Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS

DISUSUN OLEH :

Grace Fidia
1620221200

PEMBIMBING :
dr. Tundjungsari RU , Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RSUD AMBARAWA
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Dalam kesempatan ini puji dan syukur penulis hanturkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa atas rahmat, nikmat, serta hidayah Nya dalam penulisan tugas
makalah referat ini. Tugas Makalah Referat yang berjudul “Sistemik Lupus
Eritemstosus” dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Tundjungsari, Sp.A selaku pembimbing kepaniteraan klinik anak
RSUD Ambarawa.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini, oleh karena itu peneliti memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Semoga makalah yang disusun penulis ini dapat bermanfaat bagi bangsa dan
negara serta masyarakat luas pada umumnya di masa yang akan datang.

Ambarawa, Mei 2018

Penulis
PENGESAHAN

Referat diajukan oleh


Nama : Grace Fidia
NRP : 1620221200
Judul : Sistemik Lupus Eritematosus
Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima sebagai syarat
yang diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik anak Program Studi Profesi
Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jakarta.

Pembimbing

dr. Tundjungsari RU, Msc, Sp.A

Ditetapkan di : Ambarawa
Tanggal : Mei 2018
BAB I
PENDAHULUAN

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE atau Lupus), adalah penyakit


multiorgan yang berdasarkan kelainan imunologik. Organ yang sering terkena
yaitu sendi, kulit, ginjal, otak, hati, dan lesi dasar pada pada organ tersebut adalah
suatu vaskulitis yang terjadi oleh karena pembentukan dan pengendapan
kompleks antigen-antibodi. SLE ditandai dengan pembentukan bermacam-macam
antibodi yang ditujukan terhadap komponen inti sel, yaitu DNA, RNA, dan
nukleoprotein. Kadang-kadang awalnya hanya satu organ yang terkena selama
beberapa bulan atau tahun yang kemudian berkembang ke beberapa organ lain.1
SLE pada anak sangat beragam dalam tingkat keparahannya. Beberapa
anak dapat menderita penyakit yang ringan dengan gejala sedikit serta tidak ada
keterlibatan organ penting, sedangkan pada beberapa anak lain dapat tampak sakit
berat serta ada keterlibatan beberapa organ.2
Mendiagnosis SLE pada anak juga tidaklah mudah. Pada banyak kasus,
dapat muncul gejala seperti demam, nyeri sendi, arthritis, ruam kulit, nyeri otot,
lelah, dan kehilangan berat badan yang nyata. Semua gejala ini tentunya tidak
spesifik. Dibutuhkan beberapa pemeriksaan laboratorium untuk mendukung
maupun menyingkirkan diagnosisnya. Diagnosis dini sangat penting dalam
menentukan terapi yang tepat untuk meminimalkan kemungkinan komplikasi
yang dapat timbul. SLE pada anak biasanya lebih parah daripada pada orang
dewasa, dari segi onset dan perjalanan penyakit.2
Lupus adalah penyakit kronik yang tingkat penyebaran dan remisinya
tidak dapat diprediksi. Sekali anak didiagnosis dengan SLE maka ia
membutuhkan dukungan keluarganya dan penanganan multidisiplin ilmu dalam
menjalani kehidupan dengan penyakitnya tersebut. Walaupun beberapa literatur
mengatakan bahwa SLE tidak ada obatnya, namun hasil pengobatan jangka
panjang pada anak dengan SLE dapat memberi hasil yang baik apabila ditangani
oleh tim medis yang ahli dalam bidangnya masing-masing.2
Meskipun diagnosis dan terapi SLE sama untuk semua umur, namun ada
beberapa pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam menangani anak dengan
SLE. Diantaranya keparahan penyakit, presentase penyakit, pemeriksaan lab yang
menunjang, imunisasi, faktor psikososial dari pasien tersebut. Hal terpenting
dalam menangani anak dengan SLE adalah bagaimana terapi terbaik untuk pasien
dengan mempertimbangkan keadaan fisik, intelektual dan emosinya yang sedang
berkembang. Pasien harus diinformasikan mengenai perjalanan penyakitnya,
pengobatan dan efek-efek sampingnya, serta hasil pengobatan yang mungkin
terjadi. Semua informasi ini sebaiknya disampaikan kepada pasien dan
keluarganya, tentunya disesuaikan dengan usia pasien dan kemampuannya dalam
mengerti tentang pertumbuhannya, keadaan penyakitnya, serta kemampuan dalam
mengambil keputusan.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun yang
menyerang berbagai jaringan dan organ tubuh. Secara istilah, SLE dapat
didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik, multisistem dan
autoimun ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas pada
pembuluh darah dan jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi
(ANA) pada pemeriksaan penunjang, terutama antibodi untuk double-stranded
DNA (dsDNA). Karena beragamnya organ yang dapat terkena, dan karena
sulitnya dalam menegakkan diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai
penyakit seribu wajah (masquerader, The Great Imitators). 2,4,5

II.2 Etiologi
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi
secara genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini. Diperkirakan SLE,
layaknya penyakit autoimun lain, muncul pada seseorang yang secara genetis
rentan terpapar satu atau beberapa faktor pencetus yang ada di lingkungan.
SLE berhubungan dengan munculnya HLA-haplotype spesifik yang
diwariskan: a) allel A1, B8, DR3, dan C4a muncul umumnya pada kulit putih.
b) DR2 ditemukan pada penderita SLE yang afro-amerika. Antigen HLA A11,
B8 dan B35 masing-masing memliki hubungan dengan SLE. Keluarga
maupun sanak saudara memiliki peningkatan insidens terhadap penyakit yang
berhubungan dengan disfungsi atau disregulasi sistem imun (misal:
imunodefisiensi primer, dan keganasan limforetikuler),
hipergammaglobulinemia, RF, ANA dan penyakit autoimun lainnya.4

Beberapa hal yang disepakati berperan pada SLE adalah: 1,6,7

1. Faktor genetik sebagai predisposisi, didukung oleh adanya beberapa


fakta:
- SLE ditemukan pada 70% kembar identik

- Frekuensi penemuan genotipe HLA-DR3 dan DR2 meningkat

- Frekuensi pasien SLE pada anggota keluarga yang lain juga


meningkat

2. Faktor hormonal, didukung oleh fakta bahwa:

- Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa


pubertas dan pasca pubertas

3. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya


SLE adalah, stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet
dan obat-obatan. Banyak obat2 telah dilaporkan dapat memicu SLE.
Namun, lebih dari 90% nya terjadi sebagai efek samping dari salah
satu dari obat2 berikut: hydralazine (digunakan untuk hipertensi),
quinidine dan procainamide (digunakan untuk irama jantung
abnormal), fenitoin (digunakan untuk epilepsi), isoniazid (Nydrazid,
Laniazid, digunakan untuk tuberculosis), d-penicillamine (digunakan
untuk rheumatoid arthtritis). Obat-obatan ini diketahui menstimulasi
sistem imun dan menyebabkan SLE.

II.3 Epidemiologi
Lupus adalah penyakit yang langka, namun tidak jarang. Kejadian
lupus jarang pada anak usia sekolah, namun frekuensinya meningkat pada
remaja.

SLE terjadi pada 6 dari 1.000.000 orang dibawah umur 15 tahun,


dengan 17% orang dengan SLE muncul gejala pada usia kurang dari 16
tahun dan 3,5% diantaranya mulai pada usia kurang dari 10 tahun. Pada
individu dibawah 20 tahun, sekitar 73% didiagnosis SLE pada umur lebih
dari 10 tahun. Ini membuat SLE dikelompokkan sebagai penyakit pada
usia remaja. SLE dapat muncul pada pria maupun wanita, dari etnis
manapun, berapapun usianya. Namun diagnosis SLE 4,3 kali lebih sering
muncul pada anak perempuan dibandingkan laki-laki.
II.4 Patogenesis

SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadang-


kadang, yang menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal
pada nefritis lupus, tetapi lambat laun organ-organ lain akan menyusul.
Gambaran klinis yang ditemukan terjadi akibat terbentuknya autoantibodi
terhadap berbagai macam antigen jaringan. Autoantibodi yang paling banyak
ditemukan adalah terhadap inti sel, yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa
anti DNA double stranded (ds-DNA), juga anti DNA single stranded (ss-
DNA).

Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T


yang bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan
autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam
jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi
inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.

Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi


herediter komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin
(IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor
imunopatogenik yang berperan dalam SLE bersifat multipel, kompleks dan
interaktif.

Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan
menghasilkan peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah
sel B yang memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas
penyakit. Aktivasi sel B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen
yang merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B.
Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga merupakan
karakteristik, yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivasi sel B
poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.

Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi


antigen dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi
autoantibodi disebabkan gangguan fungsi CD8+, natural killer cell dan
inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur
tertentu pada bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang mampu
merangsang respons pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh
terhadap peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip yang
bersifat spesifik terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai
dengan jenis idiotip yang ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari
antiidiotip mempunyai sifat spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan
berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun. Persistensi antigen dan
antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan
yang kurang optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara
lain oleh kapasitas sistem retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks
interaksi antara autoantibodi dan antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya
kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan produksi yang terganggu dan
mekanisme pembersihan kompleks imun yang terganggu akan menyebabkan
kerusakan jaringan oleh kompleks imun.

Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis


autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis
autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi
antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks
protein-asam nukleat). Umumnya titer anti-DNA mempunyai korelasi dengan
aktivitas penyakit lupus.

Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu


bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan
mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang
mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini
terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang
bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi
antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase (antibodi terhadap glikoprotein
trombosit), sehingga dapat terjadi trombositopenia, dan trombosis disertai
perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk
kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan,
beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen
dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung
pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan
autoantibodi.

Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade


komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya
granulosit dan makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis.
Beberapa faktor terlibat dalam deposit kompleks imun pada SLE, antara lain
banyaknya antigen, respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan
pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau kelelahan sistem
retikuloendotelial. Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T,
khususnya bagian CD4+ yang mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk
menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan (shift) fenotip sitokin dari sel
Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin cenderung untuk membantu aktivasi sel B
melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.

Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang


terkonsentrasi pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas
dalam pengaturan apoptosis mempunyai peranan penting dalam patogenesis
SLE. Pada SLE terjadi peningkatan apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi
pula persistensi sel apoptosis akibat defek pembersihan (clearance). Kadar
C1q yang rendah mencegah ambilan sel apoptosis oleh makrofag. Peningkatan
ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan
peningkatan apoptosis dan limfositopenia.

Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon


estrogen merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga
mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH
(Luteinizing hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan
SLE, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol.
Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan
postpartum.
II.5 Manifestasi Klinis
Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti
demam, fatigue, dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul
pada anak tidaklah sama dengan pada dewasa. Lupus yang dimulai pada masa
anak-anak biasanya secara klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah lanjut
dan berbulan bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis
yang lebih spesifik dan lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan. 2,6

Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis.
Ruam malar yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul
akibat adanya sensitifitas yang berlebihan terhadap cahaya matahari
(photosensitive) dan dapat memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress
emosional. Ruam ini tidak sakit dan tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit
pada lipatan nasolabial dan kelopak mata. Ruam lain biasanya muncul pada
telapak tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat sembuh sempurna tanpa
parut dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa. Rambut
dapat berubah menjadi lebih kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia.
Arthritis seringkali muncul, dan dapat berlanjut menjadi pembengkakan sendi
jari-jari tangan atau kaki. 2,4,7

Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan lupus

Manifestasi kulit didapatkan pada lupus diskoid dan biasanya dapat


menyebabkan parut. Pada lupus diskoid, hanya kulit yang terlibat. Ruam kulit
pada lupus diskoid sering ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Biasanya
berwarna merah dan mempunyai tepi lebih tinggi. Ruam ini biasanya tidak
sakit dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat menyebabkan kerontokan rambut
permanen. 5%-10% pasien dengan lupus diskoid bisa menjadi SLE. 7

Gambar 2: Ruam pada lupus diskoid

Manifestasi klinis lain adalah petekie dan perdarahan karena


trombositopenia. Pada anak mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu,
dan biasanya didiagnosis sebagai Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
(ITP). Kelainan neurologis dapat pula ditemukan pada sebagian anak.
Umumnya gejala berupa nyeri kepala yang tidak spesifik. Akhir-akhir ini,
khorea lebih umum ditemukan sebagai manifestasi klinis dari SLE daripada
demam reumatik. Ensefalopati, myelitis atau polineuropati jarang ditemukan.
Fenomena Raynaud sering ditemukan pada anak dengan lupus, biasanya
dihubungkan dengan krioglobulin. 2,4

Tabel 1: Manifestasi klinis SLE (yang dicetak tebal: paling sering ditemukan)5

Mudah lelah

Demam dan malaise


Keadaan umum
Penurunan berat badan

Limfadenopati
Ruam kupu-kupu dengan fotosensitifitas

Alopesia

Lesi diskoid
Kulit
Lesi pada kuku

Lupus kutaneus subakut

Purpura vaskulitis

Arthritis / arthralgia non-erosif

Tenosinovitis
Muskuloskeletal
Miopati

Nekrosis avaskular

Ulserasi oral dan nasal

Anoreksia, penurunan berat badan, nyeri perut difus

Dismotilitas esofagus

Sistem Pencernaan Kolitis

Hepato-splenomegali

Pankreatitis

Protein losing enteropathy / sindrom malabsorbsi

Fenomena Raynaud

Perikarditis

Lesi valvular

Lesi vaskulitik

Trombophlebitis
Kardiovaskuler
Kelainan konduksi jantung

Miokarditis

Endokarditis Libman-Sacks

Accelerated coronary artery disease

Gangren perifer
Pleuritis, efusi pleura

Subklinis (hanya kelainan pada tes fungsi paru)

Pneumonitis, infiltrat pulmoner, atelektasis


Sistem Pernapasan
Perdarahan

Paru menyusut (disfungsi diafragma)

Pneumotoraks

Migrain

Depresi / cemas

Psikosis organik

Sistem Persarafan Kejang

Neuropati saraf pusat dan saraf tepi

Khorea

Kelainan serebrovaskular

Retinopati, cotton wool spots


Sistem Penglihatan
Papiloedema

Glomerulonefritis

Ginjal Hipertensi

Gagal ginjal

Anemia hemolitik dengan Coomb’s positif

Hematologi Trombositopenia

Sindrom antifosfolipid

Endokrin Hipo / hipertiroidism


II. 6 Diagnosis

Diagnosis lupus sering hampir dapat dipastikan pada keadaan lupus yang
berat. Pada kasus yang lebih ringan, seringkali dokter kesulitan untuk
menegakkan diagnosis. American College of Rheumatology (ACR) membuat
kriteria untuk klasifikasi SLE.

Tabel 2: Kriteria ACR (American College of Rheumatology) Revisi 1997,


untuk Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik 2

Ruam malar (butterfly rash)


Ruam diskoid-lupus
Fotosensitif
Ulkus pada oral atau nasal
Arthritis non-erosif
Nefritis
Proteinuria >0,5 g/hari
Silinder selular
Ensefalopati
Kejang
Psikosis
Pleuritis atau perikarditis
Kelainan hematologi
Anemia hemolitik
Leukopenia
Limfopenia
Trombositopenia
Pemeriksaan imunoserologis positif
Antibodi terhadap dsDNA
Antibodi terhadap Smith nuclear antigen
Antibodi antifosfolipid (+), berdasarkan:
Antibodi IgG atau IgM antikardiolipin
Lupus antikoagulan
Positif palsu pada tes serologis untuk sifilis dalam waktu 6 bulan
Tes antinuklear antibodi (ANA) positif
Jika didapatkan 4 dari 11 kriteria diatas kapanpun dalam masa observasi
penyakit, diagnosis SLE dapat dibuat dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas
96%.

II. 7 Penatalaksanaan
Penyakit SLE adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan
relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan
anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan.

1. Kortikosteroid

Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE.


Meskipun efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini
dianggap yang terbaik untuk nefritis lupus dan SLE pada umumnya. Harus
dipertimbangkan pada anak, bahwa efek samping kortikosteroid jangan
sampai lebih buruk daripada penyakitnya itu sendiri. Hal ini dapat
menyebabkan anak menjadi tidak mau melanjutkan terapi yang dijalaninya. 1,2

Karena efek sampingnya yang banyak, dosisnya harus dikurangi segera


setelah muncul perbaikan secara klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pada
permulaan penyakit anak biasanya diberikan jadwal minum obat prednison
tiga kali sehari. Pada pertengahan, dosis diturunkan namun tetap dilanjutkan. 2

Pemberian awal kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi, yaitu 2


mg/kgBB/hari atau 60 mg/m2/hari (maksimum 80 mg.hari) dan diturunkan
secara bertahap; bila terdapat perbaikan gejala penyakit, proteinuria, fungsi
ginjal, normalisasi komplemen darah, dan penurunan titer anti ds-DNA.
Penurunan dosis berlangsung selama 4-6 minggu. Dosis prednison diturunkan
secara bertahap sampai 5-10 mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgBB dan dipertahankan
selama 4-6 minggu. Bila tidak terjadi relaps, pemberian steroid diuah manjadi
selang sehari dan diberikan pada pagi hari. Bila timbul relaps, dosis dinaikkan
lagi menjadi 2 mg/kgBB/hari.1
2. Hidroklorokuin

Hidroklorokuin mulai diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada


lupus derajat sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang
berat. Ada beberapa studi menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala
dapat menurunkan resiko kekambuhan penyakit. Hidroklorokuin juga
memiliki efek pada lipid plasma dan dapat menurunkan resiko komplikasi
kadriovaksular. Pemakaian jangka panjang

Hidroklorokuin dapat menyebabkan retinopati, namun resiko ini dapar


diminimalisasi dengan mengatur pemberian tidak lebih dari 6 mg/kgBB/hari. 2

3. Asam asetilsalisilat dan obat-obat AINS

Asetil salisilat dosis rendah (3-5 mg/kgBB/hari) dapat digunakan sebagai


profilaksis episode trombositopeni. Biasanya digunakan pada anak dengan
antibodi antifosfolipid yang tinggi dan/atau anak dengan lupus antikoagulan.

Anti inflamasi non steroid (AINS) digunakan untuk gejala dan tanda pada
muskuloskeletal, yang dapat menjadi parah secara tiba-tiba pada anak dengan
terapi kortikosteroid dosis sedang atau tinggi. AINS juga dapat mengobati
serositis. 2

4. Obat-obatan Imunosupresif

Pengobatan dengan agen imunosupresan (sitostatik) dipakai dalam


kombinasi dengan kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah
siklofosfamid dan azatioprin.

Indikasi pemakaian obat sitostatik adalah:

- Bila dengan kortikosteroid hasil yang didapat tidak memuaskan


untuk mengontrol penyakit
- Bila timbul efek samping pada penggunaan kortikosteroid,
misalnya hipertensi
- Bila NL berat yaitu NL proliferatif difus, sejak awal diberikan
kombinasi kortikosteroid dan sitostatik.
Biasanya obat sitistatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini
dilaporkan penggunaan sitistatik secara parenteral yaitu siklofosfamid dengan
cara pulse terapi yaitu dengan memberi bolus intravena 0,5-1 gram/m2 secara
infus selama 1 jam. Pada hari pemberian infus anak dianjurkan sering kencing
untuk mencegah timbulnya komplikasi sistitis hemoragik.

Lehman dkk (1989) melaporkan hasil baik dengan pemberian pulse


siklofosfamid sekali sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi
ginjal pada NL proliferasi difus. Dosis yang dipakai adalah 500 mg/m2 pada
bulan pertama, 750 mg/m2 pada bulan kedua dan selanjutnya 1 gram/m2 (dosis
maksimal 40 mg/kgBB). Pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal atau hepar
hanya dipakai dosis 500 mg/m2. Bila jumlah leukosit <2000/m2 dosis tidak
boleh dinaikkan, dan bila <1000/m2 dosis diturunkan 125 mg/m2.1

5. Splenektomi

Untuk anak dengan sitopenia refrakter yang tidak responsif dengan terapi
standar untuk idiopatik trombositopenia, splenektomi biasanya menjadi
efektif. Namun hal ini meningkatkan resiko terjadinya sepsis, terutama dari
kuman-kuman salmonella dan pneumokokus.2

6. Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca

Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca secara autologous atau


alogenik lebih efektif pada pasien dewasa. Terdapat angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi dengan pendekatan terapi semacam ini, sehingga ini

merupakan pilihan terakhir. 2

II. 8 Memonitor SLE

Pemeriksaan laboratorium sangat penting dan sebaiknya dikerjakan secara


rutin. Pemeriksaan laboratorium termasuk: hematologi, ESR (erytrocyte
sedimentation rate), C3, C4, anti ds-DNA (kuantitatif), SGOT, SGPT, LDH,
albumin, kreatinin, dan urinalisis. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap
2-4 minggu sekali saat mulai terdiagnosis, sampai 2 bulan sekali ketika
penyakit sudah dapat dikontrol.
Ada beberapa skor yang bertujuan mengontrol penyakit. Beberapa
diantaranya adalah SLE Disease Activity Index (SLEDAI), Lupus Activity
Index (LAI), the European Consensus Lupus Activity Measurement
(ECLAM), Systemic Lupus Activity Measure (SLAM) dan British Isles Lupus
Assessment Group (BILAG). Skor-skor ini sensitif pada perubahan perjalanan
penyakit.2

1. Proteksi Terhadap Matahari


Pajanan pada sinar matahari atau sumber lain yang ada sinar ultraviolet
(terutama UV-A atau UV-B) dapat menyebabkan kekambuhan ruam pada
lupus dan juga gejala sistemik seperti nyeri sendi dan fatigue. bisa juga
menyebabkan serangan pertama. Jadi, untuk menghindari pajanan yang terus
menerus dengan sinar UV, setiap pasien atau siapapun juga harus
menggunakan topi atau krim tabir surya. Pasien yang menggunakan krim tabir
surya secara rutin (SPF 15 atau yang lebih besar) memiliki resiko lebih rendah
untuk terkena lupus nefritis, trombositopenia, dan membutuhkan lebih sedikit
dosis siklofosfamid. Setiap anak dengan SLE sebaiknya selalu menggunakan
krim tabir surya setiap hari pada seluruh kulitnya yang terpajan sinar matahari
(kecuali telinga) tidak hanya pada siang hari, karena awan tidak dapat
menghilangkan sinar UV. 2,4

2. Imunisasi 2
Anak dengan SLE memiliki resiko tinggi terkena infeksi bakteri dan virus.
Pada anak-anak ini seharusnya dilakukan semua jenis imunisasi yang
diwajibkan namun tidak boleh yang mengandung vaksin hidup.
- Vaksin cacar (varicella) dianjurkan untuk semua anak yang belum pernah
terinfeksi virus varicella-zoster. Termasuk kedalam vaksin hidup (live
vaccine) sehingga harus diberikan sebelum terapi dengan kortikosteroid
dimulai.
- Vaksin pneumokokus dianjurkan untuk semua anak pada saat diagnosis
SLE ditegakkan, dan setiap 5 tahun. Infeksi pneumokokus yang invasif
sering terjadi pada anak dengan SLE.
- Vaksin influenza. Anak SLE yang di imunisasi dengan vaksin influenza
memiliki respon antibodi yang protektif, walaupun jumlahnya lebih
sedikit dari anak yang normal.
- Vaksin Haemophilus influenza (Hib) dan meningokokus dianjurkan
pada setiap anak dengan SLE.

3. Diet dan Olahraga 2,10


Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Sebenarnya tidak ada
diet khusus untuk pasien SLE, namun karena adanya kenaikan berat badan
akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan junk
food atau makanan mengandung tinggi sodium dan tinggi garam untuk
menghindari kenaikan berat badan berlebih. Pasien lupus sebaiknya tetap
beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk mempertahankan densitas
tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan
stress sering dihubungkan dengan kekambuhan.

II. 9 Prognosis

SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab
kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal,
hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi
belakangan ini kematian tersebut semakin menurun karena perbaikan cara
pengobatan, diagnosis lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti
hemodialisis lebih luas.

Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan,


misalnya pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden
vaskular serebral iskemik) akibat kortikoterapi; atau neoplasma (kanker,
hemopati) akibat pemakaian obat imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi
imun akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena
harapan hidup (survival) penderita lupus lebih panjang.

Pada tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa


peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10
tahun sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa
organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.
BAB III

KESIMPULAN

Systemic Lupus Erythematosus adalah suatu penyakit autoimun yang


dicirikan oleh adanya produksi antibodi yang tidak biasa dalam darah, yaitu
antibodi terhadap double stranded DNA. SLE delapan kali lebih banyak pada
wanita daripada pria. Penyebab SLE tidak diketahui, namun, keturunan, virus,
sinar ultraviolet dan obat-obatan, semuanya dapat berperan.

Lebih dari 10% pasien dengan lupus yang terbatas pada kulit akan menjadi
SLE. Sebelas kriteria dapat membantu dalam mendiagnosis SLE. Pengobatan
SLE secara langsung mengurangi peradangan dan/atau tingkat aktifitas
autoimun.

Pasien dengan SLE dapat mencegah kekambuhan dengan menghindari


paparan cahaya matahari dan tidak menghentikan pengobatan dengan tiba-tiba
serta memonitor kondisinya pada dokter.7
DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas, Husein, dkk. 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of
Systemic Lupus Erythematosus in Children. From: Journal of Pediatric and
Child Health 18:2. Published by Elsevier Ltd.
3. Gitelman, Marisa Klein, etc. 2002. Systemic Lupus Erythematosus in
Childhood. From Journal: Rheumatic Disease Clinics of North America.
Published by WBS.
4. Rudolph, Abraham M, etc. 1996. Rudolph Pediatrics. USA: Appleton &
Lange.
5. Webb, Nicholas and Robert Postlethwaite. 2003. Clinical Paediatric
Nephrology 3rd Edition. USA: Oxford University.
6. Kusuma, Anak Agung Ngurah Jaya. 2007. Lupus Eritematosus Sistemik
pada Kehamilan. Dari: Jurnal Penyakit Dalam vol 8 no. 2. Diterbitkan
oleh: Divisi Feto Maternal SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP
Sanglah, Denpasar.
7. Panca, Widianto. 2009. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Available
on: http://widiantopanca.blogdetik.com/systemic-lupuserythematosus.
Accessed at: January, 17th 2010.
8. Judarwanto, Widodo. 2009. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak.
Available on: http://childrenclinic.wordpress.com/sle-anak. Accessed at:
January, 17th 2010.
9. Nelson, Waldo E, etc. 2000. NELSON Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15.
Jakarta: EGC
10. Anonim. 2008. Lupus Eritematosus Sistemik. Available on:
http://www.klikdokter.com/sle. Accessed at: January, 17th 2010.

Anda mungkin juga menyukai