Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan pada kehamilan merupakan masalah penting dalam bidang obstetri


dan ginekologi. Perdarahan pada masa kehamilan adalah perdarahan melalui
vagina yang terjadi pada masa kehamilan, bukan perdarahan dari organ atau
sistem lainnya. Perdarahan pada kehamilan merupakan masalah yang cukup serius
yang terjadi pada masyarakat Indonesia yang mengakibatkan mortalitas yang
cukup tinggi pada ibu-ibu di Indonesia. Walaupun angka kematian maternal telah
menurun secara drastis dengan adanya pemeriksaan-pemeriksaan dan perawatan
kehamilan dan persalinan di rumah-rumah sakit serta adanya fasilitas transfusi
darah, kematian ibu akibat perdarahan masih merupakan penyebab utama dalam
kematian maternal.
World Health Organization (2008) melaporkan pada tahun 2005 terdapat
536.000 wanita meninggal akibat dari komplikasi kehamilan dan persalinan, dan
400 ibu meninggal per 100.000 kelahiran hidup (maternal mortality ratio). Angka
Kematian Ibu (AKI) di negara maju diperkirakan 9/100.000 kelahiran hidup dan
450/100.000 kelahiran hidup di negara berkembang, hal ini berarti 99% dari
kematian ibu oleh karena kehamilan dan persalinan berasal dari negara
berkembang. (Bangun, 2009)
Perdarahan yang terjadi dalam masa kehamilan, persalinan, dan nifas harus
dianggap sebagai suatu keadaan akut dan serius, karena dapat membahayakan ibu
dan janin. Setiap wanita hamil dan nifas yang mengalami perdarahan harus segera
dirawat dan ditentukan penyebabnya, untuk selanjutnya diberi pertolongan dengan
tepat.
Perdarahan pada kehamilan dikelompokkan secara praktis menjadi
perdarahan pada kehamilan muda, perdarahan sebelum melahirkan (antepartum
hemorrhage), dan perdarahan setelah melahirkan (postpartum hemorrhage).

1
Pada tulisan ini secara spesifik akan dibahas mengenai perdarahan pada
kehamilan muda (perdarahan pada trimester pertama) yang diakibatkan oleh
abortus, kehamilan ektopik, dan mola hidatidosa.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abortus
Sekitar 20% wanita hamil mengalami perdarahan pada awal kehamilan,
dan separuhnya mengalami aborsi (Granger, 1994). Abortus adalah
pengeluaran hasil konsepsi dengan berat janin <500 gram atau kehamilan
kurang dari 20 minggu (Mochtar, 1990).

2.1.1 Definisi
Kata abortus berasal dari bahasa Latin aboriri yang berarti keguguran (to
miscarry). Menurut New Shorter Oxford Dictionary (2002), abortus adalah
persalinan kurang bulan sebelum usia janin yang memungkinkan untuk
hidup. Durasi kehamilan juga digunakan untuk mendefinisikan dan
mengklasifikasikan abortus untuk kepentingan statistic dan legal. Sebagai
contoh, National Center for Health Statistics, Centers for Disease Control
and Prevention, dan World Health Organization mendefinisikan abortus
sebagai penghentian kehamilan sebelum gestasi 20 minggu atau dengan
janin memiliki berat lahir kurang dari 500 gram. Meskipun demikian,
definisi tetap bervariasi sesuai dengan hukum yang berlaku di masing-
masing negara bagian. (Cunningham, 2010)

2.1.2 Etiologi
Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering
diperdebatkan. Umumnya lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak di
antaranya adalah:
a. Faktor genetic. Translokasi parental keseimbangan genetik
i. Mendelian
ii. Multifaktor
iii. Robertsonian

3
iv. Resiprokal
b. Kelainan kongenital uterus
i. Anomaly duktur Mulleri
ii. Septum uterus
iii. Uterus bikornus
iv. Inkompetensi serviks uterus
v. Mioma uteri
vi. Sindroma Asherman
c. Autoimun
i. Aloimun
ii. Mediasi imunitas humoral
iii. Mediasi imunitas seluler
d. Defek fase luteal
i. Faktor endokrin eksternal
ii. Antibiodi antitiroid hirmon
iii. Sintesis LH yang tinggi
e. Infeksi
f. Hematologik
g. Lingkungan

2.1.3 Macam-Macam Abortus


a. Abortus Iminens
Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya
abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup
dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan.
Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan
perdarahan pervaginam pada umur kehamilan kruang dari 20 minggu.
Penderita mengeluh mulas sedikit atau tidak ada keluhan sama sekali
kecuali perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih tertutup besarnya
uterus masih sesuai dengan usia kehamilan dan tes kehamilan urin
masih positif. Untuk menentukan prognosis abortus iminens dapat

4
dilakukan dengan melihat kadar hormone hCG pada urin denganc ara
melakukan tes urin kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran
dan pengenceran 1/10. Bila hasil tes urin masih positif, keduanya
maka prognosisnya adalah baik, bila pengenceran 1/10 hasilnya
negatif, maka prognosisnya dubia ad malam. Pengelolaan penderita ini
sangat bergantung pada informed consent yang diberikan. Bila ibu
masih menghendaki kehamilan tersebut, maka pengelolaan harus
maksimal untuk mempertahankan kehamilan. Pemeriksaan USG
diperlukan untuk mengetahui pertumbuhan janin yang ada dan
mengetahui keadaan plasenta apakah sudah terjadi pelepasan atau
belum. Diperhatikan ukuran biometri janin/kantong gestasi apakah
sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan HPHT. Dneyut jantung
janin dan gerakan janin diperhatikan di samping ada tidaknya
hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis servikalis.
Pemeriksaan USG dapat dilakukan baik secara transabdomial maupun
transvaginal.
Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdarahan
berhenti. Bisa diberikan spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi
atau diberi tambahan hormone progesterone atau derivatnya untuk
mencegah terjadinya abortus. Obat-obatan ini walaupun secara
statistic kegunaannya tidak bermakna, tetapi efek psikologis kepada
penderita sangat menguntungkan. Penderita boleh dipulangkan setelah
tidak terjadi perdarahan dengan pesan khusus tidak boleh
berhubungan seksual sampai kurang lebih 2 minggu.

b. Abortus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam yang tidak ditandai dengan serviks
telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil
konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran.
Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan
kuat, perdarahannya bertambah sesuai dengan pembukaan serviks

5
uterus dan umur kehamilan. Besar uterus masih sesuai dengan umur
kehamilan dengan tes urin kehamilan masih positif. Pada pemeriksaan
USG akan didapatkan pembesaran uterus yang masih sesuai dengan
usia kehamilan, gerak janin dan gerak jantung janin masih jelas walau
mungkin sudah mulai tidak normal, biasanya terlihat penipisan serviks
uterus atau pembukaannya. Perhatikan pula ada tidaknya pelepasan
plasenta dari dinding uterus.
Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum
dan perubahan keadaan hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan
tindakan evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi disusul dengan kuretase
bila perdarahan banyak. Pada umur kehamilan di atas 12 minggu,
uterus biasanya sudah melebihi telur angka tindakan evakuasi dan
kuretase harus hati-hati, kalau perlu dilakukan evakuasi dengan cara
digital yang kemudian disusul dengan tindakan kuretase sambil
diberikan uterotonika. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya
perforasi pada dinding uterus. Pascatindakan perlu perbaikan keadaan
umum, pemberian uterotonika, dan antibiotika profilaksis.

c. Abortus Kompletus
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Semua
hasil konsepsi telah dikeluarkan, ostium uteri telah menutup, uterus
sudah mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar uterus tidak sesuai
dengan umur kehamilan. Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila
pemeriksaan secara klinis sudah memadai. Pengelolaan penderita
tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan. Biasanya
hanya diberi roboransia atau hematenik bila keadaan pasien
memerlukan. Uterotonika tidak perlu diberikan.

d. Abortus Inkompletus

6
Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada
yang tertinggal. Batasan ini juga masih terpancang pada umur
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram. Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di dalam
uterus dimana pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih
terbuka dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada
ostium uteri ekstenum. Perdarahan biasanya masih terjadi; jumlahnya
pun bisa banyak atau sedikit tergantung pada jaringan yang tersisa,
yang menyebabkan sebagian placental site masih terbuka sehingga
perdarahan berjalan terus. Pasien dapat jatuh dalam keadaan anemia
atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi dikeluarkan.
Pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan
umum dan mengatasi gangguan hemodinamika yang terjadi untuk
kemudian disiapkan tindakan kuretase. Pemeriksaan USG hanya
dilakukan bila kita ragu dengan diagnosis secara klinis. Besar uterus
sudah lebih kecil dari usia kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit
dikenali, di kavum uteri tampak massa hiperekoik yang bentuknya
tidak beraturan.
Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan
pengeluaran sisa konsepsi secara manual agar jaringan yang
mengganjal terjadinya kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi
uterus dapat berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti.
Selanjutnya dilakukan tindakan kuretase. Tindakan kuretase harus
dilakukan secara hati-hati sesuai dengan keadaan umum ibu dan
besarnya uterus. Tindakan yang dianjurkan ialah dengan karet vakum
menggunakan kanula dari plastic. Pascatindakan pelu diberkan
terotonika parenteral ataupun peroral dan antibiotika.

e. Missed Abortion

7
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal
dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi
seluruhnya masih tertahan dalam kandungan.
Penderita missed abortion biasanya tidak merasakan keluhan
apapun kecuali merasakan pertumbuhan kehamilan tidak seperti yang
diharapkan. Bila kehamilan di atas 14 minggu sampai 20 minggu
penderita justru merasakan rahimnya semakin mengecil dengan tanda-
tandan kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang.
Kadangkala missed abortion juga diawali dengan abortus iminens
yang kemudian merasa sembuh, tetapi pertumbuhan janin terhenti.
Pada pemeriksaan tes urin kehamilan biasanya negative estelah satu
minggu dari terhentinya pertumbuhan kehamilan. Pada pemeriksaan
USG akan didapatkan uterus yang mengecil, kantong gestasi yang
mengecil, dan bentuknya tidak beraturan disertai gambaran fetus yang
tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bila missed abortion berlangsung
lebihd ari 4 minggu harus diperhatikan kemungkinan terjadinya
gangguan pembekuan darah oleh karena hipofibrinogenemia sehingga
perlu diperiksa koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan kuretase.
Pengelolaan missed abortion perlu diutarakan kepada pasien dan
keluarganya secara baik karena risiko tindakan operasi dan kuretase
ini dapat menimbulkan komplikasi perdarahan atau tidak bersihnya
evakuasi/kuretase dalam sekali tindakan. Faktor mental penderita
perlu diperhatikan, karena penderita umumnya merasa gelisah setelah
tahu kehamilannya mati. Pada usia kehamilan kurang dari 12 minggu
tindakan evakuasi dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan
dilatasi dan kuretase bila serviks uterus memungkinkan. Bila usia
kehamilan di atas 12 minggu atau kurang dari 20 minggu dengan
keadaan serviks uterus yang masih kaku dianjurkan untuk melakukan
induksi terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin atau mematangkan
kanalis servikalis. Beberapa cara dapat dilakukan antara lain dengan
pemberian infus intravena cairan oksitosin dimulai dari dosis 10 unit

8
dalam 500 cc dekstrose 5% tetesan 20 tetes per menit dan dapat
diulangsi sampai total oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan
untuk mencegah terjadinya retensi cairan tubuh. Jik tidak berhasil
penderita diistirahatkan satu hari dan kemudian induksi diulangi
biasanya maksimal 3 kali. Setelah janin atau jaringan konsepsi
berhasil keluar dengan induksi ini dilanjutkan dengan tindakan
kuretase sebersih mungkin.
Pada dekade belakangan ini banyak tulisan yang telah
menggunakan prostaglandin atau sintetisnya untuk melakukan induksi
pada missed abortion. Salah satu cara yang banyak disebutkan adalah
dengan pemberian misoprostol secara sublingual sebanyak 400 mg
yang dapat diulangi 2 kali dengan jarak 6 jam. Dengan obat ini akan
terjadi pengeluaran hasil konsepsi atau terjadi pembukaan ostium
serviks sehingga tindakan evakuasi dan kuretase dapat dikerjakan
untuk mengosongkan kavum uteri. Kemungkinan penyulit pada
tindakan missed abortion ini lebih besar mengingat jaringan plasenta
yang menempel pada dinding uterus biasanya sudah lebih kuat.
Apabila terdapat hipofibrinogenemia perlu disiapkan transfuse darah
segar atau fibrinogen. Pascatindakan kalau perlu dilakukan pemberian
infus intravena cairan oksitosin dan pemberian antibiotika.

f. Abortus Habitualis
Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih
berturut-turut. Penderita abortus habitualis pada umumnya tidak sulit
untuk menjadi hamil kembali, tetapi kehamilannya berakhir dengan
abortus secara berturut-turut. Bishop melaporkan kejadian abortus
habitualis sekitar 0,41% dari seluruh kehamilan.
Penyebab abortus habitualis selain faktor anatomis banyak yang
mengaitkannya dengan reaksi imunologik yaitu kegagalan reaksi
terhadap antigen lymphocyte trophoblasts cross reactive (TLX). Bial
reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak ada, maka akan terjadi

9
abortus. Kelainan ini dapat diobati dengan transfuse leukosit atau
heparinisasi. Akan tetapi, dekade terakhir menyebutkan perlunya
mencari penyebab abortus ini secara lengkap sehingga dapat diobati
sesuai dengan penyebabnya.
Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialah inkompetensia
seviks yaitu keadaan dimana serviks uterus tidak dapat menerima
beban untuk tetap bertahan menutup (inkompeten) tanpa disertai rasa
mules/kontraksi rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran janin.
Kelainan ini sering disebabkan oleh trauma serviks pada kehamilan
sebelumnya, misalnya pada tindakan usaha pebukaan serviks yang
berlebihan, robekan serviks yang luas sehignga diameter kanalis
sevikalis sudah melebar.
Diagnosis inkompetensia serviks tidak sulit dengan anamnesis
yang cermat. Dengan pemeriksaan dalam/inspekulo kita bisa menilai
diameter kanalis servikalis dan didapati selaput ketuban yang mulai
menonjol pada saat mulai memasuki trimester kedua. Diameter ini
melebihi 8 mm. Untuk itu, pengelolaan penderita inkompetensia
serviks dianjurkan untuk periksa hamil seawall mungkin dan bila
dicurigai adanya inkompetensia serviks harus dilakukan tindakan
untuk memberikan fiksasi pada serviks agar dapat menerima beban
dengan berkembangnya umur kehamilan. Operasi dilakukan pada
umur kehamilan 12—14 minggu dengan cara Shirodkar atau
McDonald dengan melingkari kanalis servikalis dengan benang
sutera/mersilene yang tebal dan simpul baru dibuka setelah usia
kehamilan aterm dan bayi siap dilahirkan.

g. Abortus Infeksiosus, Abortus Septik


Abortus infeksius adalah abortus yang disertai infeksi pada alat
genitalia. Abortus septik ialah abortus yang disertai penyebaran
infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritoneum (septicemia atau
peritonitis).

10
Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi tindakan abortus
yang paling sering terjadi apalagi bila dilakukan kurang
memperhatikan sepsis dan antisepsis.
Abortus infeksiosus dan abotus septik perlu segera mendapatkan
pengelolaan yang adekuat karena dapat terjadi infeksi yang lebih luas
selain di sekitar alat genitalia juga ke rongga peritoneum, bahkan
dapat ke seluruh tubuh (sepsis, septicemia) dan dapat jatuh dalam
keadaan syok septik.
Diagnossi ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang
upaya tindakan abortus yang tidak menggunakan peralatan yang
asepsis dengan didapat gejala dan tanda panas tinggi, tampak sakit dan
lelah, takikardia, perdarahan pervaginam yang berbau, uterus yang
membesar dan lembut, serta nyeri tekan. Pada laboratorium
didapatkan tandan infeksi dengan leukositosis. Ila sampai terjadi sepsi
dan syok, penderita akan tampak lelah, panas tinggi, menggigil, dan
tekanan darah turun.
Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan
cairan tubuh dan perlunya pemberian antibiotika yang adekuat sesuai
dengan hasil kultur dan sensitivitas kuman yang diambil dari darah
dan cairan fluksus/fluor yang keluar pervaginam. Untuk tahap pertama
dapat diberikan Penisilin 4x1,2 juta unit atau Ampisilin 4x1 gram
ditambah Gentamisin 2x80 mg dan Metronidazol 2x1 gram.
Selanjutnya antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur.
Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah
membaik minimal 6 jam setelah antibiotika adekuat diberikan. Jangan
lupa pada saat tindakan uterus dilindungi dengan uterotonika.
Antibiotik dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam
waktu 2 hari pemberian tidak memberikan respons harus diganti
dengan antibiotik yang lebih sesuai. Apabila ditakutkan terjadi
tetanus, perlu ditambah dengan injeksi ATS dan irigasi kanalis

11
vagina/uterus dengan larutan peroksida (H2O2) kalau perlu
histerektomi total secepatnya.

2.2 Kehamilan Ektopik Terganggu


Blastokista, dalam keadaan normal, tertanam di dalam lapisan
endometrium rongga uterus. Implantasi di tempat lain dianggap sebagai
kehamilan ektopik. Kata ini berasal dari bahasa Yunani ektopos “di luar
tempatnya”. Menurut American College of Obstetricians and
Gynaecologists (2008), dua persen dari seluruh kehamilan trimester
pertama di Amerika Serikat merupakan kehamilan ektopik, dan jumlah ini
menyebabkan enam persen dari semua kematian terkait kehamilan.

2.2.1 Klasifikasi
Hampir 95 persen kehamilan ektopik terimplantasi di berbagai segmen
tuba uterina. Dari kehamilan-kehamilan ini, sebagian besar terletak di
ampula. Sisa lima persen tertanam di ovarium, rongga peritoneum, atau di
dalam serviks. Kehamilan di skar Caesar baru-baru ini dilaporkan lebih
sering terjadi dibandingkan dahulu. Kadang-kadang, dan biasanya, dengan
penggunaan Assisted Reproductive Technology “ART”, terjadi kehamilan
multijanin yang berimplantasi ektopik keduanya, atau satu ektopik dan
satunya intrauterus.

2.2.2 Faktor Risiko


Riwayat kerusakan tuba, baik karena kehamilan ektopik sebelumnya, atau
karena pembedahan tuba untuk mengatasi infertilitas atau untuk sterilisasi
merupakan risiko tertinggi terjadinya kehamilan ektopik. Setelah satu kali
mengalami kehamilan ektopik, kemungkinan kehamilan ektopik
berikutnya adalah sekitar 10 persen. Riwayat infeksi tuba atau penyakit
menular seksual lain juga merupakan faktor risiko umum. Demikian juga
merokok, yang mungkin merupakan penanda bagi infeksi-infeksi di atas
karena perilaku risiko tinggi. Perlekatan perituba akibat salpingitis, infeksi

12
pascaabortus atu masa nifas, apendisitis, atau endometriosis mungkin
meningkatkan risiko kehamilan tuba. Satu kali serangat salpingiis dapat
diikuti oleh kehamilan ektopik pada hampir Sembilan persen wanita.
(Cunningham, 2010)
Pada semua bentuk kontrasepsi, jumlah absolut kehamilan ektopik
berkurang karena kehamilan menjadi jauh lebih jarang. Namun, pada
sebagain kegagalan kontrasepsi, jumlah relative kehamilan ektopik
meningkat. Contohnya antara lain beberapa bentuk sterilisasi tuba, alat
kontrasepsi dalam rahim, kontrasepsi darurat estrogen dosis tinggi, dan
minipil yang hanya mengandung progestin.

2.2.3 Epidemiologi
Di Indonesia, frekuensi kehamilan ektopik bervariasi antara 1 dalam 28
persalinan sampai 1 dalam 329 persalinan. Di RS dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, selama periode tahun 1971—1975, terdapat 1
kehamilan ektopik di antara 24 persalinan, pada 1987 terdapat 153 kasus di
antara 4.007 persalinan atau 1 di antara 26 persalinan.

2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi kehamilan ektopik berdasarkan tempat terjadinya implantasi
dari kehamilan ektopik dapat dibedakan menurut:
a. Kehamilan tuba adalah kehamilan ektopik pada setiap bagian dari
Tuba Fallopii. Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba
(95%). Konseptus dapat berimplantasi pada ampula (55%), ismus
(25%), fimbrae (17%), atau pun pada interstisial (2%) dari tuba. Tuba
Fallopii mempunyai kemampuan untuk berkembang yang terbatas,
sehingga sebagian besar akan ruptur pada usia kehamilan 35—40 hari.
b. Kehamilan ovarial merupakan bentuk yang jarang (0,5%) dari seluruh
kehamilan ektopik dimana sel telur yang dibuah bernidasi di ovarium.
Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar

13
daripada daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya
mengalami ruptur pada tahap awal.
c. Kehamilan servikal adalah bentuk dari kehamilan ektopik yang jarang
sekali terjadi. Nidasi terjadi dalam selaput lender serviks. Dengan
tumbuhnya telur, serviks mengembang. Kehamilan serviks jarang
melewati usia gestasi 20 minggu sehingga umumnya hasil konsepsi
masih kecil dan dievakuasi dengan kuretase.
d. Kehamilan abdominal terjadi satu dalam 15.000 kehamilan, atau
kurang dari 0,1% dari seluruh kehamilan ektopik. Kehamilan
abdominal ada 2 macam:
i. Primer: telur dari awal mengadakan implantasi dalam rongga
perut.
ii. Sekunder: pembentukan zigot terjadi di tempat yang lain misalnya
di saluran telur atau ovarium yang selanjutnya berpindah ke
dalam rongga abdomen oleh karena terlepas dari tempat asalnya.
Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan
ektopik sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau
ovarium ke dalam rongga abdomen.
Walaupun ada kalanya kehamilan abdominal mencapai umur cukup
bulan, hal ini jarang terjadi, yang lazim ialah bahwa janin mati
sebelum mencapai maturitas (bulan ke-5 atau 6) karena pengambilan
makanan kurang sempurna.
e. Kehamilan heterotropik adalah kehamilan ektopik yang dapat terjadi
bersama dengan kehamilan intrauterin. Kehamilan heterotropik sangat
langka, terjadi satu dalam 17.000—30.000 kehamilan ektopik.
Kehamilan heterotropik dapat dibedakan atas:
i. Kehamilan kombinasi (combined ectopic pregnancy) yaitu
kehamilan yang dapat berlangsung dalam waktu yang sama
dengan kehamilan intrauterin normal.
ii. Kehamilan ektopik rangkap (compound ectopic pregnancy) yaitu
terjadinya kehamilan intrauterin setelah lebih dahulu terjadi

14
kehamilan ektopik yang telah mati ataupun ruptur dan kehamilan
intrauterine yang terjadi kemudian berkembang seperti biasa.
f. Kehamilan interstisial yaitu implantasi ovum terjadi dalam pars
interstisialis tuba. Kehamilan ini juga disebut sebagai kehamilan
kornual (kehamilan intrauteri, tetapi implantasi plasentanya di daerah
kornu, yang kaya akan pembuluh darah). Karena lapisan miometrium
di sini lebih tebal maka ruptur terjadi lebih lambat kira-kira pada bulan
ke-3 atau ke-4. Kehamilan interstisial merupakan penyebab kematian
utama dari kehamilan ektopik yang pecah.
g. Kehamilan intraligamenter berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba
yang pecah. Konseptus yang terjatuh ke dalam ruangan
ekstraperitoneal ini apabila lapisan korionnya melekat dengan baik dan
memperoleh vaskularisasi di situ fetusnya dapat hidup dan berkembang
dan tumbuh membesar. Dengan demikian proses kehamilan ini serupa
dengan kehamilan abdominal sekunder karena keduanya berasal dari
kehamilan ektopik dalam tuba yang pecah.
h. Kehamilan tubouterina merupakan kehamilan yang semula
mengadakan implantasi pada tuba pars interstisialis, kemudian
mengadakan ekstensi secara perlahan ke dalam kavum uteri.
i. Kehamilan tuboabdominal berasal dari tuba, dimana zigot yang semula
mengadakan implantasi di sekitar bagian fimbriae tuba secara
berangsur mengadakan ekstensi ke kavum peritoneal.
j. Kehamilan tuboovarial digunakan bila kantung janin sebagian mekelat
pada tuba dan sebagian pada jaringan ovarium. (Merpaung, 2007)

15
Gambar 1. Lokasi Kehamilan Ektopik

2.2.5 Patofisiologi
Beberapa hal di bawah ini ada hubungannya dengan terjadinya kehamilan
ektopik:
a. Pengaruh faktor mekanik
Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan kehamilan ektopik antara
lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba akibat operasi
non-ginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap
dietilstilbestrol, salpingitis ismika nodosum (penonjolan-penonjolan
kecil ke dalam lumen tuba yang menyertai diverticula), dan alat
kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Hal-hal tersebtu secara umum
menyebabkan perlengketan intra maupun ekstraluminal pada tuba,
sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor
mekanik lain adalh pernah menderita kehamilan ektopik, pernah
mengalami operasi pada saluran telur seperti rekanalisasi atau
tubektomi parsial, induksi abortus berulang, tumor yang mengganggu
keutuhan saluran telur.
b. Pengaruh faktor fungsional

16
Faktor fungsional yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan
dengan faktor hormonal. Dalam hal ini gerakan peristalsis tuba
menjadi lamban, sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot
mencapai kavum uteri Gangguan motilitas tuba dapat disebabkan oleh
perubahan keseimbangan kadar estrogen dan progesterone serum.
Dalam hal ini terjadi perubahan jumlah dan afinitas reseptor
adrenergic yang terdapat dalam uterus dan otot polos dari saluran
telur. Ini berlaku untuk kehamilan ektopik yang terjadi pada akseptor
kontrasepsi oral yang mengandung hanya progesteron saja, setelah
memakai estrogen dosis tinggi pascaovulasi untuk mencegah
kehamilan. Merokok pada waktu terjadi konsepsi dilaporkan
meningkatkan insiden kehamilan ektopik yang diperkirakan sebagai
akibat perubahan jumlah dan afinitas reseptor adrenergic dalam tuba.
c. Kegagalan kontrasepsi
Sebenarnya insiden sesungguhnya kehamilan ektopik berkurang
karena kontrasepsi sendiri mengurangi insidensi kehamilan. Akan
tetapi kekalangan para akseptor bisa terjadi kenaikan insiden
kehamilan ektopik bila terjadi kegagalan pada teknik sterilisasi. Alat
kontrasepsi dalam rahim selama ini dianggap sebagai penyebab
kehamilan ektopik. Namun ternyata hanya AKDR yang mengandung
progesterone yang meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila
terjadi kehamilan pada wanita yang menggunakan AKDR, besar
kemungkinan kehamilan tersebut adalah kehamilan ektopik.
d. Peningkatan afinitas mukosa tuba
Dalam hal ini terdapat elemen endometrium ektopik yang berdaya
meningkatkan implantasi pada tuba.
e. Pengaruh proses bayi tabung
Beberapa kejadian kehamilan ektopik dilaporkan terjadi pada proses
kehamilan yang terjadi dengan bantuan teknik-teknik reproduksi
(assisted reproduction). Kehamilan tuba dilaporkan terjadi pada GIFT
(gamete intrafallopian transfer), IVF (in vitro fertilitzation), transfer

17
ovum, dan induksi ovulasi. Induksi ovulasi dengan human pituitary
hormone dan hCG dapat menyebabkan kehamilan ektopik bila pada
waktu ovulasi terjadi peningkatan pengeluaran estrogen urin melebihi
200 mg sehari.

2.2.6 Determinan
a. Usia
Usia merupakan faktor risiko yang penting terhadap terjadinya
kehamilan ektopik. Sebagian besar wanita mengalami kehamilan
ektopik berumur 20—40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun.
Menurut Linardakis (1998) pada buku karya Manuaba (1999), 40%
dari kehamilan ektopik terjadi antara usia 20—29 tahun.
b. Paritas
Insiden kehamilan ektopik meningkat seiring dengan pertambahan
paritas. Kejadian ini lebih banyak terjadi pada multipara. Ada laporan
yang menyebutkan kejadiannya satu dalam 2.600 kehamilan.
Penelitian di RSUD Arifin Achmad di Pekanbaru selama periode 1
Januari 2003—31 Desember 2005 melaporkan bahwa kehamilan
ektopik terganggu terbanyak terjadi pada penderita paritas 1 (35,34%).
(Bulan, 2004)
c. Ras/suku
Menurut Philip Kotler, banyak faktor yang mempengaruhi perilaku
seseorang, salah satunya adalahf aktor sosial dan kebudayaan. Suku
termasuk bagian dari budaya yang tentunya akan mempengaruhi
perilaku dalam menggunakan pelayanan kesehatan termasuk
pelayanan kebidana. Kehamilan ektopik lebih sering ditemukan pada
wanita kulit hitam daripada wanita kulit putih. Perbedaan ini
diperkirakan karena peradangan pelvis lebih banyak ditemukan pada
golongan wanita kulit hitam.
d. Tingkat pendidikan

18
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan
kesehatannya selama kehamilan dibandingkan ibu yang tingkat
pendidikannya lebih rendah. Pendidikan ibu merupakan salah satu
faktor penting dalam usaha menjaga kesehatan ibu, anak, dan juga
keluarga. Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu diharapkan
semakin meningkat pengetahuan dan kesadarannya dalam
mengantisipasi kesulitan dalam kehamilan dan persalinannya,
sehingga timbul dorongan untuk melakukan pegnawasan kehamilan
secara berkala dan teratur.
e. Pekerjaan
Derajat sosioekonomi masyarakat akan menunjukkan tingkat
kesejahteraan dan kesempatannya dalam menggunakan dan menerima
pelayanan kesehatan. Jenis pekerjaan ibu maupun suaminya akan
mencerminkan keadaan sosioekonomi keluarga. Kehamilan ektopik
lebih sering terjadi pada keadaan sosioekonomi yang rendah.
f. Riwayat penyakit terdahulu
Riwayat penyakit yang berhubungan dengan risiko kehamilan ektopik
adalah infeksi, tumor yang mengganggu keutuhan saluran telur, dan
keadaan infertil.
g. Riwayat kehamilan jelek
Riwayat kehamilan jelek yang berhubungan dengan risiko kehamilan
ektopik adalah kehamilan ektopik, indusk abortus berulang, dan mola.
Sekali pasien pernah mengalami kehamilan ektopik, ia mempunyai
kemungkinan 10 sampai 25% untuk terjadi lagi. Hanya 60% dari
wanita yang pernah mengalami kehamilan ektopik menjadi hamil lagi,
walaupun angka kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka
kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0—
14,6%. Sebagai konsekuensinya, beberapa pasien melaporkan
kehamilan ektopik sebelumnya dan mengenal gejala-gejala sekarang
yang serupa.
h. Riwayat infeksi pelvis

19
Kira-kira sepertiga sampai separuh dari pasien dengan kehamilan
ektopik mempunyai riwayat infeksi pelvis sebelumnya. Calon ibu
menderita infeksi akibat penyakit gonorrhea ataupun radang panggul.
Hal inilah yang menyebabkan ibu yang menderita keputihan harus
melakukan pemeriksaan untuk memastikan gejala yang dideritanya
adalah tanda infeksi atau hanya keputihan yang bersifat fisiologis.
i. Riwayat kontrasepsi
Riwayat kontrasepsi membantu dalam penilaian kemungkinan
kehamilan ektopik. Pada kasus-kasus kegagalan kontrasepsi pada
wanita yang menggunakan kontrasepsi oral atau dengan alat
kontrasepsi dalam rahim (AKDR), rasio kehamilan ektopik
dibandingkan dengan kehamilan intrauterin lebih besar daripada
wanita-wanita yang tidak menggunakan metode kontrasepsi. Kejadian
kehamilan ektopik pada akseptor AKDR dilaporkan 12 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan pemakan kondom. Diperkirakan terjadi 2
kehamilan ektopik per-1.000 akseptor AKDR setiap tahun.
Akseptor pil yang berisi hanya progesterone dilaporkan
mempunyai insiden yang tinggi terhadap kehamilan ektopik apabila
terjadi kehamilan selagi menjadi akseptor yaitu 5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan insidennya yang biasa. Pada pemakai pil mini 4
—6% dari kehamilannya dilaporkan adalah ektopik, akan tetapi
dilaporkan tidak terjadi perubahan insiden pada kaseptor pil
kombinasi.
j. Riwayat operasi tuba
Adanya riwayat pembedahan tuba sebelumnya baik prosedur
sterilisasi yang gagal maupun usaha untuk memperbaiki infertilitas
tuba semakin umum sebagai faktor risiko terjadi kehamilan ektopik.
k. Merokok
Merokok pada waktu terjadi konsepsi meningkatkan insiden
kehamilan ektopik yang diperkirakan sebagai akibat perubahan jumlah
dan afinitas reseptor adrenergik dalam tuba.

20
2.2.7 Gejala dan Gambaran Klinis
Kehamilan ektopik belum terganggu sulit diketahui, karena biasanya
penderita tidak menyampaikan keluhan yang khas. Pada umumnya,
penderita menunjukkan gejala-gejala seperti pada kehamilan muda, yakni
mual, pembesaran disertai rasa agak sakit pada payudara yang didahului
keterlambatan haid. Di samping gangguan haid, keluhan yang paling
sering ialah nyeri di perut bawah yang tidak khas, walaupun kehamilan
ektopik belum ruptur. Kadang-kadang teraba tumor di samping uterus
dengan batas yang sukar ditentukan.
Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu sangat berbeda-
beda, dari perdarahan banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai
terdapatnya gejala yang tidak jelas, sehingga sukar membuat diagnosisnya.
Gejala dan tanda bergantung pada lamannya kehamilan ektopik terganggu,
abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang
terjadi, dan keadaan umum penderita sebelum hamil.
Nyeri abdomen merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik.
Nyeri dapat unilateral atau bilateral, pada abdomen bagian bawah, seluruh
abdomen, atau hanya di bagian atas abdomen. Umumnya diperkirakan,
bahwa nyeri perut yang sangat menyiksa pada suatu ruptur kehamilan
ektopik disebabkan oleh darah yang keluar ke dalam kavum peritoneum.
Tetapi karena ternyata terdapt nyeri hebat, meskipun perdarahannya
sedikit, dan nyeri yang tidak berat pada perdarahan yang banyak, jelas
bahwa darah bukan satu-satunya sebab timbul nyeri. Darah yang banyak
dalam kavum peritoneal dapat menyebabkan iritasi peritoneum dan
menimbulkan rasa nyeri yang bervariasi.
Amenorea atau gangguan haid merupakan tanda yang penting pada
kehamilan ektopik. Lamanya amenorea tergantung pada kehidupan janin,
sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenorea
karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya.

21
Bercak darah (spotting) atau perdarahan pervaginam merupakan
tanda yang penting pada kehamilan ektopik terganggu. Hal ini
menunjukkan kematian janin, dan berasal dari uterus karena pelepasan
desidua. Perdarahan biasanya sedikit, berwarna cokelat tua, dan dapat
intermitten atau terus menerus.
Pada pemeriksaan dalam ditemukan usaha menggerakan serviks
uteri menimbulkan rasa nyeri dan kavum Douglas teraba menonjol,
berkisar dari diameter 5—15 cm, dengan konsistensi lunak dan elastis.

Gambar 2. Komplikasi Kehamilan Ektopik Terganggu (Perdarahan)

22
2.3 Mola Hidatidosa

Secara tradisional, tumor trofoblastik gestasional dibagi menjadi tiga


kategori morfologik yang saling tumpang tindih: mola hidatidosa, mola
invasif, koriokarsinoma, dan PSTT (Placental Site Trophoblastic Tumor).
Tingkat agresivitas tumor ini berkisar dari mola hidatidosa yang umumnya
jinak hingga koriokarsinoma yang sangat ganas. Semua tumor
menghasilkan human chorionic gonadotropin (hCG), yang dapat dideteksi
di darah tepi dan urin dengan titer yang jauh lebih tinggi daripada yang
ditemukan pada kehamilan normal. Titer meningkat secara progresif dari
mola hidatidosa ke mola invasif sampai koriokarsinoma. Selain untuk
membantu diagnosis, turun atau naiknya kadar hormon dalam darah atau
urin dapat digunakan untuk memantau efektivitas pengobatan.

2.3.1 Etiologi
Penyebab mola hidatidosa belum diketahui secara pasti (Jaffar dkk, 2011).
Namun, terdapat faktor-faktor risiko yang mungkin memengaruhi:
1. Faktor usia
Usia ekstrem, yaitu di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun, mempunyai
nilai tertinggi terjadinya mola hidatidosa komplet maupun parsial
(Jaffar dkk, 2011). Etiologinya masih belum pasti. Faktor yang
memengaruhi adalah ova yang prematur pada usia di bawah 20 tahun,
dan postmatur pada usia di atas 35 tahun.
2. Status sosioekonomi
Pada penelitiannya di Karachi, Pakistan, status sosioekonomi
berpengaruh terhadap terjadinya mola hidatidosa, dan berhubungan
dengan malnutrisi. Diet rendah protein, asam folat dan karoten, defek
ova, serta abnormalitas uterus merupakan faktor-faktor risiko potensial
terjadinya mola (Jaffar dkk., 2011).

2.3.2 Epidemiologi

23
Insidensi kejadian berbeda di setiap daerah, dengan 0,6-1,1:1.000
kehamilan di Eropa dan Amerika Utara, sampai 2:1.000 kehamilan di
Jepang (Chandran dkk., 2008). Di Indonesia, insidensinya mencapai 1:40
persalinan dengan banyak faktor pencetus (Jaffar dkk., 2011).
Menurut Yustin Putri Pratiwi pada penelitian yang dilakukan di
Laboratorium Patologi Anatomi FK Unsri/RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang pada tahun 2014, angka kejadian mola hidatidosa di
Palembang adalah 1,5% dari semua pemeriksaan histopatologi.
Berdasarkan penelitian tersebut, 93% merupakan mola komplet, 3,8%
mola parsial, dan 3,2% mola invasif.

2.3.3 Patogenesis
Mola dapat dibagi menjadi mola hidatidosa komplet, parsial dan invasif.
Mola komplet adalah komplemen androgenetik, yang berarti material
genetik berasal dari ayah. Mola komplet adalah hasil dari ovum yang tidak
mempunyai nukleus, atau blighted ovum, yang kemudian difertilisasi oleh
satu sperma. Duplikasi dari komplemen spermatozoa haploid
mengakibatkan genotipe diploid, yang menjadikan mola komplet
berkariotipe 46XX. Hanya sedikit yang bergenotipe 46XY. Genotipe ini
bersifat dispermi, yaitu fertilisasi sebuah ovum kosong oleh dua sperma
dengan fusi dari dua pronuklei ayah. Mola dengan kariotipe 46YY tidak
pernah ditemukan, dikarenakan kondisi ini letal. Dispermi terjadi pada
15% mola komplet. Mola triploid dan tetraploid jarang terjadi.
Mola parsial biasanya triploid. Mola parsial terjadi akibat fertilisasi
dari ovum oleh dua sperma, yang menyebabkan rasio paternal:maternal
2:1. Mola parsial biasanya berkariotipe 69XXX, 69XXY, atau 69XYY
walaupun jarang terjadi. Tetraploid mempunyai rasio kromosom
paternal:maternal 3:1.

24
Gambar 3. Derivasi kariotipe dari mola hidatidosa komplet dan parsial.
CHM=mola hidatidosa komplet. PHM=mola hidatidosa parsial.
biCHM=mola hidatidosa komplet biparental langka. Derivat gen paternal
(hitam) dan maternal (merah) terpapar.
Sumber: The Lancet Student

Secara ploidi, mola komplet, parsial, dan non-molar memiliki


teknik molekuler yang berbeda dan spesifik, termasuk analisis
imunohistokemikal dan ekspresi p57 dan genotipe molekulernya.
Immunostaining p57 bisa mengidentifikasi mola komplet atau parsial.
Mola komplet tidak mengekspresi gen p57 karena DNA maternal tidak
ada, sedangkan mola parsial mengekspresi gen p57 (Murphy, 2009).

2.3.4 Jenis-Jenis Mola Hidatidosa


2.3.4.1 Mola Hidatidosa Komplet
A. Gambaran Klinis

25
Mola komplet biasanya terdiagnosis pada kehamilan minggu ke-11
sampai 25 dengan serum hCG terelevasi. Pada pasien mola komplet
dapat juga terjadi perdarahan pervaginam atau ukuran uterus lebih besar
dari umur kehamilan. Dari pemeriksaan USG, embrio dan denyut
jantung janin tidak ditemukan, namun ditemukan gambaran snowstorm.
Pemeriksaan USG dan hCG darah biasanya memberikan akurasi
diagnosis sampai 90%.
Mola berhubungan dengan preeklamsia, eklamsia, hipertensi
gestasional, hiperemesis gravidarum, hipertiroidisme, dan edema paru,
kondisi-kondisi yang secara spontan menghilang setelah evakuasi.
Beberapa dari kondisi tersebut berhubungan dengan kadar hCG yang
meningkat.
Penyakit trofoblastik gestasional persisten biasanya terjadi pada
20% wanita dengan mola komplet. Kebanyakan berkembang menjadi
mola invasif atau persisten, dengan 1-2% menjadi koriokarsinoma.
Evakuasi sempurna dari mola merupakan terapi utama (Baergen, 2005).

B. Gambaran Makroskopis
Secara makroskopis, mola komplet mempunyai jaringan berlimpah
dengan vesikel translusen yang menggambarkan vili yang hidropik dan
membesar. Jonjot korion hidropik dengan gambaran seperti anggur dan
berdiameter >2 cm. Sebagian besar dari vili menunjukkan
pembengkakan hidropik, dan sering kali kavitas uteri penuh dengan
jaringan mola. Tidak dijumpai bagian-bagian janin; tidak terdapat
amnion.

26
Gambar 4. Mola Hidatidosa Komplet Secara Makroskopis
Sumber: Mercer University School of Medicine

C. Gambaran Histopatologi
Secara mikroskopis, stroma vili mengalami hidropik dan terjadi
akumulasi cairan yang masif. Sisterna terbentuk ketika jaringan ikat dan
vili terpisah. Proliferasi bervariasi, vili berlapis sel sitotrofoblas dan
sinsitiotrofoblas yang proliferasi dan tidak terpolar. Tidak terdapat
jaringan embrio atau fetal.
Berdasarkan derajat proliferasi dari sel-sel trofoblas, dibuat
diagnosis kerja: mola hidatidosa komplet proliferasi ringan dan
proliferasi berat sel-sel trofoblas.

Gambar 5. Mola Hidatidosa Komplet Secara Mikroskopis


Sumber: Mercer University School of Medicine

27
2.3.4.2 Mola Hidatidosa Parsial
A. Gambaran Klinis
Pasien mola parsial biasanya datang pada kehamilan minggu ke-18
sampai 20 gestasi dengan perdarahan pervaginam dan kemungkinan
missed abortion, ukuran kurang dari usia kehamilan, dan elevasi sedang
β -hCG darah. Pemeriksaan USG hampir sampa dengan mola komplet
(Baergen, 2005). Secara makroskopis, vili yang dijumpai terlihat
seperti kehamilan normal, hanya beberapa tampak seperti gelembung,
dan dijumpai bagian fetus (amnion/umbilikus).

Gambar 6. Mola Hidatidosa Parsial Secara Makroskopis


Sumber: Mercer University School of Medicine

B. Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis


Mola hidatidosa parsial mempunyai campuran dari vili imatur normal
aktif dan vili hidropik dengan stroma edematus berlapis sel
sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas yang berproliferasi ringan dan
terpolar. Sisterna jarang.

28
Gambar 7. Mola Hidatidosa Parsial.
Sumber: Histopathology Department of Dubai Hospital

Tabel 1. Gambaran Mola Hidatidosa Komplet Versus Parsial.


Gambaran Mola Komplet Mola Parsial
Kariotipe 46 XX (46 XY) Triploid (69 XXY)
Edema vilus Semua vilus Sebagian vilus
Proliferasi trofoblas Difus, sirkumferensial Fokal, sedikit
Atipia Sering ditemukan Tidak ada
hCG serum Meningkat Kurang meningkat
hCG di jaringan ++++ +
Perilaku 2% koriokarsinoma Jarang koriokarsinoma
Dikutip dari: Buku Ajar Patologi Robbins dan Kumar.

2.3.4.3 Mola Invasif


Mola invasif melakukan penetrasi dan bahkan dapat menimbulkan
perforasi pada dinding uterus; jenis mola ini ditandai oleh proliferasi aktif
sitotrofoblas maupun sinsitiotrofoblas. Mola invasive tidak bermetastasis.
Tumor ini disertai dengan kenaikan kadar hCG yang persisten dan
luteinisasi dengan derajat yang bervariasi pada ovarium. Mola invasif
memperlihatkan respons yang baik terhadap kemoterapi (Mitchell, 2008).

Tabel 2. Hubungan Usia Kehamilan dan Kadar β -hCG.


Usia Kehamilan (minggu) Kadar β -hCG (mIU/mL atau

29
IU/L)
1 5-50
2 50-500
3 100.10.000
4 1.080-30.000
6-8 3.500-115.000
12 12.000-270.000
13-16 > 20.000
17-40 < 4.000

Menurut penelitian Berkowitz dan Goldstein pada tahun 2009,


terjadinya mola komplet membuat kadar β -hCG sangat meningkat. Dari 74
pasien yang diteliti, 30 pasien (41%) dengan mola komplet memiliki kadar
β -hCG melebihi 100.000 mIU/mL sebelum evakuasi, dan 70 dari 153
pasien memiliki kasus yang sama pada New England Trophoblastic
Disease Center pada tahun 2009. Mola parsial mempunyai karakteristik
hiperplasia trofoblastik yang kurang menonjol. Pada penelitian yang sama,
hanya terdapat 2 dari 30 pasien mola parsial yang melebihi 100.000
mIU/mL.
Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa pasien dengan mola
hidatidosa memiliki kadar β -hCG lima kali lipat dari kehamilan normal.

2.3.5 Komplikasi
Delapan puluh persen kasus mola jinak, dan 20% dapat berlanjut ke
komplikasi-komplikasi (Biyani dkk, 2013).
a. Perforasi uterus
Perforasi uterus dapat terjadi selama prosedur pembedahan atau
akibat dari mola invasif. Perforasi dapat menimbulkan hipotensi,
takikardia dan syok.
b. Perdarahan
Anemia adalah temuan yang sering didapat dari kehamilan mola
karena perdarahan pervaginam akut atau kehilangan darah selama
pembedahan. Infus oksitosin menurunkan risiko perdarahan, tapi

30
menaikkan risiko embolisasi trofoblastik dengan kontraksi uterus
yang kuat.
c. Hipertiroidisme dan tirotoksikosis
Hipertiroidisme dapat terjadi pada 5-10% kasus kehamilan mola.
Rendahnya pemasukan makanan yang mengandung vitamin dan
protein dapat menjadi alasan dari prevalensi tinggi di negara-negara
seperti India dan Indonesia (Biyani dkk, 2013).
d. Masalah pernapasan
Gawat jantung paru akut dapat terjadi pada 27% kasus kehamilan
mola. Sebab dari gagal napas pada kehamilan biasanya non-
pulmoner. Biasanya gejala yang timbul adalah gagal napas tipe I
(tipe hipoksemik akut) pada 12-24 jam pascaevakuasi. Sebab
bervariasi, biasanya yang terjadi adalah embolisasi trofoblastik,
Sindroma Gawat Napas Akut (Acute Respiratory Distress
Syndrome) dan kerusakan paru akibat transfusi (Transfusion
Related Acute Lung Injury).
e. Comsumption Coagulopathy
Faktor-faktor yang dilepaskan pada jaringan mola dapat
menyebabkan kaskade koagulasi yang kemudian menyebabkan
DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) dan gagal organ
multipel. Substansi yang dilepas dari jaringan plasenta
menunjukkan sifat seperti tromboplastin.
f. Koriokarsinoma
Mola hidatidosa dianggap ganas jika metastasis terjadi ke organ-
organ jauh atau miometrium dari uterus sudah terinvasi jaringan
mola (mola invasif) atau ketika kadar hCG darah meningkat ketika
di-follow-up jika tidak hamil. Angka keganasan sekitar 15-20%
pada kasus mola komplet dan 2-3% pada kasus mola parsial.
Metastasis pada paru-paru dapat ditemukan di 4-5% pasien dengan
mola komplet dan jarang sekali pada mola parsial (Biyani dkk,
2013).

31
BAB III
KESIMPULAN

Perdarahan vagina pada trimester pertama terjadi pada sekitar seperempat dari
kehamilan. Sekitar satu setengah dari mereka yang berdarah mengalami abortus.
(Deutchman dkk., 2009). Kemungkinan penyebab perdarahan termasuk
perdarahan subkorionik, kematian embrio, kehamilan anembrionik, aborsi tidak
lengkap, kehamilan ektopik, dan penyakit trofoblastik gestasional.

32
TINJAUAN PUSTAKA

Baergen R.N. 2005. Manual of Bernischke and Kaugmann’s Pathology of the


Human Placenta. Hal. 81-95, 416-435.

Bulan. 2004. Karakteristik Penderita Kehamilan Ektopik di RSU Dr. Pirngadi


Medan Tahun 1999—2003. Skripsi FKM-USU. Medan.

Chandran, J.R., U. Devi, D.S. Devi, dan S.V. Raj. 2011. Epidemiology of
Complete Hydatidiform Mole at a Tertiary Hospital and Analysis of Cases
Over Last 5 Year Period. Indian Journal of Maternal and Child Health,
Kerala, India.

Cunningham, F.G. 2013. Obstetri Williams (edisi ke-23). Terjemahan Oleh:


Pendit, B.U. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 37-74, 271-278.

Deutchman M., A. Tubay, D.K. Turok. 2009. First Trimester Bleeding.


(http://www.aafp.org/afp/2009/0601/p985.html, diakses 6 Juni 2014)

Granger K., Pattison N. 1994. Vaginal Bleeding in Pregnancy J. Obstetri and


Gynaecology.

Jaffar R., R. Kalsoom, dan A. Quershi. 2011. Histopathological Review of Partial


and Complete Hydatidiform Moles in a Tertiary Care Hospital, Lahore –
Pakistan. Biomedica, Lahore, Pakistan, hal. 76-80.

Kumar, Vinay, R.S. Cotran, S.L. Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7
Volume. Terjemahan oleh: Pendit, B.U. EGC, Jakarta, Indonesia.

Lurain, J.R. 2010. Gestational Trophoblastic Disease I: Epidemiology, Pathology,


Clinical Presentation and Diagnosis of Gestational Trophoblastic Disease,
and Management of Hydatidiform Mole. American Journal of Obstetrics &
Gynecology, Illinois, Amerika Serikat.

Manuaba, I.B.G. 1999. Operasi Kebidanan, Kandungan, dan Keluarga Berencana


untuk Dokter Umum. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Merpaung, C. 2007. Karakteristik Ibu Penderita Kehamilan Ektopik Terganggu di


RS St. Elisabeth Medan Tahun 1999—2006. Skripsi FKM USU. Medan.

33
Mitchell, R.N., V. Kumar, A.K. Abbas, N. Fausto. 2006. Pocket Companion to
Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease International Edition, 7 th
Edition. Saunders Elsevier, Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat.

Mochtar, R. 1990. Sinopsis Obstetri Jilid I. Penerbit Buku Kedokteran EGC:


Jakarta. hlmn. 196—322.

Murphy K.M., B.M. Ronnett. 2009. Diagnosis of Hydatidiform Moles:


Morphology and Anchillary Techniques. The Johns Hopkins University
School of Medicine, Amerika Serikat.

Pratiwi, Y.P. 2014. Prevalensi dan Gambaran Histopatologi Mola Hidatidosa di


Laboratorium Patologi Anatomi FK Unsri/RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang Periode 2008—2012. Program Sarjana. Universitas Sriwijaya.
Palembang.

Sastrawinata, Sulaiman. 2004. Obstetri Patologi – Ilmu Kesehatan Reproduksi.


EGC, Jakarta.

Sistem Informasi Akademik Program Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri &


Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 2013. Mola
Hidatidosa, Yogyakarta. (http://sia.obgin-ugm.com/?page=artikel&id=6,
Diakses 5 Juni 2014).

Syafii, Aprianti, Hardjoeno. 2006. Kadar β -hCG Penderita Mola Hidatidosa


Sebelum dan Sesudah Kuretase. Indonesian Journal of Clinical Pathology
and Medical Laboratory, Makassar, Indonesia, hal 1-3.

34

Anda mungkin juga menyukai