Anda di halaman 1dari 37

WRAP UP SKENARIO 2

BLOK EMERGENSI
“Trauma Pada Kepala”

KELOMPOK A – 3

Ketua : Shafa Kamila 1102016195


Sekretaris : Nabella Des Kaulika 1102016144
Anggota : R. Nur Hernita Andini P 1102016174
Dodi Kurniawan 1102015063
Tuti Ulfah Zakiyyah 1102015242
Erika Pratista Hermawan 1102016061
Rizky Ayu Purbosari 1102017203
Inggit Sukmawati 1102017110
Kania Aurellia Yudhita 1102017119

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Skenario 2
TRAUMA PADA KEPALA

Perempuan berusia 25 tahun dibawa ke UGD RS dengan penurunan kesadaran setelah


tertabrak motor saat menyebrang jalan 2 jam yang lalu. Sesaat setelah ditabrak pasien
pingsan. Dalam perjalanan ke RS pasien sempat tersadar sekita 10 menit, kemudian
mengeluh nyeri kepala, muntah, dan kembali tidak sadar. Keluar darah dari hidung dan
telinga.

Tanda Vital
Airway : terdengar bunyi snoring
Breathing : frekuensi nafas 10x/menit
Circulation : tekanan darah 160/90 mmHg, frekuensi nadi 40x/menit

Wajah
Terlihat adanya brill hematoma
Trauma di daerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya cerebrospinal
rhinorrhea, mobilitas dari maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi.

Hidung
Inspeksi : adanya edema atau deformitas pada hidung tidak ada
Palpasi : terdapat krepitasi pada hidung
Pemeriksaan fisik menggunakan rinoskopi anterior : terdapat clothing perdarahan aktif tidak
ada, tampak laserasi di septum dan konka inferior

Telinga
Liang telinga : lapang, terdapat laserasi, clothing (+), tidak terdapat perdarahan aktif dan
membrane timpani utuh

Status Neurologi
GCS E1 M1 V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 5 mm/3 mm, RCL -/+, RCTL -/+, kesan
hemiparesis dekstra, reflex patologis Babinsky +/-
KATA SULIT

1. Brill hematoma: kelopak mata bengkak dan berwarna merah keunguan, penimbunan
darah dibawah kulit kelopak mata
2. Cerebrospinal rinorea: sekret cairan serebrospinal yang keluar dari hidung karena
fraktur basis cranii
3. Snoring: bunyi nafas seperti ngorok
4. Maloklusi: sejenis malposisi dan kontak antar gigi maxilar dan mandibular
sedemikian rupa sehingga mengganggu gerakan rahang pada saat proses mengunyah
5. Refleks babinsky: refleks yang timbul ketika telapak kaki dirangsang dengan
instrumen tumpul
6. Clothing: pembekuan darah

PERTANYAAN

1. Kenapa terjadi cerebrospinal rinorrhea?


2. Kenapa refleks babinsky positif?
3. Kenapa terdengar bunyi snoring?
4. Bagaimana tindakan awal yang dilakukan?
5. Tatalaksana yang dapat dilakukan?
6. Apa penyebab pupil anisokor?
7. Mengapa bisa keluar darah dari hidung dan telinga?
8. Apa yang menyebabkan nyeri kepala dan muntah?
9. Apa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan?
10. Mengapa pasien pingsan setelah tertabrak?
11. Mengapa pasien sempat mengalami keadaan sadar sesaat?
12. Apa diagnosis pasien?
13. Apa komplikasi pasien?

JAWABAN
1. Trauma pada kepala dan wajah, non trauma disebabkan tekanan intrakranial normal
seperti tumor dan hidrosephalus
2. Sebagai tanda adanya masalah pada neurologis atau syaraf
3. Karena lidah menghambat jalan nafas, disebabkan maloklusi
4. Tindakan awal: airway, breathing, circulation. Bisa dilakukan resusitasi dan
menghentikan perdarahan, perbaikan cairan
5. Tindakan awal: airway, breathing, circulation. Bisa dilakukan resusitasi dan
menghentikan perdarahan, perbaikan cairan
6. Adanya penekanan pada nervus optikus
7. Karena terjadinya fraktur pada kranial dan os nasal yang mengakibatkan keluarnya
darah dari hidung dan telinga
8. Karena pada pasien ada trauma, menyebabkan TIK tinggi, sehingga menyebabkan
nyeri kepala dan jika berlanjut menyebabkan cushing triad. Muntah karena ada
penekanan pada pusat muntah karena ada rangsangan dari nervus vagus
9. ct scan, MRI, rontgen kepala, pemeriksaan darah lengkap, kadar elektrolit, EEG/EKG,
uji fungsi hati dan tes toksikologi
10. Karena saat kecelakaan, pasien mengalami fraktur pada kepala menyebabkan
pelepasan glutamat yang menyebabkan kerusakan mitokondria sehingga oksigen
menurun dan pasien pingsan
11. Karena pada pasien terjadi interval lucid, tanda khas nya pada perdarahan epidural
12. Fraktur basis cranii (trauma kepala)
13. Dapat menyebabkan kelumpuhan permanen dan kerusakan batang otak

HIPOTESIS
Fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh trauma pada kepala, dapat menimbulkan gejala
cerebrospinal rinorrhea karena trauma dan non trauma; refleks babinsky positif karena
masalah pada neurologis atau syaraf; bunyi snoring karena adanya hambatan jalan nafas;
nyeri kepala karena peningkatan TIK; muntah karena ada penekanan pada pusat muntah;
pupil anisokor karena adanya penekanan pada nervus optikus. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan ct scan, MRI, dan rontgen kepala, pemeriksaan darah lengkap, kadar elektrolit,
EEG/EKG, uji fungsi hati dan tes toksikologi. Tatalaksananya yaitu Airway, Breathing,
Circulation. Komplikasinya dapat menyebabkan kelumpuhan permanen dan kerusakan
batang otak.
SASARAN BELAJAR

LI I. MM Trauma pada kepala/ cedera serebrospinal


1.1 Definisi
1.2 Etiologi
1.3. Epidemiologi
1.4 Klasifikasi
1.5 Patofisiologi
1.6 Manifestasi klinis
1.7 Cara diagnosis dan diagnosis banding
1.8 Tatalaksana
1.9 Komplikasi
1.10 Pencegahan
1.11 Prognosis

LI II. MM Fraktur basis cranii

LI III. MM Perdarahan intracranial akibat trauma

LI IV. MM Trias cushing


LI I. M.M Trauma pada kepala/ cedera serebrospinal

1.1 Definisi
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).

1.2 Etiologi
Menurut Cholik Harun Rosjidi & Saiful Nurhidayat (Buku Ajar Peningkatan Intrakranial
2009), etiologi cedera kepala adalah:
a)    Kecelakaan lalu lintas
b)    Jatuh
c)    Pukulan
d)    Kejatuhan benda
e)    Kecelakaan kerja atau industri
f)    Cedera lahir
g)   Luka tembak

1.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena trauma, dan setengah dari total
kematian akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik
dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada
semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-
24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering dibandingkan wanita
(Rowland et al, 2010).
Menurut Brain Injury Association of America, dua kelompok umur mengalami risiko yang
tertinggi adalah dari umur 0 sampai 4 tahun dan 15
sampai 19 tahun (CDC, 2006).
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu lintas yang dapat
dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk transportasi darat,
tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7 persen (RISKESDAS,
2013).

1.4 Klasifikasi
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan: mekanisme, beratnya cedera,
dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
a. Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan
benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang
menyebabkan otak bergerak di dalam rongga kranial dan melakukan kontak pada
protuberas tulang tengkorak.
b. Cedera kepala tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

2. Beratnya Cedera Kepala


Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi
perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita
yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara
maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8
didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita
cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita
dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.

Klasifikasi Keterangan
Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit
Amnesia post traumatik < 24 jam
GCS = 13-15
Sedang Kehilangan kesadaran  20 menit dan  36 jam
Amnesia post traumatik  24 jam dan  7 hari
GCS = 9-12
Berat Kehilangan kesadaran > 36 jam
Amnesia post traumatik > 7 hari
GCS = 3-8
Sumber : Brain Injury Association of Michigan (2005)

3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear
atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak
biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone window” untuk
memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit
kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak
dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.
b. Lesi Intra Kranial

1. Cedera otak difus

Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat
buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami
amnesia retro/anterograd.
Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok
yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa
kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas
area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD)
untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara
mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi
klinisnya.

2. Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan gambarannya
berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau
temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat
fraktur tulang tengkorak.

3. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini terjadi
akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.

4. Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat,
dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral yang
membutuhkan tindakan operasi.

1.5 Patofisiologi
Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi dibagi menjadi dua yang didasarkan pada
asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti
proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan itu,
dikelompokkan cedera kepala menjadi dua (Youmans, 2011):

1. Cedera Otak Primer

Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik yang merusak
jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan perdarahan). Cedera ini dapat
berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi
akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat
memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan
lokal, multifokal ataupun difus (Valadka, 1996).

Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan atau pembuluh darah. Cedera parenkim
berupa kontusio, laserasi atau Diffuse Axonal Injury (DAI), sedangkan cedera pembuluh
darah berupa perdarahan epidural, subdural, subarachnoid dan intraserebral (Graham, 1995),
yang dapat dilihat pada CT scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan
subarachnoid traumatik dan DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskemik baik
fokal maupun global (Valadka, 1996).

Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti hipotensi, hipoksia,
tekanan intrakranial /Intracranial Pressure (ICP) yang meninggi, edema, kompresi jaringan
fokal, kerusakan mikrovaskular pada fase lanjut (late phase), terjadi vasospasme (Vazquez-
Barquero,1992; Ingebrigtsen, 1998). Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi menjadi:

1. Fase awal (fase1, segera, dengan hipoperfusi),

2. Fase intermediate (fase2, hari1-3, tampak hiperemia)

3. Fase lanjut vasospastik (fase3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran darah (Ingebrigtsen, et
al. 1998).

Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral Blood Flow (CBF),
dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic core) yang tidak memberi respon
terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion Pressure (CPP) (Andersson, 2003). Secara
anatomis cedera kepala primer dapat dikelompokkan menjadi cedera fokal dan difus
(Teasdale, 1995).

a. Cedera otak fokal


Cedera otak fokal secara tipikal menimbulkan kontusio serebri dan traumatik Intrakranial
hematoma (Winn, 2017).

1. Kontusio Serebri (memar otak)


Kontusio serebri merupakan cedera fokal berupa perdarahan dan bengkak pada subpial,
merupakan cedera yang paling sering terjadi. Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa
postmortem mengalami kontusio serebri (Cooper, 1982). Depreitere et al melaporkan bahwa
kasus kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian dan cedera olahraga (Depreitere, 2004).

2. Traumatik Intrakranial Hematom

Intrakranial hematom tampak sebagai suatu massa yang merupakan target terapi yang
potensial dari intervensi bedah (sebagai lawan paling memar). Lebih sering terjadi pada
pasien dengan tengkorak fraktur. Tiga jenis utama dari hematoma intrakranial dibedakan oleh
lokasi relatif terhadap meninges: epidural, subdural, dan intracerebral.

1. Epidural Hematoma (EDH).

EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang
tengkorak dan duramater. EDH dapat menimbulkan penurunan kesadaran, adanya lusid
interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neurologis berupa hemiparesis
kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit
kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

2. Subdural Hematoma (SDH).

Perdarahan subdural adalah perdarahan antara duramater dan arachnoid, yang biasanya
meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian yaitu:

a. Perdarahan subdural akut

SDH akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (0-2 hari).
Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Gejala
klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon yang lambat, serta
gelisah. Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera batang
otak.

b. Perdarahan subdural subakut

Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 2-14 harisetelah cedera dan dihubungkan
dengan kontusio serebri yang agak berat. Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran.

c. Perdarahan subdural kronis

Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural. Beberapa
minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara pelan- pelan ia meluas,
bisanya terjadi lebih dari 14 hari. Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau
beberapa bulan. Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.

3. Intracerebral Hematoma (ICH).

Intracerebral Hematoma adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat
di dalam parenkim otak. ICH bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan
tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang
menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak
atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.

4. Subarahnoid Hematoma (SAH) Traumatik.

Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri
maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoid.

2. Cedera Otak Difus

Cedera otak difus merupakan efek yang paling sering dari cedera kepala dan merupakan
kelanjutan klinis cedera kepala, mulai dari gegar otak ringan sampai koma menetap pasca
cedera (Sadewa, 2011).

1. Benturan (concussion) serebri

Benturan adalah bentuk paling ringan dari cedera difus dan dianggap karena gaya rotasional
akselerasi kepala dengan tidak adanya kontak mekanik yang signifikan. Dalam bentuk klasik,
penderita benturan mengalami kehilangan kesadaran sementara dan cepat kembali ke keadaan
normal kewaspadaan. Meskipun, gegar otak ini tidak berbahaya seperti yang diduga
sebelumnya, tetapi benturan berulang sering mengakibatkan gangguan neurologis permanen.

2. Cedera akson difus (Difuse axonal injury)

Difus Axonal Injury (DAI) adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan
inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang
menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghubungkan
inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan.

1.6 Manifestasi klinis


Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan :


a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
c. Mual atau dan muntah
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
e. Perubahan keperibadian diri
f. Letargi

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat :


a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau
meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)

1.7 Cara diagnosis dan diagnosis banding

Anamnesis
Informasi yang diperlukan adalah: (Tim Neurotrauma, 2014)
1. Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat
2. Keluhan utama
3. Mekanisma trauma
4. Waktu dan perjalanan trauma
5. Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
6. Amnesia retrograde atau antegrade
7. Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo
8. Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala
9. Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi dan
diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta pemeriksaan khusus
untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode: (Neurotrauma, 2014)
 Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,
 Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)

Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah: (Neurotrauma, 2014)
1. Pemeriksaan kepala
Mencari tanda:
a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka tembus
dan benda asing.
b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill hematoma),
ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di
membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius.
c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita dan
fraktur mandibula
d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik mata
depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.
e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang berhubungan
dengan diseksi karotis.

2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang

Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan cedera pada
medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status motorik, sensorik, dan
autonomik.

Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis


a. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak
atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan
bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat
digunakan bila CT scan tidak ada (State of Colorado Department of Labor and
Employment, 2006).
b. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner (CT Scan) penting dalam
memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat,,
2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita
cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan
fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai
CT scan abnormal.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa.
MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada
pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer,
atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk
untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan
intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007).
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi
baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera
Akson Difus (CAD).

Indikasi pemeriksaan foto polos kepala: (Neurotrauma, 2014)


1. Kehilangan kesadaran, amnesia
2. Nyeri kepala menetap
3. Gejala neurologis fokal
4. Jejas pada kulit kepala
5. Kecurigaan luka tembus
6. Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga
7. Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba
8. Kesulitan dalam penilaian klinis: mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, anak
9. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko: benturan
langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasien usia > 50 tahun.

Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala: (Neurotrauma, 2014)


1. GCS< 13 setelah resusitasi.
2. Deteorisasi neurologis: penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis, kejang.
3. Nyeri kepala, muntah yang menetap
4. Terdapat tanda fokal neurologis
5. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur
6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
7. Evaluasi pasca operasi
8. Pasien multitrauma (trauma signifikan lebih dari 1 organ)
9. Indikasi sosial.

Kriteria pasien cedera kepala dapat dipulangkan dengan pesan: Sadar dan orientasi baik, tidak
pernah pingsan, tidak ada gejala neurologis, keluhan berkurang, muntah atau nyeri kepala
hilang, tak ada fraktur kepala atau basis kranii, ada yang mengawasi di rumah, tempat tinggal
dalam kota (Neurotrauma, 2014)

Diagnosis Banding
Diagnosis Banding Berhubungan dengan Cedera Kepala Traumatis
 Gangguan Depresi Utama
 Gangguan Kecemasan Generalisata
 Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
 Chronic Pain Syndrome
 Substance Abuse or Polypharmacy
 Somatoform Disorder/Factitious Disorder
 Malingering/ Pura-pura sakit
 Post Traumatic Headache
 Fibromyalgia syndrome (secondary)
 Primary Sleep Disorder: e.g., Obstructive Sleep Apnea

1.8 Tatalaksana
Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:
1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan
terjadinya tekanan tinggi intrakranial
2. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)
3. Minimalisasi kerusakan sekunder
4. Mengobati simptom akibat trauma otak
5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi
(antikonvulsan dan antibiotik)
Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:
1. Cedera kranioserebral tertutup
• Fraktur impresi (depressed fracture)
• Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan volume perdarahan
lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah lebih dari 3 mm serta
ada perburukan kondisi pasien
• Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan pendorongan garis
tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/obliterasi sisterna basalis
• Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan
neurologik atau herniasi

2. Pada cedera kranioserebral terbuka


• Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur multipel,
durameter yang robek disertai laserasi otak
• Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari
• Pneumoencephali
• Corpus alienum
• Luka tembak

Tatalaksana pasien dalam keadaan sadar (SKG=15)


 Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan tidak ada
defisit neurologik, dan tidakada muntah. Tindakan hanya perawatan luka. Pemeriksaan
radiologik hanya atas indikasi.Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan
keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai kesadaran menurun saat
diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien harus segera
dibawa kembali ke rumah sakit.
 Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral,
dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera
kranioserebral ringan (CKR).

Tatalaksana pasien dengan penurunan kesadaran


 Cedera kepala ringan (SKG = 13-15)
Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi
bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam
di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid
interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi
(pupil anisokor, refleksi patologis positif). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.
 Cedera kepala sedang (SKG = 9-13)
Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan
sirkulasi (Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ lain.
Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas lakukan fiksasi leher
dengan pemasangan kerah leher dan atau fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya.
 Cedera kepala berat (SKG 3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur servikal,
segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan
dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral
sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU.

Tindakan di ruang unit gawat darurat :


1. Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C = Circulation
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi.
Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah,
lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan
melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.Kelainan sentral
disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes,
hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi,
trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi.
Tata laksana:
• Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
• Cari dan atasi faktor penyebab
• Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90 mm
Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan
kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia
karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/
pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan
cairan isotonik NaCl 0,9%.

1.9 Komplikasi
a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang
terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu
ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis
fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
b. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang
terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini masih
kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis
meningitis.
c. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi
dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini
merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan
patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak
stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1
tablet peroral atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis
3x1 ampul IV selama 5 hari.
1.10 Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap
peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu
lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti
pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang untuk
mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian
pertolongan pertama, yaitu :
1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada kasus
cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas
utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh
karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi
gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita
sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya
gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat
terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke
dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.
2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu
pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan
akan dapat menimbulkan kematian.
3. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah sehingga
pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat
diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfuse
darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.

c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat,
penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk
mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting
untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan
dukungan psikologis bagi penderita. Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala
akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi
psikologis dan sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan
bawah tubuh.
b. Perlengkapan splint dan caliper
c. Transplantasi tendon

1.12 Prognosis
 Prognosis TK tergantung berat dan letak TK.

 Prognosis TK buruk jika pada pemeriksaan ditemukan pupil midriasis dan tidak ada
respon E, V, M dengan rangsangan apapun. Jika kesadarannya baik, maka prognosisnya
dubia, tergantung jenis TK, yaitu: pasien dapat pulih kembali atau traumanya bertambah
berat.

 Faktor yang memperjelek prognosis adalah terlambatnya penanganan awal/resusitasi,


transportasi yang lambat, dikirim ke RS yang tidak memadai, terlambat dilakukan
tindakan pembedahan dan disertai trauma multipel yang lain

LI II. M.M Fraktur Basis Cranii

2.1 Definisi
Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater. Fraktur
basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan
regio occipital condylar. Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-
nya menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.

2.2 Etiologi
Sebagian besar fraktur tengkorak basilar disebabkan oleh trauma tumpul berkecepatan
tinggi seperti tabrakan kendaraan bermotor, kecelakaan sepeda motor, dan cedera pejalan
kaki. Jatuh dan serangan juga merupakan penyebab penting. Cedera tembus seperti luka
tembak terhitung kurang dari 10% kasus (Fracture, Basilar Skull (Simon, 2017)).

2.3 Epidemiologi

Kasus cidera kepala merupakan permasalahan utama dibidang kesehatan dan juga
sosioekonomi diseluruh dunia. Cedera kepala adalah salah satu penyebab kematian utama
dikisaran usia produktif. Secara global insiden cedera kepala meningkat terutama karena
peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. Prevalensi kasus cidera kepala banyak terjadi
baik di negara maju maupun negara berkembang. Berbagai studi epidemiologi telah
dipublikasi terkait kasus trauma kepala. Taglieferri dkk melakukan review sistematik tentang
epidemiologi dari trauma kepala di eropa tahun 2006, didapatkan bahwa rerata laju mortalitas
kasus trauma kepala adalah 15 per 100.000 orang per tahun dengan tingkat fatal kasus 2,7%.
Tahun 2014 Mauritz dkk melaporkan insiden kasus trauma kepala 21 per 100.000 orang per
tahun. Adapun data di Indonesia menurut resume Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Indonesia tahun 2007 melaporkan prevalensi cedera menurut bagian tubuh. Prevalensi
kasus cedera kepala mencapai 16,4%.

2.4 Klasifikasi

Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut fraktur
calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut fraktur basis cranium.

FRAKTUR BASIS TENGKORAK


Fraktur atap orbita
Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal
(LCS) bersama darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita; dari luar disekitar
mata tampak kelopak mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle
Hematoma, bila dua mata disebut Brill Hematoma /  Raccoon’s eyes.
Fraktur melintas Lamina Cribrosa
Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman (Nervus
Olfactorius) sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya penciuman
(hyposmia) sampai hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater dan
arachnoid sehingga LCS bercampur darah akan keluar dari rongga hidung (Rhinorrhoea).
Fraktur Os Petrossum
Puncak (Apex) os. petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam
rongga telinga tengah dan memecahkan membrana tympani; dari telinga keluar LCS
bercampur darah (otorrhoea).

Fraktur Sella Tursica


Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars
anterior dan pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu
adalah pars posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone) yang
menyebabkan Diabetes Insipidus.
Sinus Cavernosus Syndrome.
Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan
Arteri Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan
langsung arteri – vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus
Cavernsus –> Carotid – Cavernous Fistula).
Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit, conjunctiva berwarna
merah. Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar
suara seperti air mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ).
Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus ,
yang terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung
(berwarna merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrom.
Fraktur melintas os petrosum
fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid,
menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid
sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut Battle’s Sign.
Fraktur melintas Foramen Magnum
Di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan
merusak Medula Oblongata , menyebabkan kematian seketika.
Jenis fraktur basis cranii :
 Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe
dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal dari
fraktur temporal dan type longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini.
(A)Transverse temporal bone fracture and (B)Longitudinal temporal bone fracture
(courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia,
Pennsylvania)

 Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa
pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani.
Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju
cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen
spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum
dari tiga suptipe (70-90%).Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan
memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-
30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan
transversal.
Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini
membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang
terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells.Fraktur tersebut tidak disertai
dengan deficit nervus cranialis.
 Fraktur condylar occipital, adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi
aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini
dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi
alternative membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa
cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan
kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang
dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II
diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial
tidak mengalami kerusakan.Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan
lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.
 Fraktur clivus, digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan
kendaraan nbermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan
dalam literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk, terutama bila
melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya
dijumpai pada fraktur tipe ini.

2.5 Patofisiologi
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah
dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari
benturan pada wajah atau mandibula; atau efek ‘remote’ dari benturan pada kepala
(‘gelombang tekanan’ yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi
foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture
komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit
lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera
batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar
tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan
dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala
(sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada
pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan
sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan
gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum,
beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi
akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke
superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah
occiput atau mandibula.
Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis cranii
akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial,
yang disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan.
Para peneliti menemukan fraktur basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area
wajah saja.

2.6 Manifestasi klinis


Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada
mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan
rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow
Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intracranial 4.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan
ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli
sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena
hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial
numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural
hearing loss) 4.

Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius12. Sebagian
besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam
keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan
cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.

Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis
IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan
paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal
constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar
os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.

2.7 Cara diagnosis


Anamnesis
Pasien dapat hadir dengan perubahan status mental, mual, dan muntah. Defisit okulomotor
karena cedera saraf kranial III, IV, dan VI mungkin ada. Pasien mungkin juga datang dengan
drop wajah karena kompresi atau cedera pada saraf kranial VII. Kehilangan pendengaran atau
tinnitus menunjukkan kerusakan pada saraf kranial VIII (Simon, 2017).

Pemeriksaan Fisik

Beberapa tanda klinis yang sangat prediktif dari fraktur tengkorak basilar termasuk:
(Simon, 2017)
1. Hemotympanum: Fraktur yang melibatkan punggungan petrosa tulang temporal akan
menyebabkan darah menggenang di balik membran timpani sehingga membuatnya
tampak ungu. Ini biasanya muncul dalam beberapa jam setelah cedera dan mungkin
merupakan temuan klinis paling awal.
2. Rhinorrhea CSF atau otorrhea: Tanda “Halo” adalah pola cincin ganda yang dijelaskan
ketika cairan berdarah dari telinga atau hidung yang mengandung CSF menetes ke kertas
atau linen. Tanda ini didasarkan pada prinsip kromatografi; komponen campuran cair
akan terpisah ketika bepergian melalui suatu bahan. Tanda ini tidak spesifik untuk
keberadaan CSF, karena garam, air mata atau cairan lainnya juga akan menghasilkan pola
cincin ketika bercampur dengan darah. Kebocoran CSF mungkin tertunda beberapa jam
hingga hari setelah trauma awal.
3. Ekimosis periorbital (Raccoon’s eye): Pooling darah di sekitar mata paling sering
dikaitkan dengan fraktur fossa kranial anterior. Temuan ini biasanya tidak hadir selama
evaluasi awal dan tertunda 1 hingga 3 hari. Jika bilateral, temuan ini sangat prediktif dari
fraktur tengkorak basilar.

Pemeriksaan Lanjutan
 Radiografi
Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel memutuskan
bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto x-ray
skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.
 CT scan
CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull fraktur.
Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital, bermanfaat
dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam menvisualisasikan
fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.
 MRI
MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk kasus
yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih
baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan4.

Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat
dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut
pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari
darah, maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan
dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.

2.8 Tatalaksana
Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis
tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan
dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur linier harus
dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status
neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara
conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika
disertai rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada
bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik
membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang
dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika
terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole
direkomendasikan pada kasus ini.
Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan
stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.

Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan open
fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk
mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari
adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear
dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy
dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema.
Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah
dini adalah fraktur condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan
arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan
ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.
Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan
atau jika membrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran
CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi
kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan.

2.9 Komplikasi
1. Kejang
2. Meningitis pasca fraktur basiler
3. Abses otak
4. Osteomyelitis kranial
5. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
6. Edema paru neurogenic
7. Disfungsi kardiak
8. Disposisi (Walls, 2018)

2.10 Pencegahan

Fraktur tengkorak sering dapat dicegah misal mengenakan pelindung kepala saat
mengendarai sepeda (Ellis, 2017).

2.11 Prognosis

Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda tanda
vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini mungkin
apabila ditemukan defisit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotik untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis Cranii posterior, prognosis buruk
dikarenakan fraktur pada fossa posterior dapat mengakibatkan kompresi batang otak (Rahim,
2014).

LI III. M.M Perdarahan intracranial akibat trauma

3.1 Definisi

Perdarahan intrakranial (PIK)/ Intracerebral hemorrhage (ICH) didefinisikan sebagai


perdarahan di dalam tempurung tengkorak (Freeman, 2012). Perdarahan intrakranial meliputi
empat tipe hemoragi: perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan subarachnoid,
dan perdarahan intraparenchymal (Intracranial Hemorrhage (Tenny, 2017)).

3.2 Etiologi

Perdarahan Epidural
Hematom epidural bisa berasal dari arteri atau vena. Hematoma epidural arteri klasik
terjadi setelah trauma tumpul pada kepala, biasanya pada daerah temporal. Mereka juga dapat
terjadi setelah cedera kepala tembus. Biasanya ada fraktur tengkorak dengan kerusakan pada
arteri meningeal media yang menyebabkan perdarahan arteri ke ruang epidural potensial.
Meskipun arteri meningeal media adalah arteri yang digambarkan secara klasik, arteri
meningeal dapat menyebabkan hematoma epidural arteri. Hematoma epidural vena terjadi
ketika ada fraktur tengkorak, dan perdarahan vena dari fraktur tengkorak mengisi ruang
epidural. Hematoma epidural vena sering terjadi pada pasien anak.

Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural terjadi ketika darah memasuki ruang subdural yang secara
anatomis ruang arachnoid. Umumnya pendarahan subdural terjadi setelah pembuluh yang
melintasi antara otak dan tengkorak direntangkan, patah atau robek dan mulai berdarah ke
ruang subdural. Ini paling sering terjadi setelah cedera kepala tumpul tetapi juga dapat terjadi
setelah menembus cedera kepala atau secara spontan.

Perdarahan Subaraknoid
Subarachnoid hemorrhage berdarah ke subarachnoid. Subarachnoid hemorrhage
dibagi menjadi perdarahan subarachnoid traumatic dengan non-traumatic. Skema kategorisasi
kedua membagi subarachnoid hemorrhage menjadi aneurysmal dan non-aneurysmal
subarachnoid hemorrhage. Perdarahan subarachnoid aneurisma terjadi setelah pecahnya
aneurisma serebral yang memungkinkan pendarahan ke ruang subarachnoid. Perdarahan
subarachnoid non-aneurysmal berdarah ke ruang subarachnoid tanpa aneurisma yang dapat
diidentifikasi. Perdarahan subarachnoid non-aneurysmal paling sering terjadi setelah trauma
dengan cedera kepala tumpul dengan atau tanpa trauma tembus atau perubahan percepatan
mendadak ke kepala.
Perdarahan Intraparenkim
Perdarahan intraparenkim adalah perdarahan ke parenkim otak yang tepat. Ada
berbagai macam alasan seperti perdarahan dapat terjadi termasuk, tetapi tidak terbatas pada,
hipertensi, malformasi arteriovenosa, angiopati amiloid, ruptur aneurisma, tumor,
koagulopati, infeksi, vaskulitis, dan trauma.

3.3 Epidemiologi

Insiden keseluruhan dari ICH spontan di seluruh dunia adalah 24,6 per 100.000 orang-
tahun dengan sekitar 40.000 hingga 67.000 kasus per tahun di Amerika Serikat. Tingkat
kematian 30-hari berkisar dari 35% hingga 52% dengan hanya 20% dari yang selamat yang
diharapkan memiliki pemulihan fungsional penuh pada 6 bulan. Sekitar setengah dari
kematian ini terjadi dalam 24 jam pertama, menyoroti pentingnya perawatan dini dan efektif
di Departemen Gawat Darurat. (Intracranial Hemorrhage (Caceres, 2012))

3.4 Klasifikasi

1. Hematoma Epidural
Berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Hal
ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah merobek arteri darah di dalam arteri memiliki
tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa
segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang
menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya.

Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan
koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT Scan darurat.
Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang
tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan
sumber perdarahan.

2. Hematoma Subdural
Berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah
terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala
yang lebih ringan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah:
- Sakit kepala yang menetap
- Rasa mengantuk yang hilang-timbul
- Linglung
- Perubahan ingatan
- Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan

3.5 Patofisiologi
Patofisiologi perdarahan intrakranial bergantung dari penyebab terjadinya, dapat berupa
traumatik dan nontraumatik. Perdarahan intrakranial traumatik terjadi akibat proses trauma
yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Pada perdarahan intrakranial
nontraumatik, perdarahan disebabkan oleh penyakit yang menyebabkan kerusakan pada
pembuluh darah.

Perdarahan Intrakranial Traumatik


Perdarahan intrakranial traumatik disebabkan oleh cedera otak traumatik yang selanjutnya
menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak dan perdarahan. Perdarahan akibat trauma ini
dapat berhubungan dengan fraktur tengkorak, misalnya pada perdarahan ekstradural, atau
akibat gaya geser (shearing force), misalnya pada diffuse axonal injury.

Perdarahan Intrakranial Nontraumatik


Perdarahan intrakranial nontraumatik biasanya disebabkan oleh penyakit pembuluh darah
kecil. Diawali dengan perubahan degeneratif pada dinding pembuluh darah yang disebabkan
vaskulopati. akibat hipertensi jangka panjang. Hal ini disebut sebagai lipohialinosis. Selain
itu, jika perdarahan disebabkan oleh angiopati amiloid serebral, maka proses perdarahan
diawali dengan deposisi peptida amiloid-beta pada dinding pembuluh darah kecil
leptomeningeal dan korteks. Akhirnya, akan terjadi perubahan degeneratif yang ditandai
dengan matinya sel-sel otot polos, penebalan dinding, penyempitan lumen pembuluh darah,
pembentukan aneurisma mikro dan perdarahan-perdarahan mikro yang disebabkan oleh
akumulasi amiloid.

Cedera Otak Sekunder


Pecahnya pembuluh darah dan perdarahan yang terjadi selanjutnya akan menyebabkan
penekanan atau kerusakan mekanik pada parenkim otak. Dilanjutkan dengan edema
perihematoma yang terjadi dalam waktu 3 jam setelah onset gejala. Puncak edema ini
diperkirakan adalah sekitar 10-20 hari setelah onset. Selanjutnya, proses kerusakan sekunder
akan terjadi yang dimediasi oleh sel-sel darah dan plasma. Kemudian, akan terjadi proses
peradangan yang ditandai dengan aktivasi kaskade koagulasi dan deposisi besi hasil
degradasi hemoglobin. P ada akhirnya, hematoma akan membesar dalam 24 jam pertama (hal
ini terjadi pada 38% pasien).

3.6 Manifestasi klinis


1. Cedera kepala ringan
-Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan sebagian besar pasien
mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari.
-Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya berkurang dan
cemas, kesulitan belajar dan kesulitan bekerja.
2. Cedera kepala sedang
-Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau bahkan koma.
-Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik, perubahan
tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot,
sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat
-Amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan
-Pupil tak ekual, pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cdera terbuka, fraktur tengkorak
dan penurunan neurologik.

3.7 Cara diagnosis & diagnosis banding


Perdarahan Epidural
Pasien dengan hematoma epidural melaporkan riwayat cedera kepala fokal seperti
trauma tumpul dari palu atau pemukul bisbol, terjatuh atau tabrakan kendaraan bermotor.
Presentasi klasik dari hematoma epidural adalah hilangnya kesadaran setelah cedera, diikuti
oleh interval yang jelas kemudian kerusakan neurologis. Presentasi klasik ini hanya terjadi
pada kurang dari 20% pasien. Gejala lain yang umum termasuk sakit kepala parah, mual,
muntah, lesu, dan kejang.

Perdarahan Subdural
Riwayat cedera kepala mayor atau minor sering ditemukan pada hematoma subdural.
Pada pasien yang lebih tua, hematoma subdural dapat terjadi setelah cedera kepala yang
ringan termasuk menabrak kepala di lemari atau berlari ke pintu atau dinding. Sebuah
subdural akut dapat hadir dengan trauma baru-baru ini, sakit kepala, mual, muntah,
perubahan status mental, kejang dan / atau kelesuan. Hematoma subdural kronis dapat hadir
dengan sakit kepala, mual, muntah, kebingungan, penurunan kesadaran, kelesuan, defisit
motorik, afasia, kejang atau perubahan kepribadian. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan
defisit motorik fokal, defisit neurologis, kelesuan, atau perubahan kesadaran.

Perdarahan Subaraknoid
Sakit kepala thunderclap (sakit kepala berat yang mendadak atau sakit kepala
terburuk) adalah presentasi klasik dari perdarahan subarakhnoid. Gejala lain termasuk pusing,
mual, muntah, diplopia, kejang, kehilangan kesadaran, atau kekakuan nuchal. Temuan
pemeriksaan fisik mungkin termasuk defisit neurologis fokal, palsi saraf kranial, kekakuan
nuchal, atau penurunan atau perubahan kesadaran.
Perdarahan Intraparenkim
Perdarahan intraparenchymal non-traumatik biasanya hadir dengan riwayat onset
gejala stroke mendadak termasuk sakit kepala, mual, muntah, defisit neurologis fokal,
kelesuan, kelemahan, bicara cadel, sinkop, vertigo, atau perubahan sensasi.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting
dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang
mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan
dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang
signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume
darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang
menyebabkan kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian mengakibatkan
ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering
terhadap level hematokrit.

PENCITRAAN
 Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular
cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga
mungkin diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan
epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan
fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan
kranium yang lebih besar.
 CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam
mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang
ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian
dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau
bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan
epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan menghambat
ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom
kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom
menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari
waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu
tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-
4 minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah
hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang
mungkin mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level
hemoglobin serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat
disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.
Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan
mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital
dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi
intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio
serebral, dan hematom intraserebral
 MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat
untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat
diamati ketika meluas

Diagnosis Banding (Liebeskind, 2017)

 Stroke
 Hematom subdural akut
 Anisokor
 Perdarahan serebral
 Cerebral Amyloid Angiopathy
 Aneurisme serebral
 Trombosis vena serebral
 Perdarahan subaraknoid
 Cedera kepala
 Herpes simplex encephalitis

3.8 Tatalaksana

1. Dexamethason / kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai


dengan berat ringannya trauma.

2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi

3. Pemberian analgetik

4. Pengobatan anti edema dengan laruitan hipertonis yaitu manitol 20% glukosa 40% atau
gliserol.

5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole.

6. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

7. Pembedahan
3.9 Komplikasi

Herniasi ke bawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak, paling
sering di pons.
Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang seringnya
membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy nervus III
kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan menggerakkan
mata ke arah medial, atas, dan bawah.
Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau
fraktur bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak
mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas fraktur membesar.
Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan massa scalp pulsatil.

3.10 Pencegahan
Edukasi dan promosi kesehatan untuk perdarahan intrakranial terutama mengenai
prognosis penyakit yang cenderung buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Dokter juga
harus memberikan edukasi mengenai penanganan yang diberikan serta apakah pembedahan
perlu dilakukan pada pasien atau tidak.

3.11 Prognosis
Prognosis pasien dengan perdarahan intrakranial sangat bergantung dari onset, usia
pasien, volume, serta lokasi perdarahan. Komplikasi yang mungkin dialami pasien juga
menjadi faktor penentu prognosis pasien. Secara umum, semakin tua usia pasien, semakin
dalam lokasi perdarahan, serta semakin luas volume perdarahan pasien akan menyebabkan
prognosis semakin buruk.

LI IV. M.M Trias cushing

4.1 Definisi
Sindrom Cushing adalah kumpulan gejala yang muncul akibat kadar hormon kortisol
yang terlalu tinggi dalam tubuh. Kondisi ini dapat terjadi seketika atau bertahap, dan bisa
semakin memburuk jika tidak ditangani.
4.2 Etiologi
Sindrom Cushing disebabkan oleh kadar hormon kortisol yang terlalu tinggi dalam
tubuh. Tingginya kadar hormon kortisol tersebut bisa disebabkan oleh faktor dari luar
(sindrom Cushing eksogen), atau faktor dari dalam (sindrom Cushing endogen).

Sindrom Cushing eksogen disebabkan oleh penggunaan obat jenis kortikosteroid, seperti
prednisone, dalam dosis tinggi dan jangka panjang. Golongan obat ini digunakan untuk
menangani berbagai kondisi seperti artritis, asma, atau lupus, serta digunakan pada pasien
pasca transplantasi organ untuk mencegah penolakan tubuh pasien terhadap organ yang
diterima.
Sedangkan sindrom Cushing endogen disebabkan oleh tingginya hormon adrenokortikotropik
(ACTH) dalam tubuh. ACTH merupakan hormon yang mengatur pembentukan hormon
kortisol dan dihasilkan oleh kelenjar hipofisis. Tingginya ACTH mengakibatkan kelenjar
adrenal menghasilkan hormon kortisol secara berlebihan. Beberapa keadaan yang
mengakibatkan tingginya ACTH adalah:

Tumor di kelenjar hipofisis atau pituitari. Kondisi ini membuat kelenjar hipofisis
menghasilkan ACTH dalam jumlah berlebih, sehingga memicu tubuh memproduksi hormon
kortisol dalam jumlah besar.

Tumor penghasil ACTH. Keadaan ini jarang terjadi, yaitu terdapat tumor di pankreas, paru-
paru, kelenjar tiroid, atau kelenjar timus yang juga menghasilkan ACTH.

Familial Cushing syndrome. Meski jarang terjadi, kelainan ini diwarisi oleh orang tua,
sehingga timbul tumor di kelenjar endokrin yang memengaruhi produksi hormon kortisol dan
menimbulkan sindrom Cushing.

Pada beberapa orang, penyebab sindrom Cushing endogen tidak disebabkan oleh berlebihnya
ACTH, tetapi terdapat gangguan di kelenjar adrenal. Kelainan kelenjar adrenal yang paling
sering terjadi dan menimbulkan sindrom Cushing adalah tumor jinak yang dinamakan
adenoma adrenal.

4.3 Manifestasi klinis

Sejumlah gejala yang dialami penderita Sindrom Cushing bervariasi, tergantung pada
tingginya kadar kortisol di tubuh. Gejala umumnya berupa:

 Berat badan meningkat.

 Menumpuknya jaringan lemak, terutama pada bahu (buffalo hump) serta wajah (moon
face). Sindrom Cushing juga bisa menyebabkan munculnya benjolan di leher
belakang.

 Guratan berwarna ungu kemerahan (striae) di kulit perut, paha, payudara, dan lengan.

 Penipisan kulit, sehingga kulit menjadi mudah memar.

 Luka pada kulit menjadi sulit sembuh.

 Muncul jerawat.

 Otot melemah.

 Lemas.
 Depresi, cemas dan mudah marah.

 Gangguan kognitif.

 Tekanan darah tinggi.

 Sakit kepala.

 Pengeroposan tulang.

 Gangguan pertumbuhan pada anak.

Pada wanita, dapat timbul gejala hirsutisme atau tumbuh rambut lebat pada wajah atau di
bagian lain yang biasanya hanya tumbuh pada pria, serta gangguan siklus menstruasi, bisa
tidak teratur atau terlambat haid. Sedangkan pada pria, gejala yang dialami adalah penurunan
gairah seksual, gangguan kesuburan, dan impotensi.

4.4 Cara diagnosis

Sebelum menjalankan pemeriksaan, dokter akan menanyakan pada pasien terkait gejala yang
dialami dan riwayat obat yang rutin dikonsumsi. Kemudian dokter akan menjalankan
pemeriksaan fisik dengan melihat tanda sindrom Cushing pada pasien. Dokter akan
melakukan pemeriksaan penunjang, seperti:

 Pengukuran hormon kortisol.

Pengukuran kadar hormon kortisol dapat dilakukan dengan mengambil sampel darah, urine,
atau air liur. Pada tes urine, pasien akan diminta untuk mengumpulkan urine selama 24 jam.
Sedangkan, sampel air liur akan diambil pada malam hari, di mana seharusnya kadar hormon
kortisol rendah di air liur.

 Pencitraan

Dokter akan menjalankan pemeriksaan CT scan atau MRI untuk melihat adanya
kemungkinan tumor pada kelenjar adrenal atau kelenjar hipofisis.

 Pengukuran ACTH

Dalam tes ini, dokter akan mengambil sampel darah dari sinus petrosus, yaitu pembuluh
darah di sekitar kelenjar hipofisis. Tes ini membantu menentukan apakah sindrom Cushing
disebabkan oleh gangguan pada kelenjar hipofisis atau bukan.

4.5 Tatalaksana
Pengobatan sindrom Cushing bertujuan mengurangi kadar kortisol dalam tubuh. Namun
demikian, metode pengobatan yang dipilih tergantung pada penyebab yang mendasarinya.
Beberapa metode pengobatan untuk sindrom Cushing adalah:

Mengurangi penggunaan kortikosteroid.

Metode ini digunakan pada pasien yang menggunakan kortikosteroid dalam jangka panjang.
Dokter bisa mengurangi dosis kortikosteroid secara bertahap dengan menggantinya dengan
obat-obatan lain. Perlu diingat, jangan lakukan ini tanpa petunjuk dokter.

Bedah.

Sindrom Cushing yang disebabkan oleh tumor, dokter akan melakukan bedah pengangkatan
tumor, baik di kelenjar hipofisis, kelenjar adrenal, pankreas, atau paru-paru. Setelah bedah,
pasien akan membutuhkan obat pengganti hormon kortisol secara sementara.

Radioterapi

Jika tumor pada kelenjar hipofisis tidak bisa diangkat sepenuhnya, dokter akan menyarankan
pasien untuk menjalani radioterapi atau terapi radiasi.

Obat-obatan

Jika bedah dan radioterapi tidak berhasil, dokter akan menggunakan obat-obatan untuk
mengontrol kadar kortisol. Obat juga bisa digunakan sebelum bedah dilakukan.

Untuk mengontrol kadar kortisol di kelenjar adrenal, jenis obat yang umumnya digunakan
adalah ketoconazole, mitotane, dan metyrapone. Sedangkan untuk penderita sindrom Cushing
yang memiliki diabetes, umumnya dokter akan menggunakan mifepristone. Perlu diketahui,
obat-obat tersebut dapat menimbulkan efek samping seperti mual, muntah, sakit kepala, nyeri
otot, serta hipertensi. Kadang juga muncul efek samping yang lebih serius seperti gangguan
fungsi hati.

Obat terbaru untuk menangani sindrom Cushing adalah pasireotide, yang berfungsi
menurunkan kadar ACTH akibat tumor di kelenjar hipofisis. Obat ini diberikan melalui
suntikan dua kali sehari, dan disarankan untuk digunakan bila bedah tidak berhasil atau tidak
bisa dilakukan. Efek samping dari obat ini adalah diare, mual, peningkatan gula darah, sakit
kepala, tubuh mudah lelah, dan sakit perut.
Dalam sejumlah kasus, tumor atau pengobatan yang dijalani juga menyebabkan
berkurangnya kadar hormon lain yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis dan kelenjar adrenal.
Bila kondisi itu terjadi, dokter akan menyarankan pemberian obat untuk mengganti hormon
tersebut.

Jika semua metode pengobatan di atas tidak efektif, dokter akan menyarankan untuk
dilakukan bedah pengangkatan kelenjar adrenal. Prosedur ini bisa mengatasi kelebihan
produksi kortisol, namun pasien akan membutuhkan obat pengganti hormon selama seumur
hidup.

4.6 Komplikasi

Jika tidak ditangani, sindrom Cushing bisa menyebabkan berbagai komplikasi, antara lain:

 Tekanan darah tinggi

 Peningkatan gula darah

 Rentan terserang infeksi

 Pengeroposan tulang (osteoporosis)

 Kehilangan massa otot


DAFTAR PUSTAKA
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P.
EGC, Jakarta,1995, 1014-1016.
Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
2006, 359-366
Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D. EGC, Jakarta,
2004, 818-819
Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2005, 314
Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Kilinis Dasar, Dian
Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259
Japardi, I.,2004. Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.
Kemenkes RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI.
Reisner A., 2009. Understanding Traumatic Brain Injuries. Medical Director of Neuro
Trauma
Program. Available: http://www.choa.org/Menus/ Documents/Our
Services/Traumaticbrainiinjury2009.pdf.
Rutland-Brown, JA Langlois, KE Thomas, YL Xi. 2006. Incidence of traumatic brain injury
in the United States, 2003. Journal of Head Trauma Rehabilitation. Vol. 21(6):544-8.
Sastrodiningrat, A.G., 2007. Pemahaman Indikator-Indikator Dini dalam Menentukan
Prognosa Cedera Kepala Berat. Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai