Anda di halaman 1dari 18

KONSEP TEORI

A. Defenisi
Skull Defect menjadi suatu masalah sejak awal periode kehidupan
manusia. Skull defect sudah dapat ditemukan pada jaman neolitikum.
Skull defect adalah kelainan pada kepala dimana tidak adanya tulang
cranium/tulang tengkorak. Skull deffect adalah adanya pengikisan pada
tulang cranium yang disebabkan oleh adanya pengikisan yang disebabkan
massa ekstrakranial atau intrakranial, atau juga bisa berasal dari dalam
tulang (Burgener & Kormano, 2015).
Skull defect dapat terjadi dari lahir atau kongenital pada bayi yang
biasanya disebut dengan anenchephaly dan juga skull defect yang
dilakukan secara sengaja untuk membantu pengeluaran cairan atau
pendarahan atau massa yang ada di kepala atau otak.
B. Etiologi
Penyebab terjadinya skull defect diantara lain:
1. Fraktur cranium
2. Tumor
3. Penipisan tulang
4. Kelainan kongenital (enchephalocele)
5. Pengikisan massa ekstrakranial atau intracranial\
6. Reseksi tumor tengkorak
7. Hilangnya tulang akibat osteomyelitis (Ramamurthi, et al, 2017)\
C. Patofisiologi

Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan


menjadi 2 proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder.
Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan
kejadian trauma dan merupakansuatu fenomena mekanik. Umumnya
menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali
membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisamengalami
proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada
waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi
substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya
gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Cedera otak sekunder
merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudahatau berkaitan
dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai
akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi
karena beberapa hal diantaranya, bila trauma ekstrakranial akan dapat
menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa
perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang
terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan
volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasiarterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan
akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun
bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan
terjadi perdarahan juga.
Cidera kepala intrakranial dapat mengakibatkan laserasi,
perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan
susunan syaraf kranial terutama motorikyang mengakibatkan terjadinya
gangguan dalam mobilitas. Mekanisme yang paling umum dari trauma
tumpul dada yaitu kecelakaan mobil atau jatuh dari sepeda motor
sedangkan untuk trauma tembus dada yaitu lukatusuk dan luka tembak.
Cedera pada dada sering mengancam jiwa dan mengakibatkan satu atau
lebih mekanisme patologi seperti hipoksemia akibat gangguan jalan
nafas,cedera pada parenkim paru, sangkar iga, otot-otot pernapasan, kolaps
paru, dan pneumothoraks. Hipovolemia juga sering timbul akibat
kehilangan cairan masif daripembuluh besar, ruptur jantung, atau
hemothoraks. Gagal jantung akibat tamponadejantung yaitu kompresi pada
jantung sebagai akibat terdapatnya cairan di dalam sakusperikardial.
Mekanisme ini seringkali mengakibatkan kerusakan ventilasi dan
perfusiyang mengarah pada gagal napas akut, syok hipovolemia, dan
kematian (Smeltzer,2001).

D. Manifstasi Klinis
Gejala yang nampak pada pasien skull defect dapat berupa:
1. Bentuk kepala asimetris
2. Pada bagian yang tidak tertutup tulang teraba lunak
3. Pada bagian yang tidak tertutup tulang dapat dilihat adanya denyutan
atau fontanela
Sedangkan manifestasi klinis dari cedera kepala tergantung dari berat
ringannya cedera kepala yaitu berupa:
1. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive
yang dapat dilihat dengan penggunaan GCS (Glasgow Coma Scale)
Pada cedera kepala berat nilai GCS nya 3-8.
2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias klasik seperti: nyeri kepala
karena regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang
disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah
seringkali proyektil.
3. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia
disritmia).
4. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi), gurgling.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera
kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah
biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi
meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya
corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri
kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran.
Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto
kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada
kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi
AP/lateral dan oblique.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
a. Nyeri kepala menetap atau muntah - muntah yang tidak
menghilang setelah pemberian obat-obatan analgesia/anti muntah.
b. Adanya kejang - kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat
lesi intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
c. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor - faktor ekstracranial
telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena
misal terjadi shock, febris, dll).
d. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal
fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi
kanan.
e. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
f. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari
GCS.
g. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan
dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
3. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
4. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan
otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma
5. Seral EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Punksi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9. Analisis Gas Darah
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrkranial.
F. Penatalaksanaan
1. Jika pasien selalu muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu
2. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
3. Pasien diistirahatkan atau tirah baring.
4. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
5. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
6. Pemberian obat-obat analgetik.
7. Pembedahan bila ada indikasi
Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah
pelaksanaan operasi trepanasi atau cranioplasty. Trepanasi/kraniotomi
adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan untuk
mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitive (seperti adanya
SDH (subdural hematoma) atau EDH (epidural hematoma) dan kondisi
lain pada kepala yang memerlukan tindakan kraniotomi). Cranioplasty
adalah memperbaiki kerusakan tulang kepala dengan menggunakan
bahan plastic atau metal plate. Epidural Hematoa (EDH) adalah suatu
pendarahan yang terjadi diantara tulang dang dan lapisan duramater;
Subdural Hematoa (SDH) atau pendarahan yang terjadi pada rongga
diantara lapisan duramater dan dengan araknoidea. Pelaksanaan operasi
trepanasi ini diindikasikan pada pasien 1) Penurunan kesadaran tiba-tiba
terutama riwayat cedera kepala akibat berbagai faktor,2) Adanya tanda
herniasi/lateralisasi,3) Adanya cedera sistemik yang memerlukan
operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Perawatan pasca bedah yang penting pada pasien post trepanasi adalah
memonitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti
biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan
fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8
minggu kemudian.
Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami
trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk
menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial. Terapi konservatif
meliputi bedrest total, pemberian obat-obatan, observasi tanda-tanda
vital (GCS dan tingkat kesadaran).
Prioritas perawatan adalah maksimalkan perfusi/fungsi otak,
mencegah komplikasi, pengaturan fungsi secara
optimal/mengembalikan ke fungsi normal, mendukung proses
pemulihan koping klien/keluarga, pemberian informasi tentang proses
penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.
Penatalaksanaan adanya skull defect yaitu dengan melakukan operasi
kraniotomi yang kemudian dilakukan cranioplasty. Cranioplasty adalah
memperbaiki kerusakan tulang kepala dengan menggunakan bahan
plastik atau metal plate. Cranioplasty adalah perbaikan defek kranial
dengan menggunakan plat logam atau plastik. Setelah dilakukan operasi
cranioplasty perawatan selanjutnya adalah dengan pemberian antibiotik
selama 3 hingga 5 hari, dan memonitor drain untuk membantu
pengeluaran darah dan mencegah hematoma hingga cairan atau darah
berkurang 2 hingga 3 cc. Instruksi penting selanjutnya adalah tidak
melakukan dan tidak memberikan tekanan pada area yang telah
dioperasi selama 3 sampai 4 minggu. Proses pembentukan dan
penyambungan tulang akan terjadi selama 6 hingga satu tahun
(Ramamurthi, et al, 2007).
G. Komplikasi
1. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma.
Pada situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau
minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa
kasus lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa
vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya,
menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian penderita
masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita
pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh
2. Seizure
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
3. Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini
biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk
menyebar ke sistem saraf yang lain
4. Kerusakan Saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada
nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau
kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan
terjadinya penglihatan ganda
5. Hilangnya Kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan
memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan
cedera kepala berat mengalami masalah kesadaran
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Data subjektif
a. Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: Nama,
umur,jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
status perkawinan, alamat, dan hubungan pasien dengan
keluarga/pengirim).
b. Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat
darurat, apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim
oleh orang lain?
c. Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal,
jam), lokasi/tempat mengalami cedera.
d. Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai pasien
menjadi cedera.
e. Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap
makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.
f. Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan
pengobatan pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani
proses pengobatan terhadap penyakit tertentu?
g. Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah pasien
menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah
penyakit tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?
h. Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir
sebelum cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk
mempermudah mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih
lanjut/operasi.Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera):
i. Apakah pasien mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana
hal itu bisa terjadi?
2. Pengkajian ABCD FGH
a. Airway
- Cek j alan napas paten atau tidak
- Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh
kebelakang, terdapat cairan, darah, benda asing, dan lain- lain.
- Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan
seperti snoring, gurgling, crowing.
b. Breathing
- Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
- Gerakan dinding dada simetris atau tidak
- Irama napas cepat, dangkal atau normal
- Pola napas teratur atau tidak
- Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
- Ada sesak napas atau tidak (RR)
- Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu
pernapasan
c. Circulation
- Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
- Tekanan darah
- Sianosis, CRT
- Akral hangat atau dingin, Suhu
- Terdapa perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
- Turgor kulit
- Diaphoresis
- Riwayat kehilangan cairan berlebihan
d. Disability
- Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
- GCS : EVM
- Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
- Ada tidaknya refleks cahaya
- Refleks fisiologis dan patologis
- Kekuatan otot
e. Exposure
- Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi,
edema
- Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman
f. Five Intervention
- Monitoring jantung (sinus bradikardi, sinus takikardi)
- Saturasi oksigen
- Ada tidaknya indikasi pemasangan kateter urine, NGT
- Pemeriksaan laboratorium
g. Give comfort
- Ada tidaknya nyeri
- Kaji nyeri dengan
o P : Problem
o Q : Qualitas/Quantitas
o R : Regio
o S : Skala
o T : Time
- H 1 SAMPLE
Keluhan utama
Mekanisme cedera/trauma
Tanda gejala
- H 2 HEAD TO TOE
Fokus pemeriksaan pada daerah trauma
Kepala dan wajah
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencidera fisik (prosedur
operasi)
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi
yang tertahan
3. Resiko gangguan perfusi serebral tidak efektif berhubungan
dengan gangguan suplai darah
4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penekanan area
tubuh
5. Resiko infeksi dibuktikan dengan ketidakadekuatan pertahanan
tubuh sekunder
C. Intervensi Keperawatan

N SDKI SLKI SIKI


o
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan tindakan keperawatan Observasi
dengan agen selama 2x8 jam, 1. Identifikasi lokasi,
pencidera fisik diharapkan tingkat nyeri karakteristik, durasi,
(prosedur menurun dengan kriteria frekuensi, kualitas,
operasi) hasil: intensitas nyeri.
1. Keluhan nyeri 2. Identifikasi respons
menurun nyeri non verbal
2. Meringis 3. Identifikasi factor yang
menurun memperberat dan
memperingan nyeri
4. Identifikasi pengetahuan
dan keyakinan tentang
nyeri
5. Identifikasipengaruh
budaya terhadap respon
nyeri
6. Identifikasi pengaruh
nyeri terhadap kualitas
hidup
7. Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah diberikan
8. Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresus, terapi music,
biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
2. Control lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur
4. Perimbangkan
jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan
memonitor nyeri secara
mandiri
4. Anjurkan
menggunakan analgetik
secara tepat
5. Ajarkan teknik
non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2 Bersihan jalan Tujuan : Latihan
nafas tidak Setelah dilakukan Batuk Efektif
efektif b/d tindakan keperawatan Observasi
sekresi yang selama 2x8jam , - Identifikasi
tertahan diharapkan bersihan kemampuan batuk
jalan napas dengan - Monitor adanya
kriteria hasil: retensi sputum
- Monitor tanda dan
1. Produksi
gejal infeksi saluran
sputum
napas
menurun
- Monito input dan
2. Wheezin
output cairan
g
Teraupetik
menurun
- Atur posisi
3. Batuk
semifowler atau
fowler

- Pasang perlak dan


bengkok di
pengakuan pasien

- Buang sekret pada


tempat sputum

Edukasi

- Jelaskan tujuan dan


prosedur batuk
efektif

- Anjurkan tarik napas


dalam melalui
hidung selama 4
detik, ditahan
selama 2 detik,
kemudian keluarkan
dari mulut dengan
bibir mencucu
selama 8 detik

- Anjurkan
mengulangi tarikk
napas dalam hingga
3 kali

- Anjurkan batuk
dengan kuat
langsung setelah
tarik napas dalam
yang ke-3

Kolaborasi

- Kolaborasi
pemberian mukoltik
atau eksppektoran,
jika perlu
3 Resiko perfusi Tujuan :
Manajemen
serebral tidak Setelah dilakukan tindakan peningkatan
tekanan
efektif keperawatan selama 2x8
intrakranial
berhubungan jam di harapkan perfusi
Observasi
dengan cedera serebral meningkat dengan
1. Identifikasi
kepala KH: penyebab
peningkatan
1. Kognitif
TIK
meningkat (mis.lesi,gang
guan
2. Tekanan
metabolisme,e
intrakranial dema serebral)
menurun 2. Monitor MAP
(Mean arterial
3. Sakit kepala
pressure)
menurun 3. Monitor status
4. Nilai rata-rata pernapasan
tekanan darah 4. Monitor intake
dan output
membaik cairan
Terapeutik
1. Minimalkan
stimulus
dengan
menyediakan
lingkungan
yang tenang
2. Berikan posisi
semi fowler
3. Pertahankan
suhu tubuh
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
sedasi dan anti
konvulsan,
jika perlu
4 Gangguan Setelah dilakukan Intervensi utama:
integritas kulit tindakan keperawatan Perawatan integritas
berhubungan selama 2x8 jam maka kulit
dengan sekresi diharapkan integritas Observasi:
yang tertahan kulit dan jaringan dengan • identifikasi penyebab
Kriteria Hasil: gangguan integritas
1. Kerusakan jaringan kulit
menurun Teraupetik:
2. Kerusakan lapisan • gunakan produk
menurun berbahan petroleum
atau minyak pada kulit
kering
Edukasi:
• Anjurkan minum air
yang cukup
Intervensi Utama
Perawatan Luka
Observasi:
• Monitor karakteristik
luka
• Monitor tanda-tanda
infeksi
Terapeutik:
• Lepaskan balutan dan
plester secara perlahan
• Bersihkan dengan
cairan NaCl atau
pembersih nontoksik
• Bersihkan jaringan
nekrotik
• Berikan salep yang
sesuai ke kulit/lesi, jika
perlu
• Pasang balutan sesuai
jenis luka
• Pertahankan teknik
steril saat melakukan
perawatan luka
Edukasi
• Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
• Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi
• Kolaborasi prosedur
debridement
5 Resiko Infeksi Setelah dilakukan 2 x 8 Pencegahan infeksi
dibuktikan jam tindakan Observasi :
dengan keperawatan dengan 1. Monitor tanda dan
ketidakadekuata tingkat infeksi menurun gejala infeksi local dan
n pertahanan dengan kriteria hasil sistemik
tubuh sekunder ekspektasi menurun : Terapeutik :
- Kebersihan 1. Cuci tangan sebelum
tangan meningkat dan sesudah kontak
- Kebersihan badan dengan pasien dan
meningkat lingkungan pasien
2. Pertahankan teknik
aseptic pada pasien
beresiko tinnggi
Edukasi :
1. Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
2. Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
3. Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi :
1. Kolaborasi
pemberian imunisasi,
jika perlu

Anda mungkin juga menyukai