Anda di halaman 1dari 69

WRAP UP SKENARIO 2

BLOK EMERGENSI
“Trauma Pada Kepala”

KELOMPOK B – 6

Ketua : Muhammad Aidil Fitri 1102014165


Sekretaris : Mutammima Rizqiyani 1102014173
Anggota : Raditya Sakti Prabowo 1102011217
Sri Maryana 1102013280
Nabila 1102014178
Nora Saputri 1102014197
Nur Annisya 1102014199
Nisa Nabilah 1102014195
Nurul Amalia Utami 1102014202
Zenna Al-Kautsar 1102014293
Muhammad Haekal Fadhilah 1102014168

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Skenario 2
TRAUMA PADA KEPALA

Perempuan berusia 25 tahun dibawa ke UGD RS dengan penurunan kesadaran setelah tertabrak
motor saat menyebrang jalan 2 jam yang lalu. Sesaat setelah ditabrak pasien pingsan. Dalam
perjalanan ke RS pasien sempat tersadar sekita 10 menit, kemudian mengeluh nyeri kepala,
muntah, dan kembali tidak sadar. Keluar darah dari hidung dan telinga.

Tanda Vital
Airway : terdengar bunyi snoring
Breathing : frekuensi nafas 10x/menit
Circulation : tekanan darah 160/90 mmHg, frekuensi nadi 40x/menit

Wajah
Terlihat adanya brill hematoma
Trauma di daerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya cerebrospinal
rhinorrhea, mobilitas dari maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi.

Hidung
Inspeksi : adanya edema atau deformitas pada hidung tidak ada
Palpasi : terdapat krepitasi pada hidung
Pemeriksaan fisik menggunakan rinoskopi anterior : terdapat clothing perdarahan aktif tidak ada,
tampak laserasi di septum dan konka inferior

Telinga
Liang telinga : lapang, terdapat laserasi, clothing (+), tidak terdapat perdarahan aktif dan
membrane timpani utuh

Status Neurologi
GCS E1 M1 V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 5 mm/3 mm, RCL -/+, RCTL -/+, kesan
hemiparesis dekstra, reflex patologis Babinsky +/-
Kata Sulit :
1. Brill hematoma : kelopak mata bengkak dan berwarna merah keunguan
2. Maloklusi : bentuk hubungan rahang atas dan bawah menyimpang atau malposisi dan
kontak antar maxilla dan mandibular sedemikian rupa sehingga mengganggu gerakan
menggiling pada rahang yang penting untuk proses mengunyah
3. Cerebrospinal rhinorrhea : secret cairan cerebrospinal yang keluar dari hidung karena
fraktur basis cranii
4. Hemiparesis : kekuatan otot yang berkurang pada satu sisi tubuh
5. Reflex babinsky : tes untuk mengetahui rangsang meningeal
Pertanyaan :
1. Kenapa pasien pingsan lalu kemudian sadar sesaat ?
2. Kenapa terdengar bunyi snoring ?
3. Apa yang menyebabkan nyeri kepala dan muntah ?
4. Kenapa keluar darah dari hidung dan telinga ?
5. Mengapa tekanan darah meningkat tetapi frekuensi nadi rendah ?
6. Kenapa ditemukan pupil anisokor ?
7. Apa arti penilaian GCS pada pasien tersebut ?
8. Tatalaksana pada pasien tersebut ?
9. Apa komplikasi dari pasien tersebut ?
10. Kenapa frekuensi nafas menurun ?
11. Apa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ?

Jawaban :
1. Pada saat pasien mengalami kecelakaan, lalu mengalami fraktur, saat itu gerbang sel otak
terbuka lalu kalium keluar sedangkan natrium dan kalsium masuk, lalu terjadi nya
pelepasan dari glutamate, pelepasan glutamate menyebabkan kerusakan pada mitokondria
dan mengakibatkan oksigen di otak menjadi turun sehingga pasien pingsan. Pada saat
pasien sadar sesaat itu karena adanya interval lucid yang merupakan tanda khas pada
perdarahan epidural.
2. Ada obstruksi karena lidah jatuh kebelakang dan menutupi jalan nafas
3. Karena arteri meningea yang ada diantara tengkorak dan epidural pecah yang
mengakibatkan tekanan intracranial nya meningkat
4. Karena terjadinya fraktur pada cranial dan pada os nasal yang mengakibatkan keluarnya
darah dari hidung dan telinga
5. Adanya peningkatan pada tekanan intracranial menyebabkan terjadinya trias cushing
yaitu hipertensi, depresi pernapasan dan frekuensi nadi rendah atau menurun
6. Karena adanya penekanan pada nervus optikus
7. – GCS 3-8  trauma kepala berat
- GCS 9-13  trauma kepala sedang
- GCS >13  trauma kepala ringan
8. ABC, resusitasi, perbaikan cairan dan menghentikan perdarahan
9. Kerusakan syaraf yang menyebabkan kelumpuhan permanen dan kerusakan batang otak
10. Karena adanya fraktur basis cranii yang menyebabkan peningkatan pada tekanan
intracranial lalu menekan batang otak dan juga menekan cervical 3 dan 4 yang
merupakan syaraf yang mempersyarafi otot diafragma yaitu nervus prenikus
11. CT-Scan, rontgen, MRI, dan pemeriksaan darah lengkap
Hipotesis :

Trauma pada daerah kepala dapat menyebabkan terjadinya fraktur basis cranii yang
mengakibatkan perubahan fisiologis seperti terdengar bunyi snoring, nyeri kepala dan muntah,
keluar darah dari hidung dan telinga, tekanan darah meningkat tetapi frekuensi nadi rendah, pupil
anisokor dan frekuensi nafas menurun. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan GCS, CT-Scan, rontgen, MRI dan pemeriksaan darah lengkap. Pasien harus segera
ditangani dengan ABC, resusitasi, perbaikan cairan dan menghentikan perdarahan agar
komplikasi seperti kerusakan syaraf dan kerusakan batang otak dapat dihindari.
Sasaran Belajar :

LI.1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala

LI.II. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Basis Cranii

LI.3. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Maxilla

LI.4. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Os Nasal

LI.5. Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Intrakranial


LI.1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala
LO.1.1 Definisi

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur
kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan
otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-
Brown, Thomas, 2006).

LO.1.2 Etiologi

Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah karena
terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan
secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang
merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois, Rut land-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala
yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap
pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat
(Coronado, Thomas, 2007).

 Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul


 Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam
 Trauma kepala akibat tembakan
 Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak

LO.1.3 Klasifikasi

Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara
praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan: mekanisme, beratnya cedera, dan
morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
a. Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan
benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan
otak bergerak di dalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang
tengkorak.
b. Cedera kepala tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

2. Beratnya Cedera Kepala


Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi
perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang
keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka
nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan
sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan
nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15
dikategorikan sebagai cedera otak ringan.

Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari Traumatic
Brain Injury yaitu :
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar
tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone window” untuk
memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit
kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak
tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.

Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut :


1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4 jenis
fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture,
compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut :
 Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit
 Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi,
distorsi dan ‘splintering’
 Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak
 Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain
retak terdapat juga hematoma subdural (Duldner, 2008).
2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium / Konveksitas (kubah/atap tengkorak)
b. Basis cranii (dasar tengkorak)
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak telah menembus sampai kepada
duramater. (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006).
b. Tertutup
Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak
atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization
2009, mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat
pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan
tengkorak.

4. Luka pada kepala :


 Laserasi kulit kepala
Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala,
sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung
pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat
mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.
 Luka memar (kontusio)
Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana
pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya,
kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.
 Abrasi
Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak sampai pada
jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung
saraf yang rusak.
 Avulsi
Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih
berhubungan dengan tulang kranial. Intak kulit pada kranial terlepas setelah
kecederaan.

b. Lesi Intra Kranial


1. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang
sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin
mengalami amnesia retro/anterograd.
Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak
karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah
trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau
gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal
istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan
prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan
pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di
area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan
ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan
otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri
dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral
yang membutuhkan tindakan operasi.

LO.1.4 Manifestasi Klinis

Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan :


a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
c. Mual atau dan muntah
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
e. Perubahan keperibadian diri
f. Letargi

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat :


a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau
meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)

LO.1.5 Patofisiologi

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan O 2 dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
mempunyai cadangan O2, Jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa. Sebagai bahan bakar
metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 75% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami
hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan melalui proses metabolic anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada komosio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan
terjadi penimbunan asam. Lalu hal ini akan menyebaban asidosis metabolic.
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis tergantung pada
besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat benturan, serta sifat dan keadaan kepala sewaktu
menerima benturan. Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat
mengakibatkan lesi otak berupa : lesi bentur (Coup), lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar
tengkorak yang menonjol/falx dengan otak peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-
lain=lesi media), dan lesi kontra (counter coup).21 Berdasarkan hal tersebut cedera otak dapat
dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder.

a. Kerusakan Primer

Kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari
kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal
ataupun difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu
dari otak, bergantung kepada mekanisme trauma yang terjadi sedangkan kerusakan difus adalah
suatu keadaan patologis penderita koma (penderita yang tidak sadar sejak benturan kepala dan
tidak mengalami suatu interval lucid) tanpa gambaran Space Occupying Lesion (SOL) pada CT-
Scan atau MRI.
b. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan
primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, dan pembengkakan otak.

LO.1.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis


Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain :
1. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu : pembukaan
mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing komponen dijumlahkan dan
memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15.

Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi :
• GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat
• GCS 9 – 13 : cedera kepala sedang
• GCS > 13 : cedera kepala ringan
Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran,
tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan dengan
melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah yang
lebih baik atau lebih buruk.
Tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale)
Respon membuka mata (E) Nilai
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V) Nilai


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M) Nilai


Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan
diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk
dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang
terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.

(sumber ; Greaves dan Johnson, 2002)


4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi
dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk
menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.

Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis


a. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau
rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa
mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat
digunakan bila CT scan tidak ada (State of Colorado Department of Labor and Employment,
2006).
b. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner (CT Scan) penting dalam memperkirakan
prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT
scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat
berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih
baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal.
Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal
akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkatan TIK dan dapat berkembang
lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam Sastrodiningrat, 2007). Di
samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya
struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi
seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007 ).
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa.
MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada
pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau
terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk
pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan
intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007).
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru
pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson
Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan
penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di
korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki
prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat
menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita
cedera kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).

LO.1.7 Tatalaksana

Penanganan pertama kasus cidera kepala di UGD :


Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart yang telah
ditetapkan dalam ATLS (Advanced trauma life support) yang meliputi, anamnesa sampai
pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi:
 Airway
 Breathing
 Circulasi
 Disability
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara :
 Kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing
 Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi
atauipun rotasi.
 Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera
vertebrae cervikal sampai terbukti sebaliknya, maka perlu dipasang collar brace.
Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen minimal saturasinya diatas 90 %, Jika tidak
usahakan untuk dilakukan intubasi dan suport pernafasan.
Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekuensinya
normal antara 16 – 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas
buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2 antara 28 – 35
mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya
edema serebri sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso konstriksi yang
berakibat terjadinya iskemia., periksa tekanan oksigen (PO 2) 100 mmHg jika kurang beri
Oksigen masker 8 liter/ menit.

Pada pemeriksaan sistem sirkulasi :


 Periksa denyut nadi/jantung, jika (-) lakukan resusitasi jantung.
 Bila shock (tensi < 90 dan nadi > 100 atasi dengan infus cairan RL, cari sumber
perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir tidak
pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala meningkatkan angka
kematian 2 X
 Hentikan perdarahan dari luka terbuka
Pada pemeriksaan disability / kelainan kesadaran:
 Periksa kesadaran : memakai Glasgow Coma Scale
 Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung
maupun konsensual./tidak langsung
 Periksa adanya hemiparese/plegi
 Periksa adanya reflek patologis kanan kiri
 Jika penderita sadar baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi luhur
misal adanya aphasia
Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara
melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti Skull foto, foto thorax, foto pelvis,
CT Scan dan pemeriksaan tambahan yang lain seperti pemeriksaan darah (pemeriksaan ini
sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama).

I. CEDERA KEPALA RINGAN (GCS = 14-15)


 Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala
hebat.
3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak
 Klinis :
a. Keadaan penderita sadar
b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh obat-
obatan / alkohol.
d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan
 Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi adanya
fractur dasar tengkorak meliputi :
a. Ekimosis periorbital
b. Rhinorea
c. Otorea
d. Hemotimpani
e. Battle’s sign
 Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :
a. Fractur linear/depresi
b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c. Batas udara – air pada sinus-sinus
d. Pneumosefalus
e. Fractur tulang wajah
f. Benda asing
 Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah rutin tidak perlu
b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik / medikolagel
 Therapy :
a.Obat anti nyeri non narkotik
b. Toksoid pada luka terbuka
 Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakit

II. CEDERA KEPALA SEDANG (GCS = 9-13)


 Pada 10 % kasus :
 Masih mampu menuruti perintah sederhana
 Tampak bingung atau mengantuk
 Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
 Pada 10 – 20 % kasus :
 Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
 Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.
 Tindakan di UGD :
 Anamnese singkat
 Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
 Pemeriksaan CT. scan
 Penderita harus dirawat untuk diobservasi
 Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :
 Status neulologis membaik
 CT-scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan
 Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.
 Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya
III. CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3-8)
 Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status
kardiopulmonernya telah distabilkan
 CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi
 Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan
 Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus dilakukan
secepatnya.

A. Primary survey dan resusitasi


Di UGD ditemukan :
 30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )
 13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg )  Mempunyai mortalitas 2 kali
lebih banyak dari pada tanpa hypotensi
 12 % Anemia ( Ht < 30 % )

1. Airway dan breathing


Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena terjadi
apnoe yang berlangsung lama
Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera
kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi sementara
asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah dilatasi dan
penurunan kesadaran
PCo2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg
2. Sirkulasi
 Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
 Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus
multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade
jantung dan tension pneumothorax
 Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk mengganti
cairan yang hilang
 UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut abdomen

B. Secondary survey
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.

C. Pemeriksaan Neurologis
 Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan terdiri
dari:
 GCS
 Reflek cahaya pupil
 Gerakan bola mata
 Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
 Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita dilakukan
sedasi atau paralisis
 Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
 Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV
 Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon motorik,
bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik
 Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
 Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
 Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan pasien.

TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA


Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengaalami cedera
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik
Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan hyperglikemia
yang berakibat buruk pada otak yangn cedera
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl
Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia
menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresig

B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan
PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak
HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun
PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis
Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat
Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
F. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
G. Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya
epilepsi pasca trauma
Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I
Obat lain diazepam dan lorazepam

PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN
A. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan mencuci
bersih sebelum dilakukan penjahitan
Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat
Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat
dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan
penjahitan luka
Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka
menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf
Lakukan foto teengkorak / CT Scan
Tindakan operatif
B. Fractur depresi tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di dekatnya
CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di
intra kranial atau adanya suatu kontusio
C. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa
dan untuk mencegah kematian
Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan
tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan.
Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi endotracheal ,
hiperventilasi moderat dan pemberian manitol.

LO.1.8 Komplikasi

Komplikasi trauma kepala :


a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang
terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu
ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis
fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
b. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang
terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini masih
kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis
meningitis.
c. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan
lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini
merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan
patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres
terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral
atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV
selama 5 hari.

LO.1.9 Pencegahan

Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap
peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :

a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu
lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur
lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.

b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang untuk
mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian
pertolongan pertama, yaitu :

1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).


Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada
kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi
prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena
masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway  yang tersumbat
baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas
tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko
tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan
jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi
aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang
mengancam airway.

2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)


Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah
membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu
pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.

3. Menghentikan perdarahan (Circulations).


Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah
sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok,
dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian
transfuse darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.

c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat,
penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk
mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan
psikologis bagi penderita. Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan
lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.

1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan
bawah tubuh.
b. Perlengkapan splint dan caliper
c. Transplantasi tendon

2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi
kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan
harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan
semangat hidup.
3. Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling
sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan
terhadap bantuan orang lain.
b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).

LO.1.10 Prognosis

 Prognosis TK tergantung berat dan letak TK.

 Prognosis TK buruk jika pada pemeriksaan ditemukan pupil midriasis dan tidak ada
respon E, V, M dengan rangsangan apapun. Jika kesadarannya baik, maka prognosisnya
dubia, tergantung jenis TK, yaitu: pasien dapat pulih kembali atau traumanya bertambah
berat.

 Faktor yang memperjelek prognosis adalah terlambatnya penanganan awal/resusitasi,


transportasi yang lambat, dikirim ke RS yang tidak memadai, terlambat dilakukan tindakan
pembedahan dan disertai trauma multipel yang lain
LI.II. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Basis Cranii
LO.2.1 Definisi

Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater.Fraktur
basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio
occipital condylar.Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya
menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.
LO.2.2 Klasifikasi

Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut fraktur
calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut fraktur basis cranium.

FRAKTUR BASIS TENGKORAK


Fraktur atap orbita
Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal (LCS)
bersama darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita; dari luar disekitar mata
tampak kelopak mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle Hematoma, bila
dua mata disebut Brill Hematoma /  Raccoon’s eyes.
Fraktur melintas Lamina Cribrosa
Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman (Nervus
Olfactorius) sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya penciuman
(hyposmia) sampai hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater dan
arachnoid sehingga LCS bercampur darah akan keluar dari rongga hidung (Rhinorrhoea).
Fraktur Os Petrossum
Puncak (Apex) os. petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam
rongga telinga tengah dan memecahkan membrana tympani; dari telinga keluar LCS bercampur
darah (otorrhoea).
Fraktur Sella Tursica
Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars anterior
dan pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu adalah pars
posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone) yang menyebabkan
Diabetes Insipidus.
Sinus Cavernosus Syndrome.
Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan
Arteri Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan
langsung arteri – vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus
Cavernsus –> Carotid – Cavernous Fistula).
Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit, conjunctiva berwarna merah.
Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara seperti
air mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ).
Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus , yang
terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung (berwarna
merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrom.
Fraktur melintas os petrosum
fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid,
menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid
sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut Battle’s Sign.
Fraktur melintas Foramen Magnum
Di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan merusak
Medula Oblongata , menyebabkan kematian seketika.
Jenis fraktur basis cranii :
 Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe dari
fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal dari fraktur
temporal dan type longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini. (A)Transverse
temporal bone fracture and (B)Longitudinal temporal bone fracture (courtesy of Adam
Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia, Pennsylvania)
 Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa
pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe
fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan
labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada
mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-
90%).Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea
dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur
unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.
Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi
fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk
fraktur yang melibatkan mastoid air cells.Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus
cranialis.
 Fraktur condylar occipital, adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi
aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini
dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative
membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen.
Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus
oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan
langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai
fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami
kerusakan.Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal
ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.
 Fraktur clivus, digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan
kendaraan nbermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan dalam
literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem
vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe
ini.

LO.2.3 Manifestasi Klinis

 Bloody otorrhea.
 Bloody rhinorrhea
 Liquorrhea
 Brill Hematom
 Batle’s sign
 Lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII, dan N VIII
Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada
mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan
rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow
Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intracranial 4.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan
ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli
sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena
hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial
numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural
hearing loss) 4.
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius12. Sebagian besar
pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan
koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower
cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X,
dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis
ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor,
sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital
dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.

LO.2.4 Patofisiologi

Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah
dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari
benturan pada wajah atau mandibula; atau efek ‘remote’ dari benturan pada kepala (‘gelombang
tekanan’ yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen
magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya
segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai
(Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai
dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari
arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering
disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara
sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek
misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada
area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut
kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada
benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau
ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.
Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis cranii
akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial, yang
disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para
peneliti menemukan fraktur basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja.

LO.2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Pemeriksaan Lanjutan
Studi Imaging :
o Radiografi
Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel memutuskan
bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto x-ray
skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.
o CT scan
CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull
fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital,
bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam
menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.

o MRI
MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk kasus
yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh
lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan4.

Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat
dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut pada
kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah,
maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan
menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.

LO.2.6 Tatalaksana

Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis tidak
memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan
kembali jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur linier harus
dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status
neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara
conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai
rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada bayi
ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik membutuhkan
waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan jika
kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi,
mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan
pada kasus ini.
Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi
leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.

Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan open fraktur
depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk mengevaluasi
fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone.
Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear dengan
pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy dekompressi
dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini,
cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur
condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini
dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan ossicular
(tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.
Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau
jika membrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran CSF
yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi kebocoran
sebelum intervensi bedah dilakukan.

LO.2.7 Komplikasi
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan rhinorrhea.
Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis cranii dibahas di
bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah
akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid,
dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan terjadinya
fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk.
Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada ujung
pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang
terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya
ketegangan pada nervus. Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur
condylar os oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom Collet-
Sicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI
dan juga dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan pembentukan
pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). Cedera carotid
diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini,
CT-angiografi dianjurkan.

LO.2.8 Prognosis

Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda tanda vital
dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini mungkin apabila
ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotic untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis Cranii posterior, prognosis buruk dikarenakan
fraktur pada fossa posterior dapat mengakibatkan kompresi batang otak.
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera nervus
cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah
jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan hematom epidural. Sebagian besar
fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi.

LI.3. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Maxilla


LO.3.1 Definisi
Fraktur ialah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Berdasarkan
anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian, ialah sepertiga atas wajah,
sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah. Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah
ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus,
lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke dalam sepertiga
tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah wajah. Fraktur
maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk wajah.

LO.3.2 Etiologi

Fraktur maksilofasial dapat diakibatkan karena tindak kejahatan atau penganiayaan,


kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan industri, atau diakibatkan oleh hal yang bersifat
patologis yang dapat menyebabkan rapuhnya bagian tulang.

LO.3.3 Klasifikasi

Fraktur Sepertiga Bawah Wajah


Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.
Klasifikasi fraktur berdasarkan istilah:
1. Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka terbuka keluar baik
melewati kulit, mukosa, maupun membran periodontal.
2. Compound atau  Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar termasuk kulit,
mukosa, maupun membran periodontal , yang berhubungan dengan patahnya tulang.
3. Comminuted : merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.
4. Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu sisi lainnya
melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.
5. Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius yang
dikarenakan adanya penyakit tulang.
6. Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang sama
tidak berhubungan satu sama lain.
7. Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke bagian lainnya.
8. Atrophic : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya tulang,
biasanya pada tulang mandibula orang tua.
9. Indirect : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.
10. Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya berdekatan dengan
jaringan lunak atau bagian-bagian lainnya, bisa simpleatau compound.

Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi anatominya:


1. Midline : fraktur diantara incisal sentral.
2. Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis alveolar yang
berbatasan dengan otot masseter (termasuk sampai gigi molar 3).
3. Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus.
4. Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter hingga perlekatan
poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar 3).
5. Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua garis apikal pada
sigmoid notch.
6. Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio ramus.
7. Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior mandibula hingga regio
ramus.
8. Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.

Fraktur Sepertiga Tengah Wajah


Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina, dan tulang
nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga utama wajah : bagian
atas rongga mulut dan nasal dan juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus
maksila membesar sesuai dengan perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya rongga di
sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini sangat rentan terkena fraktur.
Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort :

1.        Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)


Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan menyebabkan
terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini menyebabkan rahang atas
mengalami pergerakan yang disebut floating jaw. Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan
terjadi akibat dari adanya edema.
2.        Fraktur Le Fort tipe II
Fraktur Le Fort tipe II biasa juga disebut dengan fraktur piramidal. Manifestasi dari fraktur ini
ialah edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign.
Biasanya ditemukan juga hipoesthesia di nervus infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena
trauma langsung atau karena laju perkembangan dari edema. Maloklusi biasanya tercatat dan
tidak jarang berhubungan dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas
pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan
epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus ini. 

Gambar.   Fraktur Le Fort II

3.        Fraktur Le Fort III


Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III (gambar 2.6) menggambarkan
adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini ialah remuknya wajah
serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks, disertai pula dengan keluarnya
cairan serebrospinal, edema, dan ekimosis periorbital.

Gambar. Fraktur Le Fort III


Fraktur Sepertiga Atas Wajah
Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus
frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressed ke dalam atau hanya mempunyai
garis fraktur linier yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain.
Fraktur Dentoalveolar            
Fraktur dentoalveolar sering terjadi pada anak-anak karena terjatuh saat bermain atau dapat pula
terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Struktur dentoalveolar dapat terkena trauma yang
langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya dapat menyebabkan trauma pada
gigi insisif sentral  maksila karena berhubungan dengan posisinya yang terekspos.
Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan fraktur dentoalveolar ialah oklusi yang
abnormal, adanya overjet lebih dari 4mm, inklinasi gigi insisal ke arah labial, bibir yang
inkompeten, pendeknya bibir atas, dan bernafas lewat hidung. Kondisi tersebut dapat dilihat pada
individu dengan kelainan maloklusi kelas II divisi I Angle, atau pada orang dengan kebiasaan
buruk menghisap ibu jari.

Gambar. Fraktur Dentoalveolar Disertai Avulsi Pada Gigi 52, 53, dan 63

LO.3.4 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Riwayat penyakit, Keluhan Utama dan Pemeriksaan Klinis


Lima pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit pasien penderita
fraktur maksilofasial ialah:
1. Bagaimana kejadiannya?
2.  Kapan kejadiannya?
3. Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat yang
kemungkinan dapat menyebabkannya?
4. Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?
5. Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri, sensasi, perubahan
penglihatan, dan maloklusi?
Evaluasi menyeluruh pada sistem, termasuk informasi alergi, obat-obatan, imunisasi tetanus
terdahulu, kondisi medis, dan pembedahan terdahulu yang pernah dilakukan.
Jejas pada sepertiga wajah bagian atas dan kepala biasanya menimbulkan keluhan sakit
kepala, kaku di daerah nasal, hilangnya kesadaran, dan mati rasa di daerah kening.
Jejas pada sepertiga tengah wajah menimbulkan keluhan perubahan ketajaman penglihatan,
diplopia, perubahan oklusi, trismus, mati rasa di daerah paranasal dan infraorbital, dan obstruksi
jalan nafas.
Jejas pada sepertiga bawah wajah menimbulkan keluhan perubahan oklusi, nyeri pada
rahang,  kaku di daerah telinga, dan trismus.

Gambar 2.8     Perubahan Oklusi dan Laserasi Gingiva Serta Mukosa Pada Insisif Sentral Pasien
Instalasi Gawat Darurat Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial

Pemeriksaan klinis pada struktur wajah terpenuhi setelah seluruh pemeriksaan fisik
termasuk pemeriksaan jantung dan paru, fungsi neurologis, dan area lain yang berpotensi terkena
trauma, termasuk dada, abdomen, dan area pelvis.
Evaluasi pada wajah dan kranium secara hati-hati untuk melihat adanya trauma seperti
laserasi, abrasi, kontusio, edema atau hematoma. Ekimosis di periorbital, terutama dengan
adanya perdarahan subkonjungtiva, merupakan sebagai indikas dari adanya fraktur zigomatikus
kompleks dan fraktur rima orbita.
Gambar 2.10     Ekimosis di Periorbital

Pemeriksaan neurologis pada wajah dievaluasi secara hati-hati dengan memeriksa


penglihatan, pergerakan ekstraokular, dan reaksi pupil terhadap cahaya.
Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area inferior dan lateral
mandibula serta sendi temporomandibular. Pemeriksaan oklusi untuk melihat adanya laserasi
pada area gingiva dan kelainan pada bidang oklusi. Untuk menilai mobilisasi maksila, stabilisasi
kepala pasien diperlukan dengan menahan kening pasien menggunakan salah satu tangan.
Kemudian ibu jari dan telunjuk menarik maksila secara hati-hati untuk melihat mobilisasi
maksila.
Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat adanya kerusakan di
daerah sekitar kening, rima orbita, area nasal atau zigoma. Penekanan dilakukan pada area
tersebut secara hati-hati untuk mengetahui kontur tulang yang mungkin sulit diprediksi ketika
adanya edema di area tersebut. Untuk melihat adanya fraktur zigomatikus kompleks, jari telunjuk
dimasukan ke vestibula maksila kemudian palpasi dan tekan kearah superior lateral.

LO.3.5 Tatalaksana

Kontak Awal Pasien


Survey awal digunakan untuk melihat kondisi sistemik pasien dan prioritas perawatan pasien
berdasarkan luka, tanda-tanda vital, dan mekanisme terjadinya luka. Advance Trauma Life
Support (ATLS) yang dianjurkan olehAmerican College of Surgeon ialah perawatan trauma
ABCDE.
A: Airway maintenance with cervical spine control/ protection
1. Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur.
2. Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen fraktur wajah untuk membuka
jalan nafas oral dan nasofaringeal.
3. Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur kedua kondilus
dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas atas.
B: Breathing and adequate ventilation
1. Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur kedua
kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas pada pasien yang sadar.
C: Circulation with control of hemorrhage
1. Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk meningkatkan jalan nafas dan
mengontrol perdarahan.
2. Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan perdarahan di kepala.
3. Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi wajah yang meluas dan
perdarahan kepala.
D: Disability: neurologic examination
1. Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran, ukuran pupil, dan reaksi.
2. Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular secara langsung maupun tdak
langsung yang dapat dilihat dari ukuran pupil, kontur, dan respon yang dapat mengaburkan
pemeriksaan neurologis pada pasien dengan sistem saraf pusat yang utuh.
3. Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan perubahan sensoris (alkohol atau obat)
yang tidak berhubungan dengan trauma intrakranial.
E: Exposure/ enviromental control
1. Menghilangkan gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah.
2. Menghilangkan lensa kontak.

Penilaian Glasgow Coma Scale


            Pada umumnya, Glasgow coma scale (GCS) digunakan untuk memeriksa kesadaran yang
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya gangguan neurologis pada saat pertama kali terjadi
trauma maksilofasial. Ada tiga variabel yang digunakan pada skala ini, yaitu respon membuka
mata, respon verbal, dan respon motorik. Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6),
respon verbal (1-5), dan respon membuka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan
beratnya, cedera kepala dikelompokkan menjadi :
(1)     Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15
(2)     Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9-13
(3)     Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8
Glasgow Coma Scale ditujukan untuk menilai koma pada trauma kepala dan sebagian tergantung
pada respon verbal sehingga kurang sesuai bila diterapkan pada bayi baru lahir, bayi, dan anak
kecil. Oleh karena itu, diajukan beberapa modifikasi untuk anak. Anak dengan kesadaran normal
mempunyai nilai 15 pada GCS, nilai 12-14 menunjukkan gangguan kesadaran ringan, nilai 9-11
berkorelasi dengan koma moderat sedangkan nilai dibawah 8 menunjukkan koma berat.

Pemeriksaan Radiografis
Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk
memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan radiografis
juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda.
Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya memerlukan foto radiografis panoramic view,
open-mouth Towne’s view, postero-anterior view, lateral oblique view. Biasanya bila foto-foto
diatas kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga digunakan foto oklusal dan
periapikal.
Computed Tomography (CT) scans dapat juga memberi informasi bila terjadi trauma
yang dapat menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa.
Banyak pasien dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan untuk menilai
gangguan neurologi, selain itu CT-scan dapat juga digunakan sebagai tambahan penilaian
radiografi.
            Pemeriksaan radiografis untuk fraktur sepertiga tengah wajah dapat
menggunakan Water’s view, lateral skull view, posteroanterior skull view, dansubmental vertex
view.

LI.4. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Os Nasal


LO.4.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada yang diabsorpsinya. Fraktur
tulang hidung adalah setiap retakan atau patah yang terjadi pada bagian tulang di organ hidung.5
Penyebab dari fraktur tulang hidung berkaitan dengan trauma langsung pada hidung atau muka.
Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung.3
Penyebab utama dari trauma dapat berupa :
 Cedera saat olahraga
 Akibat perkelahian
 Kecelaaan lalu lintas
 Terjatuh
 Masalah kelahiran
 Kadang dapat iatrogenik

LO.4.2 Klasifikasi

Fraktur hidung dapat dibedakan menurut :


1. Lokasi : tulang nasal (os nasale), septum nasi, ala nasi, dan tulang rawan triangularis.
2. Arah datangnya trauma :
- Dari lateral : kekuatan terbatas dapat menyebabkan fraktur impresi dari salah satu tulang
nasal. Pukulan lebih besar mematahkan kedua belah tulang nasal dan septum nasi dengan
akibat terjadi deviasi yang tampak dari luar.
- Dari frontal : cederanya bisa terbatas hanya sampai bagian distal hidung atau kedua
tulang nasal bisa patah dengan akibat tulang hidung jadi pesek dan melebar. Bahkan
kerangka hidung luar dapat terdesak ke dalam dengan akibat cedera pada kompleks
etmoid.
- Datang dari arah kaudal : relatif jarang.
Jenis fraktur nasal meliputi :
1. fraktur nasal sederhana,
2. fraktur pada prosessus frontalis maksila,
3. fraktur nasal dengan pergeseran kartilago nasi,
4. fraktur dengan keluarnya kartilago septum dari sulkusnya di vomer,
5. fraktur kominutiva pada vomer, dan
6. fraktur pada tulang ethmoid sehingga CSS mengalir dari hidung.1,13

Fraktur hidung sederhana


Jika hanya terjadi fraktur tulang hidung saja dapat dilakukan reposisi fraktur dengan
analgesia lokal. Akan tetapi pada anak-anak atau orang dewasa yang tidak kooperatif tindakan
reposisi dilakukan dalam keadaan narkose umum.
Analgesia lokal dapat dilakukan dengan pemasangan tampon lidokain 1-2% yang
dicampur dengan epinefrin 1: 1000. Tampon kapas yang berisi obat analgesia lokal ini dipasang
masing-masing 3 buah pada setiap lubang hidung. Tampon pertama diletakkan pada meatus
superior tepat di bawah tulang hidung, tampon kedua diletakkan di antara konka media dan
septum dan bagian distal dari tampon tersebut terletak dalam foramen sfenopalatina. Tampon
ketiga ditempatkan antara konka inferior dan septum nasi. Ketiga tampon tersebut dipertahankan
selama 10 menit. Kadang –kadang diperlukan penambahan penyemprotan oxymethazoline spray
beberapa kali, melalui rinoskopi anterior untuk memperoleh efek anestesi dan efek
vasokonstriksi yang baik.

Fraktur nasal kominunitiva


Fraktur nasal dengan fragmentasi tulang hidung ditandai dengan batang hidung nampak
rata (pesek); tulang hidung mungkin dinaikkan ke posisi yang aman tetapi beberapa fragmen
tulang tetap hilang. Bidai digunakan untuk memindahkan fragmen tulang ke posisi yang
sebenarnya. Untuk tujuan tersebut beberapa kasa vaselin dimasukkan ke dalam lubang hidung.
Fraktur tulang hidung terbuka
Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung
tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga hidung. Kerusakan
atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk diperbaiki atau direkonstruksi pada saat
tindakan.

Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks


Jika nasal piramid rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat akan
menimbulkan fraktur hebat pada tulang hidung, lakrimal, etmoid, maksila dan frontal. Tulang
hidung bersambungan dengan prossesus frontalis os maksila dan prossesus nasalis os frontal.
Bagian dari nasal piramid yang terletak antara dua bola mata akan terdorong ke belakang.
Terjadilah fraktur nasoetmoid, fraktur nasomaksila dan fraktur nasoorbita. Fraktur ini dapat
menimbulkan komplikasi atau sekuele di kemudian hari.

LO.4.3 Manifestasi Klinis

Tanda yang mendukung terjadinya fraktur tulang hidung dapat berupa :


a) Depresi atau pergeseran tulang – tulang hidung.
b) Terasa lembut saat menyentuh hidung.
c) Adanya pembengkakan pada hidung atau muka.
d) Memar pada hidung atau di bawah kelopak mata (black eye).
e) Deformitas hidung.
f) Keluarnya darah dari lubang hidung (epistaksis).
g) Saat menyentuh hidung terasa krepitasi.
h) Rasa nyeri dan kesulitan bernapas dari lubang hidung.

Tanda-tanda berikut merupakan saat dimana sebaiknya meminta pertolongan dokter meliputi :
- Nyeri dan pembengkakan tidak menghilang 3x24 jam
- Hidung terlihat miring atau melengkung
- Sulit bernapas melalui hidung meskipun reaksi peradangan telah mereda
- Terjadi demam
- Perdarahan hidung berulang
Tanda-tanda berikut dimana sebaiknya meminta pertolongan ke unit gawat darurat :
- Perdarahan yang berlangsung lebih dari beberapa menit pada satu atau kedua lubang hidung
- Keluar cairan berwarna bening dari lubang hidung
- Cedera lain pada tubuh dan muka
- Kehilangan kesadaran
- Sakit kepala yang hebat
- Muntah yang berulang
- Penurunan indra penglihatan
- Nyeri pada leher
- Rasa kebas, baal,atau lemah pada lengan.

LO.4.4 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis fraktur tulang hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan
pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai
dengan pembengkakan mukosa hidung terdapatnya bekuan dan kemungkinan ada robekan pada
mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi pada septum.
Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi Water dan bila
perlu dapat dilakukan pemindaian dengan CT scan. CT scan berguna untuk melihat fraktur
hidung dan kemungkinan terdapatnya fraktur penyerta lainnya.
Pasien harus selalu diperiksa terhadap adanya hematoma septum akibat fraktur, bilamana
tidak terdeteksi. Dan tidak dirawat dapat berlanjut menjadi abses, dimana terjadi resorpsi
kartilago septum dan deformitas hidung pelana ( saddle nose ) yang berat.

a. Anamnesis
Rentang waktu antara trauma dan konsultasi dengan dokter sangatlah penting untuk
penatalaksanaan pasien. Sangatlah penting untuk menentukan waktu trauma dan menentukan
arah dan besarnya kekuatan dari benturan. Sebagai contoh, trauma dari arah frontal bisa menekan
dorsum nasal, dan menyebabkan fraktur nasal. Pada kebanyakan pasien yang mengalami trauma
akibat olahraga, trauma nasal yang terjadi berulang dan terus menerus, dan deformitas hidung
akan menyebabkan sulit menilai antara trauma lama dan trauma baru sehingga akan
mempengaruhi terapi yang diberikan. Informasi mengenai keluhan hidung sebelumnya dan
bentuk hidung sebelumnya juga sangat berguna. Keluhan utama yang sering dijumpai adalah
epistaksis, deformitas hidung, obstruksi hidung dan anosmia

b. Pemeriksaan fisik
Kebanyakan fraktur nasal adalah pelengkap trauma seperti trauma akibat dihantam atau
terdorong. Sepanjang penilaian awal dokter harus menjamin bahwa jalan napas pasien aman dan
ventilasi terbuka dengan sewajarnya. Fraktur nasal sering dihubungkan dengan trauma pada
kepala dan leher yang bisa mempengaruhi patennya trakea. Fraktur nasal ditandai dengan
laserasi pada hidung, epistaksis akibat robeknya membran mukosa. Jaringan lunak hidung akan
nampak ekimosis dan udem yang terjadi dalam waktu singkat beberapa jam setelah trauma dan
cenderung nampak di bawah tulang hidung dan kemudian menyebar ke kelopak mata atas dan
bawah.
Deformitas hidung seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasal yang sangat khas,
deformitas yang terjadi sebelum trauma sering menyebabkan kekeliruan pada trauma baru.
Pemeriksaan yang teliti pada septum nasal sangatlah penting untuk menentukan antara deviasi
septum dan hematom septi, yang merupakan indikasi absolut untuk drainase bedah segera.
Sangatlah penting untuk memastikan diagnosa pasien dengan fraktur, terutama yang meliputi
tulang ethmoid. Fraktur tulang ethmoid biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur nasal
fragmental berat dengan tulang piramid hidung telah terdorong ke belakang ke dalam labirin
ethmoid, disertai remuk dan melebar, menghasilkan telekantus, sering dengan rusaknya ligamen
kantus medial, apparatus lakrimalis dan lamina kribriformis, yang menyebabkan rhinorrhea
cerebrospinalis.
Pada pemeriksaan fisis dengan palpasi ditemukan krepitasi akibat emfisema subkutan,
teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi irregular. Pada pasien dengan hematom septi
tampak area berwarna putih mengkilat atau ungu yang nampak berubah-ubah pada satu atau
kedua sisi septum nasal. Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan penanganan akan
menyebabkan deformitas bentuk pelana, yang membutuhkan penanganan bedah segera.
Pemeriksaan dalam harus didukung dengan pencahayaan, anestesi, dan semprot hidung
vasokonstriktor. Spekulum hidung dan lampu kepala akan memperluas lapangan pandang. Pada
pemeriksaan dalam akan nampak bekuan darah dan/atau deformitas septum nasal.

a. Pemeriksaan radiologis

Jika tidak dicurigai adanya fraktur nasal komplikasi, radiografi jarang diindikasikan.
Karena pada kenyataannya kurang sensitif dan spesifik, sehingga hanya diindikasikan jika
ditemukan keraguan dalam mendiagnosa. Radiografi tidak mampu untuk mengidentifikasi
kelainan pada kartilago dan ahli klinis sering salah dalam menginterpretasikan sutura normal
sebagi fraktur yang disertai dengan pemindahan posisi. Bagaimanapun, ketika ditemukan gejala
klinis seperti rhinorrhea cerebrospinalis, gangguan pergerakan ekstraokular atau maloklusi. CT-
scan dapat diindikasikan untuk menilai fraktur wajah atau mandibular.
LO.4.5 Tatalaksana

Tujuan Penangananan Fraktur Hidung :


a. Mengembalikan penampilan secara memuaskan
b. Mengembalikan patensi jalan nafas hidung
c. Menempatkan kembali septum pada garis tengah
d. Menjaga keutuhan rongga hidung
e. Mencegah sumbatan setelah operasi, perforasi septum, retraksi kolumela, perubahan
bentuk punggung hidung
f. Mencegah gangguan pertumbuhan hidung

KONSERVATIF
Penatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan fungsional dan
bentuk hidung, oleh karena itu pemeriksaan fisik dengan dekongestan nasal dibutuhkan.
Dekongestan berguna untuk mengurangi pembengkakan mukosa. Pasien dengan perdarahan
hebat, biasanya dikontrol dengan pemberian vasokonstriktor topikal. Jika tidak berhasil bebat
kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah jarang
dilakukan. Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah
vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai perdarahan
berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya dan kepala sedikit ditinggikan
untuk mengurangi pembengkakan. Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi,
komplikasi dan kematian. Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan
memberikan rasa nyaman pada pasien.
Fraktur nasal merupakan fraktur wajah yang tersering dijumpai. Jika dibiarkan tanpa
dikoreksi, akan menyebabkan perubahan struktur hidung dan jaringan lunak sehingga akan
terjadi perubahan bentuk dan fungsi. Karena itu, ketepatan waktu terapi akan menurunkan resiko
kematian pasien dengan fraktur nasal. Terdapat banyak silang pendapat mengenai kapan
seharusnya penatalaksanaan dilakukan. Penatalaksanaan terbaik seharusnya dilakukan segera
setelah fraktur terjadi, sebelum terjadi pembengkakan pada hidung. Sayangnya, jarang pasien
dievaluasi secara cepat. Pembengkakan pada jaringan lunak dapat mengaburkan apakah patah
yang terjadi ringan atau berat dan membuat tindakan reduksi tertutup menjadi sulit dilakukan.
Sebab dari itu pasien dievaluasi setelah 3-4 hari berikutnya. Tindakan reduksi tertutup dilakukan
7-10 hari setelahnya dapat dilakukan dengan anestesi lokal. Jika tindakan ditunda setelah 7-10
hari maka akan terjadi kalsifikasi.
Setelah memastikan bahwa saluran napas dalam kondisi baik, pernapasan optimal dan
keadaan pasien cenderung stabil, dokter baru melakukan penatalaksaan terhadap fraktur.
Penatalaksanaan dimulai dari cedera luar pada jaringan lunak. Jika terjadi luka terbuka dan
kemungkinan kontaminasi dari benda asing, maka irigasi diperlukan. Tindakan pembersihan
(debridement) juga dapat dilakukan. Namun pada tindakan debridement harus diperhatikan
dengan bijak agar tidak terlalu banyak bagian yang dibuang karena lapisan kulit diperlukan
untuk melapisi kartilago yang terbuka.

OPERATIF
Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang, penanganan
bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan. Deformitas akibat fraktur nasal
sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi
hidung.
A. Teknik reduksi tertutup
Reduksi tertutup adalah tindakan yang dianjurkan pada fraktur hidung akut yang
sederhana dan unilateral. Teknik ini merupakan satu teknik pengobatan yang digunakan untuk
mengurangi fraktur nasal yang baru terjadi. Namun, pada kasus tertentu tindakan reduksi terbuka
di ruang operasi kadang diperlukan. Penggunaan analgesia lokal yang baik, dapat memberikan
hasil yang sempurna pada tindakan reduksi fraktur tulang hidung. Jika tindakan reduksi tidak
sempurna maka fraktur tulang hidung tetap saja pada posisi yang tidak normal. Tindakan reduksi
ini dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang terjadi mungkin
sangat sedikit. Namun demikian tindakan reduksi secara lokal masih dapat dilakukan sampai 14
hari sesudah trauma. Setelah waktu tersebut tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena
sudah terbentuk proses kalsifikasi pada tulang hidung sehingga perlu dilakukan tindakan
rinoplasti estetomi.

B. Teknik reduksi terbuka


Fraktur nasal reduksi terbuka cenderung tidak memberikan keuntungan. Pada daerah
dimana fraktur berada sangat beresiko mengalami infeksi sampai ke dalam tulang. Masalah pada
hidung menjadi kecil karena hidung mempunyai banyak suplai aliran darah bahkan pada masa
sebelum adanya antibiotik, komplikasi infeksi setelah fraktur nasal dan rhinoplasti sangat jarang
terjadi.

LO.4.6 Komplikasi

A) Hematom septi
Merupakan komplikasi yang sering dan serius dari trauma nasal. Septum hematom
ditandai dengan adanya akumulasi darah pada ruang subperikondrial. Ruangan ini akan
menekan kartilago di bawahnya, dan mengakibatkan nekrosis septum irreversible.
Deformitas bentuk pelana dapat berkembang dari jaringan lunak yang hilang. Prosedur yang
harus dilakukan adalah drainase segera setelah ditemukan disertai dengan pemberian
antibiotik setelah drainase. 3,7,12
Penanganan hematom septum berupa :
- insisi dan drainase hematoma,
- pemasangan drain sementara,
- pemasangan balutan intranasal untuk menekan mukosa septum
- dan memperkecil kemungkinan terjadinya hematom ulang
- dimulainya terapi antibiotik untuk mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya infeksi.
B) Fraktur dinding orbita
Fraktur pada dinding orbita dan lantai orbita akibat pukulan dapat terjadi. Gejala klinis
yang muncul adalah disfungsi otot ekstraokuler.
C) Fraktur septum nasal
Sekitar 70% fraktur nasal dihubungkan dengan fraktur septum nasal. Trauma pada
hidung bagian bawah akan menyebabkan fraktur septum nasal tanpa adanya kerusakan
tulang hidung. Teknik yang dilakukan adalah teknik manipulasi reduksi tertutup dengan
menggunakan forceps Asch.
D) Fraktur lamina kribriformis
Merupakan predisposisi pengeluaran cairan cerebrospinalis, yang akan
menyebabkan komplikasi berupa meningitis, encephalitis dan abses otak.

LI.5. Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Intrakranial


LO.5.1 Definisi

Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di dalam kranium,


yang mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral (parenkimatosa). Perdarahan
intrakranial dapat terjadi pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor
otak dan lain-lain. 8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke dan kelainan dengan
spectrum yang luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan subaraknoid, ICH
umumnya lebih banyak mengakibatkan kematian atau cacat mayor. ICH yang disertai dengan
edema akan mengganggu atau mengkompresi jaringan otak sekitarnya, menyebabkan disfungsi
neurologis. Perpindahan substansi parenkim otak dapat menyebabkan peningkatan ICP dan
sindrom herniasi yang berpotensi fatal.

LO.5.2 Klasifikasi
Menurut (Tobing, 2011) perdarahan intrakranial diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan
cedera otak difus.
 Cedera otak fokal yang meliputi :
o Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial
antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat
menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan
kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil
itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan
hemiparesis.
o Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi
akut (6-3 hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan
korteks cerebri.Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.Biasanya
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding
pada perdarahan epidural.
o Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3
minggu setelah trauma.Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah
darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga
akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari
akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan
dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di
ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses
degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang
dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor
diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak.
Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung,
kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic
attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang bervariasi seperti kelemahan
motorik dan kejang
o Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang
terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan
antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi
dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak
lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala
klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat
penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang
dialami.
o Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik
arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA).Luasnya PSA
menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna
prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan
menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.
 Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)
Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi
dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim
yang sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi :
o Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan
inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang
menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan
inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis
ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara inti profunda dengan inti permukaan .
o Kontsuio cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek
gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri
adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya
gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh
tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas adalah
kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang
mengenai kepala.
o Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada edema
cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat
pada daerah yang mengalami edema.Edema otak bilateral lebih disebabkan karena
episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.
o Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau
terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan
karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.

Klasifikasi perdarahan intrakranial akibat trauma kapitis dan manifestasi klinis :


1. Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala perdarahan epidural
yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai oleh anisokoria
pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral. Perdarahan epidural di
daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran
(biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa hari.
2. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang biasanya
meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian yaitu:
a. Perdarahan subdural akut
- Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon
yang lambat, serta gelisah.
- Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
- Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera
batang otak.
b. Perdarahan subdural subakut
- Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera dan
dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.
- Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
c. Perdarahan subdural kronis
- Terjadi karena luka ringan.
- Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.
- Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara
pelan-pelan ia meluas.
- Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
- Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.
3. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak yaitu yang
dikenal sebagai ruang subaraknoid (Ausiello, 2007).
4. Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak. Perdarahan
intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.
5. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Di mana terjadi
penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan hentaman, ini dikenali sebagai
counter coup phenomenon. (Hallevi, Albright, Aronowski, Barreto, 2008).

Dugaan adanya perdarahan di dalam kepala dapat dilihat dari tanda dan gejala yang ada.
Pemeriksaan radiologi, seperti CT scan atau MRI dapat digunakan untuk melihat perdarahan
yang terjadi.

1. Epidural Hematom

Gambar CT-scan epidural hematom


 Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
- Trauma kepala
- Sobekan a/v meningea median
- Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
- Ruptur v diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier yang
menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak
yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya (9 %) disebabkan oleh regangan
dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang
terjadi hanya sementara. Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang
terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal
atau tulang sfenoid.
 Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :
- Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
- Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
- Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
 Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat,
seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial
linier.Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau
keduanya.Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati
lekukan minengeal pada squama temporal.
 Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari :
- Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan
perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral.Lebih dari
50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari
saat terjadinya cedera. Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya
jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval
lucid.Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal.Interval ini
menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena
trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi
transtentorial.Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan
yang dimungkinkan berasal dari arteri.
- Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran
massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga
menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.
- Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun
sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya
kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
 Terapi
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin,
dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya
pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi-kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom

2. Subdural Hematoma

Gambar CT-scan subdural hematom


 Etiologi
- Trauma kepala
- Malformasi arteriovenosa
- Diskrasia darah
- Terapi antikoagulan
 Klasifikasi
- Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebihlanjut pada
pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.Pada gambaran skening tomografinya,
didapatkan lesi hiperdens.
- Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada
subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah .Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya.Pada gambaran
skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan
karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
- Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah
trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular
atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati
hati karena hematoma ini lama kelamaan bisamenjadi membesar secara perlahan- lahan
sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula
jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih
belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada
araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini.Kapsula ini mengandung pembuluh
darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater.Karena dinding yang tipis ini
protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari
hematoma.Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang
menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk
cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan
membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma
subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran
skening tomografinya didapatkan lesi hipodens
 Patofisiologi
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah
lokasi umum terjadinya perdarahan.Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral
dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam
exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.
 Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penutunan
kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera
neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.Gejala yang timbul tidak khas
dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual,
muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan
defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga
tumor otak.
 Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya
dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua
dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah
mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi
(diandingkan dengan burr-hole saja).
3. Intraserebral Hematom

Gambar CT-scan Intraserebral hematom


 Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :
- Trauma kepala.
- Hipertensi.
- Malformasi arteriovenosa.
- Aneurisme
- Terapi antikoagulan
- Diskrasia darah
 Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
- Hematom supra tentoral.
- Hematom serbeller.
- Hematom pons-batang otak.
 Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia
basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.
 Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan hematom
ekstra aksial lainnya.Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari pasca cedera,
namun dengan adanya scan computer tomografi otakdiagnosanya dapat ditegakkan lebih
cepat.
 Kriteria diagnosis hematom supra tentorial
- nyeri kepala mendadak
- penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
- Tanda fokal yang mungkin terjadi ; Hemiparesis / hemiplegi, Hemisensorik, Hemi
anopsia homonym, Parese nervus III.
- Kriteria diagnosis hematom serebeller ; Nyeri kepala akut, Penurunan kesadaran, Ataksia,
Tanda tanda peninggian tekanan intracranial
- Kriteria diagnosis hematom pons batang otak: Penurunan kesadaran koma, Tetraparesa,
Respirasi irregular, Pupil pint point, Pireksia, Gerakan mata diskonjugat.
 Terapi
Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif.Tekanan darah harus
diawasi.Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi.Intra cerebral hematom yang luas
dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan
intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk
hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya elevasi
tekanan intrakranial karena terapi medis
a. Konservatif
- Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial
- Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebellar
- Bila perdarahan pons batang otak
b. Pembedahan
- Kraniotomi
- Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa
- Bila perdarahan cerebellar lebih dari 15 cc dengan effek massa

LO.5.3 Diagnosis dan Diagnosis Banding

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam
penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang
mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan
dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang signifikan
pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya terbatas,
perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang menyebabkan
kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan
hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level
hematokrit.
PENCITRAAN
 Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular
cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin
diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural.
Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium.
Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.
 CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa
perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan
epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya
pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus
mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang
besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom
kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom
menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari
waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu
tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4
minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut
mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin
serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat
disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.
Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan
mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital
dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial
lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan
hematom intraserebral
 MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat
untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat
diamati ketika meluas.

LO.5.4 Tatalaksana
Terapi Obat-obatan
Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang baik
pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural, herniasi otak
yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2)
pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang
memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume lebih
cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan yang
sangat ketat jika diambil rute konservatif.
Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera. Jika
lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan
pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal.
Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian
klinis, publikasi terbaru “Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury”
merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm
tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani
secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya
ukuran hematom nantinya sebelum terjadi perburukan. Terbentuknya perdarahan epidural
terhambat telah dilaporkan. Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien
memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus diindikasikan.
Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada stadium awal perdarahan epidural,
khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah diamati.
Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer
yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah
didiskusikan diatas.

Terapi Bedah
Berdasarkan pada “Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury“,
perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa
mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural
memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm.
Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status
kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi.
Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan. Hematom
temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan
lebih cepat. Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan gangguan
sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia
terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial.
Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa,
khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang cepat.
Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.
Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini :
 Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial
yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat.
 Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.

LO.5.5 Komplikasi
Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka
kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti. Ketika otak menjadi subyek herniasi
subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark
serebral.
Herniasi ke bawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak, paling
sering di pons.
Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang seringnya
membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy nervus III
kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan menggerakkan mata
ke arah medial, atas, dan bawah.
Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau
fraktur bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak
mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas fraktur membesar.
Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan massa scalp pulsatil.

4 . Memahami dan mempelajari trias cushing.


4.1. Menjelaskan trias cushing.
Trias cushing merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan oleh meningkatnya tekanan
intrakranial.
 Hipertensi
 Bradikardi
 Depresi pernapasan
Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera kepala,
timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48 jam untuk mencapai maksimum. Peningkatan
tekanan intrakranial sampai 33 mmHg mengurangi aliran darah otak secara bermakna.Iskemia
yang timbul merangsang pusat motor, dan tekanan darah sistemik meningkat, Rangsangan pada
pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lambat.Mekanisme
kompensasi ini, dikenal sebagai refleks Cushing, membantu mempertahankan aliran darah
otak.Akan tetapi, menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi Co2 dan mengakibatkan
vasodilatasi otak yang membantu menaikkan tekananan intrakranial.
Daftar Pustaka
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC,
Jakarta,1995, 1014-1016.

Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2006,
359-366

Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D. EGC, Jakarta,
2004, 818-819

Mc.Donald D., Epidural Hematoma, http://www.emedicine.com

Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2005, 314

Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Kilinis Dasar, Dian
Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259

Price D., Epidural Hematoma, http://www.emedicine.com

Anda mungkin juga menyukai