TINJAUAN PUSTAKA
II.1
PENDAHULUAN
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral
sementara. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini
diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping
penanganan pertama yang belum benar serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum
tiba di rumah sakit. Dari psien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan
sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang, dan
10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama
pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya
cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting
untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang
penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan
CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5%
yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara
konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan secara tepat dan cepat.
ANATOMI KEPALA
a.
Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
Skin atau kulit
d. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan (American college of surgeon, 1997).
e. Cairan serebrospinalis
a. Tekanan intracranial
Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan
intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya
berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang tinggi dapat
menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak. TIK Normal
kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg dianggap tidak
normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala, semakin buruk
prognosisnya (American college of surgeon,1997)
b. Hukum Monroe-Kellie
10
sampai
20-25ml/100
gr/menit
maka
aktivitas
EEGakan
menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan
mengalami kematian dan kerusakan yang menetap (American college of
surgeon, 1997).
II.4
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselarasi deselarasi gerakan kepala
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
11
Nila
i
Terhadap rangsang nyeri: membuka mata bila ada tekanan pada jari di atas bantalan kuku
12
proksimal
Tidak ada: mata tidak membuka terhadap rangsang apapun
Respon motorik (M)
Melokalisasi nyeri: tidak mematuhi perintah tetapi berusaha menunjukkan lokasi nyeri dan
Ekstensi abnormal terhadap nyeri (deserebrasi): ekstensi lengan di siku, lengan biasanya adduksi
2
1
Respon verbal (V)
Berorientasi baik: dapat bercakap-cakap, mengetahui siapa dirinya, di mana berada, bulan, dan
tahun
Berbicara mengacau (bingung): dapat bercakap-cakap tetapi ada disorientasi
Kata-kata tidak teratur: percakapan tidak dapat bertahan, susunan kata kacau atau tidak tepat
Suara tidak jelas: mengeluarkan suara (misal, merintih), tetapi tidak ada kata-kata yang dapat
dikenal
1
Tidak ada: tidak mengeluarkan suara apapun walaupun diberi rangsang nyeri
(Kluwer, 2009)
Glasgow Coma Scale adalah standar obyektif mengukur keparahan trauma
kapitis. Pasien dinilai melalui tiga kategori: respon motorik terbaik, respon verbal
terbaik, dan respon membuka mata terbaik. Pasien dengan neuurologi normal
mendapat skor 15, sedangkan pasien dengan trauma parah mendapat skor 3
dengan 1 poin pada setiap rincian. Harus diketahui, validitas skor GCS tergantung
dari faktor sistemik seperti hipotensi, hipoksia, hipotermi, hipoglikemi, dan obat
sedasi; semua hal yang mungkin menekan fungsi neurologis.
GCS berguna untuk mengelompokkan tingkat keparahan pasien trauma
kapitis. Skor GCS 13-15 secara umum digolongkan sebagai trauma kapitis ringan,
skor 9-12 sebagai trauma kapitis sedang, dan skor di bawah 8 sebagai trauma
kapitis berat. Pengelompokkan ini bermanfaat dalam hal triage pasien dan melihat
urgensi pasien. Tetapi, trauma kapitis ringan tidak bisa begitu saja dianggap
13
14
hematom
(EDH)
adalah
perdarahan
yang
15
16
17
otak dan ganglia basalis. Gejala dan tanda juga dapat ditentukan oleh ukuran
dan lokasi hematoma. Pada CT scan, akan memberikan gambaran hiperdens
yang homogeny dan berbatas tegas. Di sekitar lesi akan disertai dengan
edema perifokal. Jika massa hiperdens tersebut berdiameter kurang dari 2/3
diameter lesi, maka keadaan ini disebut kontusio. Jika ICH disertai SDH dan
kontusio atau laserasi pada daerah yang sama, maka disebut burst lobe.
Paling sering terjadi pada lobus frontal dan temporal. Berdasarkan hasil
pemeriksaan CT scan, Fukamachi dkk tahun 1985, membagi ICH atas:
1. Tipe 1, hematoma sudah terlihat pada CT scan awal
2. Tipe 2, hematoma berukuran kecil sampai sedang pada awal CT scan
kemudian membesar pada CT scan selanjutnya
3. Tipe 3, hematoma terbentuk pada daerah yang normal pada CT scan awal
4. Tipe 4, hematoma berkembang pada daerah yang abnormal sejak awal
(salt and pepper)
e. Cedera difus
Cedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi
pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana
kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun
18
karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan
dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa
amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera
komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai
amnesia retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon,
1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya
atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia
pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera.
Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk
beberapa waktu. Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat,
pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini
dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan diman
pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan
tidak diakibatkan oleh suatu lesi mas aatau serangan iskemik. Biasanya
penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama
beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun
bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi
otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga
akibat cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara
klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi
bersamaan (American college of surgeon,1997)
19
20
DIAGNOSIS
II.6.1 Anamnesis1
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan, adanya riwayat
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan.
Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari
tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan
kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadangkadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya: jatuh kemudian tidak sadar atau
kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis yang lebih terperinci meliputi:
1. Sifat kecelakaan
2. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit
3. Ada tidaknya benturan kepala langsung
4. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat
diperiksa
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak
sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui
kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya
tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun
kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah).
21
II.7.1
Pemeriksaan fisik
Hal terpenting yang pertama kali dinilai pada cedera kepala adalah status
fungsi vital dan status kesadaran.1 Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan
mendahului anamnesis.1
1. Status fungsi vital1,3,5,10
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai
ialah:
a. Jalan nafas (airway) dengan stabilisasi servikal
22
23
24
Pemeriksaan Tambahan1,9
Foto cranium
Peranan foto rontgen cranium banyak diperdebatkan manfaatnya, meskipun
beberapa rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi medik, foto
rontgen cranium dapat dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum. Foto cranium
bermanfaat sebagai screening sebelum pasien di lakukan CT scan. 10
Foto rontgen cranium biasa (AP dan lateral) umumnya dilakukan pada
keadaan:
Liquorrhoe
CT scan kepala
CT scan adalah gold standar investigasi radiologi trauma kapitis. Perdarahan
akut bisa divisualisasi dengan mudah, begitu juga parenkim otak dan struktur
tulang. Pasien suspek patologis intrakranial harus dilakukan CT scan secepat
mungkin setelah stabil. Untuk kasus akut, penilaian dengan CT scan lebih berguna
ketimbang MRI. Tetapi MRI bisa digunakan pada fase subakut atau kronik karena
lebih sensitif untuk mendeteksi cedera difus.
25
TERAPI MEDIKAMENTOSA
dianjurkan. Hiperventilasi hanya dilakukan pada pasien trauma kapitis parah yang
mengalami penurunan neurologis atau menunjukkan tanda herniasi.8
Selain itu, hiperventilasi dapat membantu menekan metabolisme anaerob,
sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya asidosis.1
II.8.3 Manitol 1,3,8
Jika pasien tidak berespon terhadap intubasi dan hiperventilasi dan ada
kecurigaan hematom ekstra-aksial maupun herniasi, penggunaan diuretika
osmotik, seperti manitol atau HTS, harus dipertimbangkan. Indikasi penggunaan
agen osmotik adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadi koma, dilatasi
pupil, pupil anisokor, hemiparesis, atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam
observasi.3. Manitol dipilih sebagai drug of choice dengan HTS sebagai alternatif.
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat.3 Sediaan yang
tersedia biasanya berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dengan dosis 0,25-1
g/kgBB. Manitol mengurangi edem serebri dengan menciptakan gradient osmotis
yang akan menarik cairan dari jaringan ke intravascular untuk kemudian
dikeluarkan melalui diuresis.1 Efek osmosis terjadi dalam hitungan menit dan
mencapai puncak sekitar 60 menit setelah bolus dimasukkan. Efek penurunan ICP
bolus tunggal manitol bertahan sekitar 6-8 jam. 3 Dosis tinggi manitol tidak boleh
diberikan pada penderita yang hipotensi karena manitol adalah diuretik osmotik
yang poten dan akan memperberat hipovolemia.3 HTS pada konsentrasi 3,1%-23%
digunakan untuk merawat pasien yang menderita trauma kapitis dan kenaikan
ICP. HTS menyebabkan penyebaran volume plasma, mengurangi vasospasme,
dan mengurangi respon inflamasi pascatrauma. HTS bermanfaat pada trauma
kapitis yang terjadi pada anak dan edem serebri. 8
II.8.4 Furosemid (Lasix)
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK.3 Dosis yang
biasa diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus intravena.3 Furosemid tidak
boleh diberikan pada penderita dengan hipotensi karena akan memperberat
hipovolemia.3
II.8.5 Barbiturat
27
TERAPI OPERATIF
28
3.
4.
Radiografi tengkorak
5.
6.
29
30
ABCDE
2.
3.
4.
5.
Respons motor
Respons verbal
Obat-obat Terapeutik:
Mannitol
Antikonvulsan
6.
31
CT scan
Ventrikulografi udara
Angiogram
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Riyanto, Budi. Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala. Available from
http://www.kalbe.co.id/files/cdk
2. Medline
Plus.
Head
Injury.
Available
from
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000028.htm
3. American College Surgeon. Advanced Trauma Life Support Edisi Ketujuh.
United States of America, 2004. p: 167-185.
4. Snell, S Richard. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian 3.
alih bahasa dr.Jan Tambayong. 1997. EGC.
5. Sylvia, A Price dan Wilson M Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis dan
Proses Penyakit. EGC. Jakarta. 2006. p: 1167-1174.
6. Ellis, Harold. Applied anatomy for students and junior doctors. Eleventh
edition. Blackwell Publishing. 2006.
7. De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 2004. p: 819-821.
8. Heegaard, William dan Michelle Biros, Traumatic Brain Injury. Emerg
Med Clin N Am 25 (2007) 655678.
9. Seth J. Karp, MD. James P. G. Morris, MD. David I. Soybel,
BLUEPRINTS SURGERY. Third Edition. Blackwell Publishing.2004
10. Feliciano, David, Kenneth Mattox, Ernest Moore. Trauma. 5 th Ed.
McGraw-Hill. 2004.
33
34