Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

HENOCH SCHOLEIN PURPURA

DISUSUN OLEH :
Inas Amalia Mahasin
1620221209

PEMBIMBING :
dr. Tundjungsari RU, M.Sc, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RSUD AMBARAWA
2018

0
KATA PENGANTAR

Dalam kesempatan ini puji dan syukur penulis hanturkan kehadirat Allah
SWT atas rahmat, nikmat, serta hidayah Nya dalam penulisan tugas laporan kasus
ini. Serta salawat serta salam senantiasa tercurah kepada nabi Muhammad SAW
dan keluarganya serta para sahabat. Referat yang berjudul Henoch Scholein
Purpura dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Tundjungsari RU, M.Sc, Sp.A selaku pembimbing kepaniteraan klinik
anak RSUD Ambarawa.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini, oleh karena itu peneliti memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Semoga makalah yang disusun penulis ini dapat bermanfaat bagi bangsa dan
negara serta masyarakat luas pada umumnya di masa yang akan datang.

Ambarawa, Mei 2018

Penulis

1
PENGESAHAN

Laporan Kasus diajukan oleh


Nama : Inas Amalia Mahasin
NRP : 1620221209
Program studi : Kedokteran umum
Judul : Henoch Scholein Purpura
Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima sebagai syarat
yang diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik anak Program Studi Profesi
Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jakarta.

Pembimbing

dr. Tundjungsari RU, M.Sc, Sp.A

Ditetapkan di : Ambarawa

2
Tanggal : Mei 2018

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Henoch-Schonlein Purpura (HSP) merupakan suatu mikrovaskular vaskulitis
sistemik dengan karakteristik adanya deposisi kompleks imun dan keterlibatan
immunoglobulin A (IgA). Di Amerika Serikat, 75% kasus HSP timbul pada anak-
anak usia 2-14 tahun. Usia median onset adalah 4-5 tahun dengan insiden 14
kasus per 100,000 populasi. Untuk Asia, insidensi HSP adalah 70/100.000, dengan
puncak usia 7-10 tahun dan rerata usia 6,4 tahun.4,5 Beberapa penelitian
menyebutkan insidensi HSP pada anak pada multi etnik dan negara, di Eropa
10.2-20.4/100.000 dan 12.9/100.000 anak di Taiwan. Predominansi anak laki-laki
dengan frekuensi 2 kali pada anak perempuan. Satu sumber menyebutkan rasio
laki-laki dibanding perempuan adalah 1.5 : 1.1,9 Di RSUP Dr Sardjito sendiri
selama tahun 2009 terdapat 20 kasus baru dari 254 kunjungan di poliklinik alergi
dan imunologi. Penegakan diagnosis HSP didasarkan pada kriteria dari American
College of Rheumatology, yaitu (1) usia pasien saat awitan penyakit ≤ 20 tahun,
(2) purpura yang dapat dipalpasi, (3) nyeri abdomen difus atau perdarahan saluran
cerna (bowel angina), (4) biopsi kulit didapatkan granulosit pada dinding arteriol
atau venula. Diagnosis ditegakkan bila didapatkan setidaknya 2 dari 4 kriteria di
atas dengan sensitivitas 87,1% dan spesifisitas 87,7%.
Berdasarkan kriteria baru dari Paediatric Rheumatology International Trials
Organisation (PRINTO) tahun 2009, diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya
purpura yang dapat dipalpasi dengan predominasi pada ekstremitas bawah disertai
satu kriteria dari empat, yaitu (1) nyeri abdomen, (2) histopatologi menunjukkan
gambaran vaskulitis tipikal leukositoklastik dengan predominasi deposisi IgA atau
glomerulonefritis proliferatif dengan deposisi IgA, (3) artritis atau artralgia, (4)
3
keterlibatan ginjal (proteinuria atau hematuria atau adanya sedimen eritrosit.
Sensitivitas dan spesifisitas kriteria ini 100% and 87%.
Nefritis Henoch-Schonlein Purpura (HSPN) adalah kasus HSP yang disertai
dengan manifestasi ginjal, antara lain gross hematuria (20-30%), hematuria
mikroskopik (30-70%) dan atau proteinuria, sindrom nefritik akut (8.9%),
sindrom nefrotik (17.8%), glomerulonefritis progresif sampai gagal ginjal (5-
25%). Dari beberapa penelitian, HSPN terjadi pada 40-50% kasus HSP dan
umumnya terjadi pada 2-6 minggu setelah onset penyakit (HSP). Nefritis
merupakan komplikasi dari HSP yang membutuhkan pemantauan jangka panjang
karena sifat kronisitasnya.
Prognosis jangka panjang dipengaruhi oleh tingkat keparahan dari nefritis
yang terjadi yang dibagi atas dua tingkatan yaitu ringan dan berat, dari beberapa
penelitian yang ada 46% dari pasien HSP dalam perjalanan penyakitnya yang
disertai nefritis, yaitu terdapat hematuria sebanyak 14 %, proteinuria 9%,
hematuria dan proteinuria sebanyak 56%, dan seperdelapan dari anak yang
menderita nefritis HSP dapat berkembang menjadi sindroma nefrotik (SN), yang
apabila tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan kegagalan dari fungsi
ginjal.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Henoch-Schonlein Purpura (HSP) adalah penyakit sistemik berupa vaskulitis
pembuluh darah kecil yang terutama menyerang anak-anak.2 Vaskulitis sendiri
didefinisikan sebagai suatu inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah, yang
mengakibatkan rusaknya dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan
terjadinya proses hemoragik dan atau iskemia.3,4
HSP merupakan suatu kelainan berupa leukositoklastik vaskulitis (LcV) yang
merupakan suatu proses imunologi dan inflamasi dengan karakteristik dijumpai
deposisi kompleks imun yang mengandung antibodi IgA pada kulit dan ginjal.
Umumnya diderita oleh anak usia 3-10 tahun, dengan predominasi anak laki-laki.

2.2 Epidemiologi
Insidens PHS berkisar 13,5-18 per 100.000 anak. Penyakit ini dapat terjadi
pada usia 6 bulan hingga dewasa, namun 50% kasus terjadi pada anak berusia
kurang dari 5 tahun, 75% pada usia di bawah 10 tahun, dan banyak terjadi pada
laki-laki. Kelainan PHS seringkali berkaitan dengan infeksi saluran napas
sebelumnya, terutama infeksi streptokokus.
Morbiditas dan mortalitas jangka panjang PHS seringkali berkaitan dengan
keterlibatan ginjal. Pada anak dengan gagal ginjal terminal, 5%-15%
9
diantaranya disebabkan oleh PHS. Insidens kelainan ginjal pada PHS berkisar
10%-60%, 80% diantaranya terjadi dalam 4 minggu pertama. Hematuria
dengan atau tanpa proteinuria merupakan manifestasi ginjal tersering pada
PHS. Sindrom nefritik akut dapat berkaitan dengan insufisiensi ginjal atau
8
sindrom nefrotik.
2.3 Etiologi
Sampai sekarang penyebab penyakit ini belum diketahui. Diduga beberapa
faktor memegang peranan, antara lain faktor genetik, infeksi traktus respiratorius

5
bagian atas, makanan, imunisasi (vaksin varisela, rubella, rubeola, hepatitis A dan
B) dan obat-obatan (ampisilin, eritromisin, kina). Infeksi bisa berasal dari bakteri
(spesies Haemophilus, Mycoplasma, Parainfluenza, Legionella, Yersinia,
Salmonella, dan Shigella) ataupun virus (adenovirus, varisela). Vaskulitis juga
dapat berkembang setelah terapi antireumatik, termasuk penggunaan metrotreksat
dan agen anti TNF (Tumor Necrosis Factor). Namun, IgA jelas mempunyai
peranan penting, ditandai dengan peningkatan kosentrasi IgA serum, kompleks
imun dan deposit IgA di dinding pembuluh darah dan mesangium renal.1

2.4 Patofisiologi
Dari biopsi lesi pada kulit atau ginjal, diketahui adanya deposit kompleks
imun yang mengandung IgA. Diketahui pula adanya aktivasi komplemen jalur
alternatif. Deposit kompleks imun dan aktivasi komplemen mengakibatkan
aktivasi mediator inflamasi termasuk prostaglandin vaskular, sehingga terjadi
inflamasi pada pembuluh darah kecil di kulit, ginjal, sendi dan abdomen dan
terjadi purpura di kulit, nefritis, artritis dan perdarahan gastrointerstinalis. Secara
histologis terlihat berupa leukositoklastik. Pada kelainan ini terdapat infiltrasi
leukosit polimorfonuklear di pembuluh darah yang menyebabkan nekroris.1
Berbagai macam patogen infeksi dilaporkan dapat menjadi penyebab
terjadinya LcV pada HSP.2 22% kasus vaskulitis pada kulit biasanya berhubungan
dengan suatu infeksi, dimana organisme apapun memungkinkan terjadinya
kondisi ini.10 Sebanyak 50% penderita HSP biasanya didahului oleh suatu infeksi
saluran pernapasan.11 Group A beta-hemolytic streptococcus (GAS) ditemukan
pada 20-50% penderita dengan HSP akut melalui tes serologi maupun kultur
bakteri. Baru-baru ini, reseptor plasmin yang berhubungan dengan nefritis
(nephritis-associated plasmin reseptor/NAPlr) yang merupakan antigen GAS
ditemukan pada mesangium glomerular pada anak dengan HSP nefritis (HSN).
Penemuan ini menunjukkan bahwa GAS memiliki peran pada awal terjadinya
maupun berkembangnya HSN, meskipun demikian pada beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya peningkatan anti-streptolisin-O-titre
(ASOT) pada penderita HSP. ASOT yang meningkat pada serum banyak dijumpai
pada HSN dibandingkan HSP tanpa nefritis.11,12,13,14 Terdapat empat hipotesa
6
mengenai mekanisme patogenik yang dapat terjadi melalui infeksi. Hipotesis
pertama adalah molecular mimicry, sebagai contoh: mikroba dan pembuluh darah
kecil pejamu memiliki epitop yang sama. Bersamaan dengan invasi patogen
tersebut, respons imunitas seluler dan humoral akan teraktivasi dan terjadi reaksi
silang dengan pembuluh darah. Hipotesis kedua adalah patogen dapat memulai
proses inflamasi yang dapat menimbulkan kerusakan sel dan jaringan.
Proses ini akan menimbulkan suatu autoantigen yang biasanya tidak terpapar
oleh suatu sistem imun. Hipotesis ketiga adalah bila mikroba yang sangat invasif
secara langsung berinteraksi dengan protein pembuluh darah, maka akan
terbentuk suatu antigen yang baru (neo-antigen) yang kemudian akan
mengaktivasi suatu reaksi imun. Dan yang keempat yaitu hipotesis superantigen,
dimana pada beberapa bakteri seperti Streptococcus dan virus dapat menjadi suatu
superantigen. Tanpa adanya suatu proses dan presentasi suatu sel penyaji antigen,
suatu superantigen akan langsung berinteraksi dan mengaktifkan sel-T. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa tidak ada mikroba khusus yang menyebabkan terjadinya
HSP.2,15

Gambar 3.1 Imunopatogenesis HSP akibat infeksi.15

7
Seperti dijelaskan diatas, HSP merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik.
Limfokin mempunyai peranan penting pada terjadinya lesi vaskular.2 Sitokin pro-
inflamasi non spesifik seperti tumor necrosis alpha (TNF-α), interleukin (IL)-6
dan IL-1β biasanya didapatkan lebih tinggi pada anak-anak dengan HSP fase
akut.2,16 Baik TNF-α maupun IL-1 dapat menstimulasi endotelium untuk
mengaktifkan jalur koagulasi instrinsik dan ekstrinsik serta mengurangi aktivitas
fibrinolitik. Hal inilah yang dapat menerangkan adanya trombosis yang terjadi
pada vaskulitis.16 Besbas dan kawan-kawan dalam penelitiannya mengungkapkan
bahwa sitokin-sitokin pro inflamasi diatas dapat menstimulasi pelepasan kemokin
dari sel endotel, dengan demikian sitokin tersebut dapat menarik sel-sel inflamasi,
menginduksi ekspresi sel molekul adhesi pada sel endotel serta memperantarai
perlekatan molekul tersebut pada dinding pembuluh darah. Yang dan kawan-
kawan dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa beberapa faktor tertentu pada
serum anak-anak dengan HSP yang aktif dapat berinteraksi dengan sel endotel dan
sel endotel yang teraktivasi kemudian dapat menghasilkan beberapa kemotraktan
yang potent, seperti IL-8 dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi.2
LcV yang terjadi pada HSP biasanya muncul sebagai suatu makula
eritematosa atau suatu purpura yang palpabel dengan predileksi pada tempat
tertentu pada bagian tubuh, khususnya pada bagian bawah tungkai. Lesi yang
dapat timbul meliputi vesikel/bula haemoragik, nodul, ulkus berkrusta, livedo
retikularis dan pustul atau lesi anular (kondisi yang HSP merupakan penyakit
yang diperantarai oleh kompleks imun).17 Terjadinya suatu reaksi kompleks imun
pada HSP ini kurang lebih sama dengan reaksi kompleks imun yang terjadi pada
reaksi Arthus, suatu reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coombs and Gell.
Suatu kompleks imun yang menyebabkan penyakit dibentuk oleh ikatan antibodi
dengan self antigen maupun antigen asing. Dengan demikian, penyakit yang
diperantarai kompleks imun cenderung bermanifestasi sistemik.18 Kompleks
antigen-antibodi diproduksi selama terjadi respons imun normal, tetapi keadaan
ini dapat menimbulkan suatu penyakit bila kompleks imun yang dihasilkan dalam
jumlah banyak dan tidak dibebaskan/dibersihkan secara efisien yang pada
akhirnya akan terdeposit di jaringan.
8
Deposit kompleks imun pada dinding pembuluh darah menyebabkan
inflamasi pembuluh darah dan kerusakkan jaringan di sekitarnya yang diperantarai
oleh komplemen dan reseptor Fc.18 Pada HSP, kompleks IgA terbentuk dan
terdeposit di kulit, saluran pencernaan dan glomeruli, menyebabkan respons
inflamasi lokal. LcV pada akhirnya timbul disertai dengan nekrosis pada
pembuluh darah kecil. Normalnya IgA ditemukan di serum dan di cairan
mukosa.2,17 Sebagai contoh, yang terjadi pada HSP yaitu kompleks yang terbentuk
adalah IgA1 yang berbentuk polimerik. IgA1 yang abnormal ini dikenal dengan
Gal-d IgA1 (galactose deficiency of the O-linked glycan pada hinge region IgA1),
yang lebih banyak ditemukan pada HSP nefritis.17 Glikosilasi pada hinge region
IgA1 yang tidak normal ini akan menyebabkan defisiensi galaktosa dan atau asam
sialik, dimana molekul-molekul ini menyebabkan agregasi IgA dan dengan
demikian terjadi kompleks makromolekul.19
Bermacam-macam autoantibodi IgA dapat berhubungan dengan HSP. ANCA
terdiri dari kelompok antibodi terhadap bagian sitoplasma netrofil, khususnya
proteinase-3 (PR3) dan mieloperoksidase (MPO). Bagaimanapun juga peran
ANCA pada HSP masih kontroversial. Beberapa penelitian menunjukkan klas IgA
ANCA ditemukan pada beberapa persen penderita HSP, dimana penelitian lain
tidak dapat menunjukkan IgA ANCA pada penderita HSP. Autoantibodi lain
meliputi IgA rheumatoid factor dan IgA anticardiolipin antibodies (aCL) yang
juga dapat ditemukan pada beberapa penderita HSP akut.2
LcV yang terjadi pada HSP biasanya muncul sebagai suatu makula
eritematosa atau suatu purpura yang palpabel dengan predileksi pada tempat
tertentu pada bagian tubuh, khususnya pada bagian bawah tungkai. Lesi yang
dapat timbul meliputi vesikel/bula haemoragik, nodul, ulkus berkrusta, livedo
retikularis dan pustul atau lesi anular (kondisi yang jarang). Manifestasi
ekstrakutan terjadi pada 20% individu meliputi artralgia, miositis, demam ringan
dan malaise. Lebih jarang lagi, juga dapat terjadi gangguan ginjal, gastrointestinal,
paru dan neurologi. Beratnya perubahan histopatologi tidak dapat
memprediksikan adanya keterlibatan ekstrakutan.20

9
2.5 Manifestasi Klinis
Gejala klinis mula-mula berupa ruam makula eritematosa pada kulit yang
berlanjut menjadi palpable purpura tanpa adanya trombositopenia. Purpura dapat
timbul dalam 12-24 jam. Purpura terutama terdapat pada kulit yang sering terkena
tekanan (pressure-bearing surafaces), yaitu bokong dan ekstremitas bagian bawah.
Kelainan kulit ini ditemukan pada 100% kasus dan merupakan 50% keluhan
penderita pada waktu berobat.
Kelainan kulit dapat pula ditemukan pada muka dan tubuh serta dapat pula
berupa lesi petekia atau ekimotik. Lesi ekimotik yang besar dapat mengalami
ulserasi. Warna purpura mula-mula merah, lambat laun berubah menjadi ungu,
kemudian coklat kekuning-kuningan lalu menghilang. Kelainan kulit yang baru
dapat timbul kembali. Kelainan pada kulit dapat disertai rasa gatal. Pada bentuk
yang tidak klasik kelainan kulit yang ada dapat berupa vesikel hingga menyerupai
eritema multiform.
Kelainan akut pada kulit ini dapat berlangsung beberapa minggu dan
menghilang, tetapi dapat pula rekuren. Angioedema pada muka (kelopak mata,
bibir) dan ekstremitas (punggung tangan dan kaki) ditemukan berturut-turut pada
20% dan 40% kasus. Edema skrotum juga dapat terjadi pada awal penyakit.
Gejala prodormal dapat terdiri dari demam, nyeri kepala dan anoreksia. 1

10
Gambar 3.2 LcV yang diinduksi oleh kompleks imun pada HSP dengan
manifestasi palpabel purpura pada tungkai.20

Selain purpura, ditemukan juga gejala artralgia atau artritis yang cenderung
bersifat migran dan mengenai sendi besar ekstremitas bawah seperti lutut dan
pergelangan kaki, namun dapat pula mengenai pergelangan tangan, siku dan
persendian di jari tangan. Artralgia atau artritis dapat ditemukan pada 68-75%
kasus dan merupakan 25% keluhan penderita pada waktu berobat. Kelainan ini
timbul lebih dahulu (1-2 hari) dari kelainan pada kulit. Sendi yang terkena dapat
menjadi bengkak, nyeri dan sakit bila digerakkan, biasanya tanpa efusi,
kemerahan ataupun panas. Kelainan terutama periartikular dan bersifat sementara
dapat pula rekuren pada masa penyakit aktif tetapi tidak menimbulkan deformitas
yang menetap.1
Pada penyakit ini dapat ditemukan nyeri abdomen atau perdarahan
gastrointestinalis. Keluhan abdomen ditemukan pada 35-85% kasus dan biasanya
timbul setelah timbul kelainan pada (1-4 minggu setelah onset). Nyeri abdomen
dapat berupa kolik abdomen yang berat, lokasi di periumbilikal dan disertai
muntah, kadang-kadang terdapat perforasi usus dan intususepsi ileoileal atau
ileokolonal yang ditemukan pada 2-3% kasus. Intususepsi atau perforasi
disebabkan oleh vaskulitis dinding usus yang menyebabkan edema dan
perdarahan submukosa dan intramural.1
Selain itu, dapat juga ditemukan kelainan ginjal, meliputi hematuria,
proteinuria, sindrom nefrotik atau nefritis. Penyakit pada ginjal juga biasanya
muncul 1 bulan setelah onset ruam kulit. Kelainan ginjal dapat ditemukan pada
20-50% kasus dan yang persisten pada 1% kasus, yang progresif sampai
mengalami gagal ginjal pada < 1 %. Adanya kelaian kulit yang persisten sampai
2-3 bulan, biasanya berhubungan dengan nefropati atau penyakit ginjal yang
berat. Risiko nefritis meningkat pada usia onset diatas 7 tahun, lesi purpura
persisten, keluhan abdomen yang berat dan penurunan aktivitas faktor XIII.
Gangguan ginjal biasanya ringan, meskipun beberapa ada yang menjadi kronik.1

11
2.6 Pemeriksaan Penunang
Pada pemeriksaan laboratorium tidak terlihat adanya kelainan spesifik.
Jumlah trombosit normal atau meningkat, membedakan purpura yang disebabkan
oleh trombositopenia. Dapat terjadi leukositosis moderat dan anemia
normokromik, biasanya berhubungan dengan perdarahan di gastrointestinal.
Biasanya juga terdapat eosinofilia. Laju endap darah dapat meningkat. Kadar
komplemen seperti C1q, C3 dan C4 dapat normal. Pemeriksaan kadar IgA dalam
darah mungkin meningkat, demikian pula limfosit yang mengandung IgA.
Analisis urin dapat menunjukkan hematuria, proteinuria maupun penurunan
kreatinin klirens, demikian pula pada feses dapat ditemukan darah.1
Biopsi pada lesi kulit menunjukkan adanya vaskulitis leukositoklastik.
Imunofluoresensi menunjukkan adanya deposit IgA dan komplemen pada dinding
pembuluh darah. Pada pemeriksaan radiologi dapat ditemukan penurunan
motilitas usus yang ditandai dengan pelebaran lumen usus ataupun intususepsi
melalui pemeriksaan barium.1
Biopsi merupakan standar baku dalam penegakan diagnosis suatu vaskulitis.
Pemilihan lokasi lesi sebagai spesimen dan cara pengambilannya akan sangat
mempengaruhi hasil biopsi. Pemilihan antara biopsi shave, biopsi punch maupun
biopsi eksisional akan mempengaruhi pembuluh darah yang akan diperiksa,
dimana tipe pembuluh darah tersebut tergantung dari lokasi antara kulit dan
subkutan. Secara keseluruhan biopsi diambil dari lesi kulit yang paling
merah/purpurik, dengan waktu optimal pengambilan spesimen sebaiknya kurang
dari 48 jam setelah muncul gejala atau muncul lesi vaskulitis. 3 Pentingnya
pemeriksaan histopatologi disertai dengan pemeriksaan direct
immunofluorescence (DIF), ANCA dan penemuan klinis dapat menegakkan
diagnosis yang lebih tepat dan akurat dari sindroma vaskulitis baik lokal maupun
sistemik.3

2.7 Diagnosis

12
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang spesifik, yaitu ruam
purpurik pada kulit terutama di bokong dan ekstremitas bagian bawah dengan satu
atau lebih gejala berikut: nyeri abdomen atau perdarahan gastrointestinalis,
22
artralgia atau artritis, dan hematuria atau nefritis (Tabel 3.1)

Tabel 3.1. Kriteria purpura Henoch-Schonlein menurut American College of Rheymatology 199022

Kriteria Definisi
Purpura non trombositopenia (Palpable Lesi kulit hemoragik yang dapat diraba,
purpura) terdapat elevasi kulit, tidak berhubungan
dengan trombositopenia
Usia onset ≤ 20 tahun Onset gejala pertama ≤ 20 tahun
Gejala abdominal/gangguan saluran cerna Nyeri abdominal difus, memberat setelah
(Bowel angina) makan, atau diagnosis iskemia usus,
biasanya termasuk BAB berdarah
Granulosit dinding pada biopsi Perubahan histologi menunjukkan
granulosit pada dinding arteriol atau
venula

Untuk kepentingan klasifikasi, pasien dikatakan mempunyai PHS bila memenuhi


setidaknya 2 dari kriteria yang ada (sensitivitas 87,1% dan spesifisitas 87,7%)
(Dikutip dari JT Cassidy dan RE Petty, 1990)

2.8 Pengobatan
Pengobatan adalah suportif dan simtomatis, meliputi pemeliharaan hidrasi,
nutrisi, keseimbangan elektrolit dan mengatasi nyeri dengan analgesik. Untuk
keluhan artritis ringan dan deman dapat digunakan antiinflamasi non steroid,
seperti ibuprofen atau parasetamol. Edema dapat diatasi dengan elevasi tungkai.
Selama ada keluhan muntah dan nyeri perut, diet diberikan dalam bentuk
makanan lunak.
Penggunaan asam asetil salisilat harus dihindarkan, karena dapat
menyebabkan gangguan fungsi trombosit yaitu petekia dan perdarahan saluran
cerna. Bila ada geala abdomen akut, dilakukan operasi. Bila terdapat kelainan
ginjal progresif dapat diberi kortikosteroid yang dapat dikombinasi dengan
imunosupresan. Metilprednisolon intravena dapat mencegah perburukan penyakit
ginjal bila diberikan secara dini. Faedda menggunakan metilprednisolon dengan
13
dosis 250-750mg/hari intravena selama 3-7 hari dikombinasikan dengan
siklofosfamid 100-200 mg/hari untuk fase akut PHS yang berat.
Dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid (prednison 100-200 mg oral)
selang sehari dan siklofosfamid 100-200 mg/hari selama 30-75 hari, sebelum
akhirnya siklofosfamid dihentikan langsung, dan tappering-off steroid hingga 6
bulan.1
Terapi prednison dapat diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari secara oral,
terbagi dalam 3-4 dosis selama 5-7 hari. Kortikosteroid diberikan dalam keadaan
penyakit dengan gejala sangat berat, artritis, manifestasi vaskulitis pada sistem
saraf pusat, paru dan testis, nyeri abdomen berat, perdarahan saluran cerna, edema
dan sindrom nefrotik persisten. Pemberian dini pada fase akut dapat mencegah
perdarahan, obstruksi, intususepsi dan perforasi saluran cerna.1

2.9 Prognosis
Penyulit yang dapat terjadi antara lain perdarahan saluran cerna, obstruksi,
intususepsi, perforasi, gagal ginjal akut dan gangguan neurologi. Penyulit pada
saluran cerna, ginjal dan neurologi pada fase akut dapat menimbulkan kematian,
1
walaupun hal ini jarang terjadi.
Pada umumnya prognosis adalah baik, dapat sembuh secara spontan dalam
beberapa hari atau minggu (biasanya dalam 4 minggu setelah onset). Rekurensi
dapat terjadi pada 50% kasus. Pada beberapa beberapa kasus terjadi nefritis
kronik, bahkan pada 2% kasus menderita gagal ginjal. Bila manifestasi awalnya
berupa kelainan ginjal yang berat, maka perlu dilakukan pemantauan fungsi ginjal
1
6 bulan hingga 2 tahun pasca-sakit.
Sepertiga sampai setengah anak-anak dapat mengalami setidaknya satu kali
rekurensi yang terdiri dari ruam merah atau nyeri abdomen, namun lebih ringan
dan lebih pendek dibandingkan episode sebelumnya. Eksaserbasi umumnya dapat
terjadi antara 6 minggu sampai 2 tahun setelah onset pertama, dan dapat
berhubungan dengan infeksi saluran nafas berulang. Prognosis buruk ditandai
dengan penyakit ginjal dalam 3 minggu setelah onset, eksaserbasi yang dikaitkan
dengan nefropati, penurunan aktivitas faktor XIII, hipertensi, adanya gagal ginjal

14
dan pada biopsi ginjal ditemukan badan kresens pada glomeruli, infiltrasi
1
makrofag dan penyakit tubulointerstisial.

DAFTAR PUSTAKA

1. Matondang CS, Roma J. Buku Ajar Alergi - Imunologi Anak. 2nd ed.
Jakarta: Penerbit IDAI; 2007.

2. Yang YH, Chuang YH, Wang LC, Huang HY, Gershwin ME, Chiang BL.
The immunobiology of Henoch-Schonlein Purpura. Autoimmune
Review 2008;7:179- 84.

15
3. Carlson JA. The histological assessment of cutaneous vasculitis.
Histopathology 2010 Jan; 56(1): 3-23.

4. Gupta S, Handa S, Kanwar AJ, Radotra BD, Minz RJ. Cutaneous


vasculitides: clinico-pathological correlation. Indian J Dermatol
Venereol Leprol 2009; 75: 356-62.

5. Sunderkotter C, Bonsmann G, Sindrilaru A, Luger T. Clinical review


management of leukocytoclastic vasculitisJ Dermatolog Treat 2005;
16:193-206.

6. Koutkia P, Mylonakis E, Rounds S, Erickson A. Leukocytoclastic


vasculitis: an update for the clinician. Scand J Rheumatol 2001; 30:315-
22.7.

7. Russel JP, Gibson LE. Primary cutaneous small vessel vasculitis: approach
to diagnosis and treatment. Int J Dermatol 2006;45:3-13.

8. Tizard EJ. Henoch-Schonlein purpura. Arch Dis Child 1999;80:380-3.

9. Gonzalez-Gay MA, Llorca J. Controversies on the use of corticosteroid


therapy in children with Henoch-Schonlein purpura. Semin Arthritis
Rheum 2005;35:135-7.

10. Chalkias S, Samson SN, Tiniakou E, Sofair AN. Poststreptococcal


cutaneous leukocytoclastic vasculitis: a case report. Conn Med 2010;
74(7): 399-402.

11 Carlson JA. Cutaneous vasculitis. In: Busam LK, editor.


Dermatophatology. New York: Saunders Elsevier; 2010.p.184-209.

12 Reamy BV, William PM, Lindsay TJ. Henoch-Schonlein purpura. Am


Fam Physician 2009; 80(7): 697-704.

16
13 Gonzales MA, Calvino MC, Lopez-Vasquez ME, Porrua-Garcia C,
Iglesias-Fernandez JL, Dierssen T, Llorca J. Implications of upper
respiratory tract infections and drugs in the clinical of Henoch-Schonlein
Purpura in children. Clin Exp Rheumatol 2004; 22: 781-84.

14 Al-Sheyyab M, Batieha A, El-Shanti H, Daoud A. Henoch-Schonlein


Purpura and Streptococcal infections: a prospective case-control study.
Ann Trop Paediatr 1999; 19: 153-255.

15 Sohagia AB, Gunturu SG, Tong TR, Hertan HI. Henoch-Schonlein


Purpura-a case report and review of the literaure. Gastroenterol Res Pract
2010: 1-6

16 Weedon D. Skin Pathology. 3ed. Philadephia: Elsevier; 2010. p.195-244.

17 McCarthy H, Tizard E. Clinical practice: Diagnosis and management of


Henoch-Schönlein purpura. Eur J Pediatr 2010; 169(6):643-50.

18 Abbas AK, Licthman AH, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology.


Sixth Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.

19 Sunderkotter C. Leukocytoclastic vasculitis. CME Dermatol 2008;


3(1):32-50.

20 Sunderkotter C. Vasculitis of small blood vessel – some riddles about IgA


and about the complexity of transmigration. Experimental Dermatology
2009; 18:91-96.

21 Gonzales LM, Janniger CK, Schwartz RA. Pediatric henoch-schonlein


purpura. Int J Dermatol 2009; 48:1157-65

22 Cassidy JT, Petty RE. Leukocytoclastic Vasculitis : Henoch-Schonlein

17
Purpura. Dalam: Cassidy JT, Petty RE, Laxer RM, dkk, penynting.
Textbook of Pediatrics Rheumatology: 5th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2005; 496-501.

18

Anda mungkin juga menyukai