Anda di halaman 1dari 17

ABORTUS - SARWONO

Salah satu komplikasi terbanyak pada kehamilan ialah terjadinya perdarahan.


Perdarahan dapat terjadi pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan muda sering dikaitkan
dengan kejadian abortus, misscarriage, early pregnancy loss. Perdarahan yang terjadi pada
umur kehamilan yang lebih tua terutama setelah melewati trimester III disebut perdarahan
antepartum.
Perdarahan pada kehamilan muda dikenal beberapa istilah sesuai dengan
pertimbangan masing-masing, tetapi setiap kali kita melihat terjadinya perdarahan pada
kehamilan kita harus selalu berfikir tentang akibat dari perdarahan ini yang menyebabkan
kegagalan kelangsungan kehamilan itu sendiri. 459 S
Dikenal beberapa batasan tentang perisdwa yang ditandai dengan perdarahan pada kehamilan
muda.
ABORTUS 460 S
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin
kurang dari 500 gram.
Abortus yang berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan, sedangkan abortus
yang terjadi dengan sengaja dilakukan tindakan disebut abortus provokatus. Abortus
provokatus ini dibagi 2 kelompok yaitu abortus provokatus medisinalis dan abortus
provokatus kriminalis. Disebut medisinalis bila didasarkan pada pertimbangan dokter untuk
menyelamatkan ibu. Di sini pertimbangan dilakukan oleh minimal 3 dokter spesialis yaitu
spesialis Kebidanan dan Kandungan, spesialis Penyakit Dalam, dan Spesialis Jiwa. Bila perlu
dapat ditambah pertimbangan oleh tokoh agama terkait. Setelah dilakukan terminasi
kehamilan, harus diperhatikan agar ibu dan suaminya tidak terkena trauma psikis di
kemudian hari.
Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena abortus provokatus banyak yang
tidak dilaporkan, kecuali bila sudah terjadi komplikasi. Abortus spontan dan tidak jelas umur
kehamilannya, hanya sedikit memberikan gejala atau tanda sehingga biasanya ibu tidak
melapor atau berobat. Sementara itu, dari kejadian yang diketahui, 15-20% merupakan
abortus spontan atau kehamilan ektopik. Sekitar 5% dari pasangan yang mencoba hamil akan

mengalami 2 keguguran yang berurutan, dan sekitar 1% dari pasangan mengalami 3 atau
lebih keguguran yang berurutan.
Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi menyatakan kejadian
abortus spontan antara 15 - 20 % dari semua kehamilan. Kalau dikaji lebih jauh kejadian
abortus sebenarnya bisa mendekai 50%. Hal ini dikarenakan tingginya angka chemical
pregnancy loss yang tidak bisa diketahui pada 2 - 4 minggu setelah konsepsi. Sebagian besar
kegagalan kehamilan ini dikarenakan kegagalan gamet (misalnya sperma dan disfungsi
oosit). Pada 1988 Wilcox dan kawan-kawan melakukan studi terhadap 221 perempuan yang
diikuti selama 707 siklus haid total. Didapatkan total 198 kehamilan, dimana 43 (22%)
mengalami abortus sebelum saat haid berikutnya.
Abortus habitualis adalah abortus yang terjadi berulang tiga kali secara berturut-turut.
Kejadiannya sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali
abortus spontan, pasangan punya risiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan
bila pernah 2 kali, risikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko
abortus setelah 3 abortus berurutan adalah 30 - 45%.
Etiologi 460-1 S
Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering diperdebatkan. Umumnya
lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak di antaranya adalah sebagai berikut.

Faktor genetik. Translokasi parental keseimbangan genetik: mendelian, multifaktor,


Robertsonian, resiprokal

Kelainan kongenital uterus: anomali duktus Mulleri: septum uterus, uterus bikornis,
inkompetensi serviks uterus, mioma uteri, sindroma Asherman

Autoimun: aloimun, mediasi imunitas humoral, mediasi imunitas seluler

Defek fase luteal: faktor endokrin eksternal, antibodi antitiroid hormone, sintesis LH yang
tinggi

Infeksi

Hematologik

Lingkungan

Usia kehamilan saat terjadinya abortus bisa memberi gambaran tentang penyebabnya.
Sebagai contoh, antiphospholipid syndrome (APS) dan inkompetensi serviks sering terjadi
setelah trimester pertama.

Penyebab Genetik 461-2 S


Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling
sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik.
Bagaimanapun, gambaran ini belum termasuk kelainan yang disebabkan oleh gangguan gen
tunggal (misalnya kelainan Mendelian) atau mutasi pada beberapa lokus (misalnya gangguan
poligenik atau multifaktor) yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan kariotip.
Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi pada awal kehamilan.
Kelainan sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian
sporadis, misalnya nondisjunction meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal. Separuh
dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom.
Triploidi ditemukan pada 16% kejadian abortus, di mana terjadi fertilisasi ovum normal
haploid oleh 2 sperma (dispermi) sebagai mekanisme patologi primer. Trisomi timbul akibat
dari nondisjunction meiosis selama gametogenesis pada pasien dengan kariotip normal.
Untuk sebagian besar trisomi, gangguan meiosis maternal bisa berimplikasi pada
gametogenesis. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Trisomi 16, dengan
kejadian sekitar 30% dari seluruh trisomi, merupakan penyebab terbanyak. Semua kromosom
trisomi berakhir abortus kecuali pada trisomi kromosom 1. Sindroma Turner merupakan
penyebab 20 - 25% kelainan sitogenetik pada abortus. Sepertiga dari fetus dengan Sindroma
Down (trisomi 21) bisa bertahan.
Pengelolaan standar menyarankan untuk pemeriksaan genetik amniosentesis pada
semua ibu hamil dengan usia yang lanjut, yaitu di atas 35 tahun. Risiko ibu terkena
aneuploidi adalah 1:80, pada usia di atas 35 tahun karena angka kejadian kelainan
kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun.
Kelainan lain umumnya berhubungan dengan fertilisasi abnormal (tetraploidi,
triploidi). Kelainan ini tidak bisa dihubungkan dengan kelangsungan kehamilan. Tetraploidi
terjadi pada 8% kejadian abortus akibat kelainan kromosom, di mana terjadinya kelainan
pada fase sangat awal sebelum proses pembelahan.
Struktur kromosom merupakan kelainan kategori ketiga. Kelainan struktural terjadi
pada sekitar 3% kelainan sitogenetik pada abortus. Ini menunjukkan bahwa kelainan struktur
kromosom sering diturunkan dari ibunya. Kelainan struktur kromosom pada pria bisa
berdampak pada rendahnya konsentrasi sperma, infertilitas, dan bisa mengurangi peluang
kehamilan dan terjadinya keguguran.
Kelainan sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin karena adanya mutasi gen
yang bisa mengganggu proses implantasi bahkan menyebabkan abortus. Contoh untuk

kelainan gen tunggal yang sering menyebabkan abortus berulang adalah myotonic dystrophy,
yang berupa autosom dominan dengan penetrasi yang tinggi, kelainan ini progresif, dan
penyebab abortusnya mungkin karena kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi
uterus. Kemungkinan juga karena adanya mosaik gonad pada ovarium atau testis.
Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma Marfan, Sindroma EhlersDanlos, homosisteinuri dan pseudoaxanthoma elasticum. Juga pada perempuan dengan sickle
cell anemia berisiko tinggi mengalami abortus. Hal ini karena adanya mikroinfark pada
plasenta. Kelainan hematologik lain yang menyebabkan abortus misalnya disfibrinogenemi,
defisiensi faktor XIII, dan hipofibrinogenemi afibrinogenemi kongenital.
Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang abnormal, di
mana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor tersebut tidak diturunkan.
Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan kariotip pada
kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga berisiko abortus.
Penyebab Anatomik 462-3S
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti
abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus
berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan
anomali uterus pada 27% pasien. Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengan
malformasi uterus, mendapatkan hasil hanya 18,8% yang bisa bertahan sampai melahirkan
cukup bulan, sedangkan 36,5% mengalami persalinan abnormal (prematur, sungsang).
Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah seprum uterus (40 80%), kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10 - 30%). Mioma uteri
bisa menyebabkan baik infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya antara 10
-30% pada perempuan usia reproduksi. Sebagian besar mioma tidak memberikan gejala,
hanya yang berukuran besar atau yang memasuki kavum uteri (submukosum) yang akan
menimbulkan gangguan. Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi
serta pasokan darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25 - 80%,
bergantung pada berat ringannya gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan ini bisa digunakan
histerosalpingografi (HSG) dan ultrasonografi.

Penyebab Autoimun 463 Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun.
Misalnya, pada Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dan Antiphospholipid Antibodies
(aPA). aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE.
Kejadian abortus spontan di antara pasien SLE sekitar 10 %, dibanding populasi umum. Bila
digabung dengan peluang terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka
diperkirakan 75% pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian
besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. aPA merupakan antibodi yang akan
berikatan dengan sisi negatif dari fosfolipid. Paling sedikit ada 3 bentuk aPA yang diketahui
mempunyai arti klinis yang penting, yaitu Lupus Anticoagulant (LAC), anticardiolipin
antibodies (aCLs), dan biologically false-positive untuk syphilis (FP-STS). APS
(antiphospholipid syndrome) sering juga ditemukan pada beberapa keadaan obstetrik,
misalnya pada preeklampsia, IUGR dan prematuritas. Beberapa keadaan lain yang
berhubungan dengan APS yaitu trombosis arteri-vena, trombositopeni autoimun, anemia
hemolitik, korea dan hipertensi pulmonum.
The International Consensus Workshop pada 1998 mengajukan klasifikasi kriteria
untuk APS, yaitu meliputi:

Trombosis vaskular
Satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau kapilar yang dibuktikan dengan
gambaran Doppler, pencitraan, atau histopatologi
Pada histopatologi, trombosisnya tanpa disertai gambaran inflamasi

Komplikasi kehamilan
Tiga atau lebih kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas, tanpa kelainan anatomik,
genetik, atau hormonal
Satu atau lebih kematian janin di mana gambaran morfologi secara sonografi normal
Satu atau lebih persalinan prematur dengan gambaran janin normal dan berhubungan
dengan preeklampsia berat atau insufisiensi plasenta yang berat

Kriteria laboratorium
aCL: IgG dan atau IgM dengan kadar yang sedang atau tinggi pada 2 kali atau lebih
pemeriksaan dengan jarak lebih dari atau sama dengan 6 minggu
aCL diukur dengan metode ELISA standar

Antibodi fosfolipid/antikoagulan
Pemanjangan tes skrining koagulasi fosfolipid (misalnya aPTT, PT dan CT)

Kegagalan untuk memperbaiki tes skrining yang memanjang dengan penambahan plasma
platelet normal
Adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan fosfolipid
Singkirkan dulu kelainan pembekuan darah yang lain dan pemakaian heparin
aPA ditemukan kurang dari 2% pada perempuan hamil yang sehat, kurang dari 20%
pada perempuan yang mengalami abortus dan lebih dari 33% pada perempuan dengan SLE.
Pada kejadian abortus berulang ditemukan infark plasenta yang luas, akibat adanya atherosis
dan oklusi vaskular kini dianjurkan pemeriksaan darah terhadap -2glikoprotein l yang lebih
spesifik.
Pemberian antikoagulan misalnya aspirin, heparin, IL-3 intravena menunjukkan hasil
yang efektif. Pada percobaan binatang, kerja IL-3 adalah menyerupai growth hormone
plasenta dan melindungi kerusakan jaringan plasenta.
Trombosis plasenta pada APS diawali adanya peningkatan rasio tromboksan terhadap
prostasiklin, selain juga akibat dari peningkatan agregrasi trombosit, Penurunan c-reaktif
protein dan peningkatan sintesis platelet-activating factor. Secara klinis lepasnya kehamilan
pada pasien APS sering terjadi pada usia kehamilan di atas 10 minggu.
Pengelolaan secara umum meliputi pemberian heparin subkutan, aspirin dosis rendah,
prednison, imunoglobulin, atau kombinasi semuanya. Studi case-control menunjukkan
pemberian heparin 5.000 U 2x/hari dengan 81 mg/hari aspirin meningkatkan tahan janin dari
50% jadi 80% pada perempuan yang pernah mengalami abortus lebih dari 2 kali tes APLAs
positif. Yang perlu diperhatikan ialah pada penggunaan heparin jangka panjang, perlu
pengawasan terhadap risiko kehilangan massa tulang, perdarahan, serta trombositopeni.
Penyebab Infeksi 464-5S
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak 1917, ketika
DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada
perempuan yang ternyata terpapar brucellosis. Beberapa jenis organisme tertentu diduga
berdampak pada kejadian abortus antara lain:

Bakteria: Listeria monositogenes, Klamidia trakomatis, Ureaplasma urealitikum,


Mikoplasma hominis, Bakterial vaginosis

Virus: Sitomegalovirus, Rubela, Herpes simpleks virus (HSV), Human immunodeficiency


virus (HIV), Parvovirus

Parasit: Toksoplasmosis gondii, Plasmodium falsiparum

Spirokaeta: Treponema pallidum

Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap risiko
abortus/EPL, di antaranya sebagai berikut.

Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang berdampak langsung
pada janin atau unit fetoplasenta

Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin sulit
bertahan hidup.

Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian janin.

Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah (misal Mikoplasma
hominis, Klamidia, Ureaplasma urealitikum, HSV) yang bisa mengganggu proses
implantasi.

Amnionitis (oleh kuman gram-positif dan gram-negatif, Listeria monositogenes).

Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh karena virus selama
kehamilan awal (misalnya rubela, parvovirus B19, sitomegalovirus, koksakie virus B,
varisela-zoster, kronik sitomegalovirus CMV, HSV).

Faktor Lingkungan 465 S


Diperkirakan 1 - 10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi
dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas anestesi dan
tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang
telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta.
Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu
neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi
gangguan pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus.
Faktor Hormonal 465 S
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang baik sistem
pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian langsung terhadap sistem
hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi terutama
kadar progesteron.

Diabetes mellitus 466 s


Perempuan dengan diabetes yang dikelola dengan baik risiko abortusnya tidak lebih jelek
jika dibanding perempuan yang tanpa diabetes. Akan tetapi perempuan diabetes dengan
kadar HbAlc tinggi pada trimester pertama, risiko abortus dan malformasi janin
meningkat signifikan. Diabetes jenis insulin-dependen dengan kontrol glukosa tidak
adekuat punya peluang 2 - 3 kali lipat mengalami abortus.

Kadar progesteron yang rendah 466S


Progesteron punya peran penting dalam mempengaruhi reseptivitas endometrium
terhadap implantasi embrio. Pada tahun 1929, Allen dan Corrier mempublikasikan
tentang proses fisiologi korpus luteum, dan sejak itu diduga bahwa kadar progesteron
yang rendah berhubungan dengan risiko abortus. Support fase luteal punya peran kritis
pada kehamilan sekitar 7 minggu, yaitu saat di mana trofoblas harus menghasilkan cukup
steroid untuk menunjang kehamilan. Pengangkatan korpus luteum sebelum usia 7 minggu
akan menyebabkan abortus. Dan bila progesteron diberikan pada pasien ini, kehamilan
bisa diselamatkan.

Defek fase luteal 466S


Jones (1943) yang pertama kali mengutarakan konsep insufisiensi progesteron saat fase
luteal, dan kejadian ini dilaporkan pada 23 - 60% perempuan dengan abortus berulang.
Sayangnya belum ada metode yang bisa dipercaya untuk mendiagnosis gangguan ini.
Pada penelitian terhadap perempuan yang mengalami abortus lebih dari atau sama dengan
3 kali, didapatkan 17% kejadian defek fase luteal. Dan, 50% perempuan dengan histologi
defek fase luteal punya gambaran progesteron yang normal.

Pengaruh hormonal terhadap imunitas desidua 466S


Perubahan endometrium jadi desidua mengubah semua sel pada mukosa uterus.
Perubahan morfologi dan fungsional ini mendukung proses implantasi juga proses
migrasi trofoblas dan mencegah invasi yang berlebihan pada jaringan ibu. Di sini
berperan penting interaksi antara trofoblas ekstravillous dan infiltrasi leukosit pada
mukosa uterus. Sebagian besar sel ini berupa Large Granular Lymphocytes (LGL) dan
makrofag, dengan sedikit sel T dan sel B.
Sel NK dijumpai dalam jumlah banyak, terutama pada endometrium yang terpapar
progesteron. Peningkatan sel NK pada tempat implantasi saat trimester pertama
mempunyai peran penting dalam kelangsungan proses kehamilan karena ia akan
mendahului membunuh sel target dengan sedikit atau tanpa ekspresi HLA. Trofoblas

ekstravillous (dengan pembentukan cepat HLA1) tidak bisa dihancurkan oleh sel NK
desidua, sehingga memungkinkan terjadinya invasi optimal untuk plasentasi yang normal.
Faktor Hematologik 466 S
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan adanya
mikrotrombi pada pernbuluh darah plasenta. Berbagai komponen koagulasi dan
fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas, dan
plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan:

Peningkatan kadar faktor prokoagulan

Penurunan faktor antikoagulan

Penurunan aktivitas fibrinolitik

Kadar faktor VII, VIII, X dan fibrinogen meningkat selama kehamilan normal, terutama
pada kehamilan sebelum 12 minggu.
Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan defek
hemostatik. Penelitian Tulpalla dan kawan-kawan menunjukkan bahwa perempuan
dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang
berlebihan pada usia kehamilan 4 - 6 minggu, dan penurunan produksi prostasiklin saat
usia kehamilan 8 - 11 minggu. Perubahan rasio tromboksan-prostasiklin memacu
vasospasme serta agregrasi trombosit, yang akan menyebabkan mikrotrombi serta
nekrosis plasenta. Juga sering disertai penurunan kadar protein C dan fibrinopeptida.
Defisiensi faktor XII (Hageman) berhubungan dengan trombosis sistematik ataupun
plasenter dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan abortus berulang pada lebih dari
22% kasus.
Homosistein merupakan asam amino yang dibentuk selama konversi metionin ke sistein.
Hiperhomosisteinemi, bisa kongenital ataupun akuisita, berhubungan dengan trombosis
dan penyakit vaskular dini. Kondisi ini berhubungan dengan 21% abortus berulang. Gen
pembawa akan diturunkan secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang didapat adalah
defisiensi folat. Pada pasien ini, penambahan folat akan mengembalikan kadar
homosistein normal dalam beberapa hari. 467S

Macam-Macam Abortus
Dikenal berbagai macam abonus sesuai dengan gejala, tanda, dan proses patologi yang
terjadi.
Abortus Iminens 467-8S
Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus, ditandai
perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam
kandungan.
Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan pervaginam
pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh mulas sedikit atau tidak
ada keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih tertutup
besarnya uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dan tes kehamilan urin masih positif.
Untuk menentukan prognosis abortus iminens dapat dilakukan dengan melihat kadar hormon
hCG pada urin dengan cara melakukan tes urin kehamilan menggunakan urin tanpa
pengenceran dan pengenceran 1/l0. Bila hasil tes urin masih positif keduanya maka
prognosisnya adalah baik, bila pengenceran 1/10 hasilnya negatif maka prognosisnya dubia
ad malam. Pengelolaan penderita ini sangat bergantung pada informed consent yang
diberikan. Bila ibu ini masih menghendaki kehamilan rersebut, maka pengelolaan harus
maksimal untuk mempertahankan kehamilan ini. Pemeriksaan USG diperlukan untuk
mengetahui pertumbuhan janin yang ada dan mengetahui keadaan plasenta apakah sudah
terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan ukuran biometri janin/kantong gestasi apakah
sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan janin
diperhatikan di sarnping ada tidaknya hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis
servikalis. Pemeriksaan USG dapat dilakukan baik secara transabdominal maupun
transvaginal. Pada USG transabdominal jangan lupa pasien harus tahan kencing terlebih
dahulu untuk mendapatkan acoustic window yang baik agar rincian hasil USG dapat jelas.
Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdarahan berhenti. Bisa
diberi spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan hormon progesteron
atau derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus. Obat-obatan ini walaupun secara statistik
kegunaannya tidak bermakna, tetapi efek psikologis kepada penderita sangat menguntungkan.
Penderita boleh dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan dengan pesan khusus tidak
boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2 minggu.

Abortus Insipiens 469 S


Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah mendatar dan ostium
uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses
pengeluaran.
Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuat, perdarahannya
bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan umur kehamilan. Besar uterus masih
sesuai dengan umur kehamilan dengan tes urin kehamilan masih positif. Pada pemeriksaan
USG akan didapati pembesaran uterus yang masih sesuai dengan umur kehamilan, gerak
janin dan gerak jantung janin masih jelas walau mungkin sudah mulai tidak normal, biasanya
terlihat penipisan serviks uterus atau pembukaannya. Perhatikan pula ada tidaknya pelepasan
plasenta dari dinding urerus.
Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan perubahan
keadaan hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan evakuasi/pengeluaran hasil
konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan banyak. Pada umur kehamilan di atas 12
minggu, uterus biasanya sudah melebihi telur angsa tindakan evakuasi dan kuretase harus
hati-hati, kalau perlu dilakukan evakuasi dengan cara digital yang kemudian disusul dengan
tindakan kuretase sambil diberikan uterotonika. Hal ini diperlukan untuk mencegah
terjadinya perforasi pada dinding uterus. Pasca tindakan perlu perbaikan keadaan umum,
pemberian uterotonika, dan antibiotika profilaksis.
Abortus Kompletus 469S
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu
atau berat janin kurang dari 500 gram.
Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, ostium uteri telah menutup, uterus sudah
mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan.
Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila pemeriksaan secara klinis sudah memadai. Pada
pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7 - 10 hari setelah abortus. Pengelolaan
penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan. Biasanya hanya diberi
roboransia atau hematenik bila keadaan pasien memerlukan. Uterotonika tidak perlu
diberikan.

Abortus Inkompletus 469-470 S


Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal.
Batasan ini juga masih terpancang pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau
berat janin kurang dari 500 gram. Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di dalam
uterus di mana pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan
dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum. Perdarahan biasanya masih
terjadi jumlahnya pun bisa banyak atau sedikit bergantung pada jaringan yang tersisa, yang
menyebabkan sebagian placental site masih terbuka sehingga perdarahan berjalan terus.
Pasien dapat jatuh dalam keadaan anemia atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan
konsepsi dikeluarkan. Pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan
umum dan mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi untuk kemudian disiapkan
tindakan kuretase. Pemeriksaan USG hanya dilakukan bila kita ragu dengan diagnosis secara
klinis. Besar uterus sudah lebih kecil dari umur kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit
dikenali, di kavum uteri tampak massa hiperekoik yang bentuknya tidak beraturan. Bila
terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan pengeluaran sisa hasil konsepsi
secara manual agar jaringan yang mengganjal terjadinya kontraksi uterus segera dikeluarkan,
kontraksi uterus dapat berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti. Selanjutnya dilakukan
tindakan kuretase. Tindakan kuretase harus dilakukan secara hati-hari sesuai dengan keadaan
umum ibu dan besarnya utems. Tindakan yang dianjurkan ialah dengan karet vakum
menggunakan kanula dari plastik. Pascatindakan perlu diberikan uterotonika parenteral
ataupun per oral dan antibiotika.
Missed Abortion 470-2S
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kandungan sebelum
kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan.
Penderita missed abortion biasanya tidak merasakan keluhan apa pun kecuali
merasakan pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang diharapkan. Bila kehamilan di atas
14 minggu sampai 20 minggu penderita justru merasakan rahimnya semakin mengecil
dengan tanda-tanda kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang. Kadangkala
missed abortion juga diawali dengan abortus iminens yang kemudian merasa sembuh, tetapi
pertumbuhan janin terhenti. Pada pemeriksaan tes urin kehamilan biasanya negatif setelah
satu minggu dari terhentinya pertumbuhan kehamilan. Pada pemeriksaan USG akan
didapatkan uterus yang mengecil, kantong gestasi yang mengecil, dan bentuknya tidak
beraturan disertai gambaran fetus yang tidak ada tanda - tanda kehidupan. Bila missed

abortion berlangsung lebih dari 4 minggu harus diperhatikan kemungkinan terjadinya


gangguan penjendalan darah oleh karena hipofibrinogenemia sehingga perlu diperiksa
koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan kuretase.
Pengelolaan missed abortion perlu diutarakan kepada pasien dan keluarganya secara
baik karena risiko tindakan operasi dan kuretase ini dapat menimbulkan komplikasi
perdarahan atau tidak bersihnya evakuasi/kuretase dalam sekali tindakan. Faktor mental
penderita perlu diperhatikan, karena penderita umumnya merasa gelisah setelah tahu
kehamilannya tidak tumbuh atau mati. Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan
evakuasi dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila
serviks uterus memungkinkan. Bila umur kehamilan di atas 12 minggu atau kurang dari 20
minggu dengan keadaan serviks uterus yang masih kaku dianjurkan untuk melakukan induksi
terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin atau mematangkan kanalis servikalis. Beberapa
cara dapat dilakukan antara lain dengan pemberian infus intravena cairan oksitosin dimulai
dari dosis 10 unit dalam 500 cc dekstrose 5% tetesan 20 tetes per menit dan dapat diulangi
sampai total oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan untuk mencegah terjadinya
retensi cairan tubuh. Jika tidak berhasil, penderita diistirahatkan satu hari dan kemudian
induksi diulangi biasanya maksimal 3 kali. Setelah janin atau jaringan konsepsi berhasil
keluar dengan induksi ini dilanjutkan dengan tindakan kuretase sebersih mungkin. Pada
dekade belakangan ini banyak tulisan yang telah menggunakan prostaglandin atau sintetisnya
untuk melakukan induksi pada missed abortion. Salah satu cara yang banyak disebutkan
adalah dengan pemberian misoprostol secara sublingual sebanyak 400 mg yang dapat
diulangi 2 kali dengan jarak enam jam. Dengan obat ini akan terjadi pengeluaran hasil
konsepsi atau terjadi pembukaan ostium serviks sehingga tindakan evakuasi dan kuretase
dapat dikerjakan untuk mengosongkan kavum uteri. Kemungkinan penyulit pada tindakan
missed abortion ini lebih besar mengingat jaringan plasenta yang menempel pada dinding
uterus biasanya sudah lebih kuat. Apabila terdapat hipofibrinogenemia perlu disiapkan
transfusi darah segar atau fibrinogen. Pasca tindakan kalau perlu dilakukan pemberian infus
intravena cairan oksitosin dan pemberian antibiotika.
Abortus Habitualis 472-3S
Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut.
Penderita abortus habitualis pada umumnya tidak sulit untuk menjadi hamil kembali,
tetapi kehamilannya berakhir dengan keguguran/abortus secara berturut-turut. Bishop
melaporkan kejadian abortus habitualis sekitar 0,41% dari seluruh kehamilan.

Penyebab abortus habitualis selain faktor anatomis banyak yang mengaitkannya


dengan reaksi imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen lymphocyte trophoblast
cross reactive (TLX). Bila reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak ada, maka akan
terjadi abortus. Kelainan ini dapat diobati dengan transfusi leukosit atau heparinisasi. Akan
tetapi, dekade terakhir menyebutkan perlunya mencari penyebab abortus ini secara lengkap
sehingga dapat diobati sesuai dengan penyebabnya.
Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialah inkompetensia serviks yaitu keadaan
di mana serviks uterus tidak dapat menerima beban untuk tetap bertahan menutup setelah
kehamilan melewati trimester pertama, di mana ostium serviks akan membuka (inkompeten)
tanpa disertai rasa mules/kontraksi rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran janin. Kelainan ini
sering disebabkan oleh trauma serviks pada kehamilan sebelumnya, misalnya pada tindakan
usaha pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks yang luas sehingga diameter
kanalis servikalis sudah melebar.
Diagnosis inkompetensia serviks tidak sulit dengan anamnesis yang cermat. Dengan
pemeriksaan dalam/inspekulo kita bisa menilai diameter kanalis servikalis dan didapati
selaput ketuban yang mulai menonjol pada saat mulai memasuki trimester kedua. Diameter
ini melebihi 8 mm. Untuk itu, pengelolaan penderita inkompetensia serviks dianjurkan untuk
periksa hamil seawal mungkin dan bila dicurigai adanya inkompetensia serviks harus
dilakukan tindakan untuk memberikan fiksasi pada serviks agar dapat menerima beban
dengan berkembangnya umur kehamilan. Operasi dilakukan pada umur kehamilan 12 - 14
minggu dengan cara SHIRODKAR atau McDONALD dengan melingkari kanalis servikalis
dengan benang sutera/MERSILENE yang tebal dan simpul baru dibuka setelah umur
kehamilan aterm dan bayi siap dilahirkan.
Abortus Infeksiosus, Abortus Septik 473S
Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia. Abortus
septik ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau
peritoneum (septikemia atau peritonitis).
Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi tindakan abortus yang paling sering
terjadi apalagi bila dilakukan kurang memperhatikan asepsis dan antisepsis.
Abortus infeksiosus dan abortus septik perlu segera mendapatkan pengelolaan yang
adekuat karena dapat terjadi infeksi yang lebih luas selain di sekitar alat genitalia juga ke
rongga peritoneum, bahkan dapat ke seluruh tubuh (sepsis, septikemia) dan dapat jatuh dalam
keadaan syok septik.

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya tindakan abortus
yang tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan didapat gejala dan tanda panas
tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardia, perdarahan pervaginam yang berbau, uterus yang
membesar dan lembut, serta nyeri tekan. Pada laboratorium didapatkan tanda infeksi dengan
leukositosis. Bila sampai terjadi sepsis dan syok, penderita akan tampak lelah, panas tinggi,
menggigil, dan tekanan darah turun.
Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan cairan tubuh dan
perlunya pemberian antibiotika yang adekuat sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas
kuman yang diambil dari darah dan cairan fluksus/fluor yang keluar pervaginam. Untuk tahap
pertama dapat diberikan Penisilin 4 x 1,2 juta unit atau Ampisilin 4 x 1 gram ditambah
Gentamisin 2 x 80 mg dan Metronidazol 2 x 1 gram. Selanjutnya antibiotik disesuaikan
dengan hasil kultur.
Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik minimal 5 jam
setelah antibiotika adekuat diberikan. Jangan lupa pada saat tindakan uterus dilindungi
dengan uterotonika.
Antibiotik dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2 hari
pemberian tidak memberikan respons harus diganti dengan antibiotik yang lebih sesuai.
Apabila ditakutkan terjadi tetanus, perlu ditambah dengan injeksi ATS dan irigasi kanalis
vagina/uterus dengan larutan peroksida (H2O2) kalau perlu histerektomi total secepatnya.

2.3.

Prognosis
Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi aborsi spontan sebelumnya.5
1. Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita dengan abortus yang rekuren
mempunyai prognosis yang baik sekitar >90 %.
2. Pada wanita keguguran dengan etiologi yang tidak diketahui, kemungkinan
keberhasilan kehamilan sekitar 40-80 %.
3. Sekitar 77 % angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktivitas jantung janin pada
kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan 2 atau lebih aborsi spontan yang
tidak jelas.

1. Sarwono P. 2010. Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat Cetakan Ketiga. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h 53, 61, 460 - 473.
2. Gary CF, dkk. 2005. Obstetri Williams Edisi 21 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. h. 951-975
3. Sofie RK, Anita DA. Penulis. Djamhoer M, Firman FW, Jusuf SE. Editor.2013. Obstetri
Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi Edisi 3. Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. h. 2-11
4. Diriba Gebeyehu, Bitiya Admassu, Makida Sinega, Merga Haile. 2015. Assesment of
Prevalence and Reasons for Termination of Pregnancy at Jimma University Teaching
Hospital, Ethiopia [serial online]. Universal Departement of Medicine, Departement of
Reproductive Health, Departement of Anesthesia, College of Health Sciences, Jimma
University, Ethiopia. Universal Journal of Public Health 3(6): 251-255. (A : March 18,
2016; 11.24 pm http://www.hrpub.org/download/20151130/UJPH4-17604743.pdf )
5. Guttmacher Institute. In Brief Facts On Induced Abortions Worldwide. Januari 2012.
Guttmacher Institute, Advancing Sexual dan Reproductive Health Worldwide, Through
Research, Policy Analysis and Public Education. New York. Available from URL:
http://www.who.int/reproductivehealth/publications/unsafe_abortion/induced_abortion_2
012.pdf (Accessed: 21 April 2015)
6. Guttmacher Institute. In Brief Facts On Abortions In Asia. November 2015. Guttmacher
Institute, Advancing Sexual dan Reproductive Health Worldwide, Through Research,
Policy

Analysis

and

Public

Education.

New

York.

Available

https://www.guttmacher.org/sites/default/files/pdfs/pubs/IB_AWW-Asia.pdf

from

URL:

(Accessed:

21 April 2015)
7. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2013. Profil Kesehatan Indonesia
2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. h. 129
8. Guttmacher Institute. Abortion In Indonesia.2008 Series, No. 2. September 2008.
Guttmacher Institute, Advancing Sexual dan Reproductive Health Worldwide, Through
Research, Policy Analysis and Public Education. New York. Available from URL:
https://www.guttmacher.org/sites/default/files/pdfs/pubs/2008/10/15/IB_Abortion_Indone
sia.pdf (Accessed: 21 April 2015)
9. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia
2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. h. 86

10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, WHO, UNICEF, USAID. 2013. Buku Saku
Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan Dasar Dan Rujukan Pedoman Bagi
Tenaga Kesehatan. Edisi 1 Dan Rujukan h. 84-91

Anda mungkin juga menyukai