Anda di halaman 1dari 9

Perdarahan

Perdarahan merupakan salah satu penyebab kematian ibu hamil; jika faktor risiko tidak dikenali,
diagnosis akan tertunda, yang akan mengakibatkan masalah yang akan ditangani nanti. 1
Pendarahan kehamilan telah berkembang menjadi masalah yang sangat parah di masyarakat
Indonesia, yang memiliki angka kematian yang tinggi di kalangan ibu.

Anemia dan kekurangan energy kronis (KEK) pada ibu hamil menjadi penyebab utama
terjadinya perdarahan dan infeksi yang merupakan faktor kematian utama ibu.Di berbagainegara
paling sedikit Wahidah Vol 2 No 1 (2018): Maret seperempat dari seluruh kematian ibu
disebabkan oleh perdarahan, proporsinya berkisar antara kurang dari 10% sampai hampir 60%.
Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami perdarahan pasca persalina,
namun ia akan menderita akibat kekurangan darah yang berat (anemia berat) dan akan
mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan.

Tablet Fe merupakan mineral yang dibutuhkan untuk membentuk sel darah merah (hemoglobin).
Selain itu, mineral ini juga berperan sebagai komponen untuk membentuk mioglobin (protein
yang membawa oksigen ke otot), kolagen (protein yang terdapat di tulang, tulang rawan, dan
jaringan penyambung), serta enzim. Tablet Fe juga berfungsi dalam sistim pertahanan tubuh.
Tablet Fe sangat penting bagi kesehatan ibu hamil, diantaranya: mencegah terjadinya anemia
defisiensi besi, mencegah terjadinya perdarahan pada saat persalinan dan dapat meningkatkan
asupan nutrisi bagi janin. Untuk para ibu hamil perlu mengkonsumsi makanan yang mengandung
tinggi Fe.Seperti: daging merah, hati, sayuran hijau, kacang-kacangan dan mengkonsumsi cukup
vitamin c juga penting, dimana vitamin c dapat membantu dalam penyerapan Fe itu sendiri

A. Trimester 1
Kemungkinan penyebab terjadinya perdarahan pada trimester pertama meliputi
perdarahan subkorionik, kematian embrio, kehamilan tanpa embrio, abortus inkomplit,
kehamilan ektopik, dan kehamilan mola. Untuk mengevaluasi perdarahan, dilakukan
anamnesis siklus haid terakhir untuk memperkirakan usia gestasi. Pada pasien yang
stabil, pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui ukuran dan posisi uterus, auskultasi
denyut jantung janin dengan Doppler (ika sudah minggu ke 10- 11 sejak menstruasi
terakhir), dan pemeriksaan bimanual untuk massa dan nyeri tekan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Hubungan Pengetahuan Ibu dengan
resiko terjadinya perdarahan pada trimeseter I (satu) di Puskesmas Malifut, Maluku
Utara. menunjukan Bahwa dari 40 orang ibu hamil yang yang berpengetahuan “kurang”
yang tidak memiliki resiko perdarahan sebanyak 1 orang (2.5%) dan yang memiliki
resiko perdarahan sebanyak 11 orang (27.5%) Sedangkan Ibu hamil yang berpengetahuan
“Baik” yang tidak memiliki resiko perdarahan sebanyak 25 orang (62.5%) dan yang
memiliki resiko perdarahan sebanyak 3 orang (7.5%).
Menurut temuan penelitian yang dilakukan di Puskesmas Malifut Maluku Utara pada
ibu hamil trimester pertama, diketahui ada hubungan antara dukungan anggota keluarga
dengan kemungkinan terjadinya perdarahan saat hamil. menunjukkan bahwa dari empat
puluh ibu hamil yang tidak mendapat bantuan dari keluarganya, lima (12,5%) tidak
memiliki risiko perdarahan sedangkan delapan (20%) memang memiliki risiko
perdarahan saat persalinan dan melahirkan. Sedangkan ibu hamil yang mendapat
dukungan keluarga dan tidak memiliki risiko perdarahan berjumlah 21 orang (52,5%),
sedangkan ibu hamil yang memiliki risiko perdarahan berjumlah sedikitnya enam orang
(15,0%).
1. Abortus
Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan yaitu berat janin yang kurang dari 500 gram atau usia kehamilan kurang
dari 20 minggu. Abortus pada kehamilan akan mengakibatkan pengaruh yang buruk
pada ibu diantaranya adalah perdarahan, perforasi uterus terutama pada uterus dalam
posisi hiperretofleksi, syok hemoragik, infeksi dan juga kematian pada ibu.
Faktor risiko abortus spontan meliputi faktor endokrin (defisiensi progesteron,
penyakit tiroid, diabetes mellitus tidak terkontrol), aneuploidi genetik (menyumbang
sekitar setengah dari aborsi spontan), faktor imun (sindrom antifosfolipid, SLE),
infeksi (seperti chlamydia, gonorrhea, herpes, listeria, mycoplasma, sifilis,
toksoplasmosis), paparan kimia, paparan radiasi, dan faktor uterus (retroversi uteri,
mioma uteri, kelainan bawaan uterus).
Secara umum abortus dapat dikelompokkan atas:
a. Abortus iminens
Merupakan abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya
abortus, ditandai dengan perdarahan pervaginam, ostium uteri tertutup, dan hasil
konsepsi masih baik di dalam kandungan. Pasien mengeluh mulas sedikit atau
tidak ada keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam.
b. Abortus insipiens
Abortusinsipiens merupakan abortus yang sedang mengancam yang ditandai
dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, namun hasil
konsepsi masih di dalam kal'um uteri dan dalam proses pengeluaran. Pasien
mengeluh mulas karena kontraksi yang sering dan kuat. Besar uterus masih sesuai
dengan usia kehamilan. Pada pemeriksaan USG ukuran uterus masih sesuai, dan
terlihat penipisan serviks uterus atau pembukaannya
c. Abortus inkompletus
Abortus inkompletus merupakan pengeluaran sebagian hasil konsepsi sebelum
usia kehamilan 20 minggu dengan masih ada sebagian konsepsi yang tertinggal di
dalam uterus. Pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan
teraba jaringan dalam kar,um uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum.
Ciri abortus inkompletus meliputi perdarahan yang banyak disertai kontraksi,
kanalis servikalis yang terbuka, dan sebagian jaringan telah keluar. Perdarahan
biasanya masih terjadi dan pasien dapat jatuh ke dalam keadaan anemia atau syok.
d. Abortus kompletus
Abortus kompletus ditandai dengan telah keluamya seluruh hasil konsepsi. Pada
penderita didapati perdarahan yang sedikit, ostium uteri sebagian besar telah
menutup, dan uterus yang telah mengecil. Pemeriksaan USG tidak perlu
dilakukan bila pemeriksaan klinis telah memadai. Pemeriksaan tes urin biasanya
masih positif sampai 7-10 setelah abortus
e. Missed abortion
Missed abortion ditandai dengan telah terjadinya kematian hasil konsepsi di
dalam kandungan, tidak adanya pertambahan tinggi fundus uterus, serta tidak
disertai perdarahan pervaginam, pembukaan serviks maupun kontraksi uterus.
Pada pemeriksaan tes urin kehamilan memberikan hasil negatif, dan pada
pemeriksaan USG didapatkan uterus dan kantong gestasi yang mengecil dan tidak
beraturan. Pada kehamilan kurang dai 12 minggu, dilakukan tindakan evakuasi
berupa dilatasi dan kuretase. Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, dilakukan
induksi dengan infus oksitosin intravena.
f. Abortus habitualis, merupakan abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih
secara berturut-turut.
g. Abortus infeksiosa dan septik
Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai infeksi pada genitalia. Abortus
septik adalah abortus inftksius berat disertai penyebaran kuman atau toksin ke
dalam peredaran darah atau peritoneum. Diagnosis abortus infeksius ditentukan
dengan adanya abortus yang disertai gejala dan tanda infeksi alat genital seperti
demam, takikardi, perdarahan pervaginam yang berbau, uterus yang besar namun
lembek, nyeri tekan uterus, dan leukositosis. Apabila terdapat sepsis, penderita
tampak sakit berat, demam tinggi, dan penurunan tekanan darah.

2. Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan ovum yang telah dibuahi, namun
tidak tumbuh dan berimplantasi pada dinding endometrium kavum uteri. Di Amerika
Serikat, kehamilan ektopik terjadi pada 1 dai 64 hingga 1 dari 241 kehamilan dan
bertanggung jawab terhadap 6% kematian ibu di Amerika Serikat.
Faktor risiko kehamilan ektopik meliputi pemakaian alat kontrasepsi, riwayat
kehamilan ektopik, riwayat paparan uterus terhadap diethylstilbestrol, riwayat infeksi
genital (PID, chlamydia, atau gonore), riwayat operasi tuba (ligasi tuba atau
reanastomosis tuba setelah ligasi tuba), fertilisasi in vitro, infertilitas, dan merokok.
Pada proses awal kehamilan, apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium
untuk proses nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudian akan
mengalami beberapa proses seperti pada kehamilan normal. Karena tuba bukanlah
suatu medium yang baik untuk pertumbuhan embrio atau mudigah, maka
pertumbuhan dapat mengalami perubahan dalam bentuk berikut:
a. Hasil konsepsi mati dini dan diresorpsi
b. Abortus ke dalam lumen tuba
c. Ruptur dinding tuba, Ruptur dinding tuba sering te{adi bila ovum berimplantasi
pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda dikarenakan penembusan vili
korialis ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum.

Penalaksanaan :

a. Pembedahan.
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik
terutama pada KET dimana terjadi aborlus atau ruptur pada tuba. Penatalaksanaan
pembedahan terbagi atas dua yaitu pembedahan konservatif dan radikal.
Pembedahan konservatif terutama ditujukan pada kehamilan ektopik yang
mengalami ruptur pada tubanya. Terdapat dua kemungkinan prosedur yang dapat
dilakukan yaitu salpingotomi linier, atau reseksi segmental. Pendekatan dengan
pembedahan konservatif ini mungkin dilakukan apabila diagnosis kehamilan
ektopik cepat ditegakkan sehingga belum terjadi ruptur pada tuba.
b. Salpingektomi.
Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba mengalami ruptur,
karena perdarahan intraabdominal akan te{adi dan harus segera diatasi.
c. Medikamentosa.
Terapi medikamentosa yang utama pada kehamilan ektopik adalah methotrexate
(MTX). MTX ini akan menghentikan proliferasi trofoblas. Pemberian MTX dapat
secara oral, sistemik IV, IM, atau injeksi lokal dengan panduan USG atau
laparoskopi. Kriteria untuk terapi Methotrexate adalah: (1) kehamilan di pars
ampularis tuba belum pecah; (2) diameter kantong gestasi < 100 ml; (4) tanda
vital baik dan stabil.

3. Molahidatidosa
Molahidatidosa merupoakan kehamilan yang berkembang tidak wajar(konsepsi yang
patologis) dimana tidak ditemukan janin dan hamper seluruh vili korialis mengalami
perubahan/degenerasi hidropobik menyerupai buah anggur atau mata ikan. Uterus
melunak dan berkembang lebih cepat dari usia kehamilan yang normal, tidak
ditemukan adanya janin,
Penyebab dari mola tidak diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya mola:
a. Faktor ovum yang memang sudah patologik, tetapi terlambat untuk dikeluarkan;
b. Imunoselektif dari trofoblas;
c. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah;
d. Malnutrisi, defisiensi protein, asam folat, karoten, vitamin, dan lemak hewani;
e. Paritas tinggi;
f. Umur, risiko tinggi kehamilan dibawah 20 atau diatas 40 tahun;
g. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas;
h. Suku bangsa (ras) dan faktor geografi yang belum jelas.

Gejala kehamilan mola adalah amenore, perdarahan vagina berupa discharge


berwarna merah gelap atau merah terang, serta hiperemesis gravidarum.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis
pasien memiliki riwayat menstruasi yang telat pada beberapa siklus haid. Ibu tidak
merasakan adanya pergerakan anak. Pada pemeriksaan fisik ditemukan ukuran uterus
yang lebih besar dari usia kehamilan, serta tidak ditemukan tanda kehamilan pasti
seperti balotemen dan denyut jantung janin.
Penatalaksanaan pada mola hidatidosa terdiri dai 4 tahap, yaitu:
a. Perbaiki keadaan umum
b. Pengeluaran jaringan mola, dengan tindakan vakum kuretase, atau histerektomi.
c. Terapi profilaksis dengan sistostatika Terapi ini diberikan pada kasus mola
dengan risiko tinggi akan terjadi keganasan, misalnya pada umur tua (>35 tahun),
riwayat kehamilan mola sebelumnya, dan paritas tinggi yang menolak untuk
dilakukan histerektomi, atau kasus dengan hasil histopatologi yang
mencurigakan.Biasanya diberikan methotrexate (MTX) atau actinomycin D.
d. Follow up Seperti diketahui, 20-30% dari penderita pasca kehamilan mola komplit
dapat mengalami transformasi keganasan menjadi tumor trofoblas gestasional.
Keganasan dapat terjadi dalam waktu satu minggu sarhpai tiga tahun pasca
evakuasi. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya suafifollow up. Selama
pengawasan, dilakukan pemeriksaan ginekologi, kadar BhCG, dan radiologi
secara berkala.

B. Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum merupakan perdarahan yang berasal dari traktus genitalia
setelah usia kehamilan 24 minggu dan sebelum onset pelahiran janin. Frekuensi
pendarahan antepartum sekitar 3% sampai 4% dari semua persalinan sedangkan kejadian
pendarahan antepartum di rumah sakit lebih tinggi karena menerima rujukan. Penanganan
pendarahan antepartum memerlukan perhatian karena dapat saling memengaruhi dan
merugikan janin dan ibunya. Setiap pendarahan antepartum yang dijumpai oleh bidan,
sebaiknya dirujuk ke rumah sakit atau ke tempat dengan fasilitas yang memadai, karena
memerlukan tatalaksana khusus
1. Plasenta Previa
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim
sedemikia rupa sehingga berdekatan atau menutupi ostium uteri internum secara
partial maupun total. Etiologi plasenta previa belum diketahui secara pasti, namun
beberapa faktor risiko telah ditetapkan sebagai kondisi yang berhubungan dengan
terjadinya plasenta previa. Faktor risiko tersebut meliputi hamil usia tua, multiparitas,
kehamilan ganda, merokok selama masa kehamilan, janin laki-laki, riwayat aborsi,
riwayat operasi pada uterus, riwayat plasenta previa pada kehamilan sebelumnya dan
IVF.
Terdapat beberapa kemungkinan implantasi plasenta pada plasenta previa:
a. Plasenta previa totalis/komplit: Plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri
internum
b. Plasenta previa parsialis: Plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum
c. Plasenta previa marginalis: Plasenta yang tepinya pada pinggir ostium uteri
internum
d. Plasenta letak rendah: Plasenta berimplantasi pada segmen bawah rahim dimana
tepi plasenta berjarak < 2 cm dari ostium uteri internum.

Klasifikasi lain dari plasenta previa adalah sebagai berikut:


a. Tipe I : tepi plasenta melewati batas sampai segmen bawah rahim dan
berimplantasi < 5cm dari ostium uteri internum
b. Tipe II : tepi plasenta mencapai pada ostium uteri internum namun tidak
menutupinya
c. Tipe III : plasenta menutupi ostium uteri internum secara asimetris
d. Tipe IV : plasenta berada di tengah dan menutupi ostium uteri internum Tipe I
dan II disebut juga sebagai plasenta previa minor sedangkan tipe III dan IV
disebut plesanta previa mayor.

Seksio sesaria, bertujuan untuk secepatnya mengangkat sumber perdarahan,


dengan demikian memberikan kesempatan kepada uterus untuk berkontraksi
menghentikan perdarahanya, dan untuk menghindarkan perlukaan serviks dan
segmen bawah uterus yang rapuh apabila dilangsungkan persalinan pervaginam.
Indikasi seksio caesaria pada plasenta previa:
a. Semua plasenta previa totalis, janin hidup atau meninggal; semua plasenta previa
partialis, plasenta previa marginalis posterior, karena perdarahan yang sulit
dikontrol dengan caracara yang ada
b. Semua plasenta previa dengan perdarahan yang banyak dan tidak berhenti dengan
tindakan-tindakan yang ada
c. Plasenta previa dengan panggul sempit, letak lintang.

2. Solusio Plasenta
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal
plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua endometrium
sebelum waktunya.
Sebab yang primer dari solusio plasenta tidak diketahui, tetapi terdapat beberapa
keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau menyertai solusio
plasenta dan dianggap sebagai faktor risiko. Usia, Paritas, Ras, dan Faktor Familial,
Hipertensi, Ketuban pecah dini dan pelahiran kurang bulan, Merokok, Trombofilia,
Leiomioma.
Penatalaksanaan : pada solusio plasenta ringan apabila kehamilannya kurang dari
36 minggu, perdarahannya kemudian berhenti, perutnya tidak menjadi sakit,
uterusnya tidak menjadi tegang maka penderita dapat dirawat secara konservatif di
rumah sakit dengan observasi ketat. Umumnya kehamilan diakhiri dengan induksi
atau stimulasi partus pada kasus yang ringan atau janin telah mati. Sedangkan pada
solusio plasenta berat apabila perdarahannya berlangsung terus, dan gejala solusio
placenta bertambah jelas, atau dalam pemantauan USG daerah solusio placenta
bertambah luas, maka pengakhiran kehamilan tidak dapat dihindarkan 27 lagi.
Apabila janin hidup, dilakukan operasi Sectio Caesar. Operasi Sectio Caesard
ilakukan bila serviks masih panjang dan tertutup, setelah pemecahanketuban dan
pemberian oksitosin dalam 2 jam belum juga ada his. Apabila janin mati, ketuban
segera dipecahkan untuk mengurangi regangan dinding uterus disusul dengan
pemberian infuse oksitosin 5 iu dalam 500cc Dextrosa 5% untuk mempercepat
persalinan.

3. Vasa Previa
Vasa previa adalah keadaan dimana pembuluh darah janin berada didalam selaput
ketuban dan melewati ostium uteri internum untuk kemudian sampai ke dalam
insersinya di tali pusat.Perdarahan terjadi bila selaput ketuban yang melewati
pembukaan serviks robek atau pecah dan vaskular janinpun ikut terputus. Vasa Previa
adalah suatu kondisi pembuluh darah janin yang menyilang atau berjalan pada ostium
internum cervix. Pembuluh pembuluh darah ini berada dalam membran (tidak
didukung oleh tali pusat atau jaringan plasenta) dan beresiko pecah ketika suplai
membran pecah.
Penyebab utama vasa previa adalah insersi velamentous (di mana tali menyisip
langsung ke dalam membran, meninggalkan pembuluh darah yang tidak terlindungi
berjalan ke plasenta) dan pembuluh darah yang melintasi lobus plasenta seperti pada
plasenta succenturiate atau bilobate. Penyebab yang jarang terjadi, pembuluh darah
yang mengarah ke tepi plasenta marjinal atau plasenta previa dapat menjadi vasa
previa setelah perpanjangan plasenta di atas daerah vaskularisasi yang lebih baik
(trophotropism) dan involusi dari kotiledon.
Ada dua gejala
a. Bradikardi janin kalau pembuluh darah tertekan dan
b. Perdarahan pervaginam, jika proses persalinan telah dimulai dan servik telah
membuka, ketuban tidak terlindungi lagi, maka rupture vasa previa hamper tidak
dapat dihindari. Bergitu terjadi perdarahan, harapan bagi janin amat kecil kecuali
kalau sebelumnya sudah dipikirkan kemungkinan tersebut dan diambil tindakan
dengan cepat.
Penatalaksanaan
a. Dengan adanya perdarahan fetal diperlukan kelahiran segera secara pervaginam
ataupun dengan section caesarea
b. Jika tidak ada perdarahan, mungkin diperlukan sectio caesarea tetapi bila
ditunggu kelahiran pervaginam, selaput ketuban dapat dipecahkan di tempat yang
jauh dari pembuluh darah dan bayi diekstraksi
c. Jika janin sudah meninggal, ditunggu kelahiran pervaginam
d. Post partum gambaran darah pada bayi harus diteliti dan kalau perlu dilakukan
transfuse segera.
Daftar Pustaka

Ayuningtyas, T. M. (2015). PENYEBAB KEJADIAN PENDARAHAN PADA KEHAMILAN.


Media Ilmu Kesehatan Vol. 4, No. 1, 9-13.

dr. Ratna Dewi Puspita Sari, S. S. (2018). BUKU AJAR PERDARAHAN PADA KEHAMILAN
TRIMESTER 1. Bandar Lampung: PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG.

dr. Batara I. Sirait, Sp.OG, KFER. (2021). PERDARAHAN ANTEPARTUM. BAHAN


KULIAH. Universitas Kristen Indonesia, Jakarta

dr. H. Defrin, SpOG (K). (2014). PERDARAHAN PADA TRTMESTER PERTAMA. SKRIPSI.
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang

Sela Mariana Mangoto, S. R. (2023). Hubungan Antenatal Care, Tingkat Pengetahuan dan
Dukungan Keluarga dengan Resiko Terjadinya Perdarahan pada Ibu Hamil Trimester I
(Satu) . Indonesia Journal of Midwifery Sciences Vol.02 No.02, 252-259.

Vinny Alvionita, d. (2020). Pengembangan Modul Deteksi Risiko Perdarahan Pada Kehamilan
Efektif Meningkatkan Pengetahuan Ibu Hamil. Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 7, No. 2,
134-148.

Wahidah.S.Pd., M. (2018). Hubungan Antara Kepatuhan Mengkonsumsi Tablet Fe Dengan


Tingkat Kejadian Perdarahan Pada Ibu Hamil Trimester III. Jurnal Pendidikan Dasar
Volume 2, Nomor 1, 1-11.

Yanti, L. (2018). FAKTOR DETERMINAN KEJADIAN ABORTUS PADA IBU HAMIL:


CASE CONTROL STUDY. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Kesehatan, Vol 16 No 2, 95-100.

Anda mungkin juga menyukai