Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS

HOSPITAL EXPOSURE
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

Disusun Oleh:
Kezia Christy Gunawan
00000012200

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
2018
BAB I
LAPORAN KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. Y
Jenis Kelamin : Laki - laki
Umur : 31 tahun
Tanggal Lahir : 13 januari 1987
Alamat : Sukasari Tangerang
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Swasta
Tanggal masuk : 16 Oktober 2018
Rekam Medis : 0000042319
DPJP : dr. Agus Maghribi, Sp.PD.

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 17 Oktober 2018
1.2.1 Keluhan Utama
Demam sejak 3 hari yang lalu
1.2.2 Keluhan Tambahan
Pusing di daerah kepala bagian depan disertai mual dan muntah sejak 3 hari yang lalu
1.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk Rumah Sakit dengan keluhan badan demam sejak 3 hari SMRS. Pasien
belum mengukur suhu demamnya akan tetapi demam dirasakan naik turun dan dirasakan
tinggi pada sore hingga malam hari. Riwayat buang air kecil normal 4x sehari dengan
volume normal , tidak berdarah, tidak terasa sakit atau panas saat berkemih. Riwayat
buang air besar pasien juga normal feses padat tidak berlendir dan tidak berdarah. Pasien
juga mengeluh pusing didaerah kapala bagian depan, terus menerus, mual dan muntah
jika ada makanan yang masuk dan sudah >5x muntah berisi makanan, tidak ada darah
dan lendir, muntah dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasakan
lidah terasa pahit dan nafsu makan menurun, terdapat nyeri perut diulu hati, sebelumnya
belum pernah mengalami hal yang sama. Dirumah tidak ada yang mengalami hal yang
sama.
1.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang serupa. Pasien tidak memiliki riwayat
hipertensi, diabetes mellitus, atau penyakit lainnya.
1.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga pasien tidak ada yang memiliki gejala yang serupa atau riwayat penyakit.
1.2.6 Riwayat Gaya Hidup dan Sosial
Pasien tidak merokok dan pasien sering makan tidak teratur. Pasien memiliki riwayat
sering makan menggunakan tangan dan makan di warung nasi depan rumah.
1.3 Pemeriksaan Fisik
1. KU : Tampak sakit
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Berat badan : 97 kg
4. Tinggi badan : 160 cm
5. Tanda – tanda vital:
Tekanan Darah : 120/80mmHg
Nadi : 86x/menit
Suhu : 37,5oC
RR : 20x/menit
6. Kulit : Kulit tampak pucat
7. Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata
8. Wajah : Simetris, ekspresi gelisah
9. Mata : Edema palpebra -/-, konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
10. Telinga : Bentuk normal, simetris, lubang lapang, serumen -/-
11. Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret -/-
12. Mulut :Mukosa bibir basah, faring tidak hiperemis, tidak terdapat atrofi
papil lidah, tidak terdapat coated tongue, Tonsil T1-T1
13. Leher : Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada
deviasi trakhea, tidak teraba pembesaran KGB
14. Thorak : Retraksi suprasternal (-)
- Paru
• I : Normochest, pernapasan dada simetris
• P : Ekspansi dada simetris, Taktil fremitus (+/+)
• P : Sonor di kedua lapang paru (+/+)
• A : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
- Jantung
• I : Tidak tampak ictus cordis
• P : Iktus cordis tidak teraba
• P : Batas Kiri atas ICS II linea parasternal sinistra
Batas Kanan atas ICS II linea parasternal dextra
Batas kiri bawah ICS V antara linea midclavicula dan axilaris anterior
Batas kanan bawah ICS V linea stemalis dextra
• A : S1 dan S2 normal reguler, Gallop -/-, Murmur -/-
15. Abdomen :
• I : Perut agak cembung
• A : Bising usus (+) normal 8x / menit pada empat kuadran
• P : Nyeri tekan daerah epigastrium, hepar teraba 2 cm di bawah arcus
costae, tidak ada nyeri lepas, pada pemeriksaan ballottement didapatkan hasil
negatif
• P : Timpani pada keempat kuadran abdomen, tidak ada nyeri ketok CVA.
16. Ekstremitas: Akral hangat, edema tungkai (-), capilary refill time <2detik
1.4Pemeriksaan Penunjang
1.4.1 Pemeriksaan laboratorium hematologi darah
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 15.7 g/dL L : 13 – 16 P:12 – 14
Leukosit 7.0 Ribu/uL 4.0 – 10.0
Hematokrit 48.5 % L : 39 – 48 P : 36 – 42
Trombosit 189 Ribu/uL 150 - 450
1.4.2 Pemeriksaan laboratorium serologi Widal
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Salmonella Typhi O Pos 1/ 320 (-) Negatif
SalmonellaParatyphi AO Neg (-) Negatif
Salmonella Paratyphi BO Pos 1/160 (-) Negatif
Salmonella Paratyphi CO Neg (-) Negatif
Salmonella Typhi H Pos 1/320 (-) Negatif
Salmonella Paratyphi AH Neg (-) Negatif
Salmonella Paratyphi BH Neg (-) Negatif
Salmonella Paratyphi CH Neg (-) Negatif

1.5 Resume
Tuan Y usia 31 tahun, datang ke Rumah Sakit Daan Mogot dengan keluhan
demam sejak 3 hari SMRS. Pasien belum mengukur suhu demamnya akan tetapi demam
dirasakan naik turun dan dirasakan tinggi pada sore hingga malam hari. Pasien juga
mengeluhkan pusing, mual dan muntah sejak 3 hari SMRS. Riwayat buang air kecil dan
buang air besar normal. Pasien juga merasakan lidah terasa pahit dan nafsu makan
menurun, terdapat nyeri perut diulu hati. Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang
sama sebelumnya. Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Pasien
memiliki riwayat sering makan menggunakan tangan dan makan di warung nasi depan
rumah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien tampak sakit, TTV
dalam batas normal, pada pemeriksaan thoraks ditemukan dalam batas normal, pada
pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan pada bagian epigastrium, pada pemeriksaan
ekstremitas atas dan bawah semua ditemukan dalam batas normal. Pada pemeriksaan
penunjang laboratium hematologi nilai hemoglobin, leukosit, hematokrit, dan trombosit
ditemukan dalam batas normal. Pada pemeriksaan laboratorium hematologi serologi
Widal ditemukan Salmonella Typhi O positif 1 / 320, Salmonella Thypi H positif 1 / 320,
serta Salmonella Parathypi BO positif 1/ 160.
1.6 Diagnosis Kerja
Thyphoid fever
1.7 Diagnosis Banding
Dengue fever
Malaria fever
1.8 Tata Laksana
Non Farmakologi
o Istirahat dan perawatan
o Diet makanan lunak
Farmakologi
o Inf RL 30 TPM
o Inj Ranitidine 2 x 1 ampul
o IV Ceftriaxone 1 x 2gram
o Paracetamol 3 x 500 mg
o Antasid 3 x 1 tab
1.9 Prognosis
• Quo ad vitam : bonam
• Quo ad fungsionam : bonam
• Quo ad sanationam : bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Demam thyphoid adalah suatu infeksi febril sistemik akut dan sering mengancam jiwa
yang disebabkan oleh S. Typhi atau S. Paratyphi. Penyakit ini disebut demam thyphoid karena
mempunyai kesamaan klinis dengan penyakit tifus. Gejala klasik dari demam thyphoid antara
lain demam, menggigil, hepatosplenomegali, dan nyeri perut. Dalam beberapa kasus pasien
mengalami ruam, mual, anoreksia, sakit kepala, diare atau konstipasi.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Penyebab demam tifoid secara klinis hampir selalu Salmonella yang beradaptasi
pada manusia, sebagian besar kasus dapat ditelusuri pada karier manusia. Penyebab yang
terdekat mungkin air ( jalur paling sering ) atau makanan yang terkontaminasi oleh karier
manusia. Karier menahun umumnya berusia lebih dari 50 tahun, lebih sering pada perempuan,
dan sering menderita batu empedu. S. typhi berdiam dalam empedu bahkan di bagian dalam
empedu, dan secara intermiten mencapai lumen usus dan dieksresikan ke feses, sehingga
mengkontaminasi air atau makanan.
Dengan peningkatan dalam kebersihan makanan dan pengolahan air atau limbah,
demam tifoid telah menjadi langka ni negara – negara maju. Kurang lebih terdapat sekitar 27 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan 200.000 – 600.000 kematian per tahun. Insiden
tahunan tertinggi (>100 kasus / 100.000 penduduk) terjadi di Asia Tenggara. Demam tifoid
berkorelasi dengan sanitasi yang buruk dan kurangnya akses ke ai minum yang bersh. Di daerah
endemik demam tifoid lebih umum terjadi di daerah pedesaan dan pada usia anak – anak sampai
remaja. Faktor risiko lainnya antara lain air yang terkontaminasi atau banjir, makanan dan
minuman yang dibeli dari pedagang jalanan yang tidak terjamin kebersihannya, buah – buahan
mentah dan sayuran yang ditanam di lahan yang terkontaminasi dengan limbah, kurangnya cuci
tangan dan akses toilet bersih.
2.3 ETIOLOGI
Penyebab dari demam thypoid yaitu :
1. 96 % disebabkan oleh Salmonella Typhi, basil gram negative yang
bergerak dengan bulu getar, tidak berspora mempunyai sekuran-kurangnya
3 macam antigen, yaitu :
a. Antigen O (somatic terdiri dari zat komplek lipolisakarida)
b. Antigen H (flagella)
c. Antigen VI dan protein membran hialin
2. Salmonella paratyphi A
3. Salmonella paratyphi B
4. Salmonella paratyphi C
5. Feces dan urin yang terkontaminasi dari penderita typus
Salmonella, yang termasuk anggota dari famili Enterobacteriaciae, merupakan bakteri
gram negatif yang berbentuk basil (batang). Bakteri ini berukuran 2-3 ± 0,4 - 0,6 μm, bergerak
dan merupakan bakteri anaerob fakultatif yang berarti bakteri ini dapat tumbuh dalam kondisi
ada dan tidak adanya oksigen. Salmonella tidak membentuk spora, tidak memiliki kapsul dan
tidak memfermentasikan laktosa, tetapi bakteri ini memproduksi H2S (yang dapat digunakan
sebagai identifikasi bakteri tersebut di laboratorium). Salmonella, seperti Enterobacteriaceae lain,
memproduksi asam pada fermentasi glukosa, mereduksi nitrat dan tidak memproduksi sitokrom
oksidase.
Salmonella typhi memiliki ciri khas yang unik. Salah satu yang paling spesifik yakni
kapsul polisakarida Vi (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya) yang ada pada 90% S. typhi
yang baru saja diisolasikan. Kapsul ini memiliki agen proteksi melawan sifat bakterisidal dari
serum pasien yang terinfeksi dan menjadi dasar untuk membuat salah satu vaksin yang tersedia
secara komersial. Antigen Vi ini juga terdapat pada bakteri lain tetapi tidak sama persis secara
genetik. Selain itu, bakteri ini memiliki tes serologis positif untuk antigen lipopolisakarida O9
dan O12, serta antigen protein flagela Hd.
Salmonella typhi termasuk bakteri yang memproduksi endotoksin yang berarti toksin
baru dikeluarkan ketika bakteri ini mati dan dinding selnya luruh. Suhu optimum yang
dibutuhkan S. typhi untuk tumbuh yakni 37°C dengan pH antara 6-8. Bakteri ini dapat dibunuh
dengan pemanasan (suhu 60°C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. S.
typhi dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas, seperti di dalam air, es, sampah, debu
dan (seperti telah disebutkan sebelumnya) bakteri ini tidak memiliki reservoir lain selain
manusia.
Salmonella typhi meragikan glukosa, manitol dan maltosa dengan disertai pembentukan
asam tetapi tanpa pembentukan gas. Bakteri ini tidak menghidrolisis urea, tidak membuat indol
tetapi reaksi metil merah positif. Pada agar darah terlihat koloninya besar bergaris tengah 2
sampai 3 mm, bulat agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis. Pada
perbenihan Mac Conkey dan Deoksikolat sitrat koloninya tidak meragikan laktosa sehingga tidak
berwarna. Pada perbenihan bismut sulfit Wilson dan Blar tumbuh koloni hitam berkilat logam
akibat pembentukan H2S. Jika bakteri ini tumbuh di dalam kaldu akan terjadi kekeruhan
menyeluruh sesudah dieramkan semalam tanpa pembentukan selaput.

2.4 TRANSMISI DAN FAKTOR RISIKO DEMAM TIFOID


Penularan S. typhi terjadi paling sering yakni melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi oleh tinja pasien atau karier demam tifoid yang asimptomatik. Makanan dan
minuman ini juga dapat terkontaminasi urin pasien meskipun lebih jarang terjadi. Transmisi dari
tangan ke mulut akan terjadi jika seseorang menggunakan toilet yang terkontaminasi dan
mengabaikan higiene tangan setelahnya. Transmisi secara seksual dengan sesama pasangan
lelaki juga pernah dilaporkan. Pekerja kesehatan terkadang tertular setelah terpapar dengan
pasien yang terinfeksi atau selama mengolah spesimen klinis dan kultur dari bakteri tersebut.
Hasil penelitian oleh Levine dkk. (2001) dalam Brusch memberikan hasil bahwa lebih dari 50%
sukarelawan yang sehat terinfeksi oleh S. typhi ketika menelan sedikitnya 100.000 organisme.
Penelitian yang dilakukan Vollaard dkk. di Jakarta (2004) menyatakan bahwa faktor
risiko untuk demam tifoid sebagian besar tercakup di dalam rumah, diantaranya yakni: adanya
penderita demam tifoid baru di dalam rumah, tidak ada sabun untuk mencuci tangan, berbagi
makanan dengan piring yang sama dan tidak ada toilet di dalam rumah. Demam tifoid juga
dikaitkan dengan umur yang masih muda, berjenis kelamin perempuan dan penggunaan es batu.
Kondisi yang menurunkan baik asam lambung (umur <1 tahun, konsumsi antasid, penyakit
aklorihida) atau perubahan integritas intestinal (penyakit radang usus, operasi gastrointestinal
sebelumnya, atau perubahan flora usus akibat penggunaan antibiotik) akan meningkatkan
kemungkinan seseorang terinfeksi oleh Salmonella.
2.5 PATOGENESIS
Semua infeksi Salmonella dimulai dengan masuknya bakteri tersebut melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi. Dosis yang dapat menginfeksi yakni 103-106
colony-forming units. Setelah tertelan, bakteri harus menembus beberapa mekanisme pertahanan
tubuh pejamu sebelum menimbulkan infeksi. Biasanya Salmonella mati pada lingkungan yang
bersifat asam, oleh karena itu terjadi pengurangan inokulum yang banyak setelah bersentuhan
dengan isi lambung, oleh karena itu sebagian bakteri dimusnahkan dalam lambung dan sebagian
lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Pengurangan selanjutnya terjadi di
usus halus melalui efek antibakteri langsung dari pertarungan organisme dengan flora usus
normal.
Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka Salmonella akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria,
mikroorganisme ini akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag. Salmonella dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plak Peyeri ileum distal. Salmonella memiliki fimbrae yang terspesialisasi yang
menempel ke epitelium jaringan limfoid di ileum (plak Peyeri), tempat utama dimana makrofag
lewat dari usus ke sistem limfatik. Bakteri ini kemudian dibawa ke kelenjar getah bening
mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus, bakteri yang terdapat di dalam makrofag ini masuk
ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Pasien biasanya relatif tidak
memiliki atau hanya sedikit gejala pada masa inkubasi awal ini. Di organ-organ
r 1.
ologi retikuloendotelial, Salmonella meninggalkan sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian bakteri
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya
akan menimbulkan gejala inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.
Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah disekitar
plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neruopsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ
lainnya.
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Periode inkubasi S. Typhi rata – rata 10 – 14 hari tetapi juga bisa berkisar antara 5 – 21
hari tergantung pada organisme yang masuk, kesehatan dan imunitas dari orang tersebut. Setelah
organisme tertelan orang tersenut dapat mengalami gejala enterocolitis dengan diare yang
berlangsung selama beberapa hari. Akan tetapi gejala – gejala ini biasanya hilang sebelum
timbulnya demam. Demam dan nyeri perut merupakan gejala klasik demam tifoid.
Di bawah ini merupakan gejala klinis yang sering pada demam tifoid, diantaranya adalah:
1. Demam
Demam merupakan gejala utama tifoid. Pada awal onset, demam kebanyakan samar-samar,
selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam
lebih tinggi. Intensitas demam makin tinggi dari hari ke hari (stepladder)yang disertai gejala
lain seperti sakit kepala yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal,
insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu berikutnya, intensitas demam semakin
tinggi bahkan terkadang terus-menerus. Bila pasien membaik maka pada minggu ketiga suhu
badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu. Akan tetapi, demam
khas tifoid seperti ini tidak selalu ada.
2. Gangguan Saluran Pencernaan
Pada penderita sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir
kering dan terkadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi oleh selaput putih.
Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor tetapi pada penderita anak jarang ditemukan.
Penderita umumnya sering mengeluh nyeri perut, terutama di regio epigastrik, disertai mual
dan muntah. Pada awal sakit sering terjadi meteorismus dan konstipasi. Pada minggu
selanjutnya kadang-kadang juga timbul diare. Beberapa pasien mengalami diare encer yang
buruk berwarna hijau kekuningan (pea soup diarrhea). Pasien seperti ini bisa masuk kedalam
keadaan tifoid yang dikarakteristikkan dengan gangguan kesadaran.
3. Gangguan Kesadaran
Pada umumnya terdapat gangguan kesadaran yang berupa penurunan kesadaran ringan. Bila
klinis berat, tidak jarang penderita sampai pada kondisi somnolen dan koma atau dengan
gejala-gejala psikosis (Organic Brain Syndrome). Pada penderita dengan tifoid toksik, gejala
delirium lebih menonjol.
4. Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa sering ditemukan membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan.
5. Bradikardia Relatif dan Gejala Lain
Bradikardia relatif tidak sering ditemukan timbul pada <50% pasien.. Gejala-gejala lain yang
dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot (makula yang berwarna rose) yang
biasanya ditemukan di regio abdomen atas. Rose spot ini biasanya muncul pada 30% pasien
diakhir minggu pertama dan menghilang tanpa jejak setelah 2-5 hari.
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hematologi
 Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan
usus atau perforasi.
 Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau
tinggi.
 Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif.
 LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat
 Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).
b. Urinalis
 Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)
 Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit.
c. Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai
hepatitis Akut.

d. Imunologi
 Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi
(didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi / paratyphi
(reagen). Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling
sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di
Indonesia. Sebagai uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil
positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini
dikenal sebagai Febrile agglutinin.Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak
faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil
positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah
mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae
sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF).
Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah
mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1
minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit
imunologik lain.
Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila /titer O = 1/160 , bahkan
mungkin sekali nilai batas tersebut bisa lebih tinggi mengingat penyakit
demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir
minggu. Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita
yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif
(positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu
tetapi dari kontak sebelumnya.
 Elisa Salmonella typhi/paratyphi lgG dan lgM
Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap
lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam
Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di
ketahui. Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan 1/ bila lgM
positif menandakan infeksi akut; 2/ jika lgG positif menandakan pernah
kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik.
e. Mikrobiologi
 Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam
Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis
pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum
tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit
kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah
dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam
bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah
mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi.Kekurangan uji
ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 3 - 5 hari, bila belum ada
pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang
digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/
carrier digunakan urin dan tinja.
f. Biologi molekular.
 PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan
DNA kuman yang kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik.
Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit
(sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen
yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan
biopsi.
2.8 DIAGNOSA
Salmonella harus selalu dipikirkan sebagai penyebab potensial gastroenteritis. Demam,
tanda – tanda disentri, defisiensi imun, baru imigrasi dari daerah endemik, atau kaitan dengan
sumber wabah yang umum harus meningkatkan kecurigaan.
Tinja harus selalu dibiak. Bila tidak diperoleh tinja segar, dapat dibiak apusan rektum,
walaupun kemungkinan menemukan organisme lebih rendah. Kompetisi bakteri dan sedikitnya
inokulum mungkin memerlukan pembiakan lebih dari satu spesimen untuk menemukan
Salmonella.
Gastroenteritis dengan demam, terutama pada anak berusia di bawah 2 tahun, biasanya
merupakan indikasi untuk melakukan biakan darah. Untuk demam enterik yang dicurigai,
rangkaian biakan darah harus dilakukan bila biakan pertama negatif karena adanya serangan
intermitten bakteremia rendah – inokulum. Lebih dari 90 % pasien demam tifoid yang tidak
diobati mempunyai biakan darah dan sumsum tulang positif selama minggu pertama sakit.
Hasilnya menurun seiring waktu dengan peningkatan positif biakan tinja dan urin secara
bersamaan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastroentestinal,
dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seorang
klinisi dapat membuat diagnosis tersangka tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S.
typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinana mengisolasi S. typhi dari dalam
darah pasien lebih besar daripada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan
feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum
tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi
prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari – hari. Pada keadaan
tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan
hasil yang cukup baik.
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap
antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di
Indonesia, pengambilan angka titer O aglutinin ≥1/40 dengan memakai uji Widal slide
aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96 %. Artinya apabila hasil tes positif, 96 % kasus
benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidk menyingkirkan. Banyak senter
berpendapat apabila titer O aglutinin sekali diperiksa ≥1/200 atau pada titer sepasang terjadi
kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau.
Diagnosa demam tifoid ditegakkan atas dasar anamnesis, gambaran klinik dan laboratorium
(jumlah lekosit menurun dan titer widal yang meningkat) . Diagnosis pasti ditegakkan dengan
ditemukannya bakteri pada salah satu biakan. Adapun beberapa kriteria diagnosis demam tifoid
adalah sebagai berikut :
 Tiga komponen utama dari gejala demam tifoid yaitu:
1. Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari). Demam naik secara bertahap lalu menetap
selama beberapa hari, demam terutama pada sore/ malam hari.
2. Gejala gastrointestinal; dapat berupa konstipasi, diare, mual, muntah,hilang nafsu makan dan
kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor (coated tongue)
3. Gangguan susunan saraf pusat/ kesadaran; sakit kepala, kesadaran menurun, bradikardia
relatif.
2.9 PENATALAKSANAAN
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang
memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk
kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi di
samping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan
antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi S. typhi
berhubungan dengan keadaan bakterimia.
Antibiotik yang digunakan sebagai kontrol positif pada penelitian ini adalah seftriakson.
Seftriakson merupakan salah satu pilihan antibiotik untuk pengobatan demam tifoid (Fauci dkk.,
2008). Seftriakson ini termasuk golongan antibiotik sefalosporin generasi ketiga dan merupakan
antibiotik spektrum luas untuk bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.

 Aktivitas Antimikroba
Seftriakson bekerja dengan cara menganggu sintesis transpeptidase dinding sel bakteri
dengan cara berikatan dengan Penicillin-binding protein (PBP, sebuah enzim). Dinding sel
bakteri secara utuh membungkus membran sitoplasma, mempertahankan bentuk dan integritas
sel, dan mencegah sel lisis dari tekanan osmotik yang tinggi. Dinding sel bakteri terbentuk dari
polimer kompleks polisakarida dan polipeptida yang saling bertautan (cross-linked), yakni
peptidoglikan. Polisakarida berisi gula amino yang berganti-ganti, yakni asam N-
asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramik. Terdapat lima asam amino peptida yang
berhubungan dengan gula N-asetilmuramik. Peptida ini berakhir di D-alanil-D-alanin. Penicillin-
binding protein menghapus alanin terminal dalam proses pembentukan cross-linked dengan
peptida di dekatnya. Cross-linked ini memberikan dinding sel struktur yang kokoh. Antibiotik β-
laktam, salah satunya golongan sefalosporin, memiliki struktur yang analog dengan senyawa D-
ala-D-ala dan dapat berikatan secara kovalen dengan tempat aktif PBP. Hal ini akan
menghambat reaksi transpeptidase sehingga sintesis peptidoglikan berhenti dan menyebabkan
kematian sel. Antibiotik β-laktam hanya dapat membunuh bakteri ketika mereka tumbuh dan
mensintesis dinding sel secara aktif.
 Dosis dan Sediaan
Seftriakson diberikan dengan dosis 1-2 g/hari selama 7-14 hari secara intravena untuk
pasien demam tifoid dewasa (Fauci dkk., 2008). Antibiotik ini tersedia dalam bentuk powder
hingga reconstitute untuk injeksi (0.25, 0.5, 1, 2, 10 g per vial).

KOMPLIKASI
 Perforasi usus pada tempat inokulasi, biasanya pada ileum, terjadi pada 0,5-3%
dan perdarahan gastrointestinal beratterjadi pada 1- 10% anak dengan demam
tifoid.
 Ensefalopati toksik, trombosis serebral, ataksia serebelar akut, neuritis optik,
afasia, ketulian, serta kolesistitis akut dapat terjadi
 Pneumonia biasa terjadi selama stadium kedua penyakit, tetapi disebabkan oleh
superinfeksi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mackowiak PA, Sajadi MM. Temperature regulation and the pathogenesis of


fever. In: Bennett JE, Dolin R, Blaser MJ, eds. Mandell, Douglas, and Bennett's
Principles and Practice of Infectious Diseases. 8th ed. Philadelphia, PA: Elsevier
Saunders; 2015:chap 55.
2. Anthony Fauci, Eugene Braunwald, Dennis Kasper, Stephen Hauser, Dan Longo,
J. Jameson, Joseph Loscalzo Harrison's Principles of Internal Medicine, 19th
Edition, 19th edn., : Mcgraw-hill, 2008.
3. Widodo Darmowandoyo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak
Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi pertama. 2002. Jakarta ;Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI: 367-375
4. Widoyono, 2011. Penyakit Tropis. Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Edisi kedua. Erlangga : Jakarta
5. Guidelines for the Management of Typhoid Fever July 2011 WHO

Anda mungkin juga menyukai