Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi

Craniotomy adalah Operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala)


dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Pasien
post op craniotomy biasanya karena adanya terdapat gangguan atau kelainan
pada otak sehingga harus dilakukannya operasi.

B. Tujuan.

Kraniotomi paling sering dilakukan untuk mengambil tumor otak.


Prosedur ini dapat pula ditujukan untuk menghilangkan hematoma, mengontrol
perdarahan dari pembuluh darah yang ruptur (aneurysma cerebri),
memperbaiki malformasi arteriovena (hubungan abnormal pembuluh darah),
mengeluarkan abses cerebri, untuk menurunkan tekanan intrakranial, untuk
melakukan biopsi ataupun untuk menginspeksi otak. Pembedahan dilakukan
untuk menghilangkan gejala atau manifestasi tersebut yang tidak mungkin
diatasi dengan obat-obatan biasa.

C. Indikasi
Operasi Craniotomy dilakukan atas indikasi:

1. Cedera kepala.

Cedera kepala berat, tergolong kondisi mengancam nyawa yang


harus segera ditangani di rumah sakit. Dokter akan memeriksa gejala
yang timbul untuk menentukan tingkat keparahan. Kondisi ini dapat
diiringi dengan cedera pada jaringan otak, atau perdarahan di otak,
sehingga membutuhkan kraniotomi. Indikasi pada kraniotomi pada
cedera kepala :

a. Segera (emergency).

Hematoma ekstraserebral (epidura, subdura) dengan efek desak


ruang (ketebalan lebih dari 10 mm, dan atau dengan garis tengah
yang bergeser lebih dari 5 mm, dan atau ada penyempitan
cisterna perimencephalic atau ventriculus tertius).

 Hematoma intraserebral dengan efek pendesakan dan di


lokasi yang dapat dilakukan tindakan bedah.

 Fraktur terbuka, dengan fragmen impresi, dengan atau


tanpa robekan dura.

 Tanda-tanda kompresi saraf optik. B

b. Elektif / terprogram.

 Fraktur impresi tertutup, dengan defisit neurologik


minimal dan pasien stabil.

 Hematoma intrakranial dengan efek masa dan defisit


neurologik yang minimal, dan pasien stabil.

2. Perdarahan otak.

Pada kondisi perdarahan otak, kraniotomi dapat dilakukan untuk


mengatasi perdarahan dan mengangkat gumpalan darah.

3. Stroke.
Pada penyakit stroke dengan perdarahan di dalam rongga kepala,
operasi kraniotomi bisa dilakukan untuk menghentikan dan
menangani perdarahan.
4. Aneurisma otak.
Proses kraniotomi pada aneurisma otak, dapat membantu mencegah
pecahnya pembuluh darah di otak, dan sebagai penanganan bila
sudah terjadi perdarahan akibat pecahnya aneurisma.
5. Tumor otak.
Pada tumor otak, operasi ini dibutuhkan sebagai langkah untuk
mengangkat tumor yang menyebabkan gangguan fungsi otak.
6. Abses otak.
Kraniotomi dibutuhkan pada abses otak, ketika cara pengobatan lain
telah dilakukan namun tidak memberikan hasil yang baik, untuk
membantu mengeluarkan nanah dari abses atau sumber infeksi.
7. Hidrosefalus.
Hidrosefalus terjadi karena adanya penumpukan cairan di rongga
(ventrikel) dalam otak. Kelebihan cairan ini meningkatkan ukuran
ventrikel dan memberi tekanan pada otak. Kraniotomi dilakukan
untuk membantu mengurangi tekanan tersebut.
8. Parkinson.
Pada penyakit Parkinson, kraniotomi diperlukan untuk menanamkan
alat perangsang demi membantu perbaikan gerakan tubuh penderita
Parkinson.
9. Epilepsi.
Lebih dari 50 persen epilepsi belum diketahui penyebabnya,
sedangkan sisanya disebabkan oleh penyakit yang menyebabkan
gangguan pada otak dan memerlukan operasi kraniotomi.

D. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang timbul pada klien dengan post op craniotomy dibagi
menjadi 2 yaitu:
1. Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF),
seperti sakit kepala, nausea atau muntah proyektif, perubahan mental dan
kejang.

2. Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik
dari otak.

a. Perubahan penglihatan, misalnya hemianopsia, diplopia, kebutaan, dan

tanda-tanda papil edema.

b. Perubahan bicara, misalnya aphasia

c. Perubahan sensorik, misalnya hilangnya sensasi nyeri, halusinasi


sensorik

d. Perubahan motorik, misalnya; ataksia, jatuh, kelemahan dan paralisis


e. Perubahan bowel atau blader, misalnya inkontensia, retensi urin, dan
konstipasi.

f. Perubahan dalam pendengaran, misalnya tinnitus, deafness.

g. Perubahan dalam seksual

E. Risiko Operasi Kraniotomi.


Hampir sama dengan berbagai operasi lainnya, kraniotomi juga memiliki
risiko selama proses operasi maupun pasca operasi. Beragam risiko
komplikasi yang mungkin terjadi pada operasi kraniotomi, di antaranya:
a. Resiko Oprasi Intra Kraniotomi
 Perdarahan atau pembekuan darah
 Otak membengkak
 Pneumonia
 Kejang
 Tekanan darah tidak stabil
 Kelemahan otot
 Penurunan kesadaran.

b. Komplikasi Pasca Bedah.

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pasca bedah


intrakranial atau kraniotomi adalah sebagai berikut:

1) Peningkatan tekanan intrakranial.

2) Perdarahan dan syok hipovolemik.

3) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

4) Nyeri.

Nyeri pasca kraniotomi sering terjadi dan derajat nyerinya mulai


dari sedang sampai berat. Nyeri ini dapat dikontrol dengan
penggunaan: scalp infiltrations, pemblokiran saraf kulit kepala,
pemberian parexocib dan morphine – morphine merupakan pereda
rasa nyeri yang paling efektif.

5) Infeksi.
Meningitis bakterial terjadi pada sekitar 0,8 – 1,5 % dari
sekelompok individu yang menjalani kraniotomi.

6) Kejang.

Pasien diberikan obat anti kejang selama tujuh hari pasca operasi.
Biasanya pasien diberikan Phenytoin, akan tetapi penggunaan
Levetiracetam semakin meningkat karena risiko interaksi obat
yang lebih rendah.

7) Kematian.

Pada 276 pasien cedera kepala tertutup yang telah menjalani


kraniotomi, angka kematian mencapai 39%. Setengah dari total
jumlah pasien tersebut dengan hematoma subdura akut meninggal
setelah menjalani kraniotomi. Pasien usia lanjut dengan gangguan
neurologis memiliki angka kematian tertinggi setelah dilakukan
tindakan kraniotomi. Sebagian besar kematian pasca operasi
disebabkan oleh komplikasi neurologis seperti hematoma, edema
disertai herniasi, atau progresi tumor. Pada studi lain disebutkan
bahwa persentase kematian dapat mencapai 65% pada pasien
kraniotomi terbuka dengan indikasi evakuasi hematoma
intraserebral. Kematian dapat terjadi saat pasien sedang dibawah
pengaruh anesthesia dari beberapa reaksi yang sangat jarang
terjadi, dengan persentase dibawah 1%.

F. Post Oprasi kranotomi pada cedera kepala.


a. Cedera Kepala.

Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi


setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan setiap komponen yang
ada, mulai dari kulit kepala, tulang, dan jaringan otak atau
kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan
sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Price dan Wilson,
2012).

Walaupun otak berada dalam ruang yang tertutup dan terlindungi oleh
tulang-tulang yang kuat namun dapat juga mengalami kerusakan.
Salah satu penyebab dari kerusakan otak adalah terjadinya trauma atau
cedera kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan struktur otak,
sehingga fungsinya juga dapat terganggu (Black & Hawks, 2009).

Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung
maupun tidak langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan
yang mengakibatkan gangguan fungsi otak. Menurut Brain Injury
Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois et al. 2006).

Cedera kepala berat adalah cedera kepala dengan glassgow koma scale
3 - 8, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-scan dalam 48 jam
rawat inap di Rumah Sakit (Torner, 1999)

b. Klasifikas cedera kepala.


Cedera kepala dikasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
cedera kepala dikalsifikasikan berdasarkan : Mekanisme, beratnya dan
morfologo cedera kepala.
1) Mekanisme Cedra kepala.
Berdasarkan mekanisme cedera keoala dibagi atas :
a) Cedera kepala Tumpul:
 Cedera kepala tumpul dapat terjadi karena kecepatan
tinggi berhubungan dengan kecelakan mobil-motor.
 Kecepaan rendah, biasanya disebabkan jatuh dari
ketinggian atau dipukul dengan benda tumpul.
b) Cedera Kepala Tembus.
Disebabkan oleh cedera peluru atau cedera tususkan. Adanya
selaput dura menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera
tembus atau cedera tumpul.

c) Beratnya Cedera Kepala.

Glasgow Coma Scale digunakan untuk menilai secara


kuantitatif kelaian neurologis dan dipakai secara umum dalam
deskripsi beratnya penderita cedera kepala. Penilai GCS terdiri
dari tiga komponen diantaranya membuka mata, respon
motorik, dan respon verbal.

Pengukuran Respon Skor

Eye (Respon Spontan Mmebuka Mata 4


Mmembuka
Mata

Membuka mata dengan peritah 3


(Suara,Sentuhan)

Membuka mata dengan rangsang nyeri. 2

Tidak membuka mata dengan 1


rangsangan apa pun.

Verbal (Respon Berorientasi baik 5


Verlbal/ bicara)

Bingung, bicara mengacau, disorientasi 4


tempat dan waktu..

Bisa membentuk kata tetapi tidak bias 3


menyusun kalimat.

Bias mengeluarkan suara tanpa arti. 2

Tidak bersuara 1

Motorik Mengikuti perintah. 6


(Respon
motorik)
Melokalisir Nyeri (Menjangkau dan 5
menjauhkan stimulus saat diberi
rangsang nyeri.

Whitdraw (Menghindai atau menarik 4


ekstermitas atau tubuh menjauh dari
stimulus saat diberi rangsangan nyeri.

Menjauhi rangsanga nyeri 3

Ekstensi Spontan. 2

Tidak ada gerakan. 1

Nilai Normal GCS 15

Beradasrkan GCS beratnya cedera kepala dibagi atas :

 Cedera Kepala Ringan : GCS 14-15

 Cedera Kepala Sedang : GCS 9-13

 Cedera Kepala Berat : GCS 3-8

d) Morfologi Cedera Kepala.

Secara Morfologi Cedera kepala dibagi atas :

1) Fraktur Kranium.

Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar


tengkorak. Dibagi atas :

 Fraktur Kavaria :

 Bisa berbentuk garis atau bintang

 Depresi atau non defresi

 Terbuka atau tertutup.

 Fraktur dasar tengkorak :


 Dengan atau tanpa kebocoran cerebrospinal
Fluid (CSF)

 Dengan atau tanpa paresis.

2) Lesi Intra Kranium.

Dapat digolongkan menjadi :

 Lesi Fokal :

 Perdarahan Epidural

 Perdarahan Subdural

 Perdarahan Intraserebral

 Lesi difus.

 Kromosio ringan.

 Komosio Klasik

 Cedra akson difus.

c. Tanda dan Gejala :

a) Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak.

 Trauma kepala tertutup

 Trauma kepala terbuk

b) Trauma pada jaringan otak


 Konkosio : Ditandai adanya kehilangan kesadaran
sementar tanpa adanya kerusakan jaringan otak, terjadi
edema serebral.
 Kontosio : Ditandai oleh adanya perlukaan pada
permukaan jaringan otak yang menyebabkan perdarahan
pada area yang terluka, perlukaan pada permukaan jaringan
otak ini dapat terjadi pada sisi yang terkena (coup) atau
pada permukaan sisi yang berlawanan (contra coup).
 Laserasi : Ditandai oleh adanya perdarahan ke ruang
subaraknoid, ruang epidural atau subdural.Perdarahan yang
berasal dari vena menyebabkan lambatnya pembentukan
hematome, karena rendahnya tekanan. Laserasi arterial
ditandai oleh pembentukan hematome yang cepat karena
tingginya tekanan.

c) Hematom epidural.
 Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater.
 Lokasi tersering temporal dan frontal. Sumber : pecahnya

pembuluh darah meningen dan sinus venosus.


Katagori talk and die.
 Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang).
 Penurunan kesadaran ringan saat kejadian —– periode

Lucid (beberapa menit – beberapa jam) —-


 Penurunan kesadaran hebat — koma, deserebrasi,
dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala hebat, reflek
patologik positip.
d) Hematom subdural.
 Perdarahan antara duramater dan arachnoid.
 Biasanya pecah vena — akut, sub akut, kronis.
Akut :
 Gejala 24 – 48 jam.
 Sering berhubungan dnegan cidera otak & medulla
PTIK meningkat.
 Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung,
reflek pupil lambat.
Sub Akut :
 Berkembang 7-10 hari, kontosio agak berat,
adanya gejal TIK meningkat — kesadaran
menurun.

Kronis :
 Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan
meluas.
 Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang,
disfagia.
e) Hematom intrakranial.
 Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih.
 Selalu diikuti oleh kontosio.
 Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan
akselerasi – deselerasi mendadak.
 Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah,
edema lokal.

G. Komplikasi

1. Edema cerebral

2. Syok Hipovolemik

3. Hydrocephalus

4. Perdarahan subdural, epidural dan intracerebral.

5. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis, yang muncul


pada hari ke 7-144 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul
bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran
darah sebagai emboli ke paru-paru, hati dan otak.

6. Infeksi biasanya muncul pada 6-46 jam setelah operasi.

H. Pemeriksaan Penunjang

Untuk menentukan lokasi tumor yang tepat, pemeriksaan penunjang yang


harus dilakukan ialah:

1. CT-Scan memberikan info spesifik menyangkut jumlah, ukuran, dan


kepadatan jejas tumor, serta meluasnya edema serebral sekunder.
2. MRI membantu mendiagnosis tumor. Ini dilakukan untuk mendeteksi jejjas
tumoryang kecil. Alat ini juga membantu mendeteksi jejjas yang kecil dan
tumor-tumor di dalam batang otak dan daerah hipofisis.
3. Biopsy stereotaktik bantuan komputer ( 3 dimensi) dapat digunakan untuk
mendiagnosis kedudukan tumor yang dalam dan untuk memberikan dasar-
dasar pengobatan dan informasi prognosis.
4. Angiografi serebral memberikan gambaran tentang pembuluh darah serebral
dan letak tumor serebral.

5. Elektroensefalogram (EEG) untuk mendeteksi gelombang otak abnormal


pada daerah yang ditempati tumor dan dapat memungkinkan untuk
mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang.

I. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan pada post op craniotomy adalah;

1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan

2. Mempercepat penyembuhan

3. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi

4. Mempertahankan konsep diri pasien

5. Mempersiapkan klien pulang

Tindakan keperawatan post op craniotomy:

1. Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output

2. Observasi dan catat sifat drain (warna, jumlah drainage)

3. Saat melakukan mobilisasi pada pasien harus hati-hati, jangan sampai drain
tercabut.

4. Perawatan luka operasi secara steril

5. Makanan; Pada klien pasca operasi biasanya tidak diperkenankan menelan


makanan sesudah pembedahan. Makanan yang dianjurkan pada pasien post
operasi adalah makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein sangat
diperlukan pada proses penyembuhan luka, sedangkan Vit C yang
mengandung antioksidan membantu meningkatkan daya tahan tubuh untuk
pencegahan infeksi.
6. Mobilisasi; Klien diposisikan untuk berbaring di tempat tidur agar
keadaannya stabil. Biasanya posisi awal adalah telentang, tapi juga harus
tetap dilakukan perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus.

7. Pemenuhan kebutuhan eleminasi; Fungsi sistem perkemihan kembali setelah


6-8 jam post anesthesia inhalasi, IV, spinal anesthesi, infus IV, manipulasi
operasi untuk mengetahui ada tidaknya retensio urine.

J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian

a. Anamnesa: Pasien datang dengan keluhan sakit kepala, pusing, mual


atau bahkan penurunan kesadaran. Beberapa faktor yang menjadi resiko
dari cidera kepala antara lain anak-anak yang berada dalam rentang usia
6 bulan – 2 tahun, usia 15-24 tahun, dan orang tua. Perbandingan angka
kejadian pada pria dan wanita adalah 2:1. Resiko tinggi cidera kepala
juga terdapat pada individu yang tinggal pada lingkungan yang
termasuk dalam golongan sosioekonomi rendah (Okie, 2005). Tingkat
mortalitas pada kasus ini dipengaruhi oleh tingkat keparahan trauma,
respon pasca trauma, treatmen yang didapat.

Bagian dari pengkajian meliputi :

1) Identitas :

Identitas Pasien.

Identitas Penanggungg jawab.

2) Riwayat Kesehatan.

Keluhan utama

Riwayat penyakit sekarang

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit keluarga.


3) Sebelas pola pungsi keshatan Gordon. Kebutuhan biopsiko sosial
spiritual.

b. Pemeriksaan fisik:

Pemeriksaan Fisik meliputi : Keadaan Umum, Kesadaran, Tanda-


tanda Vita. Dan pemeriksaan B1-B6 :

 B1: perubahan pola nafas, adanya suara nafas tambahan,


peningkatan frekuensi nafas
 B2: hipertensi, hipotensi, taki kardi, bradikardi, CRT > 3
detik, sianosis
 B3: nyeri kepala, penurunan tingkat kesadaran, pusing,
perubahan reflek pupil
 B4: inkkontinensia urin, distensi kandung kemih, retensi
urin
 B5: mual, muntak, reflek menelan mengalami penurunan,
konstipasi
 B6: kelemahan, keterbatasan kemampuan gerak.

1) Pemeriksaan fisik; Pasien Nampak tegang, wajah menahan sakit, lemah

kesdaran somnolent apatis, GCS 15, TD 120/80 mmHg, Nadi 98 x/m, suhu

37ºC, RR 20 x/mnt.

a) Abdomen; Inspeksi tidak ada asites, palpasi hati teraba 2 jari bawah

iga,dan limpa tidak membesar, perkusi bunyi redup, bising usus 14

X/menit. Distensi abdominal dan peristaltic usus adalah pengkajian

yang harus dilakukan padagastrointestinal.

b) Ekstremitas; Mampu mengangkat tangan dan kaki. Kekuatan otot

ekstremitas atas 4 – 4 dan ekstremitas bawah 4 – 4, akral dingin

dan pucat.

c) Integument; Kulit keriput, pucat, turgor sedang.


d) Pemeriksaan neurologis; Bila perdarahan hebat/luas dan

mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus

cranialis, maka dapat terjadi :

 Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,

perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh

emosi/tingkah laku dan memori).

 Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,

kehilangansebagian lapang pandang, foto fobia.

 Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetris) deviasi pada

mata.

 Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.

 Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi

pada nervus vagusmenyebabkan kompresi spasmodik

diafragma.

 Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah

jatuh kesalahsatu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan

menelan.

2. Diagnosa

a. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan perdarahan

b. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan


sputum.
c. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan kelemahan otot

3. Perencanaan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperatan

1. Gangguan perfusi Tujuan: a. Observasi


jaringan serebral Setelah dilakukan ekstermitas
berhubungan dengan perawatan tidak terhadap pembengk
perdarahan terjadi gangguan perfusi j akan, dan eritema.
aringan. Kriteria hasil: b. Evaluasi status
a. Tanda-tanda vital mental. Perhatikan
stabil. terjadinya
b. Kulit klien hangat dan hemaparalis, afasia,
kering. kejang, muntah
c. Nadi perifer ada dan dan peningkatan
kuat. TD
d. Masukan atau
haluaran seimbang
4 Bersihan jalan Tujuan (NIC) : a. Kaji dengan
napas tidak efektif Mempertahankan jalan ketat (tiap 15
b.d penumpukan napas dan mencegah
sputum. menit) kelancaran
aspirasi
KH : Suara jalan napas.
napas bersih, tidak Rasional : obstruksi
terdapat suara sekret
dapat disebabkan
pada selang dan bunyi
alarm karena peninggian pengumpulan
suara mesin, sianosis sputum, perdarahan,
tidak ada.
bronchospasme
atau masalah
terhadap tube.
b. Evaluasi
pergerakan dada
dan auskultasi dada
(tiap 1 jam ).
Rasional :
Pergerakan yang
simetris dan suara
napas yang bersih
indikasi
pemasangan tube
yang tepat dan tidak
adanya
penumpukan
sputum.
c. Lakukan
pengisapan lendir
dengan waktu <15
detik bila sputum
banyak. Rasional :
Pengisapan lendir
tidak selalu rutin
dan waktu harus
dibatasi untuk
mencegah hipoksia.
d. Lakukan
fisioterapi dada
setiap 2 jam.
Rasional :
Meningkatkan
ventilasi untuk
semua bagian paru
dan memberikan
kelancaran aliran
serta pelepasan
sputum.

3 Gangguan mobilisasi Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji tingkat


fisik b/d kelemahan keperawatan 2x24 jam kelemahan fisik
otot diharapkan gangguan klien
2. Berikan latihan Rom
mobilisasi fisik dapat
pasif
teratasi dengan KH :
3. Monitor TTV
1. Mampu mandiri
4. Latih ketahanan
total dengan merubah
2. Tidak
posisi tidur
membutuhkan 5. Jaga keamanan dan
alat bantu kenyamanan klien
3. Tidak terjadi
atrofi otot
4. Tidak terjadi
dekubitus
.
Daftar Pustaka

Brown., C.V, Weng., J, Oh., D. (2004). Does routine serial computed tomography

of the head influence management of traumatic brain injury?

Mardjono M & Sidharta P. (2003). Penyakit dalam; Neurologi Klinis Dasar.

Jakarta: FKUI

Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan

Medikal Bedah. Edisi 8 Volume 3. Jakarta : EGC


Sudoyo, W. A et al. (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC
Soeparman. (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, Edisi Kedua. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai