JAKARTA
LAPORAN KASUS
Pembimbing:
dr. Shofia Agung P, Sp.B, M.Si.Med
Disusun Oleh:
Grace Fidia
1620221200
TAHUN 2017/2018
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Disusun Oleh:
Grace Fidia
1620221200
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 81 tahun 9 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jambu
Agama : Islam
No. RM : 132297
Tanggal Periksa : 29 Agustus 2017
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 29 Juli 2017 jam 10.00 WIB secara
aloanamnesa di bangsal Dahlia RSUD Ambarawa.
1. Keluhan Utama
Sulit BAK sejak 1 bulan SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien merasa sulit BAK
meskipun pasien sudah mengendan. Selain itu pasien merasa BAK tidak
lampias, pancaran melemah, terputus-putus. Pada malam hari, pasien
sering terbangun untuk BAK kurang lebih sebanyak 3 kali. Demam dan
nyeri pinggang tidak ada. Riwayat BAK disertai darah disangkal. Riwayat
BAK disertai batu atau pasir disangkal. Pada daerah pubis tampak
benjolan dan tidak nyeri apabila di tekan. Gejala ini tanpa disertai dengan
demam.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan serupan sebelumnya, lalu
dipasang kateter dan membaik. Pernah konsul ke dr. Agung, Sp. B dan
emang disarankan untuk operasi karena pembesaran prostat, namun
pasien menunda, HT (+), DM (-), Riwayat kencing berbatu (-), riwayat
nyeri saat buang air kecil dan kemerahan (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang menderita keluhan yang sama, di
keluarga pasien juga tidak memiliki riwayat alergi.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 30 Agustus 2017 pukul 08.00
WIB di bangsal Dahlia RSUD Ambarawa.
1. Keadaan Umum
a. Keadaan umum : baik
b. Kesadaran : compos mentis
2. Vital Sign
a. TD : 177/93 mmHg
b. Nadi : 73 kali/menit
c. RR : 20 kali/menit
d. Suhu : 36oC
f. SpO2 : 99 %
g. BMI : normo weight
3. Status Generalis
Kepala : normocephal
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor, refleks cahaya (+/+)
Hidung : Tidak ada pernafasan cuping hidung, mukosa tidak
hiperemis, sekret tidak ada, tidak ada deviasi
septum
Telinga : Simetris, tidak ada kelainan, otore (-/-)
Mulut : Bibir tidak sianosis, gusi tidak ada perdarahan,
lidah tidak kotor,faring tidak hiperemis
Leher : Tidak ada deviasi trakhea, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid dan getah bening, JVP tidak meningkat
Thorax
Paru-paru :
Inspeksi :Bentuk dan pergerakan pernafasan kanan-
kiri simetris
Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan-kiri
Perkusi :Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi :Suara nafas vesikuler pada seluruh lapangan
paru, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba.
Perkusi : Batas atas sela iga III garis mid klavikula
kiri
Batas kanan sela iga V garis sternal kanan
Batas kiri sela iga V garis midklavikula kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I II murni, murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Perut datar simetris.
Palpasi :Hepar dan Lien tidak membesar, nyeri
tekan epigastrium (-), nyeri Lepas (-), defans
muskuler (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Superior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)
Inferior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)
4. Status Lokalis
Regio Costovertebra
- Perkusi : Timpani
Regio Anal
Tidak
pernah Hampir
<20% <50% 50% >50% Skor
sama selalu
sekali
1 Adakah Anda merasa buli-
. buli tidak kosong setelah 0 1 2 3 4 5
buang air kecil?
2 Berapa kali anda hendak
. buang air kecil lagi dalam
0 1 2 3 4 5
waktu 2 jam setelah selesai
buang air kecil?
3 Berapa kali anda 0 1 2 3 4 5 5
. mendapatkan bahwa buang
air kecil anda terputus-putus?
4 Berapa kali terjadi Anda
. merasa tidak dapat menahan 0 1 2 3 4 5
kemih?
5 Berapa kali anda merasa
. pancaran buang air kecil 0 1 2 3 4 5 5
Anda lemah?
6 Berapa kali terjadi Anda
. mengalami kesulitan untuk 0 1 2 3 4 5 5
memulai buang air kecil?
7 Berapa kali Anda harus
Tidak 5
. bangun untuk buang air kecil 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali
ada kali
sejak mulai tidur pada malam 5
hari hingga bangun di pagi 1 2 3 4
0 5
hari?
Campur
an Pada
Pada
Senang antara umumny Tidak Buruk
Senang umumny
sekali puas a tidak bahagia sekali
a puas
dan puas
tidak
Seandainya cara buang air kecil
seperti Anda alami sekarang ini
0 1 2 3 4 5 6
akan terjadi seumur hidup Anda,
bagaimanakah perasaan Anda?
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
USG Abdomen
Hasil :
Vesika urinaria : dinding mebebal, ireguler, tidak tampak batu
Prostat : ukuran membesar dengan volume 98,579 cm
Kesan :
Sistitis
Hipertrofi prostat secara sonografi
E. DIAGNOSIS BANDING
Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
Karsinoma prostat
Urolithiasis
Striktur urethra
F. DIAGNOSIS KLINIS
Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
G. PENATALAKSANAAN
Prostatektomi terbuka
H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad malam
Quo ad sanationam : ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Prostat
I. Anatomi Prostat
Fisiologi
Prostat adalah kelenjar sex sekunder pada laki-laki yang
menghasilkan cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan
prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis 46-80% pada waktu
ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen Bodiesdan dapat
dihentikan dengan pemberian Stilbestrol.
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah
b. Epidemiologi
Pada lelaki usia 50 tahun, angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia
80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut di atas akan
menyebabkan gejala dan tanda klinis.
c. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hyperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hyperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat
adalah:
a. Teori dihidrotestosteron
Dehidrotestosteron atau DHT adalah metabolit
androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel kelenjar
prostat. DHT dihasilkan dari reaksi perubahan testosteron di
dalam sel prostat oleh enzim 5 alfa-reduktase dengan bantuan
koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan
reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada
inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor
yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT
pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat
normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5 alfa-reduktase
dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap
DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan
dengan prostat normal.
b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun,
sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan
antara estrogen : testosteron relative meningkat. Telah
diketahui bahwa estrogen didalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan
hormon androgen , meningkatkan jumlah reseptor androgen,
dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis).
Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun
rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan
testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat
jadi lebih besar.
c. Interaksi stroma epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan
pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol
oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor)
tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari
DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu
sendiri secara intraktin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-
sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya
proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
d. Berkurangnya kematian sel prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat
adalah mekanisme fisiologik untuk mempertahankan
homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi
dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel disekitarnya kemudian
didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara
laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi
pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan
jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalm keadaan
seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat
secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan
pertambahan massa prostat.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti
faktor-faktor yang menghambat proses apoptosis. Diduga
hormone androgen berperan dalam menghambat proses
kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi
peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat. Estrogen
diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan
faktor pertumbuhan TGF berperan dalam proses apoptosis.
e. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami
apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Didalam kelenjar
prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen,
sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang
terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis.
Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
d. Patofisiologi
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher
vesika dan daerah prostat meningkat dan destrusor menjadi lebih tebal.
Penonjolan serat destrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan
terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi. Mukosa dapat menerobos
keluar di antara serat destrusor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan
sakula, sedangkan yang besar disebut divertikulum. Fase penebalan destrusor
ini disebut fase kompensasi otot dinding.
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi
terjadi karena destrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal
berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi
terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga
vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh.
Apabila keadaan berlanjut, destrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin. Sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin
didalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika
keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga
pasien tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi, pada suatu
saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika
terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi daripada
tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi
kronik menyebabkan refluks vesico-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan
gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada
waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama kelamaan
menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan didalam
kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi
refluks, dapat terjadi pielonefritis.
e. Gejala Klinis
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Tidak
Hampir
pernah <20% <50% 50% >50% Skor
selalu
sama sekali
1. Selama sebulan terakhir,
seberapa sering anda merasa
0 1 2 3 4 5
tidak lampias saat selesai
berkemih?
2. Selama sebulan terakhir,
seberapa sering anda harus
kembali kencing dalam waktu 0 1 2 3 4 5
kurang dari 2 jam setelah selesai
berkemih?
3. Selama sebulan terakhir,
seberapa sering anda
0 1 2 3 4 5
mendapatkan bahwa kencing
anda terputus-putus?
4. Selama sebulan terakhir,
seberapa sering anda
0 1 2 3 4 5
mendapatkan bahwa anda sulit
menahan kencing?
5. Selama sebulan terakhir,
seberapa sering pancaran kencing 0 1 2 3 4 5
anda lemah?
6. Selama sebulan terakhir, 0 1 2 3 4 5
seberapa sering anda harus
mengedan untuk mulai berkemih?
7. Selama sebulan terakhir,
seberapa sering anda harus Tidak ada 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali 5 kali
bangun untuk berkemih sejak
mulai tidur pada malam hari 0 1 2 3 4 5
hingga bangun di pagi hari?
International Prostate Symptom Score (IPSS)
Laboratorium
Pemeriksaan Lain
Pancaran urine atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu
dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan
gambaran grafik pancaran urine. Pemeriksaan yang lebih teliti adalah
dengan pemeriksaan urodinamika yang sekaligus dapat menilai tekanan
otot destrusor maupun komponen otot lain yang berperan pada proses
miksi.
i. Penatalaksanaan
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya
akan menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala
klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok
dubur dan sisa volume urin, yaitu:
Derajat satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok
dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan sisa
urin kurang dari 50 ml.
Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada
derajat satu, prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba dan
sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba
lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml
Derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi
untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS
(WHOProstate Symptom Score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita
atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila
WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol
dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS
25 ke atas atau bila timbul obstruksi.
Pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV
digunakan untuk menentukan cara penanganan, yaitu :
Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan
dapat diberikan pengobatan secara konservatif.
Derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan
intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai
cara terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang
derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi, dalam
keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif.
Derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang
cukup berpengalaman biasanya pada derajat tiga ini besar prostat
sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup
besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka
sebaiknya dilakukan operasi terbuka.
Derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah
membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan
memasang kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik,
kemudian terapi definitif dapat dengan TURP atau operasi terbuka.
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala,
meningkatkan kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi
yang berkepanjangan. Tindakan bedah masih merupakan terapi utama
untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus). Meskipun demikian pada
dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah yang
mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah.
Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu
pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan
berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan
untuk :
1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah
menghilangkan obstruksi pada leher vesica urinaria. Hal ini dapat dicapai
dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang
kurang invasif.
Keuntungan :
Luka incisi tidak ada
Lama perawatan lebih pendek
Morbiditas dan mortalitas rendah
Prostat fibrous mudah diangkat
Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol
Kerugian :
Teknik sulit
Resiko merusak uretra
Intoksikasi cairan
Trauma sphingter eksterna dan trigonum
Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar
Alat mahal
Ketrampilan khusus
Komplikasi:
Selama operasi: perdarahan, sindrom TURP, dan perforasi
Pasca bedah dini: perdarahan, infeksi lokal atau sistemik
Pasca bedah lanjut: inkontinensia, disfungsi ereksi, ejakulasi
retrograd, dan striktura uretra.
b.2. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)
Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala
obstruktif, tetapi ukuran prostatnya mendekati normal.Pada
hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang
umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau
incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5
dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan
menyayat memakai alat seperti yangg dipakai pada TUR P tetapi
memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan
dimulai dari dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum
dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat.
Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan
menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan dengan
cara TUR.
b.3. Trans Urethral Laser of the Prostate (Laser prostatectomy)
Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk
mengangkat prostat yang membesar merupakan operasi yang
berdarah, sedang pengobatan dengan TUMT dan TURF belum
dapat memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba
cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.
Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar
2-4 menit untuk masing-masing lobus prostat (lobus lateralis
kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan ditemukan pop
corn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada
permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera
menjadi lebih lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi
ikutan yang akan menyebabkan laser nekrosis lebih dalam
setelah 4-24 minggu sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga
didalam prostat menyerupai rongga yang terjadi sehabis TUR.
Keuntungan bedah laser ialah :
Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi
retensi akibat bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi
Teknik lebih sederhana
Waktu operasi lebih cepat
Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat
Tidak memerlukan terapi antikoagulan
Resiko impotensi tidak ada
Resiko ejakulasi retrograd minimal
Kerugian :
Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional).
3. Invasif Minimal
1. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Cara memanaskan prostat sampai 44,5 C 47 C ini mulai
diperkenalkan dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan
memanaskan kelenjar periuretral yang membesar ini dengan
gelombang mikro (microwave) yaitu dengan gelombang ultarasonik
atau gelombang radio kapasitif akan terjadi vakuolisasi dan nekrosis
jaringan prostat, selain itu juga akan menurunkan tonus otot polos
dan kapsul prostat sehingga tekanan uretra menurun sehingga
obstruksi berkurang. lanjut mengenai cara kerja dasar klinikal,
efektifitasnya serta side efek yang mungkin timbul.
Cara kerja TUMT ialah antene yang berada pada kateter
dapat memancarkan microwave kedalam jaringan prostat. Oleh
karena temperatur pada antene akan tinggi maka perlu dilengkapi
dengan surface costing agar tidak merusak mucosa ureter. Dengan
proses pendindingan ini memang mucosa tidak rusak tetapi penetrasi
juga berkurang.
Cara TURF (trans Uretral Radio Capacitive Frequency)
memancarkan gelombang radio frequency yang panjang
gelombangnya lebih besar daripada tebalnya prostat juga arah dari
gelombang radio frequency dapat diarahkan oleh elektrode yang
ditempel diluar (pada pangkal paha) sehingga efek panasnya dapat
menetrasi sampai lapisan yang dalam. Keuntungan lain oleh karena
kateter yang ada alat pemanasnya mempunyai lumen sehingga
pemanasan bisa lebih lama, dan selama pemanasan urine tetap dapat
mengalir keluar.
2. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)
Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula
dikerjakan dengan jalan melakukan commisurotomi prostat pada jam
12.00 dengan jalan melalui operasi terbuka (transvesikal).
Prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar.
Mekanismenya :
1. Kapsul prostat diregangkan
2. Tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut
3. Reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars
prostatika dirusak
3. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)
Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi
untuk menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai
prospek yang baik guna mencapai tujuan untuk menghasilkan
prosedur dengan perdarahan minimal, tidak invasif dan mekanisme
ejakulasi dapat dipertahankan.
4. Stent Urethra
Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra,
hanya saja kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika.
Bentuk stent ada yang spiral dibuat dari logam bercampur emas yang
dipasang diujung kateter (Prostacath). Stents ini digunakan sebagai
protesis indwelling permanen yang ditempatkan dengan bantuan
endoskopi atau bimbingan pencitraan. Untuk memasangnya, panjang
uretra pars prostatika diukur dengan USG dan kemudian dipilih alat
yang panjangnya sesuai, lalu alat tersebut dimasukkan dengan kateter
pendorong dan bila letak sudah benar di uretra pars prostatika maka
spiral tersebut dapat dilepas dari kateter pendorong. Pemasangan stent
ini merupakan cara mengatasi obstruksi infravesikal yang juga kurang
invasif, yang merupakan alternatif sementara apabila kondisi
penderita belum memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang lebih
invasif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mahummad A., 2008., Benigna Prostate
Hiperplasia., http://ababar.blogspot .com/2008/12/benigna-prostate-
hyperplasia.html., 3 Maret 2009
2. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar dasar urologi.,
Edisi ke 2. Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 85
3. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. Jakarta :
EGC, 2004. pp. 782-786