Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Bronkiolitis adalah infeksi Lower Respiratory Tract Infection (LRTI) yang


dihasilkan dari inhalasi partikel yang mengandung virus, umumnya terjadi setelah
infeksi virus saluran napas atas. Penyakit ini merupakan inflamasi bronkiolus yang
lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia <2 tahun (puncak usia 2-6 bulan).
Penyebab terbanyak atau tersering adalah Respiratory syncytial virus (RSV).2,4
Sekitar 95% kasus terjadi pada anak berusia <2 tahun dan 75% diantaranya terjadi
pada anak berusia <1 tahun, serta hampir 90% bayi berusia <1 tahun membutuhkan
perawatan di rumah sakit. Rasio insiden kasus ini pada anak laki-laki dan perempuan
yaitu 1,25 :1. Faktor resiko bronkiolitis berat yaitu usia kehamilan <34
minggu,saturasi oksigen <95%, laju napas <70x/menit, usia <3 bulan, foto dada
tampak atelektasis, kelainan jantung bawaaan,orang tua perokok, chronic lung
disease of prematurity. Bayi usia muda dengan bronkiolitis mempunyai risiko lebih
tinggi untuk mendapat perawatan di rumah sakit. 5,6
Berdasarkan Pedoman American Academy of Pediatrics menyebutkan bahwa
dokter mendiagnosis bronchiolitis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
sementara studi radiografi atau laboratorium tidak dilakukan secara rutin untuk
mengurangi paparan radiasi pada bayi/anak. Foto polos dilakukan terbatas pada kasus
bronkiolitis yang atipikal atau jika diduga ada diagnosis banding terutama
pneumonia.11 Bronkiolitis dengan klinis ringan dapat rawat jalan dan apabila klinis
berat harus dirawat inap. Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis bersifat suportif,
oksigenasi/pemberian oksigen, dan hidrasi yang adekuat/cairan intravena, pemberian
nutrisi, dan penyesuaian suhu lingkungan. Pengobatan lainnya dengan terapi
medikamentosa, seperti bronkodilator, antiinflamasi (kortikosteroid), atau antiviral
seperti ribavirin.2,3

0
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Bronkiolitis adalah infeksi saluran pernapasan bawah yang ditandai dengan
adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya infeksi tersebut disebabkan oleh virus
dengan karakteristik adanya mengi/wheezing pada episode pertama dan sering
didahului dengan gejala infeksi virus saluran napas atas. Berdasarkan guideline dari
Inggris, bronkiolitis adalah penyakit seasonal viral yang ditandai dengan adanya
panas, pilek, batuk, dan mengi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan crackles
inspiratory dan/atau high pitched expiratory wheeze.1,2

2.2 Epidemiologi
Bronkiolitis adalah infeksi saluran respiratorik bawah yang disebabkan oleh
virus, biasanya lebih berat pada bayi muda, terjadi epidemik setiap tahun dan ditandai
dengan obstruksi saluran pernapasan dan wheezing.3,4 Bronkiolitis menjadi penyebab
umum dari infeksi saluran pernapasan bawah pada tahun pertama kehidupan,
dianggap sebagai beban kesehatan karena morbiditas dan biaya. Penyakit ini
merupakan inflamasi bronkiolus yang lebih banyak ditemukan pada anak-anak
berusia <2 tahun (puncak usia 2-6 bulan).1,3 Sekitar 95% kasus terjadi pada anak
berusia <2 tahun dan 75% diantaranya terjadi pada anak berusia <1 tahun, serta
hampir 90% bayi berusia <1 tahun membutuhkan perawatan di rumah sakit. Rasio
insiden kasus ini pada anak laki-laki dan perempuan yaitu 1,25 :1.2,5
Angka kejadian bronkiolitis lebih sering ditemukan pada bayi yang tidak
mendapat ASI dan tinggal di lingkungan yang padat penduduk. Penyakit ini dapat
terjadi sepanjang tahun, puncaknya pada musim dingin, musim gugur, dan musim
hujan.4,6 Bronkiolitis termasuk penyebab tersering perawatan rumah sakit pada bayi
usia 2-6 bulan dan sering terjadi misdiagnosis dengan asma. Rerata insidens
perawatan per tahun pada anak berusia <1 tahun 21,7 per 1000 dan semakin menurun

1
seiring dengan pertambahan usia, yaitu 6,8 per 1000 pada usia 1-2 tahun. Bronkiolitis
virus juga merupakan salah satu penyebab paling umum pasien dimasukkan ke unit
perawatan intensif anak (PICU) di seluruh dunia. Menurut data terakhir, sekitar 5,9%
dari presentasi bronkiolitis memerlukan perawatan intensif dan 80% diantaranya
memerlukan dukungan ventilasi.2,5
Di Amerika Serikat, bronkiolitis adalah infeksi saluran pernapasan bawah
yang paling umum pada anak-anak. Hampir semua anak-anak terkena respiratory
syncytial virus (RSV) dan patogen penyebab lain (rhinovirus) selama berada pada 2
tahun pertama kehidupan.3,4,6 Sekitar 40% anak mengalami bronkiolitis klinis dan
hingga 3% dirawat di rumah sakit. Dari tahun 2000 hingga tahun 2016 di Amerika
Serikat terdapat total 490.650 kasus rawat inap dengan bronkiolitis, 17% diantaranya
kasus anak usia <2 tahun dan 18% merupakan anak usia <1 tahun. Sementara pada
tahun 2009 saja terdapat 130.000 kasus bronkiolitis yang menjalani rawat inap dan
18% diantaranya adalah bayi. Insidensi bronkiolitis pada tahun 2016 di AS yaitu 13,5
per 1000 orang anak-anak per tahun. 7 Dalam sebuah penelitian lain di Amerika
serikat ditemukan angka perawatan bronkiolitis di rumah sakit mencapai 3,5 per 1000
akibat RSV, 1,2 per 1000 akibat virus parainfluenza, dan 0,6 per 1000 akibat virus
Influenza. Sekitar 50% dari jumlah perawatan tersebut adalah bayi berusia di bawah 6
bulan. Rata-rata lama perawatan adalah 1-4 hari, kecuali pada bayi prematur dan
kelainan bawaan seperti penyakit jantung bawaan (PJB). 2,4
Penyakit ini akan lebih berat pada bayi muda. Hal itu ditunjukan dengan lebih
rendahnya saturasi O2 juga pada bayi yang terpapar asap rokok pasca natal. Beberapa
prediktor lain untuk beratnya bronkiolitis atau yang akan menimbulkan komplikasi
yaitu bayi dengan masa gestasi <34 minggu, usia <3 bulan, sianosis, saturasi oksigen
<90%, laju respiratori <70 x/menit, adanya ronki, dan riwayat dysplasia
bronkopulmoner.5,8 Kenaikan jumlah perawatan karena bronkiolitis juga dipengaruhi
oleh berbagai faktor, seperti lebih banyak anak yang dititipkan di tempat penitipan
anak, sosioekonomi rendah, dan faktor virus sendiri, yaitu perubahan virulensi strain
RSV. Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara berkembang
daripada di negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi dan

2
ekonomi, kurangan tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di negara
berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat
inap mencapai 1-3%.4,5

2.3 Etiologi
Penyebab terbanyak atau tersering adalah Respiratory syncytial virus (RSV),
sekitar 95% kasus. Penyebab lainnya adalah rhinovirus, adenovirus, virus
parainfluenzae, enterovirus, virus influenzae. dan human metapneumovirus
(HMPV).3,5 Bronkiolitis yang disebabkan oleh rhinovirus sekitar 20% hingga 40%
kasus. Dalam sebuah studi juga disebutkan etiologi bronchiolitis pada saat rawat inap
didapatkan 42% oleh RSV, 29% oleh rhinovirus, dan 2% oleh keduanya.9
Bronkiolitis yang disebabkan oleh RSV dapat terjadi selama musim dingin
dan awal musim semi, dengan puncaknya pada bulan Januari. Faktor-faktor yang
meningkatkan risiko bronkiolitis yaitu kelahiran prematur, penyakit paru-paru kronis,
penyakit jantung bawaan, defisiensi imun, bayi di bawah usia 3 bulan, dan adanya
penyakit kronis lain yang mendasarinya. Faktor lainnya termasuk hubungan antara
pajanan asap pada ibu dan tingkat keparahan bronkiolitis RSV pada bayi. Beberapa
penelitian menunjukkan hubungan antara paparan asap rokok dan peningkatan risiko
rawat inap pada anak dengan bronkiolitis.4,5 Faktor resiko bronkiolitis berat yaitu usia
kehamilan <34 minggu,saturasi oksigen <95%, laju napas <70x/menit, usia <3 bulan,
foto dada tampak atelektasis, kelainan jantung bawaaan,orang tua perokok, chronic
lung disease of prematurity.4,6,7 Bayi usia muda dengan bronkiolitis mempunyai risiko
lebih tinggi untuk mendapat perawatan di rumah sakit dan bayi yang lahir prematur
kemungkinan menderita RSV-associated hospitalization lebih tinggi daripada bayi
cukup bulan. Kecoa, debu tungau, bulu kucing dan anjing adalah alergen yang
ditemukan di rumah yang juga bisa berperan dalam memicu penyakit ini pada bayi.4

2.4 Patofisiologi

3
Bronkiolitis terjadi sebagai akibat dari peradangan sel-sel epitel saluran
pernafasan bagian bawah di paru-paru yang menyebabkan produksi lendir,
peradangan dan nekrosis sel-sel tersebut. Peradangan sel-sel inilah yang dapat

menghalangi jalan napas dan akhirnya menyebabkan mengi.2,3 Infeksi virus pada
epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons inflamasi akut, ditandai dengan
obstruksi bronkiolus akibat edema, skresi mucus, timbunan debris selular/sel-sel
mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan
edema submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan
diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan
memberikan hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memiliki
penampang saluran respiratori kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama
fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena diameter saluran respiratori lebih kecil
selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air trapping dan hiperinlasi. Atelektasis
dapat terjadi pada saat obstruksi total.2,3,5
Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru.
Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi (ventilation-perfusion mismatching), yang berikutnya akan menyebabkan
terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi
karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali pada beberapa pasien.
Kerja pernapasan (work of breathing) akan menigkat selama end-expiratory,
volume paru meningkat, dan compliance paru menurun. Hiperkapnea biasanya baru
terjadi bila respirasi mencapai 60 x/menit. Pemulihan sel epitel paru tampak setelah
3-4 hari, tetapi silia akan diganti setelah dua minggu. Jaringan mati (debris) akan
dibersihkan oleh makrofag.1,2,6

4
5
2.5 Diagnosis
Diagnosis bronkiolitis adalah diagnosis klinis. Kondisi ini terjadi pada bayi
yang berusia kurang dari 2 tahun dan diawali oleh gejala saluran pernapasan atas
yang diikuti oleh peningkatan upaya pernapasan dan umumnya dikaitkan dengan
penurunan nafsu makan. Diagnosis bronkiolitis umumnya didasarkan pada anamnesis
dan pemeriksaan fisik.4,5 Bronkiolitis berkaitan dengan riwayat infeksi saluran napas
atas dan dengan temuan gejala pada infeksi jalan nafas yang lebih rendah seperti
batuk, takipnea, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Kombinasi retraksi
interkostal, subkostal, dan suprasternal, nafas cuping hidung, mendengkur,
peningkatan upaya pernapasan dan mengi pada pemeriksaan fisik dianggap sebagai
tanda dan gejala bronkiolitis. Apnea mungkin merupakan gejala yang muncul
terutama pada bayi-bayi dengan riwayat prematuritas.5,6,10
Bronkiolitis dapat didiagnosis berdasarkan tanda dan gejala klinis pada anak
kecil dengan mengi dan hiperinflasi. Radiografi toraks umumnya tidak membantu
dan tidak diperlukan pada anak-anak dengan diagnosis klinis bronkiolitis yang jelas.

6
Hal ini sebelumnya ditekankan oleh American Academy of Pediatrics dalam
pedomannya disebutkan bahwa diagnosis bronchiolitis berdasarkan riwayat dan
pemeriksaan fisik, sementara pemeriksaan radiografi atau laboratorium tidak
dilakukan secara rutin. Rontgen dada hanya diindikasikan ketika perjalanan klinis
11,12
tidak biasa atau jika diduga ada diagnosis banding. Peran pemeriksaan radiografi
terbatas pada kasus atipikal. Tes virus, kultur bakteri, hitung darah lengkap,
pemeriksaan gas darah, pulse oksimetri, dan radiografi dada tidak secara rutin
dimasukkan dalam pemeriksaan diagnostik.13
Secara umum diagnosis bronkiolitis dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
a. Anamnesis
 Sering terjadi pada anak berusia <2 tahun. Sebanyak 90% kasus yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit terjadi pada bayi berusia <1 tahun.
Insidens tertinggi terjadi pada usia 2-6 bulan.1,2
 Anak yang menderita bronkiolitis mengalami demam atau riwayat demam
(sub febris), namun jarang terjadi demam tinggi.4
 Rhinorrhea, nasal discharge (pilek), sering timbul sebelum gejala lain seperti
batuk, takipne, sesak napas, dan kesulitan makan. Pilek encer disertai hidung
tersumbat didapatkan 1-4 hari sebelumnya. Puncak gejala pada hari ke-5 sakit,
yaitu batuk, sesak napas, takipne, mengi, minum menurun, apne, sianosis.2,14
 Batuk disertai gejala nasal adalah gejala yang pertama muncul pada
bronkiolitis. Batuk kering dan mengi khas untuk bronkiolitis.3
 Poor feeding. Banyak penderita bronkiolitis mempunyai kesulitan makan
yang berhubungan dengan sesak napas, namun gejala tersebut bukan hal
mendasar untuk diagnosis bronkiolitis.5,15
 Bayi dengan bronkiolitis jarang tampak ”toksik”. Bayi dengan tampilan toksik
seperti mengantuk, letargis, gelisah, pucat, motling, dan takikardi
membutuhkan penanganan segera.3,5

b. Pemeriksaan Fisis

7
 Pemeriksaan fisis pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah
adanya takipnea, takikardi, sesak napas, dan peningkatan suhu di atas 38,5 oC.
Selain itu, dapat juga ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis.2,3
 Napas cepat merupakan gejala utama pada lower respiratory tract infection
(LRTI), terutama pada bronkiolitis dan pneumonia.4
 Obstruksi saluran respiratori-bawah akibat respons inflamasi akut akan
menimbulkan gejala ekspirasi memanjang/expiratory effort hingga wheezing
atau mengi.4,5
 Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan
menimbulkan napas cuping hidung, penggunaan otot bantu napas atau retraksi
intercostal.4,6
 Retraksi dinding dada (subkosta, interkosta, dan supraklavikula) sering terjadi
pada penderita bronkiolitis. Bentuk dada tampak hiperinflasi dan keadaan
tersebut membedakan bronkiolitis dari pneumonia. Tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam.1,2
 Fine inspiratory crackles (ronki pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi) pada
seluruh lapang paru sering ditemukan (tapi tidak selalu) pada penderita
bronkiolitis ketika auskultasi dada. Bayi dengan mengi tanpa crackles lebih
sering dikelompokkan sebagai viral-induced wheeze dibandingkan
bronkiolitis.1,5
 High pitched expiratory wheeze merupakan gejala yang sering ditemukan
pada bronkiolitis, namun bukan temuan pemeriksaan fisis yang mutlak. Di
Amerika, diagnosis bronkiolitis lebih ditekankan pada adanya mengi.2,4
 Hiperinflasi dada dengan hipersonor pada perkusi.2
 Sianosis dapat terjadi dan bila gejala menghebat bisa terjadi apnea. Apnea
dapat terjadi pada bronkiolitis, terutama pada usia yang sangat muda, bayi
prematur, atau berat badan lahir rendah.5

c. Pemeriksaan Penunjang

8
 Saturasi oksigen
Pulse oximetry harus dilakukan pada setiap anak yang datang ke rumah sakit
dengan bronkiolitis. Pulse oxymetri dapat membantu menentukan derajat
hipoksia dan respon terhadap terapi O2. Bayi dengan saturasi oksigen ≤92%
membutuhkan perawatan di ruan intensif. Bayi dengan saturasi oksigen >94%
pada udara ruangan dapat dipertimbangkan untuk dipulangkan.2,10
 Analisis gas darah
Umumnya tidak diindikasikan pada bronkiolitis. Pemeriksaan tersebut
berguna untuk menilai bayi dengan distres napas berat dan kemungkinan
mengalami ancaman gagal napas. Analisis gas darah (AGD) diperlukan untuk
anak dengan sakit berat, khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik.4,5
 Foto toraks
Pada foto rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi, penebalan
peribronkial, dan infiltrat (patchy infiltrates), tetapi gambaran ini tidak
spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan
aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran atelaktasis, terutama pada saat
konvalesens akibat secret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air
trapping, diafragma datar, dan peningkatan diameter antero-posterior. Sepuluh
persen (10%) bisa normal.2,3 Foto toraks dipertimbangkan pada bayi dengan
diagnosis meragukan atau penyakit atipikal. Foto toraks sebaiknya tidak
dilakukan pada bronkiolitis yang tipikal. Foto toraks pada bronkiolitis yang
ringan tidak memberikan informasi yang dapat memengaruhi pengobatan.4,6
 Pemeriksaan virology
Rapid diagnosis dari infeksi virus pada saluran napas adalah cost effective
karena mengurangi lama perawatan, penggunaan antibiotik, dan pemeriksaan
mikrobiologi. Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen
detection tests (direct immunofluorescence assay dan enzyme-linked
immunosorbent assay, ELISA) atau polymerase chain reaction (PCR), dan
pengukuran titer antibody pada fase akut dan konvalesens.5,6
 Pemeriksaan bakteriologi

9
Pemeriksaan bakteriologi secara rutin (darah dan urin) tidak diindikasikan
pada penderita bronkiolitis bakteriologi tipikal. Pemeriksaan bakteriologi dari
urin dipertimbangkan pada bayi berusia <60 hari.3
 Hematologi
Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang pemeriksaan darah
rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit biasanya normal, demikian
pula dengan elektrolit. Pemeriksaan darah lengkap tidak diindikasikan dalam
menilai dan memberikan tatalaksana bayi dengan bronkiolitis tipikal.2
 C-reactive protein (CRP)
Penelitian yang ada merupakan penelitian retrospektif atau penelitian dengan
kualitas yang buruk dan tidak memberikan bukti yang cukup berhubungan
dengan bronkiolitis.2

 Chest X Ray
Bronkiolitis biasanya tidak terdeteksi pada radiografi dada.
Bronkiolitis dapat bermanifestasi dengan temuan nonspesifik yang tidak
jelas, seperti nodul kecil yang bergerombol dan kabur atau daerah air
trapping yang ditandai oleh hiperlusensi dan/atau oligemia. 14,16 Pedoman
membatasi penggunaan CXR untuk diagnosis bronkiolitis, pemeriksaan CXR
hanya untuk presentasi atipikal (penampilan toksik, superinfeksi bakteri atau
pneumotoraks sebagai komplikasi).11,12 Panduan British Thoracic Society
(BTS) tidak menganggap CXR sebagai tes rutin, CXR dilakukan pada sekitar
50% kasus bronchiolitis dengan tujuan utama untuk menyingkirkan
pneumonia. Hal ini dikaitkan dengan bahaya yang dapat muncul oleh paparan
radiasi pada anak-anak.13

10
(Gambar 1: Radiografi dada posteroanterior menunjukkan kekeruhan/ opasitas

mikronodular heterogen (panah) di lobus medial paru kiri).16

(Gambar 2 : (a) Gambaran mikronodul sentrilobular dan tree in bud opasities


(panah). (b) Coronal MIP image pada pasien laki-laki 47 tahun dengan bronkiolitis

11
menunjukkan gambaran tree in bud opasities dan nodul centrilobular pada lobus

superior paru kanan)16

(Gambar 3 : CXR menunjukkan konsolidasi paru kanan yang konsisten dengan

pneumonia, disertai dengan gambaran hiperinflasi dan pendesakan mediastinum ke

12
arah paru kiri)17

(Gambar 4: CXR menunjukkan konsolidasi paru basal kiri yang menunjukkan

pneumonia dan penebalan peri-bronkial bilateral)17

13
 CT Scan
Gambar CT Scan, hampir selalu menunjukkan temuan abnormal yang

mencakup mikronodula centrilobular (sering dilihat sebagai opasitas tree-in-

bud), penebalan dinding bronkial, dilatasi bronkiolus (sering disebut sebagai

bronchiolectasis), dan gambaran air trapping.16

(Gambar 5: (b) Gambar CT aksial menunjukkan gambaran opasitas tree-in-bud

berkelompok (panah) di lobus kiri atas dan bawah).16

14
15
 Lung Ultrasonografi
Lung Ultrasonografi (LUS) merupakan tes pencitraan yang aman,
non-invasif, cepat, murah, real-time yang dapat menguntungkan manajemen
klinis bronkiolitis. Interpretasi yang dihasilkan pada permukaan pleura dalam
pola spesifik bronkiolitis yaitu adanya B-line, konsolidasi paru subpleural,
keterlibatan bilateral ruang interkostal sangat berkorelasi dengan evaluasi
klinis pada bayi dengan bronkiolitis.14,17
Penggunaan ultrasonografi secara rutin untuk anak-anak dengan

bronkiolitis dapat mengurangi jumlah CXR yang dilakukan sehingga paparan

radiasi dengan konsekuensi berbahaya pada anak-anak yaitu risiko kanker

dapat dikurangi serta dari hasilnya dapat menghindari pemberian antibiotik

yang tidak berguna. Dalam dekade terakhir ini LUS telah menjadi alat

diagnostik dalam manajemen dan perawatan pasien anak yang lebih

efektif.14,17

16
(Gambar 6 : Gambaran pada intercostal secara transversal menunjukkan beberapa B-
line multipel pada bronchiolitis).17

(Gambar 7 : Gambaran thorakal longitudinal, menunjukkan permukaan pleura yang


tidak teratur dan B-line yang konfluen (panah)).17

17
(Gambar 8: Bidang paru posterior kiri menunjukkan konsolidasi kecil pada
sublpeural tanpa sonografi airbronkogram (panah) - temuan khas pada bayi dengan
bronkiolitis).17

2.6 Tatalaksana
Bronkiolitis pada umumnya tidak memerlukan pengobatan. Bronkiolitis
dengan klinis ringan dapat rawat jalan, jika klinis berat harus rawat inap. Terapi
suportif seperti pemberian oksigen, nasal suction masih dapat digunakan. Fisioterapi
dada dengan vibrasi dan perkusi tidak direkomendasikan untuk pengobatan penderita
bronkiolitis yang tidak dirawat di ruang intensif. Pemberian antiviral, inhalasi β2-
agonis, inhalasi antikolinergik (ipratropium) dan inhalasi kortikosteroid belum
mempunyai bukti yang kuat. Jika klinis dan penunjang sesuai dengan bronkiolitis,
antibiotik tidak perlu diberikan. Namun bila ada keraguan, pasien didiagnosis sebagai
bronkopneumonia dan perlu diberikan antibiotik.2,5
Obat anti-kolinergik misalnya ipratropium bromide dan normal saline dengan
nebulisasi salbutamol adalah pilihan. Dalam sebuah penelitian dikatakan nebulizer
7% hipertonik saline ditemukan lebih efektif daripada 0,9% saline normal dengan
salbutamol untuk mengurangi gejala klinis, lama tinggal di rumah sakit dan durasi
terapi oksigen. Saline hipertonik mengurangi edema jalan napas, meningkatkan
pembersihan mukosiliar dengan memperbaiki aliran lendir, sehingga dapat
mengurangi obstruksi jalan napas. Agen antivirus tersedia tetapi mahal dan perannya
kontroversial. Antibiotik umumnya dikatakan tidak memiliki peran.15
Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis bersifat suportif, oksigenasi/pemberian
oksigen, dan hidrasi yang adekuat/cairan intravena, pemberian nutrisi, dan
penyesuaian suhu lingkungan. Pengobatan pendukung lain juga dapat diberikan
seperti posisi yang disangga/minimal handing pada bayi, lakukan hisap hidung ketika
dibutuhkan, dan obat parasetamol untuk demam. Setelah itu, terapi medikamentosa
yang dapat digunakan, seperti bronkodilator, antiinflamasi (kortikosteroid), atau
antiviral seperti ribavirin.2,3
a. Pemberian oksigen4

18
 Untuk mengurangi hipoksemia
 Nasal prongs/kanul, facemask
 Ventilasi mekanik invasif

2,4
b. Bronkodilator
Peran bronkodilator masih kontroversial. Penggunaan bronkodilator untuk
bronkiolitis menunjukkan perbaikan klinis untuk jangka pendek, tetapi tidak
terdapat perbaikan pada angka perawatan di rumah sakit. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa obstruksi saluran respiratori adalah reaksi inflamasi dan
penyempitan akibat edema/sumbatan mukosa, sehingga pendekatan terapi
yang dapat digunakan adalah bronkodilator, atau kombinasi alfa adrenergic
dan agonis beta adrenergik.
 Albuterol + ipratropium bromid vs albuterol: tidak berbeda.
 Epinefrin rasemik vs salin: perbaikan klinis (+), aman dan efektif pada
usia < 18 bulan.
 Epinefrin rasemik vs salbutamol, pada menit ke-30: perbaikan klinis (+)
pada epinefrin resemik, sementara pada salbutamol perbaikan (-).
 Epinefrin rasemik vs albuterol: epinefrin rasemik aman dan perbaikan
klinis lebih cepat, hendaknya digunakan sebagai terapi pilihan pertama.
 Walaupun masih kontroversi, di Sub-Bagian Respirologi diberikan
salbutamol dengan dosis 0,05-0,1 mg/kgBB/kali, setiap 6 jam.

c. Kortikosteroid 4,5
Kortikosteroid yang digunakan adalah prednison, prednisolon,
metilprednisolon, hidrokortison, dan deksametason. Cara pemberian secara
oral, intramuscular, atau intravena. Penggunaan kortikosteroid pada
bronkiolitis dapat lebih efektif mengurangi gejala klinis, durasi penggunan
oksigen, dan lama perawatan di rumah sakit.
 Teori: mengurangi inflamasi sehingga respon β2-adrenergik baik.
 Hasil: masih kontroversi.

19
o RCT (Randomised controlled trial): deksametason PO/IM → tidak
bermanfaat.
o RCT: deksametason PO 0,5 mg/kg saat MRS, diikuti 0,3 mg/kg/hari
pada 2 hari berikutnya → tidak berbeda dengan kontrol.
o Meta-analisis: penurunan skor gejala klinis dan lama perawatan di
rumah sakit.
 Walaupun masih kontroversi, di Sub-Bagian Respirologi diberikan
deksametason dengan dosis bolus 1 mg/kgBB, diikuti dengan dosis 0,5-1
mg/kgBB/hari diberikan setiap 8 jam.

d. Antibiotik (masih kontroversi):


Antibiotik yang diberikan umumnya ampisilin 100 mg/kgBB/hari setiap 6
jam.

Indikasi perawatan di ruang perawatan intensif:1


 Gagal mempertahankan saturasi oksigen >92% dengan terapi oksigen.
 Perburukan status pernafasan, ditandai dengan peningkatan istress nafas dan/atau
kelelahan.
 Apnea berulang

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bronchiolitis adalah infeksi saluran pernapasan bagian bawah yang banyak
menyerang anak-anak usia di bawah 2 tahun dan merupakan penyebab utama rawat
inap pada bayi usia <1 tahun. Patogen utama penyebab bronchiolitis adalah
Respiratory Syncytial Virus (RSV). Penegakan diagnosis umumnya didasarkan
pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Modalitas radiologi chest x-ray tidak
direkomendasikan secara rutin. Foto toraks dipertimbangkan pada bayi dengan
diagnosis meragukan atau penyakit atipikal. Foto toraks sebaiknya tidak dilakukan
pada bronkiolitis yang tipikal. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik pada
kasus dengan kecurigaan bronkiolitis umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
penunjang seperti CXR. Pertimbangan modalitas radiologi lain seperti
ultrasonografi banyak direkomendasikan untuk kasus bronkiolitis karena efek dari
paparan radiasi x-ray memberikan konsekuensi berbahaya pada anak-anak dengan
peningkatan risiko kanker. Tatalaksana bronkiolitis yaitu terapi suportif dan terapi
medikamentosa.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: IDAI. 2009.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi 1. Jakarta:
IDAI. 2008.
3. Marcdante KJ and Kliegman RM. Nelson Essentials of Pediatrics. Edisi 7. United
States: Elsevier. 2015 [e-book].

4. Erickson EN, Mendez MD. Pediatric Bronchiolitis. InStatPearls [Internet].


StatPearls Publishing. 2019.

5. Alyssa H, Silver MD, Joanne M. Nazif MD. Bronchiolitis. Department of


Pediatrics, Children’s Hospital at Montefiore, Albert Einstein College of
Medicine. 2019; 40 (11).
6. Mecklin M. Bronchiolitis: Management and Risk Factors for Severe Disease.
Finland: University of Tampere. 2018.

7. Fujiogi M, Goto T, Yasunaga H, Fujishiro J, Mansbach JM, Camargo CA,


Hasegawa K. Trends in Bronchiolitis Hospitalizations in the United States:
2000–2016. Pediatrics. 2019; 144 (6).

8. NSW Government. Infant and Children – Acute Management of Bronchiolitis.


2018.

9. Bergroth E, Aakula M, Elenius V, Remes S, Piippo-Savolainen E, Korppi M,


Piedra PA, Bochkov YA, Gern JE, Camargo CA, Jartti T. Rhinovirus type in
severe bronchiolitis and the development of asthma. The Journal of Allergy and

22
Clinical Immunology: In Practice. 2019; 8 (2): 588-595.

10. National Institute for Health and Care Excellence (NICE). Diagnosing
Bronchiolitis in Children. NICE Pathway. 2019.

11. Galizia SAC, Pullicino VS, Vella C. An audit on the practice of performing a
chest X–Ray in infants with bronchiolitis. Malta Medical School Gazette. 2018.

12. Kader AA, Nassar MF, Qabazard Z, Disawi M. Imaging In Acute Bronchiolitis:
Evaluation of The Current Practice In a Kuwaiti Governmental Hospital and Its
Possible Impact on Hospitalization Period. The Open Respiratory Medicine
Journal. 2018; 12: 75-80.

13. Mauro AD, Ammirabile A, Quercia M, Panza R, Capozza M, Manzionna MM,


Laforgia N. Acute Bronchiolitis: Is There a Role for Lung Ultrasound?.
Diagnostics. 2019; 9 (172): 1-13.

14. Özkaya AK, Yilmaz HL, Kendir ÖT, Gökay SS, Eyüboglu I. Lung ultrasound
findings and bronchiolitis ultrasound score for predicting hospital admission in
children with acute bronchiolitis. Pediatric Emergency Care. 2018; 36 (3): 135-
142.

15. Islam MS, Mollah MA, Khanam R, Chowdhury AS, Rahman MM, Al Baqui
SA, Rashid MA. Comparative Efficacy of Nebulized 7% Hypertonic Saline
versus 0.9% Normal Saline with Salbutamol in Children with Acute
Bronchiolitis. Bangladesh Journal of Child Health. 2019; 43 (2): 80-84.

16. Winningham PJ, Martínez-Jiménez S, Rosado-de-Christenson ML, Betancourt


SL, Restrepo CS, Eraso A. Bronchiolitis: a practical approach for the general
radiologist. RadioGraphics. 2017. 37 (3): 777-794

17. Biagi C, Pierantoni L, Baldazzi M, Greco L, Dormi A, Dondi A, Faldella G,


Lanari M. Lung ultrasound for the diagnosis of pneumonia in children with
acute bronchiolitis. BMC Pulmonary Medicine. 2018; 18 (191): 1-10.

23

Anda mungkin juga menyukai