Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1

PENDAHULUAN
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa

tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral
sementara. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini
diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping
penanganan pertama yang belum benar serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum
tiba di rumah sakit. Dari psien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan
sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang, dan
10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama
pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya
cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting
untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang
penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan
CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5%
yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara
konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan secara tepat dan cepat.

Adapun pembagian trauma kapitis


adalah: Simple head injury, Commutio
cerebri, Contusion cerebri, Laceratio
cerebri, Basis cranii fracture.
Simple head injury dan Commutio
cerebri sekarang digolongkan sebagai
cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri
digolongkan sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah
pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,
anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara
serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat
pasien tiba di Rumah Sakit
II.2

ANATOMI KEPALA

a.

Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
Skin atau kulit

Connective tissue atau jaringan penyambung


Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tengkorak
Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.
Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium
dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala
memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi
kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anakanak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga
membutuhkan waktu
Lama untuk mengeluarkannya (American college of surgeon, 1997)
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis
cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa
yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (American college
of surgeon, 1997).
c. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri
atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural(Japardi, 2004)
7

Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada


permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.
Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat(Japardi,2004)
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah
luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid
yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala (American college of surgeon,1997)
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater (japardi, 2004).

d. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan (American college of surgeon, 1997).
e. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan


kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari(Hafidh, 2007).
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior)(japardi,2004)
g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis(japardi,2004).
II.3

ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA

a. Tekanan intracranial
Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan
intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya
berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang tinggi dapat
menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak. TIK Normal
kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg dianggap tidak
normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala, semakin buruk
prognosisnya (American college of surgeon,1997)
b. Hukum Monroe-Kellie

10

Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat


dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic)
adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu
volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan
volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl (American college of surgeon,1997)
c. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean
arterial presure) dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari
70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.(American
college of surgeon,1997)
d. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO
menurun

sampai

20-25ml/100

gr/menit

maka

aktivitas

EEGakan

menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan
mengalami kematian dan kerusakan yang menetap (American college of
surgeon, 1997).
II.4

PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu

cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselarasi deselarasi gerakan kepala
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan

11

tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi


dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) (japardi, 2004)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi (japardi, 2004).
II.5

KLASIFIKASI CEDERA KEPALA

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3


deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan
benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau
tusukan (Bernath, 2009).
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale
adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala
berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Glasgow Coma Scale:
Parameter

Nila
i

Respon buka mata (eye opening, E)


Spontan: membuka mata spontan

Terhadap rangsang suara: membuka mata bila dipanggil atau diperintahkan

Terhadap rangsang nyeri: membuka mata bila ada tekanan pada jari di atas bantalan kuku

12

proksimal
Tidak ada: mata tidak membuka terhadap rangsang apapun
Respon motorik (M)

Ikut perintah: misal, angkat tangan; tunjukkan dua jari

Melokalisasi nyeri: tidak mematuhi perintah tetapi berusaha menunjukkan lokasi nyeri dan

mencoba menghilangkan rangsang nyeri tersebut


Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang): lengan fleksi bila diberi rangsang nyeri tetapi

tidak ada usaha yang jelas untuk menghilangkan rangsang nyeri


Fleksi abnormal terhadap nyeri (dekortikasi): lengan fleksi di siku dan pronasi, tangan mengepal

Ekstensi abnormal terhadap nyeri (deserebrasi): ekstensi lengan di siku, lengan biasanya adduksi
2

dan bahu berotasi ke dalam


Tidak ada (flaksid): tidak ada respon terhadap nyeri

1
Respon verbal (V)
Berorientasi baik: dapat bercakap-cakap, mengetahui siapa dirinya, di mana berada, bulan, dan

tahun
Berbicara mengacau (bingung): dapat bercakap-cakap tetapi ada disorientasi

Kata-kata tidak teratur: percakapan tidak dapat bertahan, susunan kata kacau atau tidak tepat

Suara tidak jelas: mengeluarkan suara (misal, merintih), tetapi tidak ada kata-kata yang dapat

dikenal
1

Tidak ada: tidak mengeluarkan suara apapun walaupun diberi rangsang nyeri

(Kluwer, 2009)
Glasgow Coma Scale adalah standar obyektif mengukur keparahan trauma
kapitis. Pasien dinilai melalui tiga kategori: respon motorik terbaik, respon verbal
terbaik, dan respon membuka mata terbaik. Pasien dengan neuurologi normal
mendapat skor 15, sedangkan pasien dengan trauma parah mendapat skor 3
dengan 1 poin pada setiap rincian. Harus diketahui, validitas skor GCS tergantung
dari faktor sistemik seperti hipotensi, hipoksia, hipotermi, hipoglikemi, dan obat
sedasi; semua hal yang mungkin menekan fungsi neurologis.
GCS berguna untuk mengelompokkan tingkat keparahan pasien trauma
kapitis. Skor GCS 13-15 secara umum digolongkan sebagai trauma kapitis ringan,
skor 9-12 sebagai trauma kapitis sedang, dan skor di bawah 8 sebagai trauma
kapitis berat. Pengelompokkan ini bermanfaat dalam hal triage pasien dan melihat
urgensi pasien. Tetapi, trauma kapitis ringan tidak bisa begitu saja dianggap

13

sepele, terutama bila tampak abnormalitas pada CT scan. Umumnya, pasien


dengan trauma kapitis ringan memiliki sensibilitas sadar dan tidak terdapat defisit
fokal yang signifikan. Pasien trauma kapitis sedang memiliki perubahan sensori
dan atau defisit fokal tetapi masih mampu mengikuti perintah sederhana.
Sedangkan pasien yang mengalami trauma kapitis berat tidak mampu mengikuti
perintah apapun.
GCS sendiri masih memiliki keterbatasan. Instrumen intubasi bisa
menghalangi penilaian verbal. Trauma periorbital yang parah bisa menghasilkan
edem massif sehingga skor respon membuka mata tidak bisa dinilai. Penggunaan
obat penenang juga mengacaukan penilaian. Cara mengatasi kelemahan ini adalah
dengan membuat dokumen penilaian GCS secara berkala
c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan
lesiintrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis
frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye
sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea,
otorrhea) dan paresis nervus fasialis (Bernath, 2009)
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan
dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa
benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya
tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih
banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi

14

yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear


mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada
pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400
kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar.
Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien
untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009)
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,
secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan
perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath,
2009)
a. Hematoma Epidural
Epidural

hematom

(EDH)

adalah

perdarahan

yang

terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater


dengan cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung.
Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan
sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan
biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma
epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietaloksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila
ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan
darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada

15

penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status


neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
pendarahan epidural dapat menunjukan adanya lucid interval
yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tibatiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah
memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli
bedah saraf(Harga Daniel, 2009)
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang
tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex,
melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi
kontralateral (tanda space occupying lesion). Batas dengan corteks
licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat
diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak
lebih jelas (Gazali, 2007).
b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi
paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan
sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau
tidak (American college of surgeon, 1997)
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta
biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh
tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.
Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit )
dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom.
Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure

16

interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural


(Bernath, 2009).
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi
yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak
ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau
sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula.
Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens,
yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens,
bahkan akhirnya menjadi hipodens (Ghazali, 2007)
d. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar
kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap
tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan
hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,
terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio
jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di
dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis
dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau
pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Hafidh, 2007).
Perdarahan intraserebral, atau yang lebih dikenal intraserebral hematoma
(ICH), diartikan sebagai hematoma yang terbentuk pada parenkim otak sebgai
akibat robekan pembuluh darah. Terutama mekibatkan lobus frontal dan
temporal (80-90%), tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang

17

otak dan ganglia basalis. Gejala dan tanda juga dapat ditentukan oleh ukuran
dan lokasi hematoma. Pada CT scan, akan memberikan gambaran hiperdens
yang homogeny dan berbatas tegas. Di sekitar lesi akan disertai dengan
edema perifokal. Jika massa hiperdens tersebut berdiameter kurang dari 2/3
diameter lesi, maka keadaan ini disebut kontusio. Jika ICH disertai SDH dan
kontusio atau laserasi pada daerah yang sama, maka disebut burst lobe.
Paling sering terjadi pada lobus frontal dan temporal. Berdasarkan hasil
pemeriksaan CT scan, Fukamachi dkk tahun 1985, membagi ICH atas:
1. Tipe 1, hematoma sudah terlihat pada CT scan awal
2. Tipe 2, hematoma berukuran kecil sampai sedang pada awal CT scan
kemudian membesar pada CT scan selanjutnya
3. Tipe 3, hematoma terbentuk pada daerah yang normal pada CT scan awal
4. Tipe 4, hematoma berkembang pada daerah yang abnormal sejak awal
(salt and pepper)

e. Cedera difus
Cedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi
pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana
kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun
18

karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan
dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa
amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera
komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai
amnesia retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon,
1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya
atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia
pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera.
Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk
beberapa waktu. Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat,
pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini
dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan diman
pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan
tidak diakibatkan oleh suatu lesi mas aatau serangan iskemik. Biasanya
penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama
beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun
bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi
otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga
akibat cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara
klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi
bersamaan (American college of surgeon,1997)

19

Gbr 3. Patofisiologi Secondary Brain Injury8


Edem serebral terjadi karena peningkatan isi cairan jaringan otak. Edem
serebri difus bisa terjadi kapan saja pada kasus TBI yang parah. Dua tipe edem
serebri yang biasa terjadi adalah vasogenik dan sitotoksik. Edem vasogenik
disebabkan kebocoran transvaskular dari hubungan endotel sawar darah otak.
Biasanya terkumpul di substantia alba. Proses intraseluler yang mengakibatkan
kematian sel otak menyebabkan edem sitotoksik. Tipe edem sitotoksik adalah
predominan untuk kasus pasien TBI.

20

Saat trauma terjadi, serangkaian proses patologik kerusakan intrasel dan


ekstra sel dimulai, meliputi neurokimia, neuroanatomika, dan neurofisiologi.
Secondary brain insult memperburuk efek pengrusakan ini. Secondary brain
insult dikategorikan sebagai sistemik atau intrakranial. Contoh sistemik adalah
hipotensi, hipoksia, anemi, dan hiperkapnea atau hipokapnea. Sedangkan
intrakranial contohnya hipertensi intrakranial, lesi ektra-aksial (yang ikut menekan
jaringan yang tidak rusak), dan edem serebri. Derajat dan tipe SBI adalah
determinan mayor pada keluaran akhir neurologis paseian trauma kapitis. Tujuan
utama perawatan pasien pada perawatan darurat adalah pencegahan atau
mengurangi kondisi sistemik yang bisa memperburuk kondisi.
II.6

DIAGNOSIS

II.6.1 Anamnesis1
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan, adanya riwayat
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan.
Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari
tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan
kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadangkadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya: jatuh kemudian tidak sadar atau
kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis yang lebih terperinci meliputi:
1. Sifat kecelakaan
2. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit
3. Ada tidaknya benturan kepala langsung
4. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat
diperiksa
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak
sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui
kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya
tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun
kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah).

21

II.6.2 Indikasi Perawatan1


Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit bila tedapat gejala atau tanda
sebagai berikut:
1. Perubahan kesadaran saat diperiksa
2. Fraktur tulang tengkorak
3. Terdapat defisit neurologik
4. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak, riwayat minum
alkohol, pasien tidak kooperatif
5. Adanya faktor sosial seperti:
a. Kurangnya pengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan
b. Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga
c. Sulitnya transportasi ke rumah sakit
Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar kembali ke rumah
sakit bila timbul gejala sebagai berikut:
1. Mengantuk, sulit dibangunkan
2. Disorientasi, kacau
3. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam
4. Rasa lemah, kelumpuhan, penglihatan kabur
5. Kejang, pingsan
6. Keluar darah/cairan dari hidung, telinga
II.7

PENATALAKSANAAN TRAUMA KAPITIS

II.7.1

Pemeriksaan fisik
Hal terpenting yang pertama kali dinilai pada cedera kepala adalah status

fungsi vital dan status kesadaran.1 Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan
mendahului anamnesis.1
1. Status fungsi vital1,3,5,10
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai
ialah:
a. Jalan nafas (airway) dengan stabilisasi servikal

22

Jalan napas diinspeksi segera untuk memastikan patensi dan segera


identifikasi segala penyebab obstruksi (benda asing, serpihan fraktur, gangguan
trakea-laring, cedera tulang servikal). Jika penderita dapat berbicara maka jalan
napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Jika terdapat tanda-tanda
obstruksi jalan nafas yang umumnya sering terjadi pada penderita yang tidak
sadar yang dapat terjadi karena adanya benda asing, lendir atau darah, jatuhnya
pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah, maka jalan nafas harus segera
dibersihkan. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus hati-hati, bila ada
riwayat/dugaan trauma sevikal harus melindungi vertebra servikalis (cervical
spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang
berlebihan dari leher. Kontrol servikal harus dipertahankan karena pasien
dengan multitrauma harus dianggap juga mendapat cedera leher hingga
pemeriksaan radiologi menyatakan sebaliknya. Chin lift dan jaw thrust adalah
metode awal menyokong patensi jalan napas yang secara otomatis melindungi
vertebrae cervical.
b. Pernafasan (breathing) dan ventilasi
Ketika patensi jalan napas telah terjaga, kemampuan pasien bernapas segera
dinilai. Fungsi normal paru, dinding dada, dan diafragma dibutuhkan untuk
ventilasi dan pertukaran gas. Auskultasi, inspeksi, dan palpasi akan membantu
menentukan adanya tension pneumothorax, open pneumothorax, massive
hemothorax, atau flail chest karena kontusio pulmo. Kompresi dengan jarum,
penempatan chest tube, atau intubasi endotracheal mungkin diperlukan untuk
memastikan ventilasi yang adekuat.
Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh hasil analisis
gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. Tindakan
hiperventilasi dilakukan pada penderita cedera kepala berat yang menunjukkan
perburukan neurologis akut (GCS menurun secara progresif atau terjadi dilatasi
pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-35mmHg.
c. Nadi dan tekanan darah ((circulation) dan kontrol perdarahan

23

Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock,


terutama bila terdapat trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma
abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai
dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian
tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma
epidural. Adanya hipotensi merupakan petunjuk bahwa telah terjadi kehilangan
darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas. Hipotensi memiliki
efek berbahaya bagi pasien cedera kepala karena membahayakan tekanan perfusi
otak dan berperan dalam timbulnya edema dan iskemia otak. Hipotensi sekunder
karena perdarahan bisa terjadi karena trauma tajam maupun tumpul. Perdarahan
luar bisa diidentifikasi dengan cepat dan diatasi dengan penekanan langsung
secara manual. Tourniquet harus dihindari karena bisa menyebabkan iskemi distal.
Hipotensi tanpa perdarahan luar harus diasumsikan sebagai perdarahan interna
karena cedera intraabdomen, intratorakal, fraktur pelvis atau tulang panjang.
Pasien hipotensi hipovolemik biasanya menunjukkan penurunan kesadaran karena
aliran darah ke otak berkurang, nadi cepat, kulit pucat dan lembab.
d. Dissabilitas dan penilaian status neurologi
Cedera traumatik bisa menyebabkan kerusakan SSP maupun saraf perifer.
Penilaian disabilitas dan fungsi neurologi penting agar terapi obat dan maneuver
fisik tidak memperberat kerusakan saraf yang telah ada.
e. Eksposure
Penting untuk memeriksa pasien secara menyeluruh sehingga bisa seluruh
bagian tubuh bisa dinilai dan diagnosa cedera bisa ditegakkan.
2. Status Kesadaran9,11
Seperti halnya semua pasien trauma, prioritas pertama pada pasien trauma
kapitis adalah ABC. Dilanjutkan dengan survey primer dan sekunder. Penilaian
fungsi neurologi diindikasikan dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dan reaksi
pupil dilakukan setelah kardiopulmoner stabil.

24

Cara penilaian status kesadaran dengan melakukan pemeriksaan GCS dan


fungsi pupil (lateralisasi dan refleks pupil). Pupil adalah barometer penting pada
pasien koma. Bila cahaya mengenai retina, terjadi impuls yang berjalan ke nervus
optikus, kemudian ke nucleus pretectalis, lalu ke nucleus edinger-westphal dan
kembali ke saraf parasimpatis yang akan mengkonstriksikan pupil. Batas normal
pupil adalah 3-5 mm. Pupil midriasis yang tidak berespon terhadap rangsang
cahaya mengindikasikan herniasi transtentorial pada uncus ipsilateral di lobus
temporal media yang menekan dan menginaktivasi serat pupillokonstriktor pada
perifer n.III. CT scan dibutuhkan untuk mengidentifikasi lesi massa yang mungkin
bisa diatasi pada pasien. Tetapi, tetap harus diingat, pupil yang terfiksir dan
melebar juga bisa terjadi karena trauma langsung orbita dan isinya.
II.7.2

Pemeriksaan Tambahan1,9

Foto cranium
Peranan foto rontgen cranium banyak diperdebatkan manfaatnya, meskipun
beberapa rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi medik, foto
rontgen cranium dapat dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum. Foto cranium
bermanfaat sebagai screening sebelum pasien di lakukan CT scan. 10
Foto rontgen cranium biasa (AP dan lateral) umumnya dilakukan pada
keadaan:

Defisit neurologis fokal

Liquorrhoe

Dugaan trauma tembus/fraktur impresi

Hematoma luas di daerah kepala

CT scan kepala
CT scan adalah gold standar investigasi radiologi trauma kapitis. Perdarahan
akut bisa divisualisasi dengan mudah, begitu juga parenkim otak dan struktur
tulang. Pasien suspek patologis intrakranial harus dilakukan CT scan secepat
mungkin setelah stabil. Untuk kasus akut, penilaian dengan CT scan lebih berguna
ketimbang MRI. Tetapi MRI bisa digunakan pada fase subakut atau kronik karena
lebih sensitif untuk mendeteksi cedera difus.

25

Perdarahan intracranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan CT scan kepala,


di mana prosedurnya sederhana, tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat. CT scan
harus dilakukan bila didapati fraktur, udara intracranial, atau pergeseran glandula
pineal dari midline. CT scan kepala dapat dilakukan pada keadaan:
o Dugaan perdarahan intracranial
o Perburukan kesadaran
o Dugaan fraktur basis cranii
o Kejang
II.8

TERAPI MEDIKAMENTOSA

II.8.1 Cairan Intravena


Prinsip manajemen trauma kapitis adalah mempertahankan perfusi serebral
yang adekuat dengan menjaga tekanan atau bahkan menaikkan tekanan darah.
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam
keadaan normovolemia, jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan hipoglikemia yang berakibat buruk
pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan
garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan
untuk mencegah terjadinya edema otak.3 Strategi terbaik adalah mempertahankan
volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik.
Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa
menyebabkan edem otak.9
II.8.2 Hiperventilasi
Hiperventilasi segera adalah tindakan life-saving yang bisa mencegah atau
menunda herniasi pada pasien yang mengalami trauma kapitis parah. Gol tindakan
ini adalah menurunkan PCO2 ke rentang 30-35 mmHg. Hiperventilasi akan
menurunkan ICP dengan menyebabkan vasokonstriksi serebri; dengan onset efek
dalam 30 detik. Hiperventilasi menurunkan ICP sekitar 25% pada rata-rata pasien;
jika pasien tidak berespon terhadap intervensi ini, prognosisnya secara umum
adalah buruk. Hiperventilasi berkepanjangan tidak dianjurkan karena bisa
menyebabkan vasokonstriksi dan iskemi. Hiperventilasi profilaksis juga tidak
26

dianjurkan. Hiperventilasi hanya dilakukan pada pasien trauma kapitis parah yang
mengalami penurunan neurologis atau menunjukkan tanda herniasi.8
Selain itu, hiperventilasi dapat membantu menekan metabolisme anaerob,
sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya asidosis.1
II.8.3 Manitol 1,3,8
Jika pasien tidak berespon terhadap intubasi dan hiperventilasi dan ada
kecurigaan hematom ekstra-aksial maupun herniasi, penggunaan diuretika
osmotik, seperti manitol atau HTS, harus dipertimbangkan. Indikasi penggunaan
agen osmotik adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadi koma, dilatasi
pupil, pupil anisokor, hemiparesis, atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam
observasi.3. Manitol dipilih sebagai drug of choice dengan HTS sebagai alternatif.
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat.3 Sediaan yang
tersedia biasanya berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dengan dosis 0,25-1
g/kgBB. Manitol mengurangi edem serebri dengan menciptakan gradient osmotis
yang akan menarik cairan dari jaringan ke intravascular untuk kemudian
dikeluarkan melalui diuresis.1 Efek osmosis terjadi dalam hitungan menit dan
mencapai puncak sekitar 60 menit setelah bolus dimasukkan. Efek penurunan ICP
bolus tunggal manitol bertahan sekitar 6-8 jam. 3 Dosis tinggi manitol tidak boleh
diberikan pada penderita yang hipotensi karena manitol adalah diuretik osmotik
yang poten dan akan memperberat hipovolemia.3 HTS pada konsentrasi 3,1%-23%
digunakan untuk merawat pasien yang menderita trauma kapitis dan kenaikan
ICP. HTS menyebabkan penyebaran volume plasma, mengurangi vasospasme,
dan mengurangi respon inflamasi pascatrauma. HTS bermanfaat pada trauma
kapitis yang terjadi pada anak dan edem serebri. 8
II.8.4 Furosemid (Lasix)
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK.3 Dosis yang
biasa diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus intravena.3 Furosemid tidak
boleh diberikan pada penderita dengan hipotensi karena akan memperberat
hipovolemia.3
II.8.5 Barbiturat

27

Barbiturat bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter


terhadap obat-obatan lain.3 Barbiturat bekerja dengan cara membius" pasien
sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan
oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih
terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen
berkurang.1 Hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat.3 Oleh karena itu,
obat ini tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.3
II.8.6 Antikonvulsan
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma kepala
tumpul dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca trauma bukan prediksi
epilepsi tetapi kejang dini bisa memperburuk secondary brain injury dengan
menyebabkan hipoksia, hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan peningkatan
ICP.9 Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi pasca trauma, yaitu
kejang awal yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan intrakranial, atau
fraktur depresif. Penelitan menunjukkan, pemberian antikonvulsan bermanfaat
mengurangi kejang dalam minggu pertama setelah cedera namun tidak setelah itu.
Namun penelitian lain menyebutkan, penggunaan antikonvulsan tidak mengurangi
risiko serangan kejang secara bermakna. Penggunaan obat antiepilepsi profilaksis
pada trauma kapitis akut dilaporkan menurunkan risiko kejang sekitar 66%, walau
profilaksis kejang dini tidak mencegah kejang pasca trauma. Tujuan terapi
antiepilepsi adalah untuk mencegah akibat tambahan yang disebabkan trauma.8
Kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (3060 menit) dapat menyebabkan cedera otak sekunder.3 Benzodiazepine dipilih
sebagai first-line antikonvulsan. Lorazepam (0.05-0.15 mg/kg IV, tiap 5 menit
hingga total 4 mg) sangat efektif menggagalkan serangan epilepsy. Pillihan lain
adalah diazepam. Untuk antikonvulsan jangka panjang, fenitoin atau fosfenitoin
bisa diberikan.8
II.9

TERAPI OPERATIF

28

Masssa signifikan seperti hematom atau kontusio adalah kasus true


emergency. Umumnya perubahan letak struktur intracranial disebut signifikan bila
melebihi midline 5 mm. evakuasi diperlukan terutama pada fossa posterior
dimana hematom kecil saja bisa menyebabkan kompresi batang otak atau
hydrocephalus akut obstruktif. Pasien dengan cedera otak penetrasi mungkin
membutuhkan craniotomi emergensi jika ada efek signifikan massa.9

II.10 PENGELOLAAN TRAUMA KAPITIS BERDASARKAN BERATRINGAN CEDERA


Cedera Kepala Ringan3
Definisi: Penderita sadar dan berorientasi (GCS 14-15).
Pengelolaan:
1. Riwayat:
Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan, mekanisme cedera, waktu cedera,
tidak sadar segera setelah cedera, amnesia (retrograde, antegrade), nyeri
kepala (ringan, sedang, berat)
2.

Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

3.

Pemeriksaan neurologis terbatas

4.

Radiografi tengkorak

5.

Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi

6.

Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik


7. Pemeriksaan CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari
kriteria rawat.
Kriteria Rawat:
1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak

29

7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea


8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat bertanggungjawab
10. CT scan abnormal
Dipulangkan dari UGD:
1. Tidak memenuhi kriteria rawat
2. Beritahukan untuk kembali ke rumah sakit bila timbul masalah dan jelaskan
tentang 'lembar observasi
3. Jadwalkan untuk kontrol ulang dalam 1 minggu
Cedera Kepala Sedang3
Definisi : Penderita biasanya tampak kebingungan (konfusi) atau mengantuk
(somnolen) namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana
(GCS 9-13).
Pengelolaan:
1. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah
sederhana.
2. CT scan kepala pada semua kasus
3. Dirawat untuk observasi
Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis periodik (setiap setengah jam).
2. CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada perburukan neurologis
atau penderita akan pulang.
3. Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera kepala berat .
Bila kondisi membaik (90%):
1.

Pulang bila memungkinkan


2. Kontrol di poliklinik biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan bila perlu
1 tahun setelah cedera.
Bila kondisi memburuk (10%):

30

Bila penderita tidak mampu melakukan perintah lagi, segera lakukan


pemeriksaan CT scan ulangan dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala
berat.
Walau pasien ini masih mampu menuruti perintah sederhana, mereka dapat
memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya terhadap
pasien cedera kepala berat, walau mungkin dengan kewaspadaan yang tidak
begitu akut terhadap urgensi.
Saat masuk UGD, lakukan anamnesis singkat dan stabilisasi kardiopulmonal
sebelum pemeriksaan neurologis. Tes darah termasuk pemeriksaan rutin, profil
koagulasi, kadar alkohol dan contoh untuk bank darah. Film tulang belakang leher
diambil, CT scan umumnya diindikasikan. Pasien dirawat untuk pengamatan
bahkan bila CT scan normal.
Cedera Kepala Berat3
Definisi: Penderita tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena
gangguan kesadaran (GCS 3-8).
Pengelolaan:
1.

ABCDE

2.

Primary survey dan resusitasi

3.

Secondary survey dan riwayat AMPLE

4.

Reevaluasi neurologis: GCS

5.

Kemampuan membuka mata

Respons motor

Respons verbal

Reaksi cahaya pupil

Obat-obat Terapeutik:

Mannitol

Hiperventilasi sedang (PCO2<35 mmHg)

Antikonvulsan
6.

Tes Diagnostik (sesuai urutan)

31

CT scan

Ventrikulografi udara

Angiogram

32

DAFTAR PUSTAKA
1. Riyanto, Budi. Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala. Available from
http://www.kalbe.co.id/files/cdk
2. Medline

Plus.

Head

Injury.

Available

from

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000028.htm
3. American College Surgeon. Advanced Trauma Life Support Edisi Ketujuh.
United States of America, 2004. p: 167-185.
4. Snell, S Richard. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian 3.
alih bahasa dr.Jan Tambayong. 1997. EGC.
5. Sylvia, A Price dan Wilson M Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis dan
Proses Penyakit. EGC. Jakarta. 2006. p: 1167-1174.
6. Ellis, Harold. Applied anatomy for students and junior doctors. Eleventh
edition. Blackwell Publishing. 2006.
7. De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 2004. p: 819-821.
8. Heegaard, William dan Michelle Biros, Traumatic Brain Injury. Emerg
Med Clin N Am 25 (2007) 655678.
9. Seth J. Karp, MD. James P. G. Morris, MD. David I. Soybel,
BLUEPRINTS SURGERY. Third Edition. Blackwell Publishing.2004
10. Feliciano, David, Kenneth Mattox, Ernest Moore. Trauma. 5 th Ed.
McGraw-Hill. 2004.
33

11. Guyton, Arthur C. dan John E.Hall. Fisiologi Kedokteran. Editor:


dr.Irawati Setiawan. 1997. EGC.
12. Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah.
Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta
13. Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
14. Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
15. Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta:
penerbit buku kedokteran EGC
16. Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka
Cendekia.
17.
18. Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif.
Sumatra Utara: USU Press.
19. Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia:
Lippicott Williams and Wilkins

34

Anda mungkin juga menyukai