mengalami 2 keguguran yang berurutan, dan sekitar 1% dari pasangan mengalami 3 atau
lebih keguguran yang berurutan.
Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi menyatakan kejadian
abortus spontan antara 15 - 20 % dari semua kehamilan. Kalau dikaji lebih jauh kejadian
abortus sebenarnya bisa mendekai 50%. Hal ini dikarenakan tingginya angka chemical
pregnancy loss yang tidak bisa diketahui pada 2 - 4 minggu setelah konsepsi. Sebagian besar
kegagalan kehamilan ini dikarenakan kegagalan gamet (misalnya sperma dan disfungsi
oosit). Pada 1988 Wilcox dan kawan-kawan melakukan studi terhadap 221 perempuan yang
diikuti selama 707 siklus haid total. Didapatkan total 198 kehamilan, dimana 43 (22%)
mengalami abortus sebelum saat haid berikutnya.
Abortus habitualis adalah abortus yang terjadi berulang tiga kali secara berturut-turut.
Kejadiannya sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali
abortus spontan, pasangan punya risiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan
bila pernah 2 kali, risikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko
abortus setelah 3 abortus berurutan adalah 30 - 45%.
Etiologi 460-1 S
Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering diperdebatkan. Umumnya
lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak di antaranya adalah sebagai berikut.
Kelainan kongenital uterus: anomali duktus Mulleri: septum uterus, uterus bikornis,
inkompetensi serviks uterus, mioma uteri, sindroma Asherman
Defek fase luteal: faktor endokrin eksternal, antibodi antitiroid hormone, sintesis LH yang
tinggi
Infeksi
Hematologik
Lingkungan
Usia kehamilan saat terjadinya abortus bisa memberi gambaran tentang penyebabnya.
Sebagai contoh, antiphospholipid syndrome (APS) dan inkompetensi serviks sering terjadi
setelah trimester pertama.
kelainan gen tunggal yang sering menyebabkan abortus berulang adalah myotonic dystrophy,
yang berupa autosom dominan dengan penetrasi yang tinggi, kelainan ini progresif, dan
penyebab abortusnya mungkin karena kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi
uterus. Kemungkinan juga karena adanya mosaik gonad pada ovarium atau testis.
Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma Marfan, Sindroma EhlersDanlos, homosisteinuri dan pseudoaxanthoma elasticum. Juga pada perempuan dengan sickle
cell anemia berisiko tinggi mengalami abortus. Hal ini karena adanya mikroinfark pada
plasenta. Kelainan hematologik lain yang menyebabkan abortus misalnya disfibrinogenemi,
defisiensi faktor XIII, dan hipofibrinogenemi afibrinogenemi kongenital.
Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang abnormal, di
mana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor tersebut tidak diturunkan.
Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan kariotip pada
kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga berisiko abortus.
Penyebab Anatomik 462-3S
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti
abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus
berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan
anomali uterus pada 27% pasien. Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengan
malformasi uterus, mendapatkan hasil hanya 18,8% yang bisa bertahan sampai melahirkan
cukup bulan, sedangkan 36,5% mengalami persalinan abnormal (prematur, sungsang).
Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah seprum uterus (40 80%), kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10 - 30%). Mioma uteri
bisa menyebabkan baik infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya antara 10
-30% pada perempuan usia reproduksi. Sebagian besar mioma tidak memberikan gejala,
hanya yang berukuran besar atau yang memasuki kavum uteri (submukosum) yang akan
menimbulkan gangguan. Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi
serta pasokan darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25 - 80%,
bergantung pada berat ringannya gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan ini bisa digunakan
histerosalpingografi (HSG) dan ultrasonografi.
Penyebab Autoimun 463 Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun.
Misalnya, pada Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dan Antiphospholipid Antibodies
(aPA). aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE.
Kejadian abortus spontan di antara pasien SLE sekitar 10 %, dibanding populasi umum. Bila
digabung dengan peluang terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka
diperkirakan 75% pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian
besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. aPA merupakan antibodi yang akan
berikatan dengan sisi negatif dari fosfolipid. Paling sedikit ada 3 bentuk aPA yang diketahui
mempunyai arti klinis yang penting, yaitu Lupus Anticoagulant (LAC), anticardiolipin
antibodies (aCLs), dan biologically false-positive untuk syphilis (FP-STS). APS
(antiphospholipid syndrome) sering juga ditemukan pada beberapa keadaan obstetrik,
misalnya pada preeklampsia, IUGR dan prematuritas. Beberapa keadaan lain yang
berhubungan dengan APS yaitu trombosis arteri-vena, trombositopeni autoimun, anemia
hemolitik, korea dan hipertensi pulmonum.
The International Consensus Workshop pada 1998 mengajukan klasifikasi kriteria
untuk APS, yaitu meliputi:
Trombosis vaskular
Satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau kapilar yang dibuktikan dengan
gambaran Doppler, pencitraan, atau histopatologi
Pada histopatologi, trombosisnya tanpa disertai gambaran inflamasi
Komplikasi kehamilan
Tiga atau lebih kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas, tanpa kelainan anatomik,
genetik, atau hormonal
Satu atau lebih kematian janin di mana gambaran morfologi secara sonografi normal
Satu atau lebih persalinan prematur dengan gambaran janin normal dan berhubungan
dengan preeklampsia berat atau insufisiensi plasenta yang berat
Kriteria laboratorium
aCL: IgG dan atau IgM dengan kadar yang sedang atau tinggi pada 2 kali atau lebih
pemeriksaan dengan jarak lebih dari atau sama dengan 6 minggu
aCL diukur dengan metode ELISA standar
Antibodi fosfolipid/antikoagulan
Pemanjangan tes skrining koagulasi fosfolipid (misalnya aPTT, PT dan CT)
Kegagalan untuk memperbaiki tes skrining yang memanjang dengan penambahan plasma
platelet normal
Adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan fosfolipid
Singkirkan dulu kelainan pembekuan darah yang lain dan pemakaian heparin
aPA ditemukan kurang dari 2% pada perempuan hamil yang sehat, kurang dari 20%
pada perempuan yang mengalami abortus dan lebih dari 33% pada perempuan dengan SLE.
Pada kejadian abortus berulang ditemukan infark plasenta yang luas, akibat adanya atherosis
dan oklusi vaskular kini dianjurkan pemeriksaan darah terhadap -2glikoprotein l yang lebih
spesifik.
Pemberian antikoagulan misalnya aspirin, heparin, IL-3 intravena menunjukkan hasil
yang efektif. Pada percobaan binatang, kerja IL-3 adalah menyerupai growth hormone
plasenta dan melindungi kerusakan jaringan plasenta.
Trombosis plasenta pada APS diawali adanya peningkatan rasio tromboksan terhadap
prostasiklin, selain juga akibat dari peningkatan agregrasi trombosit, Penurunan c-reaktif
protein dan peningkatan sintesis platelet-activating factor. Secara klinis lepasnya kehamilan
pada pasien APS sering terjadi pada usia kehamilan di atas 10 minggu.
Pengelolaan secara umum meliputi pemberian heparin subkutan, aspirin dosis rendah,
prednison, imunoglobulin, atau kombinasi semuanya. Studi case-control menunjukkan
pemberian heparin 5.000 U 2x/hari dengan 81 mg/hari aspirin meningkatkan tahan janin dari
50% jadi 80% pada perempuan yang pernah mengalami abortus lebih dari 2 kali tes APLAs
positif. Yang perlu diperhatikan ialah pada penggunaan heparin jangka panjang, perlu
pengawasan terhadap risiko kehilangan massa tulang, perdarahan, serta trombositopeni.
Penyebab Infeksi 464-5S
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak 1917, ketika
DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada
perempuan yang ternyata terpapar brucellosis. Beberapa jenis organisme tertentu diduga
berdampak pada kejadian abortus antara lain:
Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap risiko
abortus/EPL, di antaranya sebagai berikut.
Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang berdampak langsung
pada janin atau unit fetoplasenta
Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin sulit
bertahan hidup.
Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian janin.
Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah (misal Mikoplasma
hominis, Klamidia, Ureaplasma urealitikum, HSV) yang bisa mengganggu proses
implantasi.
Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh karena virus selama
kehamilan awal (misalnya rubela, parvovirus B19, sitomegalovirus, koksakie virus B,
varisela-zoster, kronik sitomegalovirus CMV, HSV).
ekstravillous (dengan pembentukan cepat HLA1) tidak bisa dihancurkan oleh sel NK
desidua, sehingga memungkinkan terjadinya invasi optimal untuk plasentasi yang normal.
Faktor Hematologik 466 S
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan adanya
mikrotrombi pada pernbuluh darah plasenta. Berbagai komponen koagulasi dan
fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas, dan
plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan:
Kadar faktor VII, VIII, X dan fibrinogen meningkat selama kehamilan normal, terutama
pada kehamilan sebelum 12 minggu.
Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan defek
hemostatik. Penelitian Tulpalla dan kawan-kawan menunjukkan bahwa perempuan
dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang
berlebihan pada usia kehamilan 4 - 6 minggu, dan penurunan produksi prostasiklin saat
usia kehamilan 8 - 11 minggu. Perubahan rasio tromboksan-prostasiklin memacu
vasospasme serta agregrasi trombosit, yang akan menyebabkan mikrotrombi serta
nekrosis plasenta. Juga sering disertai penurunan kadar protein C dan fibrinopeptida.
Defisiensi faktor XII (Hageman) berhubungan dengan trombosis sistematik ataupun
plasenter dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan abortus berulang pada lebih dari
22% kasus.
Homosistein merupakan asam amino yang dibentuk selama konversi metionin ke sistein.
Hiperhomosisteinemi, bisa kongenital ataupun akuisita, berhubungan dengan trombosis
dan penyakit vaskular dini. Kondisi ini berhubungan dengan 21% abortus berulang. Gen
pembawa akan diturunkan secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang didapat adalah
defisiensi folat. Pada pasien ini, penambahan folat akan mengembalikan kadar
homosistein normal dalam beberapa hari. 467S
Macam-Macam Abortus
Dikenal berbagai macam abonus sesuai dengan gejala, tanda, dan proses patologi yang
terjadi.
Abortus Iminens 467-8S
Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus, ditandai
perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam
kandungan.
Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan pervaginam
pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh mulas sedikit atau tidak
ada keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih tertutup
besarnya uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dan tes kehamilan urin masih positif.
Untuk menentukan prognosis abortus iminens dapat dilakukan dengan melihat kadar hormon
hCG pada urin dengan cara melakukan tes urin kehamilan menggunakan urin tanpa
pengenceran dan pengenceran 1/l0. Bila hasil tes urin masih positif keduanya maka
prognosisnya adalah baik, bila pengenceran 1/10 hasilnya negatif maka prognosisnya dubia
ad malam. Pengelolaan penderita ini sangat bergantung pada informed consent yang
diberikan. Bila ibu ini masih menghendaki kehamilan rersebut, maka pengelolaan harus
maksimal untuk mempertahankan kehamilan ini. Pemeriksaan USG diperlukan untuk
mengetahui pertumbuhan janin yang ada dan mengetahui keadaan plasenta apakah sudah
terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan ukuran biometri janin/kantong gestasi apakah
sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan janin
diperhatikan di sarnping ada tidaknya hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis
servikalis. Pemeriksaan USG dapat dilakukan baik secara transabdominal maupun
transvaginal. Pada USG transabdominal jangan lupa pasien harus tahan kencing terlebih
dahulu untuk mendapatkan acoustic window yang baik agar rincian hasil USG dapat jelas.
Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdarahan berhenti. Bisa
diberi spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan hormon progesteron
atau derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus. Obat-obatan ini walaupun secara statistik
kegunaannya tidak bermakna, tetapi efek psikologis kepada penderita sangat menguntungkan.
Penderita boleh dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan dengan pesan khusus tidak
boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2 minggu.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya tindakan abortus
yang tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan didapat gejala dan tanda panas
tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardia, perdarahan pervaginam yang berbau, uterus yang
membesar dan lembut, serta nyeri tekan. Pada laboratorium didapatkan tanda infeksi dengan
leukositosis. Bila sampai terjadi sepsis dan syok, penderita akan tampak lelah, panas tinggi,
menggigil, dan tekanan darah turun.
Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan cairan tubuh dan
perlunya pemberian antibiotika yang adekuat sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas
kuman yang diambil dari darah dan cairan fluksus/fluor yang keluar pervaginam. Untuk tahap
pertama dapat diberikan Penisilin 4 x 1,2 juta unit atau Ampisilin 4 x 1 gram ditambah
Gentamisin 2 x 80 mg dan Metronidazol 2 x 1 gram. Selanjutnya antibiotik disesuaikan
dengan hasil kultur.
Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik minimal 5 jam
setelah antibiotika adekuat diberikan. Jangan lupa pada saat tindakan uterus dilindungi
dengan uterotonika.
Antibiotik dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2 hari
pemberian tidak memberikan respons harus diganti dengan antibiotik yang lebih sesuai.
Apabila ditakutkan terjadi tetanus, perlu ditambah dengan injeksi ATS dan irigasi kanalis
vagina/uterus dengan larutan peroksida (H2O2) kalau perlu histerektomi total secepatnya.
2.3.
Prognosis
Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi aborsi spontan sebelumnya.5
1. Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita dengan abortus yang rekuren
mempunyai prognosis yang baik sekitar >90 %.
2. Pada wanita keguguran dengan etiologi yang tidak diketahui, kemungkinan
keberhasilan kehamilan sekitar 40-80 %.
3. Sekitar 77 % angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktivitas jantung janin pada
kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan 2 atau lebih aborsi spontan yang
tidak jelas.
1. Sarwono P. 2010. Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat Cetakan Ketiga. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h 53, 61, 460 - 473.
2. Gary CF, dkk. 2005. Obstetri Williams Edisi 21 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. h. 951-975
3. Sofie RK, Anita DA. Penulis. Djamhoer M, Firman FW, Jusuf SE. Editor.2013. Obstetri
Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi Edisi 3. Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. h. 2-11
4. Diriba Gebeyehu, Bitiya Admassu, Makida Sinega, Merga Haile. 2015. Assesment of
Prevalence and Reasons for Termination of Pregnancy at Jimma University Teaching
Hospital, Ethiopia [serial online]. Universal Departement of Medicine, Departement of
Reproductive Health, Departement of Anesthesia, College of Health Sciences, Jimma
University, Ethiopia. Universal Journal of Public Health 3(6): 251-255. (A : March 18,
2016; 11.24 pm http://www.hrpub.org/download/20151130/UJPH4-17604743.pdf )
5. Guttmacher Institute. In Brief Facts On Induced Abortions Worldwide. Januari 2012.
Guttmacher Institute, Advancing Sexual dan Reproductive Health Worldwide, Through
Research, Policy Analysis and Public Education. New York. Available from URL:
http://www.who.int/reproductivehealth/publications/unsafe_abortion/induced_abortion_2
012.pdf (Accessed: 21 April 2015)
6. Guttmacher Institute. In Brief Facts On Abortions In Asia. November 2015. Guttmacher
Institute, Advancing Sexual dan Reproductive Health Worldwide, Through Research,
Policy
Analysis
and
Public
Education.
New
York.
Available
https://www.guttmacher.org/sites/default/files/pdfs/pubs/IB_AWW-Asia.pdf
from
URL:
(Accessed:
21 April 2015)
7. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2013. Profil Kesehatan Indonesia
2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. h. 129
8. Guttmacher Institute. Abortion In Indonesia.2008 Series, No. 2. September 2008.
Guttmacher Institute, Advancing Sexual dan Reproductive Health Worldwide, Through
Research, Policy Analysis and Public Education. New York. Available from URL:
https://www.guttmacher.org/sites/default/files/pdfs/pubs/2008/10/15/IB_Abortion_Indone
sia.pdf (Accessed: 21 April 2015)
9. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia
2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. h. 86
10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, WHO, UNICEF, USAID. 2013. Buku Saku
Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan Dasar Dan Rujukan Pedoman Bagi
Tenaga Kesehatan. Edisi 1 Dan Rujukan h. 84-91