Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Abses paru adalah lesi paru berupa supurasi dan nekrosis jaringan. Nekrosis
parenkim paru akan membentuk kavitas yang sering berhubungan dengan saluran
napas berukuran besar sehingga akan menimbulkan batuk dengan sputum yang
purulen dan gambaran air fluid level pada pemeriksaan radiologis. Pada daerah abses,
terdapat suatu area local nekrosis supurativa di dalam parenkim paru yang
menyebabkan terbentuknya satu atau lebih kavitas yang besar. Kebanyakan kasus
disebabkan oleh aspirasi bakteri anaerob yang berada di rongga mulut. Kemajuan
ilmu kedokteran saat ini menyebabkan kejadian abses paru menurun karena adanya
modalitas pemeriksaan penunjang, perbaikan risiko, pengobatan dini, serta teknik
operasi dan anestesi yang lebih baik. Terdapat beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan terjadinya abses paru, yaitu pecandu alcohol, penderita karies gigi,
aspirasi saluran napas, dan kelainan paru atau saluran napas yang mendasari, serta
imunodefisiensi Kuman atau bakteri penyebab abses paru bervariasi, sekitar 46%
disebabkan oleh bakteri anaaerob dan 43% campuran bakteri anaerob dan aerob.1,2
Pemeriksaan radiologi sebagai pemeriksaan penunjang abses paru umumnya
dilakukan untuk melihat lokasi dan bentuk lesi. Modalitas radiologi yang dapat
digunakan antara lain, foto polos, computed tomography (CT), dan ultrasonografi
(USG). Pada pemeriksaan foto polos sangat membantu untuk melihat lokasi dan
bentukan lesi, sementara pada CT scan dapat menunjukkan lesi yang tidak terlihat
pada pemeriksaan foto polos dan membantu menentukan lokasi dinding dalam dan
luar kavitas abses. Pemeriksaan radiologi seperti USG juga dapat menentukan
diagnosis meskipun jarang digunakan.3,4

0
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Abses paru adalah suatu infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
paru yang terlokalisir dan membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dan debris
nekrotik dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih yang disebabkan oleh
infeksi mikroba. Jika diameter kavitas <2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small
abscesses) dinamakan necrotizing pneumonia.1,5

2.2 Klasifikasi
Abses paru dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan kemungkinan
etiologinya. Berdasarkan durasi/perlangsungannya, abses paru dibagi menjadi akut
dan ktonik. Abses paru akut memiliki durasi <6 minggu, sedangkan abses kronis
durasinya >6 minggu. Berdasarkan penyebabnya abses paru dibagi menjadi abses
primer dan abses sekunder. Abses primer berasal dari infeksi yang disebabkan oleh
aspirasi hasil sekresi orofaringeal (infeksi dental/periodontal, sinusitis paranasal,
penurunan kasadaran, gastroesophageal reflux disease, muntah persisten), pneumonia
nekrotikan pada orang yang sehat atau pasien immunocompromised. Abses sekunder
disebabkan oleh kondisi yang sudah ada sebelumnya atau penyebaran infeksi dari
tempat lain, contohnya obstruksi bronkus (akibat tumor/karsinoma bronkogenik,
benda asing, pembesaran limfonodi) ataupun karena adanya penyakit paru yang
mendasari (seperti bronkiektasis, emfisema bulosa, fibrosis kistik, pneumonia,
kontusio paru, dan infeksi lain). Berdasarkan dari penyebarannya, abses paru dapat
menyebar melalui bronkogenik (aspirasi, obstruksi bronkus oleh tumor, benda asing,
pembesaran kelenjar getah bening, malformasi kongenital), dan secara hematogen/
ekstrapulmonal (infeksi endokarditis, sepsis abdominal, sepsis tromboembolism),
penyebaran langsung dari infeksi yang berdekatan/perkontinuitatum (mediastinum,
fistula bronkoesofageal, abses subphrenik).1,2,5

1
2.3 Epidemiologi
Abses paru masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Angka kematian abses paru berkisar antara 15-20%, merupakan
penurunan bila dibandingkan dengan era preantibiotika yang berkisar antara 30-40%.
Abses paru termasuk salah satu penyakit yang mematikan di era preantibiotik.
Sepertiga dari pasien meninggal, sepertiga dapat pulih, dan sisanya berkembang
menjadi abses berulang, empiema kronik, bronkiektasis, atau komplikasi yang lain
dari infeksi piogenik . Ketersediaan antibiotik yang luas mampu menurunkan angka
kejadian abses paru ini dan angka kematiannya.5
Pada periode postantibiotik awal, kasus abses paru umumnya berhubungan
dengan karies gigi, epilepsi tidak terkontrol, kelainan paru sebelumnya, dan
penyalahgunaan alkohol. Pada negara-negara maju, kasus ini cukup jarang
ditemukan, kecuali pada penderita dengan gangguan respon imun seperti
penyalahgunaan obat, penyakit sistemik, atau komplikasi pascaobstruksi. Orang
lanjut usia, immunocompromised, dan malnutrisi umumnya lebih retan dan perlu
pertimbangan untuk pemberian antibiotik, serta memiliki prognosis yang lebih buruk.
Peningkatan jumlah immunocompromised (sekunder akibat HIV/AIDS dan
imunosupresi iatrogenik) kasus abses paru dapat meningkat.2
Abses paru lebih dominan terjadi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan
perempuan. Abses paru umumnya lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut karena
peningkatan insiden penyakit periodontal dan peningkatan prevalensi disfagia dan
aspirasi. Aspirasi dari cavitas oral merupakan penyebab utama terjadinya abses paru
dikarenakan oleh kebersihan rongga mulut dan gigi yang kurang. Namun pada
beberapa kasus di wilayah perkotaan dengan prevalensi alkoholisme tinggi
didapatkan usia rata-rata penyakit ini sekitar usia 41 tahun.5,6

2.4 Faktor Risiko


Ada beberapa kondisi yang menyebabkan atau mendorong terjadinya abses paru.
Faktor risiko/predisposisi terjadinya abses paru, diantaranya: 1,3,5
1. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuam (2:1)

2
2. Pasien dengan immunocompromised
3. Alkoholik (50%)
4. Ca Bronkogenik (25%)
5. Aspirasi benda asing
6. Karies gigi (20%)
7. TB paru relaps
8. Penyakit paru obstruktif
9. Miscellaneous (tidak teridentifikasi) (23,3%)
10. Penyalahgunaan obat (contoh steroid) (3,3%)
11. Epilepsi (6,6%)

Aspirasi pada daerah orofaring merupakan penyebab utama terjadinya abses paru.
Predisposisi Aspirasi Orofaring: 5
 Infeksi gigi/peridental
 Sinusitis paranasal
 Keadaan gangguan kesadaran
 Pembengkakan
 Penyakit refluks gastroesofagus
 Sering muntah
 Pasien yang diintubasi
 Pasien dengan trakeostomi
 Kelumpuhan saraf berulang
 Alkoholisme
Penyebaran Hematogenik :
 Sepsis abdomen
 Endokarditis infektif
 Penyalahgunaan obat intravena
 Kanul terinfeksi atau kateter vena sentral terinfeksi
 Septik tromboembolisme

3
Bersamaan dengan penyakit paru lain, seperti:
 Bronkiektasis
 Cystic fibrosis
 Emfisema bulosa
 Obstruksi bronkus oleh tumor, benda asing atau pembesaran kelenjar getah
bening
 Malformasi congenital (vaskulitis, sekuestrasi paru)
 Infeksi paru yang terinfeksi
 Kontusio paru
 Fistula bronco-esofagus

2.5 Etiologi
Abses paru dapat disebabkan oleh bakteri atau mikroorganisme dari kelompok
aerob maupun anaerob. Kelompok bakteri anaerob merupakan penyebab terbanyak
(89%) yang menyebabkan abses paru terutama pada pasien imunocompetent dan
biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi, serta 85-100% dari spesimen yang
didapat melalui aspirasi transtrakheal.1
Abses paru dapat disebabkan oleh kelompok bakteri anaerob, antara lain: 3,4
- Bacteriodes melaninogenus
- Bacteriodes fragilis
- Peptostreptococcus spesies
- Bacillus intermedius
- Prevotella melaninogenica
- Fusobacterium nucleatum
- Microaerophilic streptococcus
- Clostridium perfringens
- Clostridium barati

4
Kelompok bakteri aerob juga dapat menyebabkan abses paru terutama pada orang
dengan immunocompromised yang terjadi secara sekunder dan nosokomial oleh
sebab selain aspirasi. Contoh kelompok bakteri aerob, yaitu:1,3
Gram positif: sekunder oleh sebab selain aspirasi
- Staphylococcus aureus
- Streptococcus microaerophilic
- Streptococcus pyogenes
- Streptococcus pneumonia
- Streptococcus viridans
- Streptococcus milleri
Gram negatif: biasanya merupakan sebab nosokomial.
- Klebsiella pneumonia
- Pseudomonas aeruginosa
- Escherichia coli
- Haemophilus influenza
- Actinomyces species
- Nocardia species
Pada beberapa pasien, organisme aerobik dengan virulensi kuat seperti
Fusobacterium nucleatum atau Peptostreptococcus species bisa ditemukan
sebagai satu-satunya organisme kelompok non bakteri dan bakteri atipik,
biasanya dijumpai pada orang dengan immunocompromised.
 Jamur: histoplasma, coccidioides, blostomyces, mucoraceae, aspergilus
spesies, cryptococcus, zygomycetes, pneumocystitis.
 Parasit: paragonimus westermani, entamuba histolitytica, echinococcus.
 Mikobakterium tuberculosis dan non tuberculosis.

2.6 Patofisiologi
Terdapat beberapa keadaan yang dapat menimbulkan terjadinya abses paru, yaitu:3
1. Ada sumber infeksi saluran pernapasan

5
Infeksi mulut, tumor laring yang terinfeksi, bronchitis, bronkiektasis,
pneumonia, dan kanker paru yang terinfeksi.
2. Proteksi saluran pernapasan yang terganggu
Pada paralisis laring, aspirasi cairan lambung karena kondisi tidak sadar,
kanker esophagus, gangguan ekspektorasi, dan gangguan gerakan silia.
3. Obstruksi mekanik saluran pernapasan karena aspirasi bekuan darah, pus,
bagian gigi yang menyumbat, makanan dan tumor bronkus. Lokalisasi abses
tergantung pada posisi tegak, bahan aspirasi akan mengalir menuju lobus
medius atau segmen posterior lobus inferior paru kanan, tetapi dalam keadaan
berbaring secret akan menuju ke segmen apical lobus superior atu segmen
superior lobus inferior paru kanan, hanya kadang-kadang aspirasi dapat
mengalir ke paru kiri.

Bermacam-macam faktor yang berinteraksi dalam terjadinya abses paru,


seperti daya tahan tubuh dan tipe dari mikroorganisme patogen penyebab. Terjadinya
abses paru biasanya melalui dua cara, yaitu aspirasi dan penyebaran secara
hematogen. Yang paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru bronkogenik
yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor dan striktur bronkial.
Dimulainya gangguan akibat aspirasi paru (lung insult) bisa disebabkan oleh injuri
langsung bahan kimia dari asam lambung yang teraspirasi atau pada daerah obstruksi
yang disebabkan oleh unsur lain seperti makanan yang akan disusul dengan infeksi
sekunder oleh bakteri dan terbawanya organisme virulen yang akan menyebabkan
terjadinya infeksi pada daerah distal obstruksi tersebut. Bila bakteri yang masuk
banyak/virulen atau mekanisme pertahanan seperti mukosilier dan makrofag alveolar,
tetapi infeksi dapat terjadi tanpa didahului oleh lung insult.1,5
Abses akibat aspirasi ini banyak terjadi pada pasien bronchitis kronis karena
banyaknya mukus pada saluran napas bawahnya yang merupakan media kultur yang
sangat baik bagi organisme yang teraspirasi. Nekrosis jaringan dengan pembentukan
abses paru membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah terjadi aspirasi. Abses akibat
aspirasi paling sering terjadi pada segmen posterior lobus atas kanan disusul dengan

6
lobus atas kiri dan segmen apikal/superior lobus bawah kanan atau kiri. Abses paru
sering terjadi pada paru kanan, karena bronkus utama kanan lebih lurus dibanding
kiri, walaupun posisi tubuh saat aspirasi juga menentukan letak abses.2
Pada perokok usia lanjut keganasan bronkogenik bisa merupakan dasar untuk
terjadinya dasar abses paru. Pada pasien berumur lebih dari 50 tahun, 50% abses paru
ada hubungannya dengan keganasan paru akibat terjadinya obstruksi saluran napas
penyebaran secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau
sebagai fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain
tubuhnya seperti tricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya
akan berbentuk abses multiple dan biasanya disebabkan oleh kelompok Stafilokokus.
Penanganan abses yang multipel dan kecil-kecil lebih sulit daripada abses tunggal
walaupun ukurannya besar. Secara umum diameter abses paru bervariasi dari
beberapa millimeter sampai dengan lima sentimeter atau lebih.2,5
Selain itu abses paru biasanya timbul setelah terjadi peradangan yang
mengakibatkan nekrosis jaringan dan kavitasi, terjadi akibat necrotizing pneumonia
dan ganggren paru yang menyebebkan terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah
yang mengalami konsolidasi, dengan organisme virulen sebagai penyebab, paling
sering ialah Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia, dan grup Pseudomonas.
Abses yang terjadi biasanya multipel dan berukuran kecil-kecil (<2 cm).6
Bula atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru. Kista
bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan media kultur
untuk tumbuhnya mikroorganisme. Bila kista tersebut mengalami infeksi oleh
mikroorganisme yang virulen maka akan terjadi abses paru. Abses hepar bakteri atau
amebik bisa mengalami rupture dan menembus diafragma yang akan menyebabkan
abses paru pada lobus bawah paru kanan dan rongga pleura.6
Abses paru biasanya satu/tunggal, tapi bisa multipel yang biasanya unilateral
pada satu paru yang terjadi pada pasien dengan keadaan umum yang jelek atau pasien
yang mengalami penyakit menahun seperti malnutrisi, sirosis hati, gangguan
imunologis yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun. Abses bisa mengalami
ruptur ke dalam bronkus, dengan isinya diekspektorasikan keluar dengan

7
meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara. Kadang-kadang abses ruptur ke
rongga pleura (bisa mencapai 1/3 kasus) sehingga terjadi empiema yang bisa diikuti
dengan terjadinya fistula bronkopleura.1,5

2.7 Manifestasi Klinis


Onset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak/akut. Disebut abses akut
bila terjadinya kurang dari 4-6 minggu. Gejala awal abses paru menyerupai gejala
pneumonia dan sulit dibedakan. Umumnya pasien mempunyai riwayat perjalanan
penyakit 1-3 minggu dengan gejala awal, yaitu badan terasa lemah, tidak ada nafsu
makan, penurunan berat badan, batuk kering, keringat malam, demam intermitten
bisa disertai menggigil dengan suhu tubuh mencapai 39,4 oC atau lebih. Tidak ada
demam tidak menyingkirkan adanya abses paru. Setelah beberapa hari dahak bisa
menjadi purulen dan bisa mengandung darah.7,8
Kadang-kadang kita belum curiga adanya abses paru sampai dengan abses
tersebut menembus bronkus dan mengeluarkan banyak sputum purulen dalam
beberapa jam sampai dengan beberapa hari yang bisa mengandung jaringan paru
yang mengalami gangren. Sputum yang berbau amis berwarna anchovy menunjukkan
penyebabnya bakteri anaerob dan disebut dengan putrid abscesses, tetapi tidak
didapatkannya sputum dengan ciri di atas tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi
anaerob. Bila terdapat nyeri dada menunjukkan keterlibatan pleura. Batuk bisa
dijumpai, biasanya ringan tetapi ada yang masif. 5,7
Pada beberapa kasus penyakit berjalan sangat akut dengan mengeluarkan
sputum yang berjumlah banyak dengan lokasi abses biasanya di segmen apikal lobus
atas. Seringkali ditemukan adanya faktor predisposisi seperti septik emboli paru
dengan infark, lalu abses timbul hanya dalam waktu 2-3 hari. Pasien abses paru
akibat komplikasi dari infeksi subdiafragma (abses hati amuba, pancreatic
phlegmon), bisa disertai dengan gejala abdomen selain gejala di paru. Kejang-kejang
yang disebabkan oleh abses otak kadang-kadang bisa dijumpai akibat bacteremia dari
abses paru. Pada pasien dengan abses kronis, clubbing finger dapat ditemukan.8,9

2.8 Diagnosis

8
Diagnosis abses paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan diagnosis banding yang lain.
a. Anamnesis 7,8
1. Demam
Demam intermiten bisa disertai menggigil dengan suhu tubuh mencapai 39,4 oC
atau lebih, namun tidak ada demam tidak menyingkirkan adanya abses paru.
2. Batuk
Pada awalnya batuk non produktif, tetapi ketika rongga abses berhubungan dengan
bronkus akan muncul batu produktif dengan bau busuk yang khas. Batuk pada
pasien abses paru umumnya batuk berdahak, yang setelah beberapa hari dapat
berubah menjadi purulen dan bisa mengandung darah. Sputum yang berbau amis
dan berwarna anchovy menunjukkan penyebabnya adalah bakteri anaerob. Batuk
darah bisa dijumpai ringan hingga masif.
3. Malaise
Malaise merupakan gejala awal disertai tidak nafsu makan yang lama kelamaan
menyebabkan penurunan berat badan.
4. Nyeri pleuritik
Nyeri pleuritik yaitu nyeri dada yang menunjukkan adanya keterlibatan pleura.
5. Sesak
Sesak disebabkan oleh adanya pus yang menumpuk menutupi jalan napas.
6. Anemia
Anemia yang terjadi dapat berupa anemia defisiensi yang disebabkan oleh
kurangnya asupan akibat penurunan nafsu makan, namun lebih sering disebabkan
oleh perdarahan pada saluran napas khususnya pada hemoptisis masif.

b. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik yang ditemukan adalah suhu badan meningkat/demam
sampai dengan 40oC. Pada paru ditemukan kelainan seperti nyeri tekan lokal pada
dada, pada lesi yang disertai konsolidasi bisa dijumpai penurunan suara napas, pada
daerah terbatas perkusi terdengar redup, suara napas bronkial dan ronki. Bila abses

9
luas dan letaknya dekat dengan dinding dada kadang-kadang terdengar suara amforik.
Suara napas bronkial atau amforik terjadi bila kavitasnya besar dan karena bronkus
masih tetap dalam keadaan terbuka disertai oleh adanya konsolidasi sekitar abses dan
drainase abses yang baik. Biasanya juga akan terdengar suara ronkhi.8
Bila abses paru letaknya dekat dengan pleura dan pecah akan terjadi piotoraks
(empiema torakis) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding
dada tertinggal pada tempat lesi, fremitus vocal menghilang, perkusi redup/pekak,
bunyi napas menghilang dan terdapat tanda-tanda pendorongan mediastinum
terutama pendorongan jantung ke arah kontralateral tempat lesi. Pada abses paru bisa
dijumpai jari tabuh, yang proses terjadinya berlangsung cepat.8,9

c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hitung leukosit tinggi (leukositosis) berkisar >12.000-30.000/mm3 dengan
hitung jenis bergeser ke kiri dan sel polimorfonuklear yang banyak terutama
neutrophil yang imatur. Bila abses berlangsung lama sering ditemukan adanya
anemia dan peningkatan laju endap darah (> 58 mm/1 jam). Pemeriksaan dahak dapat
membantu dalam menemukan mikroorganisme penyebab abses namun dahak tersebut
hendaknya diperoleh dari aspirasi transtrakeal, transtorakal, torakosintesis atau
bilasan bronkus untuk menghindari kontaminasi dari organisme anaerob normal pada
rongga mulut dan saluran napas atas. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dari dahak
adalah pewarnaan langsung dengan teknik gram, biakan/kultur mikroorganisme
aerob, anaerob, jamur, Nokardia, basil mikobakterium tuberculosis dan
mikobakterium lain.1,5
Penting diperhatikan material yang dikirim untuk biakan hendaknya
didapatkan sebelum pemberian antibiotika dan hendaknya ditempatkan dalam kondisi
anaerob sebelum dikirim ke laboratorium. Komponen infeksi oleh kuman anaerob
tetap dipertimbangkan dalam penatalaksanaan walaupun kita hanya menemukan
kuman aerob. Dahak bisa mengandung Spirochaeta, Fusiform bacilli atau sejumlah
besar bakteri baik yang patogen maupun flora manusia seperti Streptococcus

10
viridian. Clostridium dapat ditemukan dari aspirasi transtrakeal. Kultur darah dapat
membantu menemukan etiologi walaupun jarang positif, sedangkan pemeriksaan
serologi juga dapat dilakukan untuk jamur dan parasit.1
2. Pemeriksaan Radiologi
 Foto Polos Thorax (X-Ray)
Foto dada PA (postero-anterior) dan lateral sangat membantu untuk melihat
lokasi lesi dan bentuk abses paru. Abses paru ditandai dengan peradangan di jaringan
paru yang menimbulkan nekrosis dengan pengumpulan pus/nanah. Pada hari-hari
pertama penyakit, foto dada hanya menunjukkan gambaran opak dari satu atau lebih
segmen paru atau hanya berupa gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat.
Kemudian akan ditemukan gambaran radiolusen dalam banyangan infiltrat yang
padat.7,8
Abses yang terbentuk dari bahan nekrotik akan tampak sebagai jaringan lunak
sampai terhubung dengan bronkus. Seiring dengan membesarnya focus supurasi,
abses akhirnya ruptur/pecah menuju saluran napas/bronkus. Eksudat atau debris
nekrotik yang terkandung di dalamnya, sebagian dapat dialirkan keluar dan
menghasilkan batas udara-air. Oleh karena itu, jika abses mengalami ruptur, maka
dapat terjadi drainase abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, sehingga akan
tampak kavitas irregular dengan dinding tebal dikelilingi oleh infiltrat/konsolidasi
dan sering ditemukan gambaran batas cairan dan permukaan udara (air fluid level) di
dalamnya. Gambaran spesifik ini tampak dengan mudah bila kita melakukan foto
dada PA dengan posisi berdiri. Ketebalan dinding abses paru bervariasi, batasnya bisa
jelas atau samar-samar, dan dindingnya bisa licin atau kasar. Jika tidak ada hubungan
dengan bronkus maka hanya dijumpai tanda-tanda konsolisasi (opasitas). Nekrosis
dapat mengakibatkan hilangnya corakan bronkovaskular normal yang disebabkan
oleh destruksi hamper seluruh dinding alveoli, septa interlobularis, dan
bronkovaskular pada daerah kavitas. Gambaran yang lebih jelas bisa terlihat pada CT
scan. 7,8
Lokasi terbanyak terdapat di segmen superior lobus bawah atau segmen
posterior lobus atas, sedangkan segmen basilar lobus bawah sering dijumpai pada

11
pasien yang mengalami aspirasi pada posisi berdiri. Khas pada abses paru anaerob
kavitasnya tunggal (soliter) yang biasanya ditemukan pada infeksi paru primer,
sedangkan abses paru sekunder (aerobik, nosocomial atau hematogen) lesinya bisa
multipel. Sepertiga kasus abses paru bisa disertai dengan empiema. Empiema yang
terlokalisir dan disertai dengan fistula bronkopleura akan sulit dibedakan dengan
gambaran abses paru. Untuk suatu gambaran abses paru simple, noduler, dan disertai
limfadenopati hilus maka harus dipikirkan sebabnya adalah suatu keganasan paru.8,9

Gambar 1. Posisi Posterior-Anterior (PA): Terdapat area berbatas tegas transparan di


lobus kiri atas (panah putih). Kavitas diisi oleh cairan dan udara (air-fluid level)
(panah hitam).

Posisi Lateral: Kavitas terlihat di lobus kiri atas dengan udara dan cairan didalamnya
(panah putih).

12
Gambar 2: Foto X-ray dada menunjukkan abses paru kanan lobus atas dengan
gambaran kavitas yang berdinding tebal dan air fluid level.

13
Gambar 3. Abses paru dengan gambaran kavitas berdinding tebal (panah putih),
tepi/batas yang halus (panah merah), gambaran air fluid level (panah hitam), lokasi di
paru kanan.

Gambar 4. Abses paru pada lobus bawah paru kiri dengan gambaran kavitas
berdinding tebal dan tepi halus, serta gambaran air fluid level.

Gambar 5. Pneumonia pneumococcal dengan komplikasi nekrosis paru dan


pembentukan abses.

14
Gambar 6. Radiologi dada proyeksi lateral dengan gambaran air fluid level pada
abses paru.

Gambar 7. Pasien usia 54 tahun denan gejala batuk disertai dahak yang berbau busuk.
Radiologi dada menunjukkan abses paru pada lobus bawah kiri segmen superior.

15
Gambar 8. Radiologi dada pasien dengan keluhan dahak yang berbau busuk dan rasa
tidak enak menunjukkan gambaran abses paru anaerobik.

 CT Scan
CT scan adalah modalitas pencitraan yang paling sensitif dan spesifik dalam
menegakkan diagnosis abses paru. CT scan dengan kontras menjadi pilihan karena
kontras yang diberikan dapat bercampur dengan perselubungan di sekitar lesi,
sehingga batas/tepi abses bisa diidentifikasi. CT scan dapat membantu
memvisualisasikan anatomi lebih baik daripada foto X-ray. CT scan dapat
menunjukkan lesi yang tidak terlihat pada pemeriksaan foto polos dan dapat
membantu menentukan lokasi dinding dalam dan luar kavitas abses. Pemeriksaan ini
juga membantu membedakan abses paru dengan kelainan paru lain (empiema, kista
bronchial intrapulmobal, bula emfisematous) atau yang mempunyai lesi berupa
kavitas. CT scan juga bisa menunjukkan tempat lesi yang menyebabkan obstruksi
endobronkial, dan gambaran abses tampak seperti massa bulat dalam paru dengan
kavitasi sentral. Lokasi abses berada dalam parenkim paru dan membedakannya dari
infark paru atau empiema. Ukuran abses bervariasi dan umumnya berbentuk bulat.8,9
Pada CT scan, abses sering berupa lesi radiolusen bulat dengan dinding tebal dan
batas tidak teratur yang tidak jelas Gambaran CT scan pada abses paru yaitu kavitas

16
terlihat bulat dengan dinding tebal, tidak teratur, terletak di daerah jaringan yang
nekrosis, dan tampak gambaran air fluid level. Pembuluh darah dan bronkus dapat
ditelusuri hingga ke dinding abses dan tidak berpindah letak. Abses paru juga
membentuk sudut lancip dengan dinding dada. 7

Gambar 9. Gambaran CT scan contrast-enhanced axial menunjukkan lesi kavitas


yang besar di lobus bawah kiri dengan dinding yang relatif tebal (black arrow).
Kavitas memiliki batas dalam yang halus dan air-fluid level (white arrow).
Terdapat reaksi inflamasi pada sekitar paru-paru (yellow arrow). Terlihat adanya
sudut lancip dengan dinding posterior dada.

Gambar 10. Laki-laki usia 42 tahun dengan keluhan demam dan produksi dahak yang
bebau busuk. Riwayat alkoholik berat. Pada CT scan tampak abses paru pada lobus

17
atas paru kanan segmen posterior, gambaran kavitas dengan dinding tebal dan
konsolidasi di sekelilingnya.

Gambar 11. Abses paru tunggal pada CT scan axial dengan kontras didapatkan
gambaran kavitas besar pada lobus bawah paru kiri dengan dinding yang tebal (panah
hitam) dan tepi dalam halus, serta tampak air fluid level (panah putih). Tampak
adanya reaksi inflamasi di sekitar abses paru (panah kuning).

Gambar 12. Abses paru dengan gambaran kavitas berdinding tebal dan tepi/batas
bagian dalam halus (panah merah dan putih), serta air fluid level (panag hitam).

18
Gambar
13: CT
scan

memperlihatkan kavitas pada lobus media paru kiri dengan jelas.

Gambar 14. Gambaran abses paru dengan CT scan memperlihatkan kavitas pada
lobus atas paru kiri dengan jelas (foto kiri). Gambaran abses paru dengan
pemeriksaan CT kontras (kanan).

2.9 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari abses paru, antara lain:1,5
 Karsinoma bronkus (squamocellular atau microcellular)
 Tuberculosis
 Empiema pleura terlokalisir

19
 Bula emfisema yang terinfeksi
 Pneumoconiosis kavitas
 Hernia hiatus
 Hematoma paru
 Kista hidatidosa dari paru
 Infark kavitas paru
 Granulomatosis wegener
 Penyebab infeksi: tuberculosis, bula infeksi, emboli septik
 Penyebab bukan infeksi: kavitas oleh karena keganasan, Wagener’s
granulomatosis, nodul rheumatoid, vaskulitis, sarkoidosis, infark paru,
kongenital (bula, kista, bleb).

2.10 Tatalaksana
Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya dari
patogen penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase yang adekuat dari
empiema dan pencegahan komplikasi yang terjadi. Pasien abses paru memerlukan
istirahat yang cukup. Bila abses paru pada foto dada menunjukkan diameter 4 cm atau
lebih sebaiknya pasien dirawat inap. Posisi berbaring pasien hendaknya miring
dengan paru yang terkena abses berada di atas supaya gravitasi drainase lebih baik.
Bila segmen superior lobus bawah yang terkena, maka hendaknya bagian atas tubuh
pasien/kepala berada di bagian terbawah (posisi trendelenberg). Diet biasanya bubur
biasa dengan tinggi kalori tinggi protein. Bila abses telah mengalami resolusi dapat
diberikan nasi biasa.9,10
Penyembuhan sempurna abses paru tergantung dari pengobatan antibiotika
yang adekuat dan diberikan sedini mungkin segera setelah sampel dahak dan darah
diambil untuk kultur dan tes sensitivitas. Kebanyakan kasus abses paru yang
disebabkan bakteri anaerob kumannya tidak dapat ditentukan dengan pasti, sehingga
pengobatan diberikan secara empirik. Kebanyakan pasien terutama dengan abses

20
yang kecil dan kondisi umum baik mengalami perbaikan hanya dengan antibiotika
dan postural drainage sedangkan kira-kira 10% harus dilakukan tindakan operatif.1,5
Antibiotika yang paling baik adalah klindamisin karena mempunyai spectrum
yang lebih baik pada bakteri anaerob. Respon perbaikan didapatkan dengan
klindamisin yang diberikan mula-mula dengan dosis 3x600 mg oral/hari atau
diberikan amoksisilin asam klavulanat 2x875 mg. Regimen alternative adalah
penisilin G 2-10 juta unit/hari, ada yang memberikan sampai dengan 25 juta unit atau
lebih/hari dikombinasikan dengan streptomisin, kemudian dilanjutkan dengan
penisilin oral 4x500-750 mg/hari. Antibiotika parenteral diganti ke oral bila pasien
tidak panas lagi dan merasa sudah baikan yaitu dengan memberikan klindamisin 300-
600 mg 3x/hari atau flagyl 3x500 mg/hari. Kombinasi penisilin (amoksisilin 500 mg
3x/hari atau penisilin G, 1-2 juta unit 4-6x/hari, bisa sampai dengan 12-18 juta
unit/hari) dan metronidazole 2 gram/hari dengan dosis terbagi, 500 mg oral atau
intravena tiap 2-3x/hari (untuk penyebab bakteri anaerob) yang diberikan selama 10
hari dikatakan sama efektifnya dengan klindamisin, walaupun begitu harus diingat
bahwa beberapa bakteri anaerob (15-25%), seperti Prevotella,Bacteriodes spp. dan
Fusobacterium karena memproduksi penisilinase dan beta-laktamase, resisten
terhadap penisilin.2,9
Kombinasi β-laktam dan β-laktamase inhibitor, seperti tikarkilin klavulanat,
amoksisilin + asam klavulanat atau piperasilin + tazobaktam juga aktif terhadap
kebanyakan bakteri anaerob dan pada kebanyakan strain basil garam negatif.
Pengobatan alternatif dapat diberikan carbapenem atau quinolone yang aktif terhadap
kuman anaerob (moxifloxacine). Pengobatan kombinasi di atas biasanya digunakan
pada pasien dengan sakit yang serius dan pasien abses paru nosocomial. Dosis
pengobatan tunggal metronidazol (Flgvl) diberikan dengan dosis 15 mg/kgBB
intravena dalam waktu lebih dari 1 jam, kemudian diikuti 6 jam kemudian dengan
infus 7,5 mg/kgBB 3-4x/hari, tetapi pengobatan tunggal dengan metronidazol ini
tidak dianjurkan karena beberapa anaerobic cocci dan kebanyakan microaerophilic
streptococci sudah resisten sehingga didapatkan kegagalan pengobatan mencapai
50%. Pengobatan terhadap penyebab patogen aerobik kebanyakan dipakai

21
klindamisin + penisilin atau klindamisin + sefalosporin. Cefoksitin (Mefoxin) 3-4 x 2
gram/hari intravena yang merupakan generasi kedua sefalosporin, aktif terhadap
bakteri gram positif, gram negative resisten penisilinase dan bakteri anaerob,
diberikan bila abses paru tersebut diduga disebabkan oleh infeksi polimikroba.3,10
Kemudian antibiotika diberikan sesuai dengan hasil tes sensitivitas. Abses
paru yang disebabkan stafilokokus harus diobati dengan penicillinase-resistant
penicillin atau sefalosporin generasi pertama, sedangkan untuk Staphylococcus
aureus yang methicillin resistant seperti yang disebabkan oleh emboli paru septik
nosocomial, pilihannya adalah vankomisin. Abses paru yang disebabkan nocardia
pilihannya adalah sulfonamide 3x1 gram oral. Abses paru amebik diberikan
metronidazole 3x750 mg, sedangkan bila penyakitnya serius seperti terjadi rupture
dari abses harus ditambahkan emetin parenteral pada 5 hari pertama.5,11
Antibiotika diberikan sampai dengan pneumonitis telah mengalami resolusi
dan kavitasnya hilang, tinggal berupa lesi sisa yang kecil dan stabil dalam waktu
lebih dari 2-3 minggu. Resolusi sempurna biasanya membutuhkan waktu pengobatan
6-10 minggu dengan pemberian antibiotika oral sebagai pasien rawat jalan walaupun
pada beberapa studi menunjukkan klindamisin efektif dengan pengobatan 3 minggu.
Pemberian antibiotika yang kurang dari waktu ini sering menyebabkan kekambuhan
dengan melibatkan organisme yang resisten terhadap antibiotika yang diberikan
sebelumnya.3,4,5
Perbaikan klinis berupa berkurang atau hilangnya demam tercapai dalam 3-4
sampai dengan 7-10 hari. Bakteremia yang resisten atau panas tinggi yang menetap
lebih dari 72 jam atau tidak didapatkan perubahan produksi dan karekter dahak atau
perubahan gambaran radiologis setelah 7-10 hari, menunjukkan kegagalan
pengobatan. Pada kasus begini, bila diperiksa lebih lanjut akan ditemukan adanya
obstruksi bronkus oleh benda asing, neoplasma atau disebabkan infeksi bakteri yang
resisten, mikrobakteria, parasite atau jamur. Respon yang lambat atau tidak respon
sama sekali juga bisa dijumpai pada beberapa keadaan yaitu kavitas yang besar (lebih
dari 6 cm), keadaaan umum pasien yang jelek, seleksi anti mikroba yang salah,

22
diagnosa salah, ada empiema, abses yang memerlukan drainase, komplikasi pada
organ yang jauh seperti abses otak dan demam obat.1,2,5
Bronkoskopi juga mempunyai peranan penting dalam penanganan abses paru
seperti pada kasus yang dicurigai karsinoma bronkus atau lesi obstruksi, pengeluaran
benda asing dan untuk melebarkan striktur. Disamping itu dengan bronkoskopi dapat
dilakukan aspirasi dan pengosongan abses yang tidak mengalami drainase yang
adekuat, serta dapat diberikannya larutan antibiotika melewati bronkus langsung ke
lokasi abses.1,2
Drainase dengan tindakan operasi jarang diperlukan namun tindakan ini
merupakan prosedur yang aman pada pasien-pasien yang gagal dengan pengobatan
antibiotika jangka pendek apalagi bila kavitasnya besar, obstruksi saluran napas yang
menghambat drainase yang dijumpai bila ada tumor atau benda asing. Tindakan ini
merupakan tindakan kuratif dengan risiko dan komplikasi yang minimal serta bisa
mencegah berkurangnya fungsi parenkim paru dan kontaminasi pada rongga pleura.
Pada era preantibiotika 45% pasien memerlukan tindakan operasi, namun pada era
antibiotika sekarang tindakan operasi hanya diperlukan pada kurang dari 10-20%
kasus.11,10
Indikasi operasi adalah sebagai berikut:5,7
 Abses paru yang tidak mengalami perbaikan
 Komplikasi: empiema, hemoptisis masif, fistula bronkopleura.
 Pengobatan penyakit yang mendasari: karsinoma obstruksi primer/metastasis,
pengeluaran benda asing, bronkiektasis, gangguan motilitas gastroesopageal,
malformasi atau kelainan kongenital.
 Infark paru, nekrosis masif (ganggren paru) atau infeksi yang berkembang cepat
dan progresif.
Abses paru yang berkembang cepat antara lain yang terjadi pada pasien
immunocompromised dengan etiologi seperti mucoraceae membutuhkan reseksi paru
dengan segera disamping pemberian antibiotika. Reseksi paru juga diindikasikan
pada abses paru yang responnya minimal dengan antibiotika, abses paru dengan
ukuran yang besar (kavitas >8 cm), infark paru, neoplasma obstruksi dan perdarahan

23
masif. Lobektomi merupakan prosedur yang paling sering, sedangkan reseksi
segmental biasanya cukup untuk lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi diperlukan
terhadap abses multipel atau ganggren paru yang refrakter terhadap penanganan
dengan obat-obatan. Angka mortalitas setelah pneumoektomi mencapai 5-10%.
Pasien dengan risiko tinggi untuk operasi maka untuk sementara dapat dilakukan
drainase perkutan via kateter secara hati-hati untuk mencegah kebocoran isi abses ke
dalam rongga pleura.7

2.11 Komplikasi
Komplikasi lokal meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi lewat bronkus
atau penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru yang drainasenya
kurang baik, bisa mengalami ruptur ke segmen lain dengan kecenderungan
penyebaran infeksi Staphylococcus, sedang yang rupture ke rongga pleura menjadi
piotoraks (empiema) dan fibrosis pleura. Komplikasi sering lainnya berupa abses
otak, hemoptisis masif, rupture pleura viseralis, sehingga terjadi piopneumotoraks,
fistula bronkopleura, dan fistula pleurokutaneus.5
Abses paru yang resisten (kronik), yaitu yang resisten dengan pengobatan
selama 6 minggu akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen dan mungkin
akan menyisakan suatu bronkiektasis, kor pulmonal, dan amiloidosis. Abses paru
kronik bisa menyebabkan anemia, malnutrisi, kaheksia, gangguan cairan, dan
elektrolit serta gagal jantung terutama pada manula.5

2.12 Prognosis
Prognosis abses paru simpel terutama tergantung dari respon inflamasi dan
keadaan umum pasien, letak abses serta luasnya kerusakan paru yang terjadi, dan
respon pengobatan yang kita berikan. Angka mortalitas pasien abses paru pada era
preantibiotika mencapai 33%-40% namun separuh dari pasien yang bisa terus hidup
akan mengalami komplikasi paru termasuk infeksi berulang dan abses, empiema,
perlengketan pleura, bronkitis kronik dan bronkiektasis. Pada era antibiotika, angka
mortalitas abses paru anaerob paru kurang dari 10%, dan kira-kira 10-15%
memerlukan operasi. Di era antibiotika sekarang angka penyembuhan mencapai 90-

24
95%. Bila pengobatan diberikan dalam jangka waktu cukup lama, angka
kekambuhannya rendah.1,5
Faktor-faktor yang membuat prognosis menjadi buruk adalah kavitas yang
besar (lebih dari 5-6 cm), penyakit dasar atau penyakit penyerta yang berat, status
immunocompromised, umur yang sangat tua, empiema, nekrosis paru yang progresif,
lesi obstruktif pada saluran napas misalnya oleh karena karsinoma, abses yang
disebabkan bakteri aerob (termasuk Staphylococcus aureus dan basic gram negative),
dan abses paru yang belum mendapat pengobatan dalam jangka waktu yang lama.
Angka mortalitas pada pasien ini bisa mencapai 65-75% dan bila sembuh maka angka
kekambuhannya tinggi.1,9

2.13 Pencegahan
Perhatian khusus ditujukan kepada kebersihan mulut. Kebersihan mulut yang
jelek dan penyakit-penyakit periodontal bisa menyebabkan infeksi saluran napas
sampai dengan abses paru. Setiap infeksi paru akut harus segera diobati sebaik
mungkin terutama bila sebelumnya diduga ada faktor yang memudahkan terjadinya
aspirasi seperti pada pasien manula yang dirawat di rumah, batuk yang disertai
muntah, adanya benda asing, kesadaran yang menurun dan pasien yang memakai
ventilasi mekanik. Untuk pasien dengan kesanggupan yang berkurang dalam
melindungi saluran napas dari aspirasi masif (batuk, reflek muntah) dipertimbangkan
untuk pemakaian intubasi dini. Menghindari pemakaian anestesi umum pada
tonsilektomi, pencabutan abses gigi dan operasi sinus paranasal akan menurunkan
insiden abses paru.1,3

BAB III

25
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru
yang terlokalisir, sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam
parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Bakteri penyebab abses paru umumnya
lebih sering bakteri anaerob, tetapi dapat pula disebabkan oleh campuran bakteri
anaerob dan aerob. Untuk memastikan diagnosis abses paru diperlukan serangkaian
pemeriksaan dari anamnesis, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang,
terutama pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan antara
lain foto polos thorax dan CT scan. Pada pemeriksaan foto polos PA dan lateral dapat
ditemukan gambaran kavitas dengan dinding tebal dan tanda-tanda konsolidasi di
sekelilingnya, serta terdapat gambaran air fluid level di dalam kavitas jika terdapat
hubungan dengan bronkus. Namun bila tidak ada hubungan, maka hanya dijumpai
tanda-tanda konsolidasi (opasitas). Pada pemeriksaan CT scan didapatkan kavitas
terlihat bulat dengan dinding tebal, tidak teratur, disertai gambaran air fluid level.
Tampak pembuluh darah dan bronkus dapat ditelusuri hingga ke dinding abses dan
tidak berpindah letak. Abses paru juga membentuk sudut lancip dengan dinding dada.
Tatalaksana abses paru meliputi pemberian antibiotic, drainase, dan terapi
pembedahan. Terapi yang tepat dan adekuat dapat memberikan prognosis yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

26
1. Rasyid, A. Abses Paru. Dalam : Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III, Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen IPD FK-UI, Jakarta. 2009; 2323-
2328
2. Kamangar, et al. Lung Abscess. Emedicine. 2009. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/299425-overview.
3. Alsagaff, H., et al. Abses Paru dalam Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru: Airlangga
University Press, Surabaya. 2006; 136-140.
4. Mustafa, et al. Lung Abscess Diagnosis, Treatment, and Mortality. International
Jornal of Pharmaceutical Science Invention. 2015; 4(2): 37-41.
5. Kuhadja, et al. Lung Abscess-Etiology, Diagnostic, and Treatment Options.
Annals of Translational Medicine. 2015; 3(13): 1-9.
6. Robbins, S.L, Kumar, V, dan Cotran, R.S. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC. 2012.
7. Loukeri, A. A, et al. Diagnosis, Treatment, and Prognosis of Lung Abscess.
PNEUMON. 2015; 28(1): 54-59.
8. Datin A. Lung Abscess. 2013. Available at: https://radiopaedia.org/articles/lung-
abscess.
9. Parkar, A.P. dan Kandiah, P. Differential Diagnosis of Cavity Lung Lesions.
Journal of the Belgian Society of Radiology. 2016. 100(1); 1-8.
10. Walker, et al. Imaging Pulmonary Infection: Classic Sign and Pattern. American
Rontgent Ray Associety. 2014; 472-492.
11. Haight, et al. Surgical Treatment of Peripheral Lung Abscess.Yale Journal of
Biology and Medicine. 2011; 235-240.

27

Anda mungkin juga menyukai