parsial
yang ditandai dengan kantong kehamilan yang besar dan degenerasi kistik
plasenta. Tetraploid jarang berkembang di bawah usia kehamilan 4 atau 5 minggu.
Monosomi X merupakan kelainan kromosom tunggal yang paling sering terjadi di
antara aborsi spontan, kira-kira 15%-20% dari seluruh kasus abortus.
Risiko monosomi kromosom seks dan konsepsi polipoid tidak meningkat
sejalan dengan usia ibu. Beberapa pasangan dengan riwayat abortus habitualis
berisiko untuk mengalami aneuploidi rekuren. Kariotipe embrionik pada
kehamilan sebelumnya dapat membantu memprediksi tingkat abortus. Wanita
dengan kariotipe embrio normal lebih sering mengalami keguguran dibandingkan
dengan kariotipe embrionik abnormal yang menunjukkan bahwa mekanisme lain
selain kromosom fetal yang abnormal dapat menjelaskan terjadinya beberapa
kasus abortus habitualis.

c) Mekanisme molekuler.
Kemajuan terbaru teknologi genetika molekuler menyoroti pentingnya
mekanisme tertentu seperti mutasi gen tunggal dan inaktivasi kromosom X pada
etiologi abortus. Peran mutasi gen tunggal yang menyebabkan kelainan pada
embrio, perkembangan plasenta atau jantung penting untuk diteliti. Wanita dengan
inaktivasi kromosom X yang tidak simetris mungkin membawa gen resesif terkait
X pada janin yang sifatnya mematikan sehingga rentan terjadi abortus berulang.
4.Kelainan anatomi
Kelainan Anatomi.
Faktor anatomi kogenital dan didapat pernah dilaporkan timbul
pada 10-15% wanita dengan abortus spontan yang rekuren. Abnormalitas
anatomi maternal yang dihubungkan dengan kejadian abortus spontan
yang berulang termasuk inkompetensi serviks, malformasi kongenital dan
defek uterus yang didapatkan (acquired).
Inkompetensi serviks adalah ketidakmampuan serviks untuk
mempertahankan kehamilan sampai aterm. Malformasi kongenital
termasuk fusi duktus Mulleri yang inkomplit yang dapat menyebabkan
uterus unikornus, bikornus atau uterus ganda.
Defek pada uterus yang acquired yang sering dihubungkan dengan
kejadian abortus spontan berulang termasuk perlengketan uterus atau
sinekia dan leiomioma. Adanya kelainan anatomis ini dapat diketahui dari
pemeriksaan USG dan HSG.

Sejumlah kelainan anatomi traktus genitalia mempengaruhi abortus habitualis. 15%


wanita dengan tiga atau lebih abortus secara berturut-turut memiliki kelainan uterus
baik yang bersifat kongenital ataupun yang didapat. Kelainan uterus yang didapat
misalnya sinekia intrauterine (sindrom Asherman), leiomioma dan inkompeten serviks.
Kelainan saat perkembangan misalnya uterus bersepta, bikornuata dan unikornuata.
a) Malformasi uterus kongenital
Malformasi uterus kongenital merupakan akibat dari gangguan
perkembangan, fusi, kanalisasi, dan reabsorpsi septal duktus Mullerian. Peranan
kelainan kongenital uterus terhadap abortus habitualis masih belum jelas karena
prevalensi yang sesungguhnya dan implikasi reproduksi pada kelainan uterus pada
populasi umum tidak diketahui. Pada pasien dengan abortus berulang, frekuensi
pasien dengan anomali uterus bervariasi dari 1,8% - 37,6%. Variasi ini terjadi
akibat perbedaan dalam kriteria dan teknik yang digunakan untuk mendiagnosisnya
dan fakta bahwa studi yang dilakukan melibatkan wanita dengan dua, tiga atau
lebih riwayat abortus pada tahap awal dan akhir kehamilan.
Prevalensi kelainan uterus paling tinggi ditemukan pada wanita dengan
riwayat abortus terakhir yang mencerminkan prevalensi serviks inkompeten pada
wanita dengan malformasi uterus.
Dengan menggunakan USG tiga dimensi sebagai alat diagnostik, sebuah
studi prospektif baru-baru ini melaporkan bahwa frekuensi anomali uterus adalah
sekitar 23,8% pada wanita dengan abortus habitualis pada trimester pertama
dibandingkan dengan frekuensi 5,3% pada wanita dengan risiko rendah.
Selanjutnya, distorsi anatomi uterus lebih parah ditemukan pada wanita dengan
abortus berulang. Penemuan ini menunjukkan bahwa anomali kongenital uterus
dapat menyebabkan terjadinya abortus pada sebagian kecil wanita dengan abortus
habitualis. Pada suatu studi retrospektif, pasien dengan anomali uterus yang tidak
ditangani cenderung memiliki risiko tinggi abortus dan partus prematurus dan
tingkat partus aterm hanya 50% saja.
Retroversio uteri, mioma uteri atau kelainan bawaan uterus dapat
menyebabkan abortus. Tetapi, harus diingat bahwa hanya retroversio uteri gravid
inkarserata atau mioma submukosa yang memegang peranan penting.

b) Serviks inkompeten
Serviks inkompeten merupakan penyebab abortus habitualis pada
pertengahan trimester kehamilan (trimester kedua). Serviks inkompeten adalah
ketidakmampuan serviks untuk mempertahankan suatu kehamilan oleh karena
defek fungsi maupun struktur pada serviks. Serviks inkompeten yang parah
menyebabkan abortus pada midtrimester dan derajatnya lebih rendah pada kasus
dengan partus prematurus. Insiden serviks inkompeten masih belum diketahui
secara pasti karena diagnosisnya ditegakkan secara klinis dan belum ada kriteria
objektif yang disetujui secara umum untuk mendiagnosis keadaan tersebut. Secara
kasar, suatu studi epidemiologi menunjukkan insiden terjadinya serviks
inkompeten adalah sekitar 0,5% pada populasi pasien obstetri secara umum dan
8% pada wanita dengan abortus midtrimester sebelumnya. Meskipun beberapa
kasus serviks inkompeten melibatkan inkompeten mekanik seperti hipoplasia
serviks kongenital, riwayat operasi serviks, dan trauma serviks yang luas,
kebanyakan wanita dengn diagnosis klinis serviks inkompeten memiliki anatomi
serviks yang normal. Pematangan serviks yang dini mungkin merupakan jalur
akhir dari berbagai proses patofisiologi seperti infeksi, kolonisasi, inflamasi dan
predisposisi genetik atau hormonal.
Serviks merupakan barier mekanik yang memisahkan kehamilan dari flora
bakteri vagina. Banyak pasien dengan dilatasi serviks pada midtrimester yang
asimptomatis memiliki bukti adanya infeksi intrauterine subklinis. Tidak jelas
apakah ini merupakan invasi mikroba akibat dilatasi serviks yang prematur. Ketika
terjadi pematangan serviks yang prematur, barier mekanik terganggu dan
selanjutnya dapat menyebabkan proses patologis (misalnya kolonisasi pada saluran
kemih bagian atas) yang berakhir pada kelahiran prematur spontan. Pada serviks
inkompeten yang berhubungan dengan kelainan mekanik, penanganan suportif
misalnya cerclage suture dapat mencegah infeksi dan dapat memperpanjang masa
kehamilan. Sebaliknya, jika perubahan pada serviks adalah akibat proses non
mekanik, maka cerclage menjadi kurang efektif dan bahkan berbahaya dalam
beberapa kasus karena kemungkinan adanya komplikasi inflamasi dan infeksi.

c) Fibroid
Jaringan fibroid pada uterus telah lama dihubungkan dengan masalah
reproduksi termasuk abortus. Hal tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan lokasi
fibroid. Meskipun mekanisme yang terjadi belum diketahui secara pasti, teori
patofisiologi yang selama ini dipahami adalah distorsi mekanik kavum uteri,
vaskularisasi abnormal, perkembangan endometrium yang abnormal, inflamasi
endometrium, lingkungan endometrium yang abnormal, dan kelainan struktural
dan kontraktil miometrium. Bukti adanya hubungan antara fibroid uterus dan
abortus habitualis bersifat retrospektif dan tidak cukup untuk menentukan
perbedaan dalam hasil kehamilan atau menilai efek ukuran dan lokasi fibroid. Data
terbaru dari pasien dengan infertilitas menunjukkan bahwa hanya fibroid pada
submukosa atau intrakavitas berhubungan dengan tingkat implantasi yang menurun
dan peningkatan kasus abortus. Fibroid subserosa tidak memiliki efek merusak dan
peranan fibroid intramural yang tidak mendistorsi kavum uteri masih kontroversial.

d) Adhesi intrauterin
Defek pada uterus dapat menyebabkan kesulitan reproduksi pada seorang
wanita, termasuk kejadian abortus pada trimester pertama dan kedua kehamilan,
persalinan preterm dan presentasi fetal yang abnormal. Kelainan anatomi ini dapat
bersifat kongenital, termasuk yang berhubungan kelainan dietilstilbestrol, atau
yang bersifat didapat seperti adhesi intrauterin atau leiomyomata.
Perlengketan atau adhesi intrauterin (sindrom Asherman) terjadi akibat
trauma intrauterin misalnya setelah kuretase endometrium yang berlebihan karena
retensi hasil konsepsi. Adhesi intrauterin berhubungan erat dengan abortus rekuren.
Mekanisme yang diduga terjadi adalah adanya penurunan volume kavum uteri dan
fibrosis serta inflamasi pada endometrium sehingga terjadi kelainan plasentasi dan
menyebabkan abortus.
Kelainan uterus yang didapat misalnya sinekia intrauterine (sindrom Asherman),
leiomioma dan inkompeten serviks. Kelainan saat perkembangan misalnya uterus
bersepta, bikornuata dan unikornuata.
e) Malformasi uterus kongenital
Malformasi uterus kongenital merupakan akibat dari gangguan
perkembangan, fusi, kanalisasi, dan reabsorpsi septal duktus Mullerian. Peranan
kelainan kongenital uterus terhadap abortus habitualis masih belum jelas karena
prevalensi yang sesungguhnya dan implikasi reproduksi pada kelainan uterus pada
populasi umum tidak diketahui. Pada pasien dengan abortus berulang, frekuensi
pasien dengan anomali uterus bervariasi dari 1,8% - 37,6%. Variasi ini terjadi
akibat perbedaan dalam kriteria dan teknik yang digunakan untuk mendiagnosisnya
dan fakta bahwa studi yang dilakukan melibatkan wanita dengan dua, tiga atau
lebih riwayat abortus pada tahap awal dan akhir kehamilan.
Prevalensi kelainan uterus paling tinggi ditemukan pada wanita dengan
riwayat abortus terakhir yang mencerminkan prevalensi serviks inkompeten pada
wanita dengan malformasi uterus.
Dengan menggunakan USG tiga dimensi sebagai alat diagnostik, sebuah
studi prospektif baru-baru ini melaporkan bahwa frekuensi anomali uterus adalah
sekitar 23,8% pada wanita dengan abortus habitualis pada trimester pertama
dibandingkan dengan frekuensi 5,3% pada wanita dengan risiko rendah.
Selanjutnya, distorsi anatomi uterus lebih parah ditemukan pada wanita dengan
abortus berulang. Penemuan ini menunjukkan bahwa anomali kongenital uterus
dapat menyebabkan terjadinya abortus pada sebagian kecil wanita dengan abortus
habitualis. Pada suatu studi retrospektif, pasien dengan anomali uterus yang tidak
ditangani cenderung memiliki risiko tinggi abortus dan partus prematurus dan
tingkat partus aterm hanya 50% saja.
Retroversio uteri, mioma uteri atau kelainan bawaan uterus dapat
menyebabkan abortus. Tetapi, harus diingat bahwa hanya retroversio uteri gravid
inkarserata atau mioma submukosa yang memegang peranan penting.

f) Serviks inkompeten
Serviks inkompeten merupakan penyebab abortus habitualis pada
pertengahan trimester kehamilan (trimester kedua). Serviks inkompeten adalah
ketidakmampuan serviks untuk mempertahankan suatu kehamilan oleh karena
defek fungsi maupun struktur pada serviks. Serviks inkompeten yang parah
menyebabkan abortus pada midtrimester dan derajatnya lebih rendah pada kasus
dengan partus prematurus. Insiden serviks inkompeten masih belum diketahui
secara pasti karena diagnosisnya ditegakkan secara klinis dan belum ada kriteria
objektif yang disetujui secara umum untuk mendiagnosis keadaan tersebut. Secara
kasar, suatu studi epidemiologi menunjukkan insiden terjadinya serviks
inkompeten adalah sekitar 0,5% pada populasi pasien obstetri secara umum dan
8% pada wanita dengan abortus midtrimester sebelumnya. Meskipun beberapa
kasus serviks inkompeten melibatkan inkompeten mekanik seperti hipoplasia
serviks kongenital, riwayat operasi serviks, dan trauma serviks yang luas,
kebanyakan wanita dengn diagnosis klinis serviks inkompeten memiliki anatomi
serviks yang normal. Pematangan serviks yang dini mungkin merupakan jalur
akhir dari berbagai proses patofisiologi seperti infeksi, kolonisasi, inflamasi dan
predisposisi genetik atau hormonal.
Serviks merupakan barier mekanik yang memisahkan kehamilan dari flora
bakteri vagina. Banyak pasien dengan dilatasi serviks pada midtrimester yang
asimptomatis memiliki bukti adanya infeksi intrauterine subklinis. Tidak jelas
apakah ini merupakan invasi mikroba akibat dilatasi serviks yang prematur. Ketika
terjadi pematangan serviks yang prematur, barier mekanik terganggu dan
selanjutnya dapat menyebabkan proses patologis (misalnya kolonisasi pada saluran
kemih bagian atas) yang berakhir pada kelahiran prematur spontan. Pada serviks
inkompeten yang berhubungan dengan kelainan mekanik, penanganan suportif
misalnya cerclage suture dapat mencegah infeksi dan dapat memperpanjang masa
kehamilan. Sebaliknya, jika perubahan pada serviks adalah akibat proses non
mekanik, maka cerclage menjadi kurang efektif dan bahkan berbahaya dalam
beberapa kasus karena kemungkinan adanya komplikasi inflamasi dan infeksi.

g) Fibroid
Jaringan fibroid pada uterus telah lama dihubungkan dengan masalah
reproduksi termasuk abortus. Hal tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan lokasi
fibroid. Meskipun mekanisme yang terjadi belum diketahui secara pasti, teori
patofisiologi yang selama ini dipahami adalah distorsi mekanik kavum uteri,
vaskularisasi abnormal, perkembangan endometrium yang abnormal, inflamasi
endometrium, lingkungan endometrium yang abnormal, dan kelainan struktural
dan kontraktil miometrium. Bukti adanya hubungan antara fibroid uterus dan
abortus habitualis bersifat retrospektif dan tidak cukup untuk menentukan
perbedaan dalam hasil kehamilan atau menilai efek ukuran dan lokasi fibroid. Data
terbaru dari pasien dengan infertilitas menunjukkan bahwa hanya fibroid pada
submukosa atau intrakavitas berhubungan dengan tingkat implantasi yang menurun
dan peningkatan kasus abortus. Fibroid subserosa tidak memiliki efek merusak dan
peranan fibroid intramural yang tidak mendistorsi kavum uteri masih kontroversial.

h) Adhesi intrauterin
Defek pada uterus dapat menyebabkan kesulitan reproduksi pada seorang
wanita, termasuk kejadian abortus pada trimester pertama dan kedua kehamilan,
persalinan preterm dan presentasi fetal yang abnormal. Kelainan anatomi ini dapat
bersifat kongenital, termasuk yang berhubungan kelainan dietilstilbestrol, atau
yang bersifat didapat seperti adhesi intrauterin atau leiomyomata.
Perlengketan atau adhesi intrauterin (sindrom Asherman) terjadi akibat
trauma intrauterin misalnya setelah kuretase endometrium yang berlebihan karena
retensi hasil konsepsi. Adhesi intrauterin berhubungan erat dengan abortus rekuren.
Mekanisme yang diduga terjadi adalah adanya penurunan volume kavum uteri dan
fibrosis serta inflamasi pada endometrium sehingga terjadi kelainan plasentasi dan
menyebabkan abortus.

1. Faktor Lain
a) Infeksi
Peranan infeksi terhadap suatu kejadian abortus berulang masih rendah. Beberapa
infeksi berat yang menyebabkan bakteremia atau viremia dapat menyebabkan
keguguran sporadik. Untuk dapat menyebabkan terjadinya abortus berulang agen
infektif tersebut harus menetap dalam traktus genitalis dan dapat menghindari
deteksi atau tidak menyebabkan gejala yang cukup untuk mengganggu host.
Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes dan infeksi Lister tidak memenuhi
kriteria tersebut. Walaupun vaginosis bakterial pada trimester pertama dilaporkan
sebagai faktor risiko keguguran pada trimester kedua dan kelahiran prematur, bukti
adanya hubungannya dengan abortus pada trimester pertama masih belum
konsisten. Pada wanita dengan riwayat abortus pada midtrimester atau partus
prematurus, deteksi dan terapi untuk vaginosis bakterial pada awal masa kehamilan
dapat menurunkan risiko prematuritas, KPD dan BBLR.

b) Faktor Lingkungan
Abortus habitualis dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan seperti paparan
terhadap logam berat, pelarut organik, alkohol dan radiasi ionisasi yang dikenal
sebagai teratogen lingkungan. Kafein, merokok dan hipertermia dicurigai sebagai
teratogen. Wanita hamil yang sering terpapar akan berisiko untuk mengalami
abortus.
Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1-10% malformasi janin akibat dari paparan obat,
bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus.
Misalnya paparan terhadap buangan gas tembakau. Rokok diketahui
mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang telah diketahui
mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta.
Karbonmonoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta
memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem fetoplsenta
dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang dapat berakibat terjadinya
abortus.

Berikut merupakan tatalaksana abortus habitualis sesuai penyebabnya:


a. Faktor genetik
Dapat dilakukan pemeriksaan Kariotyping darah perifer pada kedua
pasangan. Setelah melalui konseling genetik, pasangan dengan hasil
pemeriksaan kariotipe yang abnormal dapat di tatalaksana dengan IVF (in
Vitro Fertilization) yang diikuti dengan diagnosis genetik pra-implantasi.
Dapat dilakukan analisis kromosom terhadap jaringan hasil konsepsi jika
kehamilan berikutnya tetap gagal.
b. Penyebab anatomis
Pada Sindrom Asherman diagnosis dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan Histerosalfingografi atau sonografi dengan pemberian larutan
normal saline dimana ditemukannya gambaran multiple filling deffect .
Tatalaksana yakni dengan melakukan lisis adhesi secara histeroskopi. Pada
serviks inkompeten diagnosis dapat dilakukan dengan histerosalpingografi
dimana ostium uteri internum melebar >8 mm. Tatalaksana berupa tindakan sirklase
serviks. Pada anomali duktus muleri umumnya pasien jarang menunjukkan gejala dan
baru ditemukan saat evaluasi komplikasi ginekologi ataupun obstetrik melalui
sonografi maupun histerosalfingografi. Umumnya tatalaksana dilakukan melalui
tindakan pembedahan.
c. Penyebab imunologis
Tatalaksana APS umumnya dilakukan dengan menggunakan terapi
kombinasi aspirin dosis rendah (75 mg) dan heparin (5000 U 1-2 kali/hari).
Pemberian L-tiroksin dan/prednisolon dapat bermanfaat pada wanita dengan adanya
antitiroid antibodi selama kehamilan.
d. Penyebab endokrin
Pemeriksaan kadar FSH, LH, globulin dan USG transvaginal pada
pasien dengan dugaan PCOS. Pasien dengan Diabetes melitus sebaiknya
dilakukan pemeriksaan rutin Hba1c, TTGO dan KGDS. Pada pasien dengan kelainan
tiroid dilakukan pemeriksaan kadar TSHs, FT3 dan FT4. Pasien harus mendapatkan
penanganan lebih lanjut oleh bagian endokrinologi.
e. Infeksi
Diagnosis dapat dilakukan melalui kultur cairan serviks untuk evaluasi
clamidia, mycoplasma, Vaginosis Bacterial dan TORCH (toksoplasma,
rubela, citomegalovirus, dan herpes simpleks). Penanganan dilakukan dengan
pemberian antibiotik sesuai penyebab.
f. Iatrogenik
Modifikasi gaya hidup melalui penurunan berat badan, olahraga,
menghindari alkohol, mengurangi intake kafein dan paparan rokok. Terapi
kombinasi dapat diberikan prednisolon 20 mg/hari, progesteron 200 mg/hari, aspirin
100 mg/hari, dan asam folat 5 mg/hari. Dapat dopertimbangkan terapi tambahan
berupa akupuntur, pemberian multivitamin seperti vitamin B kompleks dan asam folat
serta mengurangi stres.

Anda mungkin juga menyukai