Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

BRONKIOLITIS

Disusun oleh:

Gabriela Michelle Sujatono (01073180174)

Kezia Christy Gunawan (01073180036)

Pembimbing:

dr. Anita Halim, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT ANAK


RUMAH SAKIT SILOAM KARAWACI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………………………….1
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………......3
DAFTAR TABEL………………….…………………………………………4
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………….6

2.1 DEFINISI……………………………………………………..6
2.2 EPIDEMIOLOGI…………………………………………… 6
2.3 ETIOLOGI…………………………………………………....6
2.4 FAKTOR RISIKO………………………………………...….8
2.4.1 USIA……………………………………..…………...….8
2.4.2 PREMATURITAS………………...………………...…..8
2.4.3 BRONCHOPULMONARY DYSPLASIA……………..8
2.4.4 PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL…………...….8
2.4.5 SINDROM DOWN………………………………..……9
2.4.6 JENIS KELAMIN…………………………………...….9
2.4.7 RIWAYAT PEMBERIAN ASI…………..………....….9
2.4.8 PAPARAN ASAP ROKOK…………….………….….10
2.4.9 GANGGUAN SISTEM IMUNITAS……………….….10
2.5 PATOFISIOLOGI………..……………………………....…11
2.6 MANIFESTASI KLINIS………………………….……......11
2.7 KLASIFIKASI……….... …………………………….….….12
2.8 DIAGNOSIS………………..………………………………13
2.8.1 X-RAY TORAKS……..………………………...…....14
2.8.2 NASOFARING SWAB……..…………………......…14
2.8.3 PEMERIKSAAN DARAH PERIFER LENGKAP…..14
2.8.4 PEMERIKSAAN ELEKTROLIT……..…………...…14
2.8.5 ANALISA GAS DARAH……..…………………...…14
2.9 DIAGNOSIS BANDING .…………………………………..15
2.10 TATA LAKSANA……………………………………..…..16

1
2.10.1 TERAPI BERDASARKAN BUKTI…………….....16
2.10.1.1 OKSIGEN………………………...…….....16
2.10.1.2 HIDRASI………………..………...…….....16
2.10.2 TERAPI BUKTI MASIH DIRAGUKAN ……...…..16
2.10.2.1 NEBULISASI EPINEFRIN…………...…..17
2.10.2.2 NEBULISASI HIPERTONIK SALIN…....17
2.10.2.3 BRONKODILATOR………......…...……..18
2.10.2.4 KORTIKOSTEROID……….....…...……..18
2.11 PENCEGAHAN……………………..……………………..22
2.12 PROGNOSIS……………………………………………….23

BAB III KESIMPULAN…………………………………………………...23


DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………………….24

2
DAFTAR SINGKATAN

AAP : American Academy of Pediatrics


BPD : Bronchopulmonary Dysplasia
CHF : Congestive Heart Failure
IRA-A : Infeksi Respiratori Akut Bagian Atas
IRA-B : Infeksi Respiratori AKut Bagian Bawah
ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut
RSV : Respiratory Syncytial Virus
ROS : Reactive oxygen species
SIGN : Scottish Intercollegiate Guidelines Network
UGD : Unit Gawat Darurat
VSD : Ventricular septal defect

3
DAFTAR TABEL

TABEL 1. Skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)…12

TABEL 2. Australasian Bronchiolitis Guideline, 2016...……………....….13

TABEL 3. National clinical practice guidelines for bronchiolitis...…....….19

4
BAB 1
PENDAHULUAN

Bronkiolitis adalah infeksi respiratori akut bagian bawah (IRA-B) yang disebabkan
oleh virus, biasanya dialami lebih berat pada bayi dan ditandai dengan obstruksi saluran
napas dan mengi.1,2
Bronkiolitis biasanya terjadi pada anak berusia <2 tahun. Sekitar 95% kasus
terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun dan 75% diantaranya dibawah usia 1 tahun
dengan insiden puncak pada usia 2- 6 bulan.2 Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah
penyebab bronkiolitis yang paling sering, sekitar 95% dari kasus bronkiolitis secara
serologis terbukti disebabkan oleh invasi RSV.2 Di Indonesia tidak ada data
epidemiologi khusus untuk bronkiolitis. Bronkiolitis masih dimasukkan ke dalam
kelompok yang sama dengan infeksi saluran pernapasan akut. Berdasarkan riset
kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018 prevalens Infeksi Respiratori Akut (IRA) pada
balita sebanyak 4,4%.
Bronkiolitis merupakan penyakit yang self limiting, akan tetapi bronkiolitis
dapat menyebabkan gangguan pernapasan serta dapat berujung pada gagal napas
membutuhkan perawatan lebih lanjut di samping tata laksana suportif sehingga penting
bagi klinisi untuk mengetahui faktor risiko bronkiolitis berat.4 Selain itu gejala klinis
bronkiolitis hampir menyerupai asma dan pneumonia6 Klinisi perlu mengenali dan
membedakan bronkiolitis dengan diagnosis banding lainnya sehingga pemberian tata
laksana yang tidak tepat dapat dihindari. Referat ini bertujuan menambah pengetahuan
dan pemahaman tentang epidemiologi, etiologi, patogenesis, diagnosis, diagnosis
banding dan tata laksana bronkiolitis pada anak mengingat banyaknya variasi tata
laksana pada bronkiolitis dan masing-masing respon pada tata laksana yang diberikan
membuat bronkiolitis menjadi kasus yang menarik untuk dipelajari.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Bronkiolitis adalah infeksi respiratori akut bagian bawah (IRA-B) yang ditandai oleh
adanya obstruksi saluran udara yang disebabkan oleh peradangan akut, edema, dan
nekrosis sel epitel yang melapisi saluran udara kecil serta peningkatan produksi
lendir.1,3,11,13

2.2 Epidemiologi
Bronkiolitis adalah salah satu penyakit paling sering terjadi pada anak dibawah usia 2
tahun dengan angka kejadian tersering rerata usia 2-6 bulan.2 Sekitar 20% anak pernah
mengalami satu episode IRA-B dengan mengi pada tahun pertama kehidupannya.
Bronkiolitis akut bersifat musiman dan lebih sering pada laki-laki.1,5 Kemungkinan
kejadian bronkiolitis pada anak dengan ibu perokok lebih tinggi dibandingkan pada
anak dengan ibu yang tidak merokok.1
Di Amerika Serikat (AS) antara tahun 1997 dan 2000, bronkiolitis RSV
menyebabkan 77.700 rawat inap setiap tahun pada bayi yang berusia kurang dari satu
tahun.3 Bronkiolitis merupakan 17% dari semua kasus perawatan di rumah sakit pada
bayi. Angka kejadian bronkiolitis di negara-negara berkembang hampir sama dengan
di Amerika, dengan insidens terbanyak pada musim dingin atau musim hujan pada
negara tropis.3,4

2.3 Etiologi
Penyebab utama dari bronkiolitis pada anak adalah infeksi dari Respiratory Syncytial
Virus (RSV), sekitar 95% dari kasus bronkiolitis secara serologis terbukti disebabkan
oleh invasi RSV.2, 8,34 RSV merupakan virus RNA untai tunggal yang beramplop,
berasal dari keluarga paramyxoviridae dalam genus pneumovirus. Diketahui terdapat 2
subtipe RSV yang telah teridentifikasi berdasarkan variasi struktural protein G
(attachment protein) yaitu RSV-A dan RSV-B.2, 8
RSV-A menyebabkan gejala
pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele.3

Terdapat beberapa patogen lain yang menyebabkan bronkiolitis seperti


Adenovirus, virus influenza, virus parainfluenza, dan Rhinovirus. Hingga saat ini,
tidak ada bukti yang kuat bahwa bakteri dapat menyebabkan bronkiolitis.2,4,8, 34

6
2.4 Faktor risiko
2.4.1 Usia
Usia sangat mempengaruhi tingkat keparahan dari bronkiolitis, semakin muda
usia seorang bayi terinfeksi semakin tinggi risiko buruk pada gambaran klinis
penyakitnya.8 Bronkiolitis paling sering terjadi pada usia dibawah 2 tahun
dengan angka kejadian tersering kira-kira berusia 6 bulan.1,5,8 Tingkat rawat
inap bayi yang disebabkan bronkiolitis RSV terjadi antara 30 sampai 90 hari
pertama kehidupan, periode ini sesuai dengan konsentrasi imunoglobulin ibu
yang didapat dari transplasenta pada saat itu mulai menurun.8
2.4.2 Prematuritas
Pada bayi yang lahir prematur terutama pada usia dibawah <29 minggu
memiliki risiko lebih tinggi terkena bronkiolitis dikarenakan sebagian besar
IgG maternal yang didapatkan dari ibu ini baru dapat diberikan kepada janin
pada usia kandungan trimester ketiga.5,8 Jadi jika bayi sudah lahir terlebih
dahulu sebelum menerima imun dari ibu, bayi tersebut memiliki risiko lebih
tinggi terpapar infeksi.5,8 Selain itu pada bayi prematur yang terkena
bronkiolitis memiliki risiko gambaran klinis lebih berat dibandingkan pada
bayi aterm, ini berhubungan dengan perkembangan paru-paru yang belum
matang (insufisiensi surfaktan) yang mengakibatkan fungsi paru yang awalnya
belum cukup baik akan semakin memburuk karena terjadi infeksi.8 Pada bayi
prematur yang lahir dengan berat badan lahir rendah juga meningkatkan risiko
terkena RSV dengan klinis berat.8
2.4.3 Bronchopulmonary Dysplasia
Bronchopulmonary Dysplasia (BPD) merupakan bentuk dari penyakit paru-
paru kronis yang berkembang pada bayi prematur yang dirawat dengan oksigen
dan ventilasi tekanan positif. 36,38
Pada bayi prematur yang menggunakan terapi oksigen terutama dalam
waktu >14 hari, menyebabkan toksisitas oksigen sehingga meningkatkan
reactive oxygen species (ROS) yang disebabkan oleh overdistensi yang memicu
respon inflamasi, pada proses penyembuhan akan terjadi jaringan fibrotik pada
alveolus dan di saluran napasnya. Adanya jaringan fibrotik menyebabkan fungsi
paru tidak dapat berfungsi dengan optimal sehingga yang mengakibatkan fungsi
paru yang kerja awalnya sudah tidak optimal akan semakin memburuk karena

7
terjadi infeksi.36,38 Pasien yang menderita BPD memiliki 20x risiko lebih tinggi
terinfeksi RSV dengan derajat berat pada 1 tahun pertama kehidupannya.36,38
2.4.4 Penyakit Jantung Kongenital
Pada anak dengan penyakit jantung kongenital memiliki risiko mengalami
bronkiolitis derajat berat dan mortalitas lebih tinggi. Morbiditas infeksi RSV
pada anak dengan penyakit jantung kongenital, berkaitan dengan tingkat
keparahan penyakit jantung yang diderita.
Pada penyakit jantung bawaan yang dapat mengganggu sirkulasi paru
seperti pada kasus ventricular septal defect (VSD) serta tetralogy of fallot
dengan stenosis paru, 36,39 sirkulasi paru yang berlebihan menyebabkan edema
mukosa, penyempitan lumen dan kompresi kardiovaskular pada bronkus yang
menyebabkan hipoksia alveolus. Pada saat mengalami hipoksia maka ventilasi
paru dapat meningkat dibandingkan dengan perfusi menyebabkan mismatch
perfusi-ventilasi, lalu membuat hipoksia di alveolus bertambah parah. Hipoksia
yang bertambah parah menyebabkan hipoksemia sehingga mengakibatkan
saturasi alveolus menurun dan komplians dari paru meningkat. Seiring terjadi
hal tersebut, obstruksi pada saluran dapat terjadi disebabkan karena
meningkatnya resistensi saluran nafas oleh sebab itu infeksi RSV rentan
terjadi.39
Pada saat anak dengan keadaan penyakit jantung kongenital yang dari
awal sudah mengalami hipoksemia ketika terjadi infeksi, kerja paru semakin
terganggu dan hipoksemia akan semakin parah hingga terlihat gambaran klinis
sianosis pada anak.39
2.4.5 Sindrom Down
Anak dengan Sindrom Down lebih berisiko mengalami infeksi dengan
gambaran klinis yang lebih berat serta waktu pemulihan yang lebih lama.40,41
Hal ini berhubungan dengan abnormalitas struktur dan fungsi sistem respiratori
pengurangan diameter anteroposterior nasofaring membuat terhambatnya
drainase yang adekuat, perkembangan sinus dan mukosa nasal yang buruk dan
penurunan aktivitas silia yang menjaga agar mukosa nasal bersih.40 Sedangkan
abnormalitas anatomi saluran pernafasan bawah yang biasa terjadi pada
Sindrom Down yaitu stenosis subglotis, trakea bronkomalasia, dan stenosis
trakea.41

8
Defisiensi imun juga terdapat pada Sindrom Down, diantaranya terdapat
defek kemotaktik, defisiensi imunoglobulin G (IgG) dan abnormalitas sel
limfosit-B dan limfosit-T menyebabkan pasien mengalami risiko infeksi
pernapasan berulang.40,41
Terdapat penelitian pada tahun 2010 yang terdiri dari 109 pasien dengan
Sindrom Down didapatkan bahwa 61 pasien (55,96%) pernah menderita IRA-
B selama hidupnya, diantara 34 pasien (31,42%) berhubungan dengan defek
jantung kongenital, 19 pasien (31,15%) menderita bronkopneumonia, 6 pasien
(9,83%) menderita bronkitis, dan 2 pasien (3,30%) menderita pneumonia.40
2.4.6 Jenis Kelamin
Bronkiolitis derajat berat lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada
perempuan.4,5,35 Pada penelitian Perancis, dikatakan laki-laki 27% lebih
berisiko dirawat inap karena bronkiolitis daripada perempuan36, penyebabnya
hingga saat ini belum diketahui.4, 5, 35,36
2.4.7 Riwayat Pemberian ASI
Air susu ibu (ASI) adalah makanan yang terbaik untuk diberikan kepada bayi.
ASI selain dapat mencukupi nutrisi pada bayi, pada ASI mengandung antibodi
IgA, IgG FN-γ, serta mempunyai aktivitas netralisasi melawan berbagai virus
termasuk RSV.5,8 Pada penelitian Bachrach dikatakan bahwa pada bayi yang
telah menerima ASI eksklusif mengurangi risiko rawat inap yang diakibatkan
IRA-B.5
2.4.8 Paparan Asap Rokok
Asap rokok yang didalamnya mengandung tar, nikotin dan poliaromatik
hidrokarbon ini memiliki efek yang buruk terhadap paru-paru pada bayi.
Paparan asap rokok yang terkena pada saat prenatal maupun pascanatal, dapat
mempengaruhi perkembangan paru serta sistem imun pada anak, yang
meningkatkan risiko bronkiolitis.2,5 Strachan and Cook melaporkan odd ratio
(OR) pada orangtua perokok yang anaknya terinfeksi RSV sebesar 1.72.5 Pada
penelitian Subanada et al. melaporkan prevalens IRA-A meningkat dari 81,6%
menjadi 95,2% pada bayi jika hanya ayah yang merokok.5 Orenstein juga
berpendapat bahwa bayi yang ibunya merokok lebih mungkin berkembang
bronkiolitis daripada bayi ibu-ibu yang tidak merokok.2

9
2.4.9 Gangguan sistem imunitas
Pasien anak dengan gangguan pada sistem imunitas seperti HIV, pasca
transplantasi organ yang menggunakan steroid, kemoterapi, gangguan
imunodefisiensi primer saat terinfeksi RSV memiliki gambaran klinis yang
lebih buruk. Hal ini diakibatkan buruknya atau tidak adanya fungsi dalam satu
atau lebih komponen sistem imun.43
Terdapat studi di Inggris dari tahun 1986-1996, mengamati selama 10 tahun
berturut-turut yang menganalisa korelasi tingkat keparahan episode infeksi
RSV dengan status kekebalan tubuh.43Pada pasien bronkiolitis dengan
immunocompromised memiliki masa rawat inap terlama selama rerata 39 hari,
sedangkan pada pasien bronkiolitis dengan kelainan jantung kongenital dirawat
selama 11 hari.43

2.5 Patofisiologi
Infeksi didapat dengan inokulasi mukosa hidung atau konjungtiva dengan sekresi yang
terkontaminasi atau dengan inhalasi cairan dari pernapasan orang lain yang
mengandung virus dalam jarak 2 meter.8 Setelah masa inkubasi selama 4-6 hari, virus
bereplikasi dalam epitel hidung yang menyebabkan kongesti, rhinorrhea, rewel dan
penurunan nafsu makan dan demam.8 Pada infeksi RSV demam yang dialami biasanya
<39°C, terjadi pada sekitar 50% pasien. Virus ini menyebar dari saluran pernapasan
atas ke saluran pernapasan bawah yang menginfeksi sel epitel bersilia pada mukosa
bronkiolus. Di permukaan RSV terdapat 2 glikoprotein (F dan G) yang memiliki fungsi
untuk melekatkan virus ini ke sel target, terjadinya pelekatan ini memfasilitasi virus
untuk masuk ke dalam sel bronkiolus. Pada saat mulai terjadi replikasi virus ini, reaksi
imun tubuh mulai bekerja sel makrofag, CD4+ helper, limfosit T, CD8+ sitotoksik dan
granulosit teraktivasi.8 Terjadi respon inflamasi akut yang dapat ditandai dengan
obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus, timbunan debris selular lalu yang
diikuti dengan terjadinya infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa.3,4,8
Terjadi tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang
saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan menyebabkan terjadi
hambatan di aliran udara besar, terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran
respiratori kecil.3 Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan
ekspirasi, tetapi karena radius saluran respiratori yang lebih kecil selama ekspirasi,

10
maka akan menyebabkan air trapping dan hiperinflasi. Atelectasis dapat terjadi pada
saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi.4,8
Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru.
Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
(ventilation-perfusion mismatching), hal ini akan menyebabkan hiposekmia dan
kemudian dapat terjadi hipoksia pada jaringan.4,8
Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali pada
beberapa pasien saja. Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah tekanan
oksigen arteri.4 Kerja pernapasan akan meningkat selama end-expiratory lung volume
meningkat dan compliance paru menurun.8 Hiperkapnea biasanya baru terjadi apabila
respirasi mencapai 60x/menit.4 Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari
setelah terinfeksi, tetapi silia akan diganti setelah 2 minggu.4,8 Jaringan mati atau debris
akan dibersihkan oleh makrofag.4,8

2.6 Manifestasi Klinis


Gejala awal yang mungkin adalah tanda-tanda infeksi respiratori atas akut seperti batuk,
pilek ringan dan demam. Demam dapat terjadi pada sekitar 50% bayi dengan
bronkiolitis dengan suhu kurang dari 39°C.9 Selanjutnya dapat ditemukan mengi atau
wheezing, kesulitan bernapas (sesak) yang umumnya pada saat ekspirasi, sianosis,
merintih (grunting), muntah setelah batuk, rewel dan penurunan nafsu makan.1,2
Pada pemeriksaan fisis didapatkan frekuensi pernapasan yang meningkat
(takipnea), takikardia, peningkatan suhu di atas 38.5°C. Terdapat ekspirasi yang
memanjang bahkan mengi (wheezing), akibat dari respon inflamasi akut yang
menyebabkan obstruksi saluran respiratori bawah. Pada kasus yang berat mengi dapat
terdengar tanpa stetoskop.1,4 Pada beberapa pasien ada juga usaha-usaha pernapasan
yang dilakukan untuk mengatasi obstruksi, yang menimbulkan napas cuping hidung
dan retraksi subkostal, interkostal, suprasternal retraksi.2,4,7 Selain wheezing dapat juga
ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terlihat pada
bronkiolitis dengan gejala berat, hal ini dapat mengakibatkan apnea, terutama pada bayi
yang berusia <6 minggu.4

11
2.7 Klasifikasi
Dapat digunakan skala klinis seperti Respiratory Distress Assessment Instrument
(RDAI), yang mengartikan jika skor <3 adalah ringan, 4-14 sedang dan >15 berat.7
Berikut adalah tabelnya :
Tabel 1. Skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)7

SKOR Skor Maks

0 1 2 3 4

Wheezing :
-Ekspirasi (-) Akhir 1/2 ¾ Semua 4
-Inspirasi (-) Sebagian Semua (-) (-) 2
-Lokasi (-) ≤ 2 dari 4 ≥ 3 dari 4 lap. (-) (-) 2
lap. paru paru

Retraksi :
-Supraklavikular (-) Ringan Sedang Berat 3
-Interkostal (-) Ringan Sedang Berat 3
-Subkostal (-) Ringan Sedang Berat 3

TOTAL 17

Klasifikasi derajat keparahan bronkiolitis Australasian Bronchiolitis Guideline 2016:


Tabel 2. Klasifikasi Bronkiolitis, Australasian Bronchiolitis Guideline 2016 37

Mild Moderate Severe

Perilaku Normal Rewel Lesu, tampak


mengantuk

Laju Pernapasaan Normal -Takipnea Meningkat Meningkat /


ringan menurun

Otot bantu nafas Tidak ada - ringan Retraksi dinding Retraksi dinding
retraksi dinding dada dada sedang, tarikan dada, tarikan trakea,
trakea, nafas cuping nafas cuping hidung
hidung jelas terlihat

Saturasi Oksigen >92% 90-92% <90%; hipoksemia


yang tidak dapat
terkoreksi dengan
oksigen.
Sianosis

Episode Apnea Tidak ada Mungkin mengalami Meningkat /


apnea singkat Prolonged

Makan Normal ↓ nafsu makan Tidak mau makan

12
2.8 Diagnosis
Bronkiolitis merupakan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisis.10,11,15 Tidak ada kriteria diagnosis yang pasti dalam mendiagnosis bronkiolitis.
Pada anamnesis didapatkan gejala awal infeksi virus seperti demam, pilek, dan batuk
satu sampai tiga hari kemudian timbul batuk yang disertai sesak nafas, riwayat terpajan
dengan individual yang terinfeksi virus pernapasan sebelumnya juga dapat ditemukan
pada anamnesis.12,13 Pada pemeriksaan fisis dapat ditemui takipnea, mengi, ronki, dan
derajat gangguan pernapasan yang bervariasi. Tanda-tanda gangguan pernapasan
seperti mendengkur, pernapasan cuping hidung,penggunaan otot aksesoris, retraksi
subkostal atau interkostal serta pernapasan perut juga dapat ditemukan.10,12,13
Pemeriksaan saturasi oksigen harus dilakukan dalam penilaian klinis bronkiolitis bila
memungkinkan, karena dapat mendeteksi hipoksemia yang tidak diduga oleh
pemeriksaan klinis.10,11
Faktor risiko untuk bronkiolitis berat harus dikenali, termasuk usia muda yang
berhubungan dengan peningkatan risiko apnea, rawat inap yang berkepanjangan,
hipoksemia, masuk ke ICU dan kebutuhan ventilasi mekanik 10,11,12
Pemeriksaan penunjang termasuk x-ray toraks, laboratorium dan kultur bakteri
seringkali tidak membantu dan dapat menyebabkan pengujian lebih lanjut dan terapi
yang tidak efektif. Belum ada bukti yang kuat mendukung penggunaan tes diagnostik
11,12,13
dalam kasus-kasus khas bronkiolitis . Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
untuk mencari diagnosis lain atau menyingkirkan diagnosis banding.
2.8.1 X-ray Toraks
Rontgen toraks anak dengan bronkiolitis sering menunjukkan hiperinflasi tidak
spesifik dan tidak merata serta terdapat atelektasis10 yang dapat disalah artikan
sebagai konsolidasi. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan dan penggunaan
14,15,17,18
antibiotik yang tidak tepat. Radiografi toraks hanya boleh dilakukan
jika ada kecurigaan klinis adanya komplikasi seperti pneumotoraks atau
pneumonia .12,15
2.8.2 Tes Serologi Virus
Tes serologi untuk virus menggunakan metode Enzyme-Linked Immunosorbent
Assay (ELISA) atau Polymerase chain reaction (PCR) umumnya tidak
membantu dari sudut pandang diagnostik dan tidak mengubah manajemen
dalam banyak kasus sehingga tes serologi tidak direkomendasikan secara rutin

13
kecuali diperlukan untuk pengendalian infeksi seperti kohort pasien rawat inap.
12,16

2.8.3 Pemeriksaan darah perifer lengkap


Tes laboratorium rutin tidak spesifik karena jumlah dan hitung jenis leukosit
biasanya normal. Perubahan yang paling mencolok dalam jumlah leukosit yang
beredar adalah pengurangan jumlah limfosit. Pengurangan jumlah limfosit ini
disebabkan oleh redistribusi limfosit ke paru-paru. Pemeriksaan darah lengkap
dapat ditambahkan C-reaktif protein jika dicurigai adanya infeksi bakteri
sekunder.
2.8.4 Pemeriksaan Elektrolit
Pemeriksaan elektrolit dapat dilakukan untuk menyingkirkan gangguan
elektrolit pada pasien dengan dehidrasi.23
2.8.5 Analisa Gas darah
Analisa Gas Darah (AGD) dapat dilakukan pada anak dengan gangguan
pernafasan berat dan potensi gagal napas 23

2.9 Diagnosis banding


Diagnosis banding untuk bronkiolitis mencakup pertimbangan berbagai penyebab
infeksi dan non-infeksi. Diagnosis banding utama bronkiolitis pada anak adalah asma.25
Kedua penyakit ini sulit dibedakan pada episode pertama, namun adanya kejadian
mengi berulang, tidak adanya gejala prodromal infeksi virus, dan adanya riwayat
keluarga dengan asma dan atopi dapat membantu menegakkan diagnosis asma.23
Kemungkinannya adalah anak menderita bronkiolitis dan bukan asma jika
- Anak berusia kurang dari satu tahun saat serangan awal
- Ada identifikasi positif RSV
- Tidak ada riwayat keluarga dengan penyakit atopik
- Anak tidak memiliki gen asma
Kemungkinannya adalah jika anak menderita asma
- Anak tersebut berusia lebih dari satu tahun pada saat serangan awal
- Riwayat atopi keluarga yang kuat
- IgE meningkat
- Serangan awal tidak terkait dengan infeksi RSV 23
Selain asma, pneumonia karena bakteri pun kadang-kadang sulit dibedakan
apabila disertai dengan sumbatan respiratorik karena diameter saluran pernapasan yang

14
masih kecil.2 Menurut penelitian infeksi RSV dapat meningkatkan risiko pneumonia.
RSV meningkatkan virulensi pneumonia streptokokus dengan mengikat protein
pengikat penisilin 1a. Koinfeksi dengan RSV dan Streptococcus pneumoniae dikaitkan
dengan pneumonia berat dan sering fatal. Pertimbangkan diagnosis pneumonia apabila
demam tinggi (lebih dari 39 ° C), dan / atau terdapat focal crackles yang menetap. Anak
dengan bronkiolitis virus yang mengalami demam memiliki 2 hingga 8 kali lebih
mungkin didiagnosis dengan pneumonia bakteri sekunder dibandingkan dengan yang
afebris Diagnosis banding lainnya dapat berupa cystic fibrosis, malformasi kongenital,
congestive heart failure (CHF) atau aspirasi benda asing.14,27
Pada congestive heart failure dapat ditemukan murmur, edema, onset gejala lebih lama
serta terdapat failure to thrive. Pada sistik fibrosis dapat infeksi respiratori yang lama
dan berulang serta dapat ditemukan juga failure to thrive pada anak. Pada aspirasi benda
asing dapat ditemukan gejala dengan onset yang tiba - tiba, riwayat batuk atau tersedak
diikuti oleh mengi pada ekspirasi serta dapat ditemukan kehilangan suara. 14

2.10 Tata laksana


Bronkiolitis merupakan penyakit yang self limiting. Sebagian besar anak-anak yang
memiliki gejala ringan dapat diberikan perawatan suportif di rumah sedangkan anak-
anak yang membutuhkan rawat inap, perawatan suportif seperti pemberian makan dan
hidrasi secara parenteral atau menggunakan selang nasogastrik dan terapi oksigen
masih merupakan perawatan yang utama. 13,14,17,21
2.10.1Terapi yang dianjurkan berdasarkan bukti
2.10.1.1 Suplementasi oksigen
Suplementasi oksigen diindikasikan pada anak-anak yang tingkat saturasi
hemoglobinnya di bawah 92% sesuai dengan Scottish Intercollegiate
Guidelines Network (SIGN) dan 90% sesuai dengan pedoman American
Academy of Pediatric (AAP).15 Penggunaan oksimetri untuk memandu terapi
oksigen tambahan mungkin berkontribusi terhadap peningkatan lama rawat.15
Oksigen supplemental dapat di weaning jika anak membaik secara klinis dan
kadar saturasi hemoglobin secara konsisten di atas 94%.
2.10.1.2 Hidrasi / Nutrisi
Anak-anak dengan bronkiolitis biasanya datang dengan kesulitan makan dan
minum oleh karena itu penting untuk menilai status hidrasi. Gangguan
pernapasan karena peningkatan kerja pernapasan dapat menyebabkan

15
pemberian makan yang tidak memadai dan akhirnya menyebabkan hidrasi yang
buruk, selain itu takipnea dan demam meningkatkan kehilangan cairan sehingga
berpotensi memperburuk dehidrasi. Pemberian cairan intravena mungkin
diperlukan jika anak tidak dapat makan atau terlalu takipnea atau sakit untuk
dilakukan hidrasi melalui tabung nasogastrik. Pemberian cairan secara
intravena juga mengurangi risiko aspirasi dan tidak mengganggu
pernapasan.26,27
2.10.2 Terapi dengan bukti masih diragukan
2.10.2.1 Nebulisasi Epinefrin
Epinefrin adalah agonis α- dan β-adrenergik. α-adrenergik bekerja sebagai
vasokonstriktor dan mengurangi edema jalan nafas. β-adrenergik berperan
sebagai bronkodilator sehingga mempunyai peran dalam pengobatan
bronkiolitis akut. 25
Tinjauan sistematis dari 19 studi yang mengevaluasi penggunaan
epinefrin pada bronkiolitis tidak menunjukkan efek pada lama rawat inap dan
tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan rutinnya pada pasien
yang dirawat. Hal yang sama diungkapkan pada penelitian yang dilakukan Patel
et al di Kanada, anak - anak yang menerima nebulisasi epinefrin 2,25% solution,
albuterol (5 mg / mL solution), atau plasebo salin (0,9% natrium klorida)
memiliki lama rawat yang sama.26 Beberapa peneliti memberikan racemic
epinefrin untuk mengurangi kerja jantung, melaporkan kenaikan tekanan darah
sistolik pada 45 menit pasca nebulisasi tetapi tidak terdapat kenaikan pada 15,
30, dan 60 menit pasca nebulisasi.4 Bukti tidak mendukung efektivitas epinefrin
nebulasi pada anak dengan bronkiolitis di UGD. Pada anak dengan gejala berat,
dapat diberikan epinefrin dan melakukan pemantauan untuk melihat gejala
perbaikan. Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan maka pemberian dosis lebih
lanjut tidak dianjurkan 13,26
Menurut guideline AAP pemberian epinefrin pada anak dengan
diagnosis bronkiolitis tidak direkomendasikan. (Kualitas evidence: B; Kekuatan
Rekomendasi: Rekomendasi Kuat)15
2.10.2.2 Nebulisasi Hipertonik Salin
Mekanisme hipertonik salin dalam perbaikan klinis bronkiolitis antara lain
menginduksi aliran osmotik air ke lapisan lendir, sehingga terjadi rehidrasi
cairan permukaan saluran napas dan meningkatkan pembersihan mukosiliar,

16
serta mengurangi edema jalan nafas dengan menyerap air dari mukosa dan
submukosa.28
Nebulisasi saline 3% dapat secara signifikan mengurangi rawat inap
pada anak yang dirawat di rumah sakit dengan bronkiolitis akut dan
memperbaiki skor keparahan klinis pada populasi rawat jalan dan rawat inap.29
Menurut AAP nebulisasi hipertonik salin tidak direkomendasikan untuk
diberikan pada anak dengan diagnosis bronkiolitis di Unit Gawat Darurat
(UGD). (Kualitas: evidence B; Kekuatan Rekomendasi:Rekomendasi Sedang).
15,28,30

Beberapa literatur menunjukkan bahwa penggunaan hipertonik salin


harus diberikan dengan bronkodilator karena hipertonik salin dapat
menyebabkan bronkokonstriksi.30

2.10.2.3Bronkodilator
Penelitian saat ini hanya menunjukkan peningkatan kecil dalam skor klinis serta
belum terbukti meningkatkan saturasi O2 dan tidak mengurangi durasi rawat
inap.12,30 Anak-anak dengan bronkiolitis datang dengan mengi yang secara
klinis mirip dengan asma. Namun, patofisiologi bronkiolitis menyebabkan
16,31
saluran udara terhambat daripada menyempit. Selain itu, bayi memiliki
reseptor paru β-agonis yang tidak memadai dan otot polos bronkiolar yang
belum matang. 31
Ketika diagnosis bronkiolitis jelas, percobaan salbutamol saat ini tidak
direkomendasikan.10,15 (Kualitas evidence: B; Kekuatan Rekomendasi:
Rekomendasi Kuat).
2.10.2.4 Kortikosteroid
Kortikosteroid biasanya digunakan dalam pengobatan bronkiolitis sebagai agen
anti-inflamasi. Secara teori kortikosteroid seharusnya bermanfaat dalam
mengurangi respon inflamasi dari saluran pernapasan bawah akibat infeksi
virus. Namun pada kenyataannya, beberapa penelitian dan meta-analisis dengan
kortikosteroid telah gagal menunjukkan manfaat yang signifikan dalam hasil
klinis akut atau jangka panjang dari mengi yang disebabkan oleh virus baik
secara oral maupun inhalasi. 3,23
Schuh et al. menunjukkan bahwa pemberian deksametason oral dosis
tinggi (1 mg / kg) pada empat jam pertama terapi pada anak-anak dengan

17
bronkiolitis sedang hingga berat dapat menguntungkan secara klinis.
Berdasarkan guideline AAP pemberian kortikosteroid sistemik pada anak
dengan diagnosis bronkiolitis tidak direkomendasikan. (Kualitas evidence: A;
Kekuatan Rekomendasi: Rekomendasi Kuat).15
2.10.2.5 Antibiotik
Kasus bronkiolitis sebagian besar disebabkan oleh infeksi virus.1,11,13
Pemberian antibiotik tidak direkomendasikan kecuali ada kecurigaan ko-infeksi
bakteri seperti pneumonia bakteri sekunder. Uji coba kontrol secara acak tidak
menunjukkan manfaat penggunaan antibakteri pada bronkiolitis dan dapat
menyebabkan overuse dari antibiotik. (Kualitas evidence:B; Kekuatan
Rekomendasi:Rekomendasi kuat).3,15
2.10.2.6 Antiviral
Ribavirin adalah analog nukleotida guanosin sintetis yang menunjukkan
aktivitas in vitro yang baik terhadap RSV dengan cara menghentikan
pengeluaran mRNA sehingga mengganggu sintesis protein virus. Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Smith et al melaporkan penurunan yang signifikan
dalam penggunaan oksigen dan durasi penggunaan ventilasi mekanik serta
rawat inap, tetapi temuan ini dikritik karena bronkospasme yang terkait dengan
nebulisasi salin dapat secara artifisial membuat ribavirin tampak lebih
efektif.10,27
Pada salah satu uji coba terkontrol secara acak pemberian Ribavirin
secara inhalasi dengan konsentrasi 20 mg / ml dicampur dalam 0,9%salin
diberikan selama 18 jam selama 3 hari menunjukkan hasil yang signifikan
terhadap pengurangan batuk dan krepitasi serta penurunan laju nafas dan detak
jantung. 41

18
Tabel 3. National clinical practice guidelines for bronchiolitis dengan modifikasi9

NICU (UK) 2015 35 AAP (USA) 2014 15 CPS (Canada)


2014 13
β-agonist Tidak Tidak Tidak direkomendasikan
bronchodilators direkomendasikan direkomendasikan
Epinefrin Tidak Tidak Tidak
direkomendasikan direkomendasikan direkomendasikan,uji coba
dengan pemantauan dapat
dilakukan
Kortikosteroid Tidak Tidak Tidak direkomendasikan
direkomendasikan direkomendasikan
Nebulisasi Tidak Tidak Tidak direkomendasikan di
hipertonik salin direkomendasikan direkomendasikan di departemen gawat darurat
departemen darurat; atau rawat jalan, mungkin
rekomendasi lemah bermanfaat pada pasien
untuk pasien rawat rawat inap dengan durasi
inap di rumah sakit tinggal yang lama
dengan rata-rata
lama rawat inap> 72
jam
Suction Tidak dilakukan Data tidak cukup; Penyedotan hidung
secara penggunaan superfisial dengan interval
rutin;pertimbangkan pengisapan dalam yang sering; hindari
pengisapan jalan secara rutin mungkin pengisapan dalam dan
nafas atas pada tidak bermanfaat interval panjang antara
mereka yang pengisapan
mengalami kesulitan
pernapasan atau
kesulitan makan
karena bagian jalan
nafas atas; gunakan
jika terdapat apnea
Oksigen tambahan Gunakan jika Tidak dianjurkan Gunakan jika
saturasi oksigen jika saturasi saturasi
terus-menerus <92% oksihemoglobin> oksihemoglobin
90% tanpa asidosis
<90% untuk
mempertahankan
saturasi ≥90%

Hidrasi/nutrisi Cairan nasogastrik Cairan nasogastrik Cairan nasogastrik atau


atau orogastrik atau intravena intravena diberikan untuk
diberikan pada bayi diberikan untuk bayi bayi yang tidak dapat
yang tidak dapat yang tidak dapat mempertahankan hidrasi

19
mempertahankan mempertahankan
hidrasi oral; cairan hidrasi
intravena isotonik
pada mereka yang
tidak dapat
mentoleransi
nasogastrik atau
orogastrik, atau
terdapat risiko
kegagalan
pernapasan
mendatang
Terapi antiviral Tidak disebutkan Tidak disebutkan Tidak direkomendasikan
(contoh : Ribavirin)
Antibiotik Tidak Tidak Tidak direkomendasikan
direkomendasikan direkomendasikan kecuali terdapat bukti
kecuali kecurigaan infeksi bakteri sekunder
kuat atau infeksi yang jelas
bakteri yang pasti
secara bersamaan
Fisioterapi dada Tidak Tidak Tidak dianjurkan secara
direkomendasikan direkomendasikan rutin kecuali jika ada
komorbiditas yang relevan
(misalnya atrofi otot tulang
belakang)

2.11 Pencegahan
Lakukan desinfeksi tangan sebelum dan setelah kontak langsung dengan pasien, setelah
kontak dengan benda mati disekitar pasien, dan setelah melepas sarung tangan
menggunakan alkohol rub untuk dekontaminasi tangan ketika merawat anak-anak
dengan bronkiolitis. Jika alkohol rub tidak tersedia dapat mencuci tangan menggunakan
sabun dan air. (Kualitas evidence: B; Kekuatan Rekomendasi: Rekomendasi Kuat).15
Palivizumab adalah immunoglobulin G1 monoklonal yang dimanusiakan,
terdiri dari 95% asam amino manusia dan 5% asam amino murin. Diproduksi oleh
teknologi DNA rekombinan untuk melawan epitop F glikoprotein RSV. Palivizumab
mengikat glikoprotein ini dan mencegah invasi virus dari sel inang di jalan napas
sehingga mengurangi aktivitas virus dan transmisi dari sel ke sel, dan menghalangi fusi
sel yang terinfeksi.42 Rekomendasi saat ini oleh American Academy of Pediatrics
mendukung penggunaan palivizumab selama tahun pertama kehidupan untuk anak-
anak dengan usia gestasi kurang dari 29 minggu, penyakit jantung bawaan yang

20
simptomatik, penyakit paru-paru kronis prematur, gangguan neuromuskular yang
membuat sulit untuk membersihkan saluran napas, abnormalitas jalan napas, dan
defisiensi imun. Dosis maksimum palivizumab 15 mg/kgBB/dosis diberikan 1 dosis
setiap bulan, dapat diberikan 5 bulan berturut-turut selama musim RSV pada anak yang
memiliki kualifikasi diberi palivizumab pada tahun pertama kehidupan. Profilaksis
dapat dilanjutkan pada tahun kedua kehidupan untuk anak-anak yang memerlukan
intervensi lanjutan untuk penyakit paru kronis prematuritas atau anak dengan
immunocompromised. (Kualitas evidence : B, Kekuatan rekomendasi : rekomendasi
sedang)15

2.12 Prognosis
Secara umum, bronkiolitis adalah penyakit yang self limiting dengan prognosis jangka
panjang yang sangat baik apabila diberikan perawatan suportif seperti hidrasi, kontrol
demam, dan oksigenasi.11,13,23 Mayoritas anak-anak pulih tanpa efek samping.Anak-
anak dengan peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas adalah anak yang memiliki
penyakit jantung bawaan, penyakit paru-paru kronis, riwayat kelahiran prematur,
hipoksia, defisiensi imun, dan usia kurang dari 6 minggu.24,34

21
BAB 3
KESIMPULAN

Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratori akut bagian bawah (IRA-B)


yang ditandai adanya obstruksi saluran nafas dan mengi. Bronkiolitis disebabkan oleh
virus yang sering menyerang anak berusia <2 tahun dengan dan terjadi di tahun pertama
kehidupannya. Berbagai macam virus yang menyebabkan bronkiolitis dan 95% kasus
disebabkan oleh Respiratory syncytial virus (RSV).
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran pernapasan yang paling sering dialami
bayi <2 tahun, dengan angka kejadian tersering rerata usia 2-6 bulan dan lebih sering
terjadi pada laki-laki. Di Amerika Serikat bronkiolitis menyebabkan 77.700 rawat inap
setiap tahunya pada bayi berusia <1 tahun. Angka kejadian bronkiolitis di negara-
negara berkembang dengan di Amerika hampir sama.
Terdapat beberapa faktor risiko bronkiolitis yaitu usia, prematuritas, jenis
kelamin laki-laki, riwayat ASI, paparan asap rokok, penyakit kongenital, Sindrom
Down dan gangguan sistem imun. Bronkiolitis secara klinis ditandai dengan batuk,
pilek, demam yang disertai dengan pernapasan cepat, retraksi dinding dada dan mengi.
Bronkiolitis dapat di diagnosa dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan seperti pemeriksaan darah,
foto toraks dan swab nasofaring.
Diagnosa banding pada bronkiolitis mencakup pertimbangan berbagai infeksi
dan non-infeksi pada saluran pernapasan. Diagnosa banding utama pada bronkiolitis
adalah asma. Harus dibedakan apakah pasien mengalami bronkiolitis atau asma karena
untuk tata laksana kedua penyakit ini berbeda.
Bronkiolitis merupakan penyakit yang sembuh sendiri (self limited), sebagian
besar tata laksana pada bronkiolitis bersifat suportif, yaitu suplementasi oksigen dan
hidrasi atau nutrisi pasien, setelah terapi suportif tercukupi pemberian medikamentosa
dapat dipertimbangkan.
Secara umum prognosis jangka panjang pada bronkiolitis sangat baik apabila
pemberian terapi suportif tercukupi dengan baik. Mayoritas anak-anak pulih tanpa efek
samping, akan tetapi perlu dikenali faktor risiko pada bronkiolitis berat.

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Supriyatno B. Sari Pediatri : Infeksi Respiratorik Bawah Akut Pada Anak. 2006;8: 100-106.
2. Orenstein DM. Bronchiolitis. Dalam Behrman R, 
Kliegen R, Arvin A, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi kelimabelas. Saunders, Philadelphia. h.1211-2.
3. Paes BA, Mitchell I, Banerji A, Lanctôt KL, Langley JM. A decade of respiratory syncytial
virus epidemiology and prophylaxis: translating evidence into everyday clinical practice.
Can Respir J. 2011;18(2):e10-e19.
4. Rahajoe Nastiti N, Bambang Supriyatno, Darmawan Budi Setyanto.Buku Ajar Respirologi
Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2008. Hal : 333-347.
5. Subanada I. B., Setyano D. B., Supriyatno B., Boediman I. Faktor-faktor yang berhubungan
dengan bronkiolitis akut. 2009; 10(6).
6. Turner T, Wilkinson F, Harris C, Mazza D. Evidence based guideline for the management
of bronchiolitis. Aust Fam Physician 2008;37(6):6–13. Corneli, H. M. Bronchiolitis. Vol:28.
2012. Pediatric Emergency Care.
7. Meissner H. C.. Viral Bronchiolitis in Children. 7 January 2017; 374: .
https://www.nejm.org/doi/10.1056/NEJMra1413456. accessed 25 June 2020
8. Florin T, Plint A, Zorc J. Viral Bronchiolitis. The Lancet. 2017; 389: 211-24.
9. Smyth R, Openshaw P. Bronchiolitis. The Lancet. 2006;368(9532):312–22.
10. Justice NA, Le JK. Bronchiolitis. [Updated 2020 Apr 23]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK44195
11. Erickson EN, Bhakta RT, Mendez MD. Pediatric Bronchiolitis [Internet]. StatPearls
[Internet]. U.S. National Library of Medicine; 2020 [cited 2020Jun25]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519506/
12. Friedman, Jeremy N. Bronchiolitis: Recommendations for diagnosis, monitoring and
management of children one to 24 months of age.Paediatrics & child health 2014. 19,9 :
485-98.
13. Turner T, Wilkinson F, Harris C, Mazza D. Evidence based guideline for the management
of bronchiolitis. Aust Fam Physician 2008;37(6):6–13.
14. Ralston SL, Lieberthal AS, Meissner HC, Alverson BK, Baley JE, Gadomski AM, et al.
Clinical practice guideline: The diagnosis, management, and prevention of bronchiolitis.
American Academy of Pediatrics 2014; 134(5):1474-502.
15. Øymar K, Skjerven HO, Mikalsen IB. Acute bronchiolitis in infants, a review. Scand J
Trauma Resusc Emerg Med. 2014;22:23.Mahabee-Gittens EM, Bachman DT, Shapiro ED,
Dowd MD. Chest radiographs in the pediatric emergency department for children < or = 18
months of age with wheezing. Clin Pediatr (Phila) 1999;38:395–399.
16. Choi J, Lee GL. Common pediatric respiratory emergencies. Emerg Med Clin North Am.
2012;30:529–563. Purcell K, Fergie J. Lack of usefulness of an abnormal white blood cell
count for predicting a concurrent serious bacterial infection in infants and young children
hospitalized with respiratory syncytial virus lower respiratory tract infection. Pediatr Infect
Dis J. 2007;26(4):311–5.
17. Zorc JJ, Hall CB. Bronchiolitis: Recent evidence on diagnosis and management. Pediatrics.
2010;125(2):342–9
18. Luginbuhl LM, Newman TB, Pantell RH, Finch SA, Wasserman RC. Office-based
treatment and outcomes for febrile infants with clinically diagnosed bronchiolitis.
Pediatrics. 2008;122(5):947–54.
19. Levine DA, Platt SL, Dayan PS, et al. Risk of serious bacterial infection in young febrile
infants with respiratory syncytial virus infections. Pediatrics. 2004;113(6):1728–34.
20. Wainwright C. Acute viral bronchiolitis in children- a very common condition with few
therapeutic options. Paediatr Respir Rev. 2010;11:39–45.
21. Committee on Infectious Diseases and Bronchiolitis. Updated huidance for pavlizumab
prophylaxis among infants and young children at increased risk of hospitalization for
respiratory syncytial virus infection. American Academy of Pediatrics 2014;134:415-20

23
22. Godfrey S. Bronchiolitis and asthma in infancy and early childhood. Thorax. 1996;51 Suppl
2(Suppl 2):S60-S64.
23. Welliver RC. Bronchiolitis and infectious asthma. In: Feigin RD, et al. Feigin Textbook of
Pediatric Infectious Disease. 6th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2009. p. 277-85
24. Iqbal SM. Management of acute viral bronchiolitis in children: Evidence beyond guidelines.
Sudan J Paediatr. 2012;12(1):40-48.
25. Sakulchit T, Goldman RD. Nebulized epinephrine for young children with bronchiolitis.
Can Fam Physician. 2016;62(12):991-993.
26. Zhang L, Mendoza-Sassi RA, Klassen TP, Wainwright C.Nebulized Hypertonic Saline for
Acute Bronchiolitis: A Systematic Review. Pediatrics. 2015;136(4):687–701
27. Wang ZY, Li XD, Sun AL, Fu XQ. Efficacy of 3% hypertonic saline in bronchiolitis: A
meta-analysis. Exp Ther Med. 2019;18(2):1338-1344. doi:10.3892/etm.2019.7684
28. Gadomski AM, Scribani MB. Bronchodilators for bronchiolitis. Cochrane Database Syst
Rev. 2014;(6):CD001266.
29. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Diagnosis and Management of
Bronchiolitis. Diagnosis and management of bronchiolitis. Pediatrics. 2006;118(4):1774–
93.
30. Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Bronchiolitis in children (A national
clinical guideline.) 2006. www.sign.ac.uk
31. Lozano JM. Bronchiolitis. BMJ Clin Evid. 2007;2007:0308.
32. Bronchiolitis in children: diagnosis and management NICE guideline. 2015.
https://www.nice.org.uk/Guidance/NG9
33. Piedimonte G, Perez M. K.. Respiratory Syncytial Virus Infection and Bronchiolitis.
December 2014; 35 http://pedsinreview.aappublications.org/ (accessed 1 July 2020)
34. Øymar K, Skjerven H. O., Mikalsen I. B. . Acute bronchiolitis in infants, a review. 2014;
(): . http://www.sjtrem.com/content/22/1/23 (accessed 1 July 2020)
35. Fauroux B., Hascoët J.M., Jarreau P.H., Magny J. F., Rozé J. C., Saliba E., Schwarzinger
M . Risk factors for bronchiolitis hospitalization in infants: A French nationwide
retrospective cohort study over four consecutive seasons (2009-2013). 6 March 2020; (): .
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0229766 (accessed 3 July 2020).
36. New Zealand Child and Youth Epidemiology Service. Hospital admissions and mortality
with a social gradient in children. The Children’s Social Health Monitor New Zealand.
Available from: www. nzchildren.co.nz/hospital_admissions.php (Accessed 4 July 2020)
37. Balany J., Bhandari V. Understanding the impact of infection, in ammation, and Their
Persistence in the Pathogenesis of Bronchopulmonary Dysplasia. 21 December 2015; 2.
https://www.sciencedirect.com/science/article/ (accessed 4 July 2020).
38. Jung J. W. Respiratory syncytial virus infection in children with congenital heart disease:
global data and interim results of Korean RSV-CHD surveyUnderstanding the impact of
infection, in ammation, and Their Persistence in the Pathogenesis of Bronchopulmonary
Dysplasia. 4 May 2011. https://creativecommons.org/licenses/by-/ (accessed 4 July 2020).
39. Perez JAH and Guerra JSH. 2010. Case report: Community-acquired pneumonia in adults
with Down Syndrome. Three clinical cases and review of literature 14 :25-30. (accesed 4
July 2020)
40. Beek D. V., Paes B., Bont L. Increased Risk of RSV Infection in Children with Down’s
Syndrome: Clinical Implementation of Prophylaxis in the European Union. 13 June 2013;
https://www.hindawi.com (accessed 4 July 2020).
41. Barry W, Cockburn F, Cornall R, Price JF, Sutherland G, Vardag A. Ribavirin aerosol for
acute bronchiolitis. Arch Dis Child. 1986;61(6):593-597.
42. Rogovik AL, Carleton B, Solimano A, Goldman RD. Palivizumab for the prevention of
respiratory syncytial virus infection. Can Fam Physician. 2010;56(8):769-772.
43. Lanari, M., Vandini, S., Capretti, M. G., Lazzarotto, T., & Faldella, G. (2014). Respiratory
Syncytial Virus Infections in Infants Affected by Primary Immunodeficiency. Journal of
Immunology Research, 2014, 1–6.

24

Anda mungkin juga menyukai