Anda di halaman 1dari 12

REFARAT

PKMRS
(PENYULUHAN KESEHATAN MASYARAKAT RUMAH
SAKIT)

BRONKIOLITIS

Oleh:
Nama : Nurmar Atil Jannah M
NPM : 1011921046

Bagian Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


Rumah Sakit Umum Sofifi
Fakultas Kedokteran, Universitas Khairun
November 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
berkat-Nya, saya dapat menyelesaikan dan memenuhi Penulisan Refarat Penyuluhan Kesehatan
Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) tentang “bronkiolitis”, untuk memenuhi tugas di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, pada tingkat 1 Mahasiswa Program Profesi Dokter (MPPD).

Saya menyadari bahwa dalam penulisan Refarat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat


Rumah Sakit (PKMRS) masih banyak terdapat kekurangan.Oleh karena itu, saya mengharapkan
segala bentuk saran serta masukan bahkan kritikan yang membangun dari beragai
pihak.Akhirnya kami berharap semoga refarat ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan
dan pengetahuan tentang bronkiolitis pada anak.

Sofifi, 24 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………………….............2

Daftar Isi………………………………………………………………………………...………3

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang………………………………………………………………………...4
B. Tujuan penulisan……………………………………………………………………...4

Bab II Tinjauan Pustaka

A. Definisi……………………………………………………………………………...…5
B. Epidemiologi……………………………………………………………………….....5
C. Etiologi……………………………………………………………………………......5
D. Faktor risiko……………………………………………………………………...…..6
E. Patofisiologi………………………………………………………………………...…7
F. Manifestasi klinis…………………………………………………………………..…8
G. Diagnosis………………………………………………………………………………8
a. Anamnesis…………………………………………………………………..…8
b. Pemeriksaan fisik……………………………………………………………..9
c. Pemeriksaan penujang……………………………………………………….9
H. Tatalaksana…………………………………………………………………………..10
I. Prognosis……………………………………………………………………………..11
J. Pencegahan…………………………………………………………………………..11

Bab III Penutup………………………………………………………………………………12

Daftar Pustaka………………………………………………………………………………..13

Leafleat Bronkiolitis……………………………………………………………….................14
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Bronkiolitis adalah penyakit Iinfe-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada
bronkiolus.Umumnya, infeksi tersebut disebabkan oleh virus.Secara klinis ditandai dengan
episode pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala IRA.1Bronkiolitis
merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi.
Bronkiolitis paling sering terjadi pada usia 2–24 bulan, puncaknya pada usia 2–8
bulan.Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 75%
diantaranya terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. Bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih
banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan.2
Penderita bronkiolitis yang dirawat inap mempunyai risiko tinggi untuk mengalami
mengi berulang dan penurunan faal paru sampai usia 7 – 11 tahun. Jika penyebab bronkiolitis
adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) maka risiko untuk terjadinya serangan mengi
berulang dan penurunan faal paru sampai usia 7 – 11 tahun menjadi makin meningkat.3
Di AS kejadian bronkiolitis lebih sering terjadi pada anak laki-laki, pada anak yang
tidakdiberi ASI dan tinggal di lingkungan padat penduduk. Risiko lebih tinggi pada anak dari
ibu usia muda atau ibu yang merokok selama kehamilan.4

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan refarat ini antara lain untuk mengetahui definisi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis dari
bronkiolitis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Menurut pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia (IDAI) ,
Bronkiolitis adalah inflamasi bronkioli pada bayi < 2 tahun.5 Bronkiolitis adalah penyakit
infeksi respirasi akut bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada
bronkiolus.Umumnya bronkiolitis menyerang pada anak di bawah umur 2 tahun dengan
kejadian tersering kira-kira usia 6 bulan. 6 Bronkiolitis adalah inflamasi pada bronkiolus
terminal yang umumnya disebabkan oleh infeksi virus dengan karakteristik adanya mengi
(wheezing).7

B. Epidemiologi
Bronkiolitis paling sering terjadi pada usia 2–24 bulan, puncaknya pada usia 2–8
bulan. Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan
75% di antaranya terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. Bronkiolitis terjadi 1,25 kali
lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Rerata insidens perawatan
setahun pada anak berusia di bawah 1 tahun adalah 21,7 per 1000, dan semakin menurun
seiring dengan pertambahan usia, yaitu 6,8 per 1000 pada usia 1–2 tahun. Iwane yang
meneliti secara prospektif di AS selama tahun 2000–2001 menemukan bahwa pada anak
dengan pemeriksaan virus positif, angka perawatan di RS adalah 3,5 per 1000 akibat RSV,
1,2 per 1000 akibat virus Parainfluenza, dan 0,6 per 1000 akibat virus Influenza. Lima puluh
persen dari jumlah perawatan tersebut adalah bayi berusia di bawah enam bulan. Median
lama perawatan adalah 2–4 hari, kecuali pada bayi prematur dan kelainan bawaan
seperti penyakit jantung bawaan (PJB). Penyakit akan lebih berat pada bayi muda. Hal itu
ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi O2, juga pada bayi yang terpapar asap rokok
pascanatal.1

C. Etiologi
Penyebab tersering adalah RSV (lebih dari 50%) diikuti oleh virus parainfluenza dan
adenovirus. Infeksi oleh adenovirus biasanya dihubungkan dengan komplikasi yang terjadi
seperti bronkiolitis obliterans yang sulit ditangani. Kemungkinan kejadian bronkiolitis
padaanak dengan ibu perokok lebih tinggi dibandingkan pada anak dengan ibu yang tidak
merokok.6

D. Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risko terjadinya bronkiolitis pada anak sebagai berikut8:
1. Jenis kelamin laki-laki
Bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak
perempuan. Hal ini dihubungkan dengan kaliber saluran respiratorik yang relative lebih
sempit pada anak laki-laki dibanding perempuan
2. Bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu
Bayi yang minum air susu ibu (ASI) memiliki risiko lebih rendah mengalami
bronkiolitis akut dibandingkan bayi yang tidak minum ASI. Hal ini dihubungkan dengan
ASI mempunyai antibodi terhadap respiratory syncytial virus (RSV) termasuk
imunoglobulin (Ig)G, IgA, interferon- γ (IFN-γ), serta mempunyai aktivitas netralisasi
melawan RSV. Penelitian Bachrach mendapatkan bahwa ASI eksklusif selama 4 bulan
mengurangi risiko rawat inap akibat infeksi respiratorius akut bawah.
3. Bayi perokok pasif
Kemungkinan kejadian bronkiolitis pada anak dengan ibu perokok lebih tinggi
dibandingkan pada anak dengan ibu yang tidak merokok.Asap rokok yang terdiri dari
asap utama dan asap sampingan mengandung tar, nikotin, dan poliaromatik hidrokarbon.
Paparan asap rokok baik prenatal maupun pascanatal dapat mempengaruhi morfogenesis
paru maupun perkembangan sistem imunologis anak.11 Satu penelitian mendapatkan
bahwa perokok pasif meningkatkan risiko infeksi RSV dengan rasio odd (RO) 3,87.12
Strachan dan Cook melaporkan rasio odd (RO) terinfeksi RSV 1,72 bila ibu merokok.
Carroll dkk, pada penelitian kohort retrospektif mendapatkan RR 1,19 (IK95%1,08;1,31)
bila ibu perokok.Peneliti lainnya melaporkan prevalensi infeksi respiratorius atas akut
meningkat dari 81,6% menjadi 95,2% pada bayi jikahanya ayah yang merokok.

4. Vaksinasi BCG
Vaksin BCG merupakan salah satu vaksin hidup yang dilemahkan, diduga dapat
merangsang produksi IFN-γ.15 Linehan, dkk pada penelitian kohort retrospektif
melaporkan bahwa imunisasi BCG mengurangi kejadian mengi {RO 0,68 (IK95%
0,53;0,87)}.16 Adanya rangsangan pembentukan IFN-γ oleh BCG pada awal kehidupan
mengakibatkan keseimbangan Th1/Th2 mengarah ke Th1, walaupun pada usia
selanjutnya terjadi rangsangan pembentukan Th2 oleh RSV yang merupakan penyebab
terbanyak bronkiolitis akut.
5. Riwayat atopi
Atopi merupakan salah satu faktor yang diduga sebagai predisposisi bronkiolitis
akut.Hal ini didasari karena pasien bronkiolitis akut berat sering mengalami mengi
berulang atau berkembang menjadi asma. Carroll, dkk mendapatkan peningkatan risiko
bronkiolitis akut sebesar 1,52 (IK95% 1,26;1,87) bila ibu menderita asma.
6. Cuaca
Di negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim dingin
sampai awal musim semi, di negara tropis pada musim hujan. Faktor risiko lain
terjadinya bronkiolitis adalah status sosial ekonomi rendah, faktor mekanis (diameter
saluran napas), kepadatan rumah (jumlah anggota keluarga yang besar), berada pada
tempat penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang ramai, dan rendahnya antibodi
maternal terhadap RSV.9
E. Patofisiologi

Invasi mikroorganisme pada saluran pernapasan terutama bronkiolus akan


menyebabkan perubahan struktur pada bagian tersebut. Infeksi virus pada epitel bersilia
bronkhiolus menyebabkan respons inflamasi akut, yang diikuti dengan infiltrate limfosit
peribronkhial dan edema submukosa.Keadaan ini diikuti dengan timbulnya obstruksi
bronkhiolus akibat edema, sekresi mucus, timbunan debris seluler sel – sel mati yang
terkelupas. Pemulihan epitel paru tampak setelah 3 – 4 hari, tetapi silia akan diganti setelah
dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag. Karena tahanan aliran
udara berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit saja
penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi
yang memiliki penampang saluran respiratori kecil. Resisten pada bronkhiolus meningkat
selama fase inspirasi dan ekspirasi. Tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil
selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air trapping dan hiperinflamasi. Pada saat
obstruksi total dapat terjadi atelectasis dan udara yang terjebak diabsorbsi. Proses patologi
ini akan menganggu pertukaran gas normal diparu. Penurunan kerja ventilasi paru akan
menyebabkan ketidakseimbanagn ventilasi – perfusi yang berikutnya akan menyebabkan
terjadi hipoksemia dan kemudian terjadu hipoksia jaringan. Retensi karbondioksida
(hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali pada beberapa pasien.Semakin tiggi laju
respiratori, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan akan
meningkatkan selama end – expiratory lung volume meningkat dan compliance paru
menurun. Hiperkapnea biasanya baru terjadi pada respiratori mencapai 60 kali per menit.4

F. Manifestasi klinis
Umumnya anak pernah terpajan dengan anggota keluarga yang menderita infeksi
virus beberapa minggu sebelumnya.Gejala awal yang mungkin timbul adalah tanda-tanda
infeksi respiratorik atas akut berupa demam, batuk, pilek, dan bersin.Setelah gejala di atas
timbul biasanya diikuti oleh adanya kesulitan bernapas (sesak) yang umumnya pada saat
ekspirasi.Pada pemeriksaan fisis didapatkan frekuensi nafas yang meningkat (takipnu),
disertai adanya ekspirasi yang memanjang bahkan mengi.Pada kasus yang berat mengi dapat
terdengar tanpa stetoskop.Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologis
dijumpai gambaran hiperinflasi, dengan infiltrat yang biasanya tidak luas.Bahkan ada
kecenderungan ketidaksesuaian antara gambaran klinis dan gambaran radiologis. Berbeda
dengan pneumonia bakteri, gambaran klinis yang berat akan menunjukkan gambaran
kelainan radiologis yang berat pula, sementara pada bronkiolitis gambaran klinis berat tanpa
gambaran radiologis berat. Pada pemeriksaan laboratorium (darah tepi) umumnya tidak
memberikan gambaran yang bermakna, dapat disertai dengan limfopenia. Pemeriksaan
serologis RSV dapat dilakukan secara cepat, di negara maju pemeriksaan ini menjadi
pemeriksaan rutin apabila dicurigai adanya infeksi RSV.3
G. Diagnosis
a. Anamnesis
1. Sering terjadi pada anak berusia < 2 tahun
2. Demam atau riwayat dmeam namun jarang terjadi demam tinggi
3. Rhinorrhea, nasal discharge (pilek), sering timbul gejala lain seperti batuk,
takipnea, sesak napas dan kesulitan makan
4. Batuk disertai gejala nasal adalah gejala yang pertama kali muncul, batuk
kering dan mengi khas untuk bronkiolitis
5. Poor feeding, kesulitan makan yang berhubungan dengan sesak napas namun
gejala tersebut bukan hal yang mnedasari diagnose bronkioloitis
6. Bayi dengan bronkiolitis tampak “toksik”.Bayi tampak toksik seperti
mengantuk, letargi, gelisah, pucat, motling dan takikardi.
b. Pemeriksaan Fisik
1. Nadi cepat merupakan gejala utama lower respiratory tract infection (LRTI),
terutama pada bronkiolitis dan pneumonia
2. Retraksi dinding dada, bentuk dada tampak hiperinflasi.
3. Fine inspiratory crackles pada seluruh lapangan paru.
4. High pitched expiratory wheeze meupakan gejala yang sering ditemukan pada
bronkiolitis
5. Apnea dapat terjadi.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Saturasi oksigen
2. Pulse oximetry
dilakukan pada setiap anak yang datang ke rumah sakit dengan
bronkiolitis. Bayi dengan saturasi oksigen ≤92% membutuhkan perawatan di
ruang intensif.Bayi dengan saturasi oksigen >94% pada udara ruangan dapat
dipertimbangkan untuk dipulangkan.
3. Analisa gas darah
Umumnya tidak diindikasikan pada bronkiolitis.Pemeriksaan tersebut
berguna untuk menilai bayi dengan distres napas berat dan kemungkinan
mengalami gagal napas.
4. Foto thoraks
Foto toraks dipertimbangkan pada bayi dengan diagnosis meragukan atau
penyakit atipikal.Foto toraks sebaiknya tidak dilakukan pada bronkiolitis yang
tipikal.Foto toraks pada bronkiolitis yang ringan tidak memberikan informasi
yang dapat memengaruhi pengobatan.
5. Pemeriksaan virologi
Rapid diagnosisinfeksi virus pada saluran napas adalah cost effective
karena mengurangi lama perawatan, penggunaan antibiotik, dan pemeriksaan
mikrobiologi
6. Pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi secara rutin (darah dan urin) tidak diindikasikan
pada penderita bronkiolitis bakteriologi tipikal.Pemeriksaan bakteriologi dari
urin dipertimbangkan pada bayi berusia <60 hari.
7. Hematologi
Pemeriksaan darah lengkap tidak diindikasikan dalam menilai dan menata
laksana bayi dengan bronkiolitis tipikal
8. CRP
Penelitian yang ada merupakan penelitian retrospektif atau penelitian
dengan kualitas yang buruk dan tidak memberikan bukti yang cukup
berhubungan dengan bronkiolitis.

H. Tatalaksana
Bronkiolitis umunya tidak memerlukan pengobatan.Pasien bronkiolitis dengan klinis
ringan dapat rawat jalan, jika klinis berat harus rawat inap. Terapi suportif seperti pemberian
oksigen, nasal suction masih dapat digunakan. Fisioterapi dada dengan vibrilasi dan perkusi
tidak direkomendaskan untuk pegobatan penderita bronkiolitis yang tidak dirawat di ruang
intensif.5
Indikasi rawat di ruangan rawat intensif5 :
a. Gagal mempertahankan saturasi oksigen > 92% dengan terapi oksigen
b. Perburukan status pernapasan, ditandai dengan peningkatan distress napas dan/atau
kelelahan
c. Apnea berulang
I. Prognosis
Sering dilaporkan terjadinya peningkatan risiko terjadinya asma bronkial pada anak-
anak yang awalnya menderita bronkiolitis, meskipun tidak jelas apakah karena bronkiolitis
atau faktor risiko lain seperti kecenderungan genetik untuk asma dan faktor lingkungan
seperti asap rokok. Pada sebagian besar kasus, mengi biasanya disebabkan oleh
virus.Riwayat episode mengi berulang dan keluarga atau riwayat penyakit asma, riwayat
alergi, atau eksim membantu mendukung diagnosis asma.10 Beberapa bayi akan memiliki
episode berulang mengi selama masa kanak-kanak. Tatalaksana episode mengi yang dipicu
virus sama dengan asma bronkial.11Tidak dapat dibuktikan secara jelas bahwa bronkiolitis
terjadi pada anak dengan kecendrungan asma. Akan tetapi bila bayi yang terkena
bronkiolitis dihubungkan dengan asma, keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid
mungkin dapat mengurangi prevalens asma pada anak dari kelompok pengobatan.5

J. Pencegahan
Penurunan signifikan dari risiko rawat inap didapatkan pada penelitian oleh Øymar dkk.
untuk bronkiolitis terkait dengan ASI (eksklusif atau di samping susu formula). Selain itu
disebutkan pula jenis kelamin lelaki, riwayat prematuritas, penyakit yang telah ada
sebelumnya seperti displasia bronkopulmoner, penyakit paru kronis yang mendasarinya,
penyakit neuromuskular, penyakit jantung bawaan, paparan asap tembakau, dan riwayat ibu
asma sebagai faktor yang berhubungan dengan bronkiolitis.8selain itu menghindari pajanan
asap rokok juga membantu mencegah terjadi bronkiolitis, berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Chayani dkk. Tentang faktor – faktor yang berhubungan dengan bronkiolitis
di dapatkan hasil ada hubungan antara pajanan asap rokok dengan angka kejadian
bronkiolitis.9
A.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respirasi akut bawah yang ditandai dengan adanya
inflamasi pada bronkiolus.
2. Bronkiolitis biasanya menyerang pada anak < 2 tahun
3. Penyebab tersering adalah RSV (lebih dari 50%) diikuti oleh virus parainfluenza dan
adenovirus
4. Invasi mikroorganisme pada saluran pernapasan terutama bronkiolus akan menyebabkan
perubahan struktur, Infeksi virus pada epitel bersilia bronkhiolus menyebabkan respons
inflamasi akut, yang diikuti dengan infiltrate limfosit peribronkhial dan edema
submukosa.
5. Gejala awal pada bronkiolitis berupa demam, batuk, pilek, dan bersin. Biasanya diikuti
dengan sesak.
6. Bronkiolitis umunya tidak memerlukan pengobatan. Pasien bronkiolitis dengan klinis
ringan dapat rawat jalan, jika klinis berat harus rawat inap. Terapi suportif seperti
pemberian oksigen, nasal suction masih dapat digunakan.
7. Peningkatan risiko terjadinya asma bronkial pada anak-anak yang awalnya menderita
bronkiolitis
8. Pencegahan dapat dilakukan dengan tetap lanjutkan ASI ekslusif pada anak < 2 tahun dan
hindari pajanan asap rokok.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bronkiolitis.Universitas Airlangga. Diunduh :http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id


2. Yuliana. Subadana, Ida Bagus. Hubungan Antara Persalinan Seksio Sesarea Dan
Kejadian Bronkiolitis Pada Anak. Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak Universitas
Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar. Tahun 2014.
3. Kusuma, Hms. Chandra. Prediktor Asma Pada Usia 7 Tahun Setelah Menderita
Bronkiolitis Akut Karena Respiratory Syncytial Virus: Suatu Studi Prospektif.
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya / Rsu
Dr. Saiful Anwar Malang. Tahun 2006.
4. Junawanto, Irwan. Goutama, Ivon Lestari. Sylvani. Diagnosis Dan Penanganan Terkini
Bronkiolitis Pada Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta.
Tahun 2016.
5. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Tahun 2009.
6. Supriyatno, Bambang. Infeksi Respiratory Bawah Akut Pada Anak. Divisi Respirologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fkui – Rscm. Tahun 2006
7. Buku Panduan Belajar Koas Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Tahun 2017.
8. Øymar K, Skjerven H, Mikalsen I. Acute Bronchiolitis In Infants, A Review. Scand J
Trauma Resusc Emerg Med. 2014;22(1):23.
9. Cahyani,Ida Ayu Okti. Subanada, Ida Bagus. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Bronkiolitis. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Tahun 2020.
10. Wijaya, Surya. Pedoman Diagnosis Bronkiolitis Akut. Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. Tahun 2014.

Anda mungkin juga menyukai