Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN

Menurut National Centre for Health Statistic, Centre for Disease Control and Prevention, dan World Health Organization mendefinisikan abortus sebagai penghentian kehamilan sebelum janin mencapai viabilitas sebelum usia kehamilan 20-22 minggu, dengan berat badan kurang dari 500 gram (Cunningham dkk, 2010). Kejadian abortus diduga mempunyai efek terhadap kehamilan berikutnya, baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil kehamilan itu sendiri. Wanita dengan riwayat abortus mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya persalinan prematur, abortus berulang, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (Cunningham, 2005). Insidensi abortus sulit ditentukan karena kadangkadang wanita dapat mengalami abortus tanpa mengetahui bahwa ia hamil, dan tidak mempunyai gejala yang hebat sehingga hanya dianggap sebagai menstruasi yang terlambat (siklus memanjang). Abortus meningkat sebesar 12% pada wanita usia kurang dari 20 tahun dan meningkat sebesar 26% pada usia lebih dari 40 tahun. Insiden terjadinya abortus meningkat jika jarak persalinan dengan kehamilan berikutnya 3 bulan (Sastrawinata, 2004). Insiden abortus berulang terjadi pada 1 dalam 300 kehamilan. Risiko terjadinya abortus pada kehamilan berikutnya meningkat 30% setelah mengalami 2 kali keguguran dan 33% setelah mengalami 3 kali keguguran (Ford HB, Schust DJ, 2009). Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perincian, 1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura, antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia, antara 155.000 sampai 750.000 di Filipina, antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand. Tidak dikemukakan perkiraan tentang abortus di Kamboja, Laos dan Myanmar (Azhari, 2002). Di Indonesia angka kematian Ibu (AKI) menurut survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 2002/2003) masih berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup. Kejadian abortus di Indonesia setiap tahun terjadi 2 juta kasus. Ini artinya terdapat 43 kasus abortus per 100 kelahiran hidup. Menurut sensus penduduk tahun 2000, terdapat 53.783.717 perempuan usia 15 49 tahun, dan dari jumlah tersebut terdapat 23 kasus abortus per 100 kelahiran hidup (Utomo, 2001)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Menurut National Centre for Health Statistic, Centre for Disease Control and Prevention, dan World Health Organization, abortus adalah penghentian kehamilan sebelum janin mencapai viabilitas sebelum usia kehamilan 20-22 minggu, dengan berat badan kurang dari 500 gram (Cunningham dkk, 2010). Abortus habitualis didefinisikan sebagai abortus spontan yang terjadi tiga kali atau lebih secara berturut-turut (Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2006). 2.2 Etiologi Terdapat banyak kemungkinan penyebab dasar abortus habitualis, kurang lebih 40% sebab dasarnya tidak diketahui. Penelitian di lebih dari 400 penderita abortus berulang yang dilakukan di Universitas Utah didapatkan 68% penyebabnya tidak diketahui. Menurut Ford dan Schust (2009), menjelaskan bahwa penyebab abortus berulang yang diketahui yakni: 1. 2. Kelainan zygote: kelainan genetik (kromosomal) pada suami atau istri (2%-5%). Gangguan hormonal. Di wanita dengan abortus habitualis, ditemukan bahwa fungsi glandula tiroidea kurang sempurna. Hubungan peningkatan antibodi antitiroid dengan abortus berulang masih diperdebatkan karena beberapa penelitian menunjukkan hasil yang berlawanan. Luteal phase deficiency (LPD) adalah gangguan fase luteal. Gangguan ini bisa menyebabkan disfungsi tuba dengan akibat transpor ovum terlalu cepat, mobilitas uterus yang berlebihan, dan kesukaran nidasi karena endometrium tidak dipersiapkan dengan baik. Penderita dengan LPD mempunyai karakteristik siklus haid yang pendek, interval post ovulatoar kurang dari 14 hari dan infertil sekunder dengan recurrent early losses (17%-20%). 3. Gangguan nutrisi. Berbagai penyakit seperti anemia berat, penyakit menahun dan lainlain dapat mempengaruhi gizi ibu sehingga mengganggu persediaan berbagai zat makanan untuk janin yang sedang tumbuh. 4. Penyakit infeksi. Infeksi Toksoplasma, virus Rubela, Cytomegalo dan herpes merupakan penyakit infeksi parasit dan virus yang selalu dicurigai sebagai penyebab abortus melalui

mekanisme terjadinya plasentitis. Mycoplasma, Lysteria dan Chlamydia juga merupakan agen yang infeksius dan dapat menyebabkan abortus habitualis. Penyakit pembuluh darah kolagen lupus eritematosus sistemik (SLE) (Autoimmune disorder) (0,5%-5%). 5. Kelainan pada serviks dan uterus. Abortus juga dapat disebabkan oleh kelainan anatomik bawaan, laserasi uterus yang luas, serviks inkompeten yang membuka tanpa rasa nyeri, sehingga ketuban menonjol dan pecah. Di mioma uteri submukus terjadi gangguan implantasi ovum yang dibuahi atau gangguan pertumbuhan dalam kavum uteri (10%15%). 6. Autoimun. Sekarang ini makin dikenal antiphospholipid syndrome (APS), yaitu kekacauan autoimun yang menyebabkan abortus habitualis karena trombosis vaskularisasi plasenta. APS adalah gangguan otoimun yang ditandai oleh trombosis pembuluh darah vena dan atau arteri, abortus berulang yang berhubungan dengan trombosis di vaskularisasi plasenta, trombositopeni, kelainan neurologi, livido retikularis dan adanya antibodi antiphospholipid di dalam darah. negatif. Bagaimana timbulnya antigen tersebut Antibodi Antiphospholipid diketahui. Antibodi merupakan autoantibodi terhadap antigen yang terdiri dari phospholipid bermuatan belum Antiphospholipid terdiri dari IgG, IgM dan IgA. Antibodi Antiphospholipid yang terpenting dalam klinis yaitu antikoagulan lupus (LA) dan antibodi antikardiolipin (ACA). Pada APS terjadi trombosis vaskularisasi plasenta, sehingga menyebabkan abortus berulang. Kejadian yang sering dilaporkan di kelompok wanita usia subur adalah abortus berulang oleh karena adanya infark yang luas di plasenta. Adanya trombosis dan vaskulopati arteri spiralis ibu menyebabkan isufisiensi dan hipoksia jaringan plasenta. Hal ini yang dapat menyebabkan abortus. Teori yang sederhana sebagai penyebab abortus di APS adalah darah kental tidak mampu melewati pembuluh darah paling kecil di plasenta. Plasenta mengkerut dan embrio/fetus tidak dapat hidup dan terjadilah keguguran (20%). 2.3 Patofisiologi Pada awal abortus terjadi pendarahan dalam desidua basalis, kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan disekitarnya yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu vili korialis belum menembus desidua secara dalam, jadi hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna dan menimbulkan

banyak pendarahan. Pada kehamilan lebih 14 minggu, janin dikeluarkan lebih dahulu dari pada plasenta. Pendarahan tidak banyak jika plasenta segera dilepas dengan lengkap. Peristiwa abortus ini menyerupai persalinan dalam bentuk miniatur. Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada kalanya kantong amnion kosong atau tampak kecil tanpa bentuk yang jelas, mungkin pula janin telah mati lama, mola kruenta, maserasi,fetus kompresus. 2.4 Manifestasi Klinis (http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/08/abortus-habitualis.html) Terjadi abortus spontan secara berulang dan berturut-turut sekurang -kurangnya 3 kali . Gejala terjadinya abortus adalah sebagai berikut : Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu. Pada pemeriksaan fisik : Keadaan umum tampak lemah atau kesadaran menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat. Perdarahan pervaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi. Rasa nyeri atau kram perut di daerah atas simfisis, sering disertai nyeri pinggang akibat kontraksi uterus Pemeriksaan ginekologi : - Inspeksi vulva : perdarahan pervaginam, ada / tidak jaringan hasil konsepsi, tercium/tidak bau busuk dari vulva. - Inspekulo : perdarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah tertutup, ada/tidak jaringan keluar dari ostium uteri, ada/tidak cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium uteri. - Periksa dalam vagina : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada perabaan adneksa, kavum Douglasi, tidak menonjol dan tidak nyeri. 2.5 Diagnosis (http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/08/abortus-habitualis.html) Pada umumnya, diagnosis abortus ditegakkan berdasarkan : Anamnesis : Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan anamnesis. Gejalanya seperti abortus imminens yang kemudian menghilang secara spontan disertai kehamilan menghilang,

mamma

agak

mengendor,

uterus

mengecil,

tes

kehamilan

negatif.

Adanya perdarahan, haid terakhir, pola siklus haid, ada tidak gejala / keluhan lain, cari faktor risiko / predisposisi. Riwayat penyakit umum dan riwayat obstetri / ginekologi. Wanita usia reproduktif dengan perdarahan pervaginam abnormal harus selalu dipertimbangkan kemungkinan adanya kehamilan. Pemeriksaan fisis umum Periksa keadaan umum dan tanda vital secara sistematik. Jika keadaan umum buruk lakukan resusitasi dan stabilisasi segera. Pemeriksaan Ginekologi Jika memungkinkan, cari sumber perdarahan : apakah dari dinding vagina, atau dari jaringan serviks, atau darah mengalir keluar dari ostium. Pemeriksan dalam vagina dilakukan untuk menentukan besar dan letak uterus. Adneksa dan parametrium diperiksa, ada tidaknya massa atau tanda akut lainnya. Laboratorium Jika diperlukan, ambil darah / cairan / jaringan untuk pemeriksaan penunjang (ambil sediaan sebelum pemeriksaan dalam vagina). Pemeriksaan Penunjang Dengan USG dapat diketahui apakah janin sudah mati dan besarnya sesuai dengan usia kehamilan. Dengan human chorionic gonadotropin (hCG) test bisa diketahui kemungkinan kehamilan. Khususnya diagnosis abortus habitualis karena inkompetensi serviks menunjukkan gambaran klinik yang khas, yaitu dalam kehamilan triwulan kedua terjadi pembukaan serviks tanpa disertai nyeri perut bawah, ketuban menonjol dan pada suatu saat pecah. Kemudian timbul nyeri perut bawah yang selanjutnya diikuti oleh pengeluaran janin yang biasanya masih hidup dan normal. Apabila penderita datang dalam triwulan pertama maka gambaran klinik tersebut dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan dalam vagina tiap minggu. Penderita tidak jarang mengeluh bahwa ia mengeluarkan banyak lendir dari vagina. Diluar kehamilan penentuan serviks inkompeten dilakukan dengan histerosalpingografi dimana ostium internum uteri melebar lebih dari 8 mm. 2.6 Penatalaksanaan

Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak diketahui. Oleh karena itu, penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga. Terapi dengan hormon progesteron, vitamin, hormon tiroid, dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis. (http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/08/abortus-habitualis.html) Risiko perdarahan pervaginam yang hebat maka perlu diperhatikan adanya tandatanda syok dan hemodinamik yang tidak stabil serta tanda-tanda vital. Jika pasien hipotensi, diberikan secara intravena-bolus salin normal (NS) untuk stabilisasi hemodinamik, memberikan oksigen, dan mengirim jaringan yang ada, ke rumah sakit untuk diperiksa. Menurut Pedoman Pengobatan Dasar Di Puskesmas 2007, penatalaksanaan abortus pada tingkat puskesmas adalah sebagai berikut: Pada puskesmas non perawatan :

1. Abortus Imminens - Tirah baring sedikitnya 2 3 hari (sebaiknya rawat inap) - Pantang senggama - Setelah tirah baring 3 hari, evaluasi ulang diagnosis, bila masih abortus imminens tirah baring di lanjutkan - Mobilisasi bertahap (duduk berdiri berjalan) dimulai apabila diyakini tidak ada perdarahan pervaginam 24 jam 2. Abortus tingkat selanjutnya - Bila mungkin lakukan stabilisasi keadaan umum dengan pembebasan jalan nafas, pemberian oksigenasi (O2 2 - 4 liter per menit), pemasangan cairan intravena kristaloid (Ringer Laktat / Ringer Asetat / NaCl 0,9 %) sesuai pedoman resusitasi. - Pasien dirujuk setelah tanda vital dalam batas normal ke Puskesmas Perawatan atau RS Pada puskesmas perawatan

1. Abortus Imminens - Seperti pada Puskesmas non perawatan 2. Abortus Insipiens - Antibiotika profilaksis : Ampisilin i.v sebelum tindakan kuretase. - Perlu segera dilakukan pengeluaran hasil konsepsi dan pengosongan kavum uteri. Dapat dilakukan dengan abortus tang, sendok kuret, dan kuret hisap - Uterotonika : Oksitosin 10 IU i.m

3. Abortus Inkompletus - Perlu segera dilakukan pengosongan kavum uteri. Dapat dilakukan dengan abortus tang, sendok kuret, dan kuret hisap - Segera atasi kegawatdaruratan : 1. Oksigenisasi 2 4 liter/menit 2. Pemberian cairan i.v kristaloid (NaCl 0,9%, Ringer Laktat, Ringer Asetat) 3. Transfusi bila Hb kurang dari '3d 8 g/dl 4. Abortus Kompletus - Evaluasi adakah komplikasi abortus (anemia dan infeksi) - Apabila dijumpai komplikasi, penatalaksanaan disesuaikan - Apabila tanpa komplikasi, tidak perlu penatalaksanaan khusus.
(Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007. Jakarta : Departemen Kesehatan RI, 2007)

Pada serviks inkompeten, apabila penderita telah hamil maka operasi untuk menguatkan ostium uteri internum sebaiknya dilakukan pada kehamilan 12 minggu. Dasar operasi ialah memperkuat jaringan serviks yang lemah dengan melingkari daerah ostium uteri internum dengan benang sutra atau dakron yang tebal. Bila terjadi gejala dan tanda abortus insipien, maka benang harus segera diputuskan, agar pengeluaran janin tidak terhalang. Tindakan untuk mengatasi inkompetensi serviks yaitu dengan penjahitan mulut rahim yang dikenal dengan teknik Shirodkar Suture atau dikenal juga dengan cervical cerclage atau pengikatan mulut lahir. Cara ini bisa menghindari ancaman janin lahir prematur. Faktor keberhasilannya hingga 85 - 90 persen. Tindakan ini biasanya dilakukan sebelum kehamilan mencapai usia 20 minggu dengan mengikat mulut rahim agar tertutup kembali sampai masa kehamilan berakhir dan janin siap untuk dilahirkan. Tindakan pengikatan mulut rahim dilakukan dengan pembiusan lokal dan menggunakan benang berdiameter 0,5 cm, yang bersifat tidak dapat diserap oleh tubuh. Jahitan ini akan dilepas pada saat kehamilan mencapai usia 36-37 minggu, atau saat bayi sudah siap dilahirkan. Agar tindakan pengikatan berfungsi optimal. Pasien tidak boleh berhubungan seksual dengan pasangan selama 1-2 minggu sampai ikatan cukup stabil. Pengikatan ini umumnya akan dibuka setelah kehamilan mencapai 37 minggu, kehamilan cukup bulan sekitar 7 bulan, atau bila ada tanda-tanda melahirkan.

Gambar 2.1 Shirodkar suture

Jika abortus habitualis disebabkan oleh APS, maka terapi untuk trombosis pada sindroma antifosfolipid adalah dengan menggunakan antikoagulan yang aman digunakan pada kehamilan, yaitu Tinzaparin (heparin dengan berat molekul rendah/LMWH) . Seperti semua antikoagulan, LMWH harus digunakan dengan hati-hati dalam wanita dengan dugaan gangguan perdarahan, trombositopenia, penyakit hati dan ginjal. (GUIDELINES FOR THERAPEUTIC ANTICOAGULATION IN PREGNANCY . O &
G DIRECTORATE MEDICAL GUIDELINE. 2009)

Tabel. 2.1 Dosis Pemberian LMWH Syringe size (tinzaparin) 0.5ml weight (kg) 40 injection vol (ml) 0.35 prescribed dose (anti Xa iu) 7000

0.7ml

0.9ml

45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 105 >105

0.40 0.45 0.50 0.55 0.55 0.60 0.65 0.70 0.75 0.80 0.85 0.90 0.90 combine doses to reach weight eg if 120kg use 2 x 60kg = 2 x 0.7ml syringes

7875 8750 9625 10500 11375 12250 13125 14000 14875 15750 16625 17500 18375

2.7 Komplikasi Komplikasi abortus habitualis adalah sebagai berikut : Perdarahan Penyebab kematian kedua yang paling penting adalah perdarahan. Perdarahan dapat disebabkan oleh abortus yang tidak lengkap atau cedera organ panggul atau usus. Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian biasanya disebabkan oleh tidak tersedianya darah atau fasilitas Infeksi Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang merupakan flora normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu staphylococci, streptococci, Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma, Treponema (selain T. paliidum), Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis, sedangkan pada vagina ada lactobacili,streptococci, staphylococci, Gram negatif enteric bacilli, Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur. Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas pada desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri tinggi dan infeksi menyebar ke perimetrium, tuba, parametrium, dan peritonium. Organismeorganisme yang paling sering mengakibatkan infeksi paska abortus adalah E.coli, Streptococcus non hemolitikus, Streptococci anaerob, Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitikus, dan Clostridium perfringens. Bakteri lain yang kadang dijumpai adalah Neisseria transfusi rumah sakit serta keterlambatan pertolongan yang diberikan.

gonorrhoeae, Pneumococcus dan Clostridium tetani. Streptococcus pyogenes potensial berbahaya oleh karena dapat membentuk gas. Sepsis Syok Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi berat. (http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/08/abortus-habitualis.html)

Anda mungkin juga menyukai