Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu masalah penting dalam bidang obstetri dan ginekologi adalah masalah
perdarahan. Perdarahan pada kehamilan sendiri berarti perdarahan melalui vagina yang
terjadi pada masa kehamilan, bukan perdarahan dari organ atau sistem lainnya.
Perdarahan pada kehamilan adalah masalah yang cukup serius yang terjadi pada
masyarakat Indonesia yang mengakibatkan mortalitas yang cukup tinggi pada ibu-ibu di
Indonesia. Walaupun angka kematian maternal telah menurun secara drastis dengan adanya
pemeriksaan-pemeriksaan dan perawatan kehamilan dan persalinan di rumah sakit serta
adanya fasilitas transfusi darah, namun kematian ibu akibat perdarahan masih tetap
merupakan penyebab utama dalam kematian maternal. Perdarahan dapat terjadi pada setiap
usia kehamilan. Pada kehamilan muda sering dikaitkan pada abortus, misscarriage, early
pregnancy loss.
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup
diluar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin
kurang dari 500 gram. Abortus menjadi masalah yang penting dalam kesehatan masyarakat
karena berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas maternal. Di Indonesia, belum ada
data yang komprehensif tentang kejadian abortus, berbagai data yang ada sebelumnya
berdasarkan survei dengan cakupan yang relatif terbatas. Abortus yang tidak aman
bertanggung jawab terhadap 11% kematian ibu di Indonesia. Sampai saat ini, data yang
komprehensif tentang kejadian abortus di Indonesia belum ada. Berbagai data yang
diungkapkan adalah berdasarkan survei dengan cakupan yang relatif terbatas. Diperkirakan
tingkat abortus di Indonesia adalah sekitar 2 sampai dengan 2,6 juta kasus per tahun, atau
43 abortus untuk setiap 100 kehamilan. Diperkirakan pula bahwa 30% di antara abortus
tersebut dilakukan oleh penduduk usia 15-24 tahun. Data SDKI yang mencakup perempuan
kawin usia 15-49 tahun menemukan bahwa tingkat abortus pada tahun 1997 diperkirakan
12% dari seluruh kehamilan yang terjadi. Angka tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil
analisa data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003.
BAB II
PERDARAHAN PADA KEHAMILAN TRIMESTER I

Perdarahan pervaginam pada kehamilan muda adalah perdarahan yang terjadi sebelum
kehamilan 22 minggu. Kehamilan normal biasanya tidak disertai dengan perdarahan
pervaginam, tetapi terkadang banyak wanita mengalami episode perdarahan pada trimester
pertama kehamilan. Darah yang keluar biasanya segar (merah terang) atau berwarna coklat tua
(coklat kehitaman). Perdarahan yang terjadi biasanya ringan, tetapi menetap selama beberapa
hari atau secara tiba-tiba keluar dalam jumlah besar.
Terdapat klasifikasi perdarahan pada kehamilan muda, yaitu:
1. Abortus
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup luar kandungan.
2. Mola hidatidosa
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana hampir seluruh vili korialisnya
mengalami perubahan hidrofik.
3. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
KET adalah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang bersangkutan berhubung
dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat.
2.1.Abortus
A. Definisi

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin


dapat hidup diluar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.

Abortus yang berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan,


sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja dilakukan tindakan disebut abortus
provokatus. Abortus provokatus ini dibagi 2 kelompok yaitu abortus provokatus
medialis dan abortus provokatus kriminalis. Disebut medialis bila dilakukan oleh
minimal 3 dokter spesialis yaitu spesialis Kebidanan dan Kandungan, spesialis
Penyakit Dalam, dan Spesialis Jiwa.

B. Epidemiologi
Angka kejadian abortus sukar ditemukan karena abortus provokatus banyak
yang tidak dilaporkan, kecuali bila sudah komplikasi. Abortus spontan dan tidak
jelas umur kehamilannya, hanya sedikit memberikan gejala atau tanda sehingga
biasanya ibu tidak melapor / berobat. Sementara itu, dari kejadian yang diketahui,
15-20% merupakan abortus spontan atau kehamilan ektopik. Sekitar 5 % dari
pasangan mengalami 3 atau lebih keguguran yang berurutan, dan sekitar 1 % dari
pasangan mengalami atau lebih keguguran yang berurutan. Kalau dikaji lebih jauh
kejadian abortus sebenarnya mendekati 50%. Hal ini dikarenakan tingginya angka
chemical pregnancy loss yang tidak diketahui pada 2 – 4minggu setelah konsepsi.

Abortus habitualis adalah abortus yang terjadi berulang tiga kali secara
berurut-urut. Kejadiannya sekitar 3 – 5 %. Data dari beberapa studi menyebutkan
bahwa setelah 1 kali abortus spontan, pasangan punya risiko 15% untuk mengalami
keguguran lagi.

C. Etiologi
a. Faktor genetik

Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio.


Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan
sitogenetik. Bagaimanapun, gambaran ini belum termasuk kelainan yang
disebabkan oleh gangguan genetik (misalnya kelainan Mendelian) atau mutasi pada
beberapa lokus (misalnya gangguan poligenik atau multifaktor) yang tidak
terdeteksi dengan pemeriksaan kariotip. Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik
konsepsi terjadi pada awal kehamilan. Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik
konsepsi terjadi di awal kehamilan. Separuh dari abortus karena kelainan
sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomo autosom seperti trisomy 16,
sindrom turner. Semua kromosom trisomi berakhir abortus kecuali pada trisomi
kromosom 1. Sepertiga dari fetus dengan Sindroma Down (trisomi 21) bisa
bertahan.

Kelainan sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin karena adanya
mutasi gen yang bisa menganggu proses implantasi bahkan menyebabkan abortus.
Contoh Myotonic dystrophy Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma
Marfan, Sindroma Ehlers-Danlos, homosisteinuri dan pseudoaxanthoma elasticum.
1. Penyebab anatomik
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi
obstetrik, seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin, pada
perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27%
pasien. Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengan malformasi
uterus, mendapat hasil hanya 18,8% yang bisa bertahan sampai melahirkan
cukup bulan, sedangkan 36,5% mengalami persalinan abnormal (prematur,
sungsang), kelainan uterus lainnya septum uterus (40-80%), uterus bikornis atau
uterus didelfis atau unikornis (10-30%). Mioma uteri bisa menyebabkan baik
infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya antara 10-30% pada
perempuan usia reproduksi. Sebagian besar mioma uteri tidak memberikan
gejala, hanya yang berukuran besar atau yang memasuki kavum uteri
(submukosum yang akan menimbulkan gangguan). Kelainan lain adalah
sindroma asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta
pasokan darah pada prmukaan endometrium. Risiko abortus antara 25-80%,
bergantung pada berat ringannya gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan ini
bisa digunakan histerosalpingografi (HSG) dan ultrasonografi.
2. Penyebab Autoimun
- Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dan Antiphospholipid Antibodies
(aPA). aPA merupakan antibody spesifik yang didapati pada perempuan
dengan SLE. Kejadian abortus spontan pada pasien SLE sekitar 10%
3. Penyebab Infeksi
- Bakteria :
o Listeria monositogenes
o Klamidia trakomatis
o Ureaplasma urealitikum
o Mikoplasma homonis
o Bacterial vaginosis
- Virus :
o Sitomegalovirus
o Rubella
o Herpes simpleks virus (HSV)
o Human immunodeficiency virus (HIV)
o Parvovirus
- Parasit :
o Toksoplasmosis gondii
o Plasmodium falsiparum
- Spirokaeta :
o Treponema pallidum
4. Faktor lingkungan
Diperkirakan 1 – 10 % malformasi janin akibat paparan obat, bahan
kimia, atau radiasi, dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan
terhadap buangan gas anestesi dan tembakau.
5. Faktor hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi
yang baik sistem pengaturan hormone maternal. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan langsung terhadap sistem hormone secara keseluruhan, fase luteal,
dan gambaran hormon setelah konsepsi terutama kadar progesterone.
- DM
- Kadar progesterone rendah
- Defek fase luteal
- Pengaruh hormonal terhadap imunitas desidua
6. Faktor hematologik
- Peningkatan kadar faktor prokoagulan
- Penurunan faktor antikoagulan
- Penurunan aktivitas fibrinolitik

2.1.2 Abortus Iminens

a. Definisi

Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus,


ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri tertutup, dan hasil konsepsi masih
baik dalam kandungan.

b. Anamnesis
Abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan
pervaginam yang tidak terlalu banyak, berwarna kecoklatan dan bercampur
lender, pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Riwayat terlambat haid
dengan hasil B HCG (+). Penderita mengeluh mulas sedikit, atau tidak ada
keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih
tertutup besarnya uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dan tes
kehamilan urin masih positif. Tidak disertai nyeri atau kram. Denyut jantung
janin dan gerakan janin diperhatikan apakah terdapat hematoma retroplasenta
atau pembukaan kanalis servikalis.

c. Pemeriksaan Fisik
1. Penilaian tanda vital (Tekanan darah, nadi, respirasi, suhu)
2. Penilaian tanda-tanda syok
3. Periksa konjungtiva untuk tanda anemia
4. Mencari ada tidaknya massa di abdomen
5. Tanda-tanda akut abdomen dan defans muscular
6. Pemeriksaan ginekologi ditemukan :
a. Abortus iminens
i. Ostium uteri masih tertutup
ii. Perdarahan berwarna kecoklatan disertai lender
iii. Ukuran uterus sesuai dengan usia kehamilan
iv. Denyut jantung janin masih ditemukan
b. Abortus insipiens
i. Osteum uteri terbuka, dengan terdapat penonjolan kantong
dan didalamnya berisi cairan ketuban
ii. Perdarahan berwarna merah segar
iii. Ukuran uterus sesuai dengan usia kehamilan
iv. Detak jantung janin masih ditemukan
c. Abortus inkomplit
i. Osteum uteri terbuka, dengan terdapat sebagian sisa konsepsi
ii. Perdarahan aktif
iii. Ukuran uterus sesuai usia kehamilan
d. Abortus komplit
i. Osteum uteri tertutup
ii. Perdarahan sedikit
iii. Ukuran uterus lebih kecil usia kehamilan
d. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan tes kehamilan (BHCG) : biasanya masih positif 7-10 hari
setelah abortus
2. Pemeriksaan darah perifer lengkap
3. Pemeriksaan USG : untuk mengetahui pertumbuhan janin yang ada dan
mengetahui keadaan plasenta apakah sudah terjadi pelepasan atau belum.
Pemeriksaan USG baik dilakukan baik secara transabdominal maupun
transvaginal.

e. Tata laksana

Pengelolaan penderita ini sangat tergantung pada informed consent yang


diberikan.

- Pertahankan kehamilan, tidak perlu pengobatan khusus


- Penderita diminta untuk tirah baring sampai perdarahan berhenti
- Bisa diberikan spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi
tambahan hormone progesterone untuk mencegah abortus
- Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya pada pemeriksaan
antenatal termasuk pemantauan kadar Hb dan USG panggul serial setiap 4
minggu. Lakukan penilaian ulang jika perdarahan terjadi lagi
- Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan USG. Nilai
kemungkinan adanya penyebab lain.
- Penderita boleh dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan dengan pesan
khusus tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2
minggu.
- Prognosis : dilakukan dengan melihat hormone hCG pada urin dengan cara
melakukan tes urin kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran dan
pengenceran 1/10. Bila hasil tes urin kehamilan masih positif keduanya
maka prognosis adalah baik, bila negative adalah dubia ad malam

2.1.3 Abortus Insipiens


a. Definisi
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah mendatar
dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum
uteri dan dalam proses pengeluaran.
b. Anamnesis
Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuat,
perdarahannya bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan umur
kehamilan. Besar uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dengan tes urin
kehamilan masih positif.
c. Pemeriksaan Fisik
Pembesaran uterus yang masih sesuai dengan usia kehamilan, gerak janin dan
gerak jantung janin masih jelas walau mungkin sudah mulai tidak normal,
biasanya terjadi penipisan serviks uterus atau pembukaannya. Perhatikan juga
apakah ada pelepasan plasenta dari dinding uterus.
d. Penatalaksanaan
Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan perubahan
keadaan hemodinamik yangterjadi dan segera lakukan tindakan
evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan
banyak. Pada umur kehamilan di atas 12 minggu, uterus biasanya sudah
melebihi telur angsa tindakan evakuasi dan kuretase harus hati-hati, kalau perlu
dilakukan evakuasi dengan cara digital yang kemudian disusul dengan tindakan
kuretase sambil diberikan uterotonika. Hal ini diperlukan untuk mencegah
terjadinya perforasi pada dinding uterus.
Tatalaksana :
- Lakukan konseling untuk menjelaskan kemungkinan risiko dan rasa tidak
nyaman selama tindakan evakuasi, serta memberikan informasi mengenai
kontrasepsi pasca keguguran
- Jika usia kehamilan < 16 minggu : lakukan evakuasi dengan Aspirasi
Vakum Manual (AVM). Jika evakuasi tidak dapat dilakukan segera:
o Berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian
bila perlu)
o Rencanakan evakuasi segera
- Jika usia kehamilan > 16 minggu :
o Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan evakuasi sisa
hasil konsepsi dari dalam uterus.
o Bila perlu, berikan infus 20 IU oksitoksin dalam 500 ml NaCl 0,9%
atau RL dengan kec. 40 tpm untuk membantu pengeluaran hasil
konsepsi

2.1.4 Abortus kompletus

a. Definisi
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari
20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
b. Anamnesis
Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, osteum uteri telah menutup, uterus
sudah mengecil sehingga perdarahan sedikit. Nyeri perut atau kram ringan.
c. Pemeriksaan Fisik
Besar uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan. Pemeriksaan USG tidak
perlu dilakukan bila pemeriksaan secara klinis sudah memadai. Pada
pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7 - 1,0 hari setelah abortus.
d. Tatalaksana
Pengelolaan penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan.
Biasanya hanya diberi roboransia atau hematenik bila keadaan pasien
memerlukan. Uterotonika tidak perlu diberikan. Lakukan konseling untuk
memberikan dukungan emosional dan menawarkan kontrasepsi pasca
keguguran.

2.1.5 Abortus Inkompletus

a. Definisi
Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang
tertinggal. Batasan ini juga masih terpancang pada umur kehamilan kurang dari
20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
b. Anamnesis
Perdarahan biasanya masih terjadi jumlahnya pun bisa banyak atau sedikit
bergantung pada jaringan yang tersisa, yang menyebabkan sebagian placental
site masih terbuka sehingga perdarahan berjalan terus. Pasien dapat jatuh dalam
keadaan anemia atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi
dikeluarkan.

c. Pemeriksaan Fisik
Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di dalam uterus di mana pada
pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam
kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum.
d. Tatalaksana
Pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan
umum dan mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi untuk kemudian
disiapkan tindakan kuretase. Pemeriksaan USG hanya dilakukan bila kita ragu
dengan diagnosis secara klinis. Besar uterus sudah lebih kecil dari umur
kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit dikenali, di kavum uteri tampak
massa hiperekoik yang bentuknya tidak beraturan.
Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan
pengeluaran sisa hasil konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjal
terjadinya kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi uterus dapat
berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti. Selanjutnya dilakukan tindakan
kuretase. Tindakan kuretase harus dilakukan secara hati-hari sesuai dengan
keadaan umum ibu dan besarnya utems. Tindakan yang dianjurkan ialah dengan
karet vakum menggunakan kanula dari plastik. Pascatindakan perlu diberikan
uterotonika parenteral ataupun per oral dan antibiotika.

Kehamilan Anembrionik (Blighted Ovum)

Kehamilan anembrionik merupakan kehamilan patologi di mana


mudigah tidak terbentuk sejak awal walaupun kantong gestasi tetap terbentuk.
Di samping mudigah, kantong kuning telur juga tidak ikut terbentuk. Kelainan
ini merupakan suaru kelainan kehamilan yang baru terdeteksi seteiah
berkembangnya ultrasonografi. Bila tidak dilakukan tindakan, kehamilan ini
akan berkembang terus walaupun tanpa ada janin di dalamnya. Biasanya sampai
sekitar 1,4 - 1,6 minggu akan terjadi abortus spontan. Sebelum alat USG
ditemukan, kelainan kehamilan ini mungkin banyak dianggap sebagai abortus
biasa. Diagnosis kehamilan anembrionik ditegakkan pada usia kehamilan 7 - 8
minggu bila pada pemeriksaan USG didapatkan kantong gestasi tidak
berkembang atau pada diameter 2,5 cm yang tidak disertai adanya gambaran
mudigah. Untuk itu, bila pada saat USG penama kita mendapatkan gambaran
seperti ini perlu dilakukan evaluasi USG 2 minggu kemudian. Bila tetap tidak
dijumpai struktur mudigah atau kantong kuning telur dan diameter kantong
gestasi sudah mencapai 25 mm maka dapat dinyar.akan sebagai kehamilan
anembrionik. Pengelolaan kehamilan anembrionik dilakukan terminasi
kehamilan dengan dilatasi dan kuretase secara elektif.
2.1.6 Kehamilan Ektopik Terganggu

1. Pengertian
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur yang telah
dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri.
Ovum yang telah dibuahi (blastosit) secara normal akan melakukan implantasi pada
lapisan endometrium di kavum uteri. Bila nidasi terjadi diluar kavum uteri atau diluar
endometrium, maka terjadilah kehamilan ektopik.
Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang terjadi diluar kavin uteri. Dan sekitar
95% pada tula fallopii. Bentuk lainnya yaitu kehamilan servikal, kehamilan ovarial, dan
kehamilan abdominal
Di Amerika Serikat terjadi peningkatan jumlah kehamilan ektopik pada 2 dekade
terakhir dan merupakan penyebab kematian ibu terbanyak pada trimester pertama
kehamilan.
2. Etiologi
- Factor tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba menyempit
atau buntu
Keadaan uterus yang mengalami hypoplasia dan saluran tuba yang berkelok-kelok
panjang dapat menyebabkan fungsi silia tuba tidak berfungsi dengan baik. Juga
pada keadaan pascaoperasi rekanalisasi tuba dapat merupakan predisposisi
terjadinya kehamilan ektopik.
Factor tuba yang lain ialah adanya kelainan endometriosis tuba atau divertikel
saluran tuba yang bersifat kongenital
Adanya tumor disaluran tuba, misalnya mioma uteri atau tumor ovarium yang
menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba, juga dapat menyebabkan
kehamilan ektopik
- Factor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot akan
tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh
di saluran tuba
- Factor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan diangkat oleh tuba yang kontralateral dapat
membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga kemungkinan
terjadinya kehamilan ektopik lebih besar
- Factor hormonal
Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung progesterone dapat mengakibatkan
gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat menyebabkan terjadinya
kehamilan ektopik
- Factor lain
Termasuk di sini antara lain adalah pemakai IUD di mana proses peradangan yang
dapat timbul pada endometrium dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya
kehamilan ektopik. Factor umur penderita yang sudah menua dan factor perokok
juga sering dihubungan dengan terjadinya kehamilan ektopik.

3. Mekanisme terjadinya Kehamilan Ektopik

Terdapat sejumlah factor predisposisi yang dapat menyebabkan kerusakan tuda dan
disfungsi tuba. Riwayat operasi tuba sebelumnya, apakah untuk memperbaiki patensi
tuba ataupun untuk sterilisasi, meningkatkan risiko terjadinya penyempitan lumen.
Risiko untuk mezngalami kehamilan ektopik kembali setelah kehamilan ektopik
sebelumnya, sebesar 7-15%. Riwayat salpingitis-radang panggul merupakan risiko
yang umum ditemukan. Perlengketan perituba sebagai akibat dari pascaabortus ataupun
infeksi nifas, apendisitis, atau endometriosis dapat menyebabkan kingking pada tuba
dan menyempitkan lumen sehingga meningkatkan risiko kehamilan tuba. Riwayat
seksio sesarea dihubungan dengan risiko kehamilan ektopik rendah. Pertubasi
hormonal diduga dapat menyebabkan disfungsi tuba. Penggunaan kontrasepsi progestin
oral, estrogen dosis tinggi pascaovulasi (morning after pill) dan induksi ovulasi
meningkatkan risiko untuk mengalami kehamilan ektopik.

Patologi

Pada proses awal kehamilan apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium
untuk proses nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudian
mengalami beberapa proses seperti pada kehamilan pada umumnya. Perkembangan
janin selanjutnya bergantung pada beberapa factor (tempat implantasi, tebalnya dinding
tuba, dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh karena invasi trofoblas) Karena tuba
bukan merupakan suatu media yang baik untuk pertumbuhan embrio atau mudigah,
maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa perubahan dalam bentuk berikut ini.

 Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi

Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadinya resorbsi total. Dalam
keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haid terlambar untuk
beberapa hari.

 Abortus ke dalam lumen tuba (abortus tubaria)

Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah


oleh vili koreales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan
mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya
pseudokapsularis. Adanya perdarahan menyebabkan plasenta dan membrane
terlepas dari dinding tuba. Jika plasenta terlepas seluruhnya, semua produk
konsepsi dapat keluar melalui fimbria ke rongga abdomen/mudigah dengan
selaputnya dikeluarkan dari lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke
arah ostium tuba pars abdominalis. Saat itu perdarahan dapat berhenti dan gejala
umumnya menghilang. Perdarahan akan tetap terjadi selama produk konsepsi
tetap berada di tuba.

Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, bergantung pada derajat
perdarahan yang timbul. Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada
abortus, perdarahan akan terus berlangsung, darah akan menetes sedikit-sedikit melalui
tuba, sehingga berubah menjadi mola krueta. Perdarahan yang berlangsung terus
menyebabkan tuba membesar dan kebiruan (hematosalping), dan selanjutnya darah
mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba. Darah ini akan berkumpul di kavum
douglasi dan akan membentuk hematokel retrouterina. Jika fimbria mengalami oklusi,
darah akan terkumpul di tuba membentuk hidrosalfing(kondisi dimana terjadi sumbatan
pada saluran telur wanita/tuba fallopi dan terisi cairan/hidro)

Terjadinya abortus tuba bergantung pada lokasi implantasi. Umumnya terjadi


bila implantasi di ampulla, sebaliknya rupture tuba terutama penembusan dinding tuba
oleh vili koreales ke arah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars ismika
(daerah ismus). Perbedaan ini disebabkan oleh lumen pars ampularis lebih luas
sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi jika dibandingkan
dengan bagian ismus dengan lumen sempit.

 Rupture dinding tuba

Rupture tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya
pada kehamilan muda. Sebaliknya, rupture pada pars interstisialis terjadi pada
kehamilan lebih lanjut. Factor utama yang menyebabkan rupture ialah penembusan vili
koreales ke dalam lapisam muskularis tuba terus ke peritoneum. Rupture dapat terjadi
secara spontan atau karena trauma ringan seperti koitus(hubungan seksual) dan
pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut,
kadang-kadang sedikit, kadang-kadang banyak, sampai menimbulkan syok dan
kematian. Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam lumen
tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba abdominal.

Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, rupture sekunder dapat
terjadi. Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah
karena tekanan darah tuba. Pada rupture ke rongga perut semua hasil konsepsi dapat
keluar dari tuba Jika hasil konsepsi keluar dari rongga abdomen pada awal kehamilan,
implantasi dapat terjadi di daerah mana saja di rongga abdomen, asal terdapat sirkulasi
darah yang cukup, sehingga dapat bertahan dan berkembang, tetapi bila robekan tuba
kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Perdarahan tersebut
dapat berlangsung terus sehingga penderita akan cepat jatuh dalam keadaan anemia atau
syok oleh karena hemoragia. Darah akan tertampung pada rongga perut akan mengalir
ke kavum douglasi yang makin lama makin banyak dan akhirnya dapat memenuhi
rongga abdomen. Namun, hal tersebut jarang terjadi. Sebagian besar hasil konsepsi
yang berukuran kecil umumnya akan diresorbsi, Kadang-kadang, jika ukurannya besar,
dapat terahan di kavum Douglasi membentuk massa yang berkapsul atau mengalami
kalsifikasi membentuk lithopedon (kondisi dimana janin berkembang, meninggal dunia
dan membatu di luar uterus)
Kehamilan tuba

Fertilisasi dapat terjadi di bagian mana saja di tuba fallopii, sekitar 55% terjadi
di ampulla, 25% di ismus, 17% di fimbria. Oleh karena lapisan submukosa di tuba
fallopii tipis, memungkinkan ovum yang telah dibuahi dapat segera menembus sampai
ke epitel, zigot akan segera tertanam di lapisan muskuler. Trofoblas berproliferasi
dengan cepat dan menginvasi daerah sekitarnya. Secara bersamaan, pembuluh darah
ibu terbuka menyebabkan terjadinya perdarahan di ruang antara trofoblas, atau antara
trofoblas dan jaringan dibawahnya. Dinding tuba yang menjadi tempat implantasi zigot
mempunyai ketahan yang rendah terhadap invasi trofoblas, embrio atau janin pada
kehamilan ektopik seringkali tidak ditemukan atau tidak berkembang.

Gejala klinik

Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas, dan
penderita maupun dokternya biasanya tidak mengetahui adanya kelainan dalam
kehamilan, sampai terjadinya abortus tuba atau rupture tuba. Pada umumnya penderita
menunjukkan gejala-gejala kehamilan muda, dan mungkin nyeri sedikit di perut bagian
bawah yang tidak seberapa dihiraukan. Pada pemeriksaan vaginal uterus membesar dan
lembek walaupun mungkin tidak sebesar tuanya kehamilan.tuba yang mengandung
hasil konsepsi karena lembeknya sukar diraba pada pemeriksaan bimanual. Pada
pemeriksaan USG sangat membantu menegakkan diagnosis kehamilan ini apakah intra
uterin atau kehamilan ektopik. Untuk itu setiap ibu yang memeriksa kehamilan
mudanya sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG.

Apabila kehamilan ektopik mengalami penyulit atau terjadinya rupture pada


tuba tempat lokasi nidasi kehamilan ini akan memberikan gejala dan tanda yang khas
yaitu timbulnya sakit perut mendadak yang kemudian disusul dengan syok atau
pingsan. Ini adalah pertanda khas terjadinya kehamilan ektopik yang terganggu.

Walau demikian, gejala dan tanda kehamilan tuba terganggu sangat berbeda-
beda; dari perdarahan yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang
tidak jelas, sehingga sukar dibuat dibuat diagnosisnya. Gejala dan tanda bergantung
pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau rupture tuba, tuanya
kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi, dan keadaan umum penderita sebelum
hasil.
Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu. Pada
rupture tuba nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai
perdarahan yang menyebabkan penderita pingsan dan masuk ke dalam syok. Biasanya
pada abortus tuba nyeri tidak seberapa hebat dan tidak terus-menerus. Rasa nyeri mula-
mula terdapat pada satu sisi; tetapi setelah darah masuk ke rongga perut, rasa nyeri
menjalar ke bagian bawah tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam rongga
perut dapat merangsang diafragma, sehingga menyebabkan nyeri bahu dan bila
membentuk hematokel retrouterina, menyebabkan defekasi nyeri.

Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan


ektopik yang terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin, dan berasal dari kavum
uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan yang berasal dari uterus biasanya tidak
banyak dan berwarna cokelat tua. Perdarahan berarti gangguan pembentukan human
chorionic gonadotropin. Jika plasenta mati, desidua dapat dikeluarkan seluruhnya.

Amenorea merupakan juga tanda yang penting pada kehamilan ektopik


walaupun penderita sering menyebutkan tidak jelasnya ada amenorea, karena gejala
dan tanda kehamilan ektopik terganggu bias langsung terjadi beberapa saat setelah
terjadinya nidasi pada saluran tuba yang kemudiaan disusul dengan rupture tuba karena
tidak bisa menampung pertumbuhan mudigah/embrio selanjutnya. Lamanya amenorea
bergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak
mengalami amenorea karena kematian janin terjadi sebelum haid sebelumnya.

Pada kehamilan ektopik terganggu ditemukan – pada pemeriksaan vaginal –


bahwa usaha menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri, yang disebut dengan
nyeri goyang (+) atau slinger pijn. Demikian pula kavum Douglasi menonjol dan nyeri
pada perabaan oleh karena terisi darah. Pada abortus tuba biasanya teraba dengan jelas
suatu tumor disamping uterus dalam berbagai ukuran dengan konsistensi agak lunak.
Hematokel retrouterina dapat diraba sebagai tumor di kavum Douglasi. Pada rupture
tuba dengan perdarahan banyak tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat;
perdarahan lebih banyak lagi menimbulkan syok.

Pemeriksaan USG dapat dilakukan secara perabdominal atau pervaginam.


Umumnya kita akan mendapatkan gambaran uterus yang tidak ada kantong gestasinya
dan mendapatkan gambaran kantong gestasi yang berisi mudigah diluar uterus. Apabila
sudah terganggu (rupture) maka bangunan kantong gestasi sudah tidak jelas, tetapi akan
mendapatkan bangunan massa hiperekoik yang tidak beraturan, tidak berbatas tegas,
dan disekitarnya didapati cairan bebas (gambaran darah intraabdominal)

Gambaran klinik kehamilan ektopik bervariasi, tergantung bagian tuba yang


rupture. Gejala awal dan teknik pemeriksaan yang lebih baik memungkinkan untuk
dapat mengidentifikasi kehamilan tuba sebelum rupture pada beberapa kasus.
Umumnya perempuan tidak menyadari bahwa dirinya hamil atau berpikir bahwa
kehamilannya normal, atau mengalami abortus.

Tanda dan gejala kehamilan ektopik

Nyeri abdomen 97%


Perdarahan pervaginam 79%
Nyeri tekan abdomen 91%
Nyeri di daerah adneksa 54%
Riwayat infertile 15%
Akseptor ADR 14%
Riwayat kehamilan ektopik 11%

Gejala klinik akut

Setelah fase amenorea yang singkat, pasien mengeluh adanya perdarahan


pervaginam dan nyeri perut yang berulang. Sebaiknya, setiap perempuan yang
mengalami amenorea disertai nyeri perut bagian bawah dicurigai adanya kemungkinan
kehamilan ektopik. Pada keadaan subakut, dapat teraba massa disalah satu sisi forniks
vagina.

Kadar hemoglobin akan turun akibat perdarahan di rongga abdomen, tetapi


lekosit umumnya normal atau sedikit meningkat. Hasil negative pada pengukuran kadar
bega-hCG akan menyingkirkan kehamilan ektopik dengan spesifitas lebih 99%
Pemeriksaan untuk mendeteksi kehamilan ektopik

Diagnosis

Bila diduga ada kehamilan ektopik yang belum terganggu, penderita segera
dirawat di rumah sakit. Alat bantu diagnostic yang dapat digunakan ialah
ultrasonografi, laparoskopi, atau kuldoskopi.

Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis mendadak tidak banyak


mengalami kesukaran. Untuk mempertajam diagnosis, maka pada tiap perempuan
dalam masa reproduksi dengan keluhan nyeri perut bagian bawah atau kelainan haid,
kemungkinan kehamilan ektopik harus dipikirkan. Nyeri perut bagian bawah, nyeri
bahu, tenesmus, dapat dinyatakan. Perdarahan pervaginam terjadi setelah nyeri perut
bagian bawah.

Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostic terakhir untuk


kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostic yang lain meragukan.
Melalui laparoskopi, alat kandungan bagaian dalam dapat dinilai.

Terapi

Pasien dengan hemodinamik baik, sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah


untuk persediaan transfusi. Laparotomy dilakukan sesegera mungkin dan
mengeluarkan tuba yang rusak
Pembedahan

1. Salpingektomi

Jika tuba mengalami kerusakan hebat atau tuba kontralateral baik. Jika
implantasi terjadi di pars interstisial, mungkin dapat dilakukan reseksi kornu uterus

2. Salpingottomi

Jika hasil konsepsi masih berada di tuba, masih memungkinkan untuk


mempertahankan tuba dengan mengeluarkan produk konsepsi dan melakukan
rekonstruksi tuba. Hal ini terutama dilakukan bila tuba kontralateral rusak atau tidak ada.

Medikamentosa

Terapi medikamentosa untuk kehamilan ektopik dengan pemberian metotreksat, baik


secara sistemik maupun dengan injeksi ke kehamilan ektopik melalui laparoskopi atau dengan
bantuan USG

Syarat pemberian metotreksat adalah:

- Tidak ada kehamilan intrauterine


- Belum terjadi rupture
- Ukuran massa adneksa ≤ 4 cm
- Kadar beta-hCG ≤ 10.000 mIU/ml

Metotreksat menghambat produksi hCG oleh trofoblas, dan selanjutnya akan menurunkan
produksi progesterone oleh korpus luteum. Efek samping yang dapat terjadi adalah distress
abdomen, demam, dizziness, imunosupresi, lekopeni, malaise, nausea, stomatitis ulseratif,
fotosensitif, dan fatiq.

• Dengan KU stabil, dapat dilakukan laparoskopi, Bisa diberikan metotrexat IM,


diberikan jika kehamilan ektopik belum terganggu. Jika sudah ruptur, tidak boleh
diberikan. Efek samping yang dapat terjadi adalah distress abdomen, demam, dizziness,
imunosupresi, lekopeni

• KU buruk, bisa dilakukan laparostomi

• Penatalaksanaan bedah :
1. Salpingostomi, suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang
berdiameter kurang dari 2cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopi

2. Salpingektomi, di indikasikan pada KET mengalami ruptur


DAFTAR PUSTAKA

1.Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

2.Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kandungan. Jakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai