Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN “POST OP CRANIOTOMI”

Oleh:
ANUGERAH
NH0117011

CI LAHAN CI INSITUSI

(…………………) (…………………)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


EKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
NANI HASANUDDIN MAKASSAR
2019
LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Konsep penyakit/kasus


1.1.1 Definis kasus

Menurut Brown CV (2004), Craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak


(tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Menurut
Hamilton M (2007), Craniotomy adalah operasi pengangkatan sebagian tengkorak. Menurut
Chesnut RM (2006), Craniotomy adalah prosedur untuk menghapus luka di otak melalui lubang
di tengkorak (kranium).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Craniotomy


adalah operasi membuka tengkorak (tempurung kepala) untuk mengetahui dan memperbaiki
kerusakan yang diakibatkan oleh adanya luka yang ada di otak.

Operasi Craniotomy dilakukan untuk pengangkatan tumor pada otak, untukme


nghilangkan bekuan darah (hematoma), untuk mengendalikan perdarahan dari pembuluh, darah
lemah bocor (aneurisma serebral), untuk memperbaiki malformasi arteriovenosa (koneksi
abnormal dari pembuluh darah), untuk menguras abses otak, untuk mengurangi tekanan di dalam
tengkorak, untuk melakukan biopsi, atau untuk memeriksa otak.

1.1.2 Etiologi
a. Oleh benda tajam
b. Pukulan benda tumpul
c. Pukulan benda tajam
d. Kecelakaan lalu lintas
e. Terjatuh
f. Kecelakaan kerja
1.1.3 Patofisiologi
Trauma kepala (trauma eraniocerebral) dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang
kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya. Beberapa variabel yang
mempengaruhi luasnya cedera kepala adalah sebagai berikut:.
1. Lokasi dan arah dari penyebab benturan.
2. Kecepatan kekuatan yang datang

1
3. Permukaan dari kekuatan yang menimpa
4. Kondisi kepala ketika mendapat penyebab benturan
Cedera bervariasi dari luka kulit yang sederhana sampai geger otak. Luka terbuka
dari tengkorak ditandai kerusakan otak. Luasnya luka bukan merupakan indikasi berat
ringannya gangguan. Pengaruh umum cedera kepala dari tingkat ringan sampai tingkat
berat adalah edema otak, defisit sensori dan motorik, peningkatan intra kranial. Kerusakan
selanjutnya timbul herniasi otak, isoheni otak dan hipoxia.
Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada
kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau keluaran yang
merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung
terluka. Semua ini berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga
(dilepasnya gas, dari cairan lumbal, darah, dan jaringan otak). Trauma langsung juga
menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau
tekanan.
Cedera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari objek yang bergerak dari
objek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari kekuatan akselerasi, kikiran
atau kontusi pada lobus oksipital dan frontal, batang, otak dan cerebelum dapat terjadi.
Perdarahan akibat trauma cranio cerebral dapat terjadi pada lokasi-lokasi
tersebut: kulit kepala, epidural, subdural, intracerebral, intraventricular. Hematom
subdural dapat diklasifikasi sebagai berikut:
1. Akut: terjadi dalam 24 jam sampai 48 jam.
2. Subakut: terjadi dalam 48 jam sampai 2 minggu.
3. Kronis: terjadi setelah beberapa minggu atau bulan dari terjadinya cedera.
Perdarahan intracerebral biasanya timbul pada daerah frontal atau temporal.
Kebanyakan kematian cedera kepala akibat edema yang disebabkan oleh kerusakan dan
disertai destruksi primer pusat vital. Edema otak merupakan penyebab utama
peningkatan TIC. Klasifikasi cedera kepala:
1. Conscussion/comosio/memar

2
Merupakan cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran,
perubahan persepsi sensori, karakteristik gejala: sakit kepala, pusing, disorientasi.
2. Contusio cerebri
Termasuk didalamnya adalah luka memar, perdarahan dan edema. Dapat terlihat pada
lobus frontal jika dilakukan lumbal pungkri maka lumbal berdarah.
3. Lacertio cerebri
Adanya sobekan pada jaringan otak sehingga dapat terjadi tidak sarah/pingsan,
hemiphagia, dilatasi pupil.

1.1.4 Menginfestasi klinis

Menurut Brunner dan Suddarth (2000:65) gejala-gejala yang ditimbulkan pada klien
dengan craniotomy dibagi menjadi 2 yaitu

a. Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF), seperti sakit
kepala, nausea atau muntah proyektit, pusin, perubahan mental, kejang.
b. Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik dari otak)
1) Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nystagmus, diplopia, kebutaan,
tanda-tanda papil edema.
2) Perubahan bicara, msalnya: aphasia
3) Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi sensorik.
4) Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis.
5) Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin, dan
konstipasi.
6) Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus, deafness.
7) Perubahan dalam seksual.

1.1.5 Pemeriksaan penunjang


a. CT Scan (tanpa/dengan kontras)Tujuan: mengidentifikasi adanya sel, hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

3
catatan:pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/infark mungkin
tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.
b. MRI : (Magnetic Resonance Imaging). Sama dengan skan CT, dengan tambahan
keuntungan pemeriksaan lesi di potongan lain.
c. Electroencephalogram (EEG) Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
d. Angiopati Serebral Tujuan: menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma. (nuryanto, 2016)

1.1.6 Penatalaksanaan
a. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan
b. Mempercepat penyembuhan
c. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.
d. Mempertahankan konsep diri pasien
e. Mempersiapkan pasien pulang
1. Praoperasi
Pada penatalaksaan bedah intrakranial praoperasi pasien diterapi dengan medikasi
antikonvulsan (fenitoin) untuk mengurangi resiko kejang pascaoperasi. Sebelum
pembedahan, steroid (deksametason) dapat diberikan untuk mengurangai edema serebral.
Cairan dapat dibatasi. Agens hiperosmotik (manitol) dan diuretik (furosemid) dapat
diberikan secara intravena segera sebelum dan kadang selama pembedahan bila pasien
cenderung menahan air, yang terjadi pada individu yang mengalami disfungsi intrakranial.
Kateter urinarius menetap di pasang sebelum pasien dibawa ke ruang operasi untuk
mengalirkan kandung kemih selama pemberian diuretik dan untuk memungkinkan
haluaran urinarius dipantau. Pasien dapat diberikan antibiotik bila serebral sempat
terkontaminasi atau deazepam pada praoperasi untuk menghilangkan ansietas. Kulit
kepala di cukur segera sebelum pembedahan (biasanya di ruang operasi) sehingga adanya
abrasi superfisial tidak semua mengalami infeksi.
2. Pascaoperasi
Jalur arteri dan jalur tekanan vena sentral (CVP) dapat dipasang untuk memantau
tekanan darah dan mengukur CVP. Pasien mungkin atau tidak diintubasi dan mendapat

4
terapi oksigen tambahan. Mengurangi Edema Serebral : Terapi medikasi untuk mengurangi
edema serebral meliputi pemberian manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan
menarik air bebas dari area otak (dengan sawar darah-otak utuh). Cairan ini kemudian
dieksresikan malalui diuresis osmotik. Deksametason dapat diberikan melalui intravena
setiap 6 jam selama 24 sampai 72 jam ; selanjutnya dosisnya dikurangi secara bertahap.
Meredakan Nyeri dan Mencegah Kejang :Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu
di atas 37,50C dan untuk nyeri. Sering kali pasien akan mengalami sakit kepala setelah
kraniotomi, biasanya sebagai akibat syaraf kulit kepala diregangkan dan diiritasi selama
pembedahan. Kodein, diberikan lewat parenteral, biasanya cukup untuk menghilangkan
sakit kepala. Medikasi antikonvulsan (fenitoin, deazepam) diresepkan untuk pasien yang
telah menjalani kraniotomi supratentorial, karena resiko tinggi epilepsi setelah prosedur
bedah neuro supratentorial. Kadar serum dipantau untuk mempertahankan medikasi dalam
rentang terapeutik.
Memantau Tekanan Intrakranial : Kateter ventrikel, atau beberapa tipe drainase,
sering dipasang pada pasien yang menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior.
Kateter disambungkan ke sistem drainase eksternal. Kepatenan kateter diperhatikan
melalui pulsasi cairan dalam selang. TIK dapat di kaji dengan menyusun sistem dengan
sambungan stopkok ke selang bertekanan dan tranduser. TIK dalam dipantau dengan
memutar stopkok. Perawatan diperlukan untuk menjamin bahwa sistem tersebut kencang
pada semua sambungan dan bahwa stopkok ada pada posisi yang tepat untuk menghindari
drainase cairan serebrospinal, yang dapat mengakibatkan kolaps ventrikel bila cairan
terlalu banyak dikeluarkan. Kateter diangkat ketika tekanan ventrikel normal dan stabil.
Ahli bedah neuro diberi tahu kapanpun kateter tanpak tersumbat.
Pirau ventrikel kadang dilakukan sebelum prosedur bedah tertentu untuk mengontrol
hipertensi intrakranial, terutama pada pasien tumor fossa posterior.

1.2 Rencana keperawatan


1.2.1 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul

Menurut Nurarif (2013) diagnosa keeprawatan yang muncul adalah sebagai berikut:

a. Pre operasi

5
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK, edema
serebri, hematoma.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penekanan medulla oblongata.
3. Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya operasi.
b. Intra operasi
1. Perdarahan berhubungan dengan insisi pembedahan
c. Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan, efek anestesi, efek hormonal, distensi
kandung kemih/abdomen.
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah.
1.2.2 Intervensi keperawatan
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan efek anestesi
Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi : Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-
tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
a. Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat dari pasien dapat
menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa
Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.
b. Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian
tidal volume.
c. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang
dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara
terhadap gangguan pertukaran gas.
d. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan
sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi.
e. Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan
tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak
adekuat.
f. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang
adekuat bila ada gangguan pada ventilator.

6
2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.
Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi
Kriteria Evaluasi : Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi
alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan :
a. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan
pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube.
b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris
dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya
penumpukan sputum.
c. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak.
Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
d. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian
paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.
Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu
a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi,
catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
c. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan
perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
d. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus
menerus. Observasi karakteristik sputum.
e. Berikan antibiotik sesuai indikasi
4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma )
Tujuan : Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil : Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai
dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
Rencana Tindakan :

7
a. Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien. Penjelasan dapat
mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien
dengan kesadaran penuh atau menurun.
b. Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri. Kebersihan perorangan, eliminasi,
berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan
kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan
rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.
c. Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan. Makanan dan
minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga
kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik
jumlah, kalori, dan waktu.
d. Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang
aman dan bersih. Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien -
keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di
ruangan.
e. Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi.
Tujuan : Gangguan integritas kulit tidak terjadi
Rencana tindakan :
a. Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk menetapkan
kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
b. Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
c. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang
menonjol.
d. Ganti posisi pasien setiap 2 jam
e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan memudahkan
terjadinya kerusakan kulit.
f. Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
g. Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
h. Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.

8
i. Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan
menggunakan H2O2.

9
1.2.3 Penyimpangan KDM

10
DAFTAR REFERENSI

https://id.scribd.com/doc/259634741/Laporan-Pendahuluan-Post-Craniotomy

Nuryanto, E. (2016). asuhan keperawatan. craniotomy.


https://www.academia.edu/33470748/Askep_kraniotomi_Craniotomy_.docx

Boro, V. (2017). Kraniotomi. https://www.academia.edu/28515987/Kraniotomi.docx

11

Anda mungkin juga menyukai