Anda di halaman 1dari 17

BAB I

KONSEP MEDIS

A. DEFINISI :

Cedera kepala adalah suatu bentuk trauma yang dapat merubah kemampuan
otak dalam menghasilkan keseimbangan aktifitas fisik, intelektual, emosional,
sosial, dan pekerjaan atau suatu gangguan traumatik yang dapat menimbulkan
perubahan fungsi otak. Cedera kepala dapat menimbulkan pecahnya pembuluh
darah otak yang menimbulkan perdarahan serebral. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan hematoma seperti pada epidural hematoma yaitu berkumpulnya
darah di antara lapisan periosteum tengkorak dengan duramater akibat pecahnya
pembuluh darah yang paling sering adalah arteri media meningial. Subdural
hematoma adalah berkumpulnya darah di ruang antara duramater dengan
subaraknoid. Sementara intracerebral hematoma adalah berkumpulnya darah pada
jaringan serebral (Black dan Hawks.,2009).

Sedangkan menurut Smeltzer, & Bare ., (2002) mengatakan bahwa


Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah di antara durameter dan jaringan
otak, yang dapat terjadi secara akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh
darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan
lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam 2 hari atau 2 minggu dan
kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.

Sementara menurut Adriman,S., Umar,N.,Rasman,M., (2015) mengatakan


bahwa perdarahan yang terjadi di antara lapisan duramater dan arachnoid, adalah
hasil dari trauma aselerasi-deselarasi terhadap otak sehingga mengakibatkan
regangan dan kerusakan vena parasagital, hal ini dikenal dengan istilah subdural
hematoma.
B. ETIOLOGI
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-deselarasi,
coup-cuntre coup, dan cedera rotasional ( Hardhi A.,2013).
Diantaranya adalah :
1. Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak
bergerak 9 misal ; alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang
ditembakkan kekepala).
2. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam, seperti
pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobi.
3. Cedera akselerasi-deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan
bermotor dan episode kekerasan fisik
4. Cedera coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak
bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak
yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh
pasien dipukul dibagian belakang kepala.
5. Cedera rotasional terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam
rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam
subtasia alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian
dalam rongga tengkorak.
Sedangkan pada kasus subdural hematoma, etiologinya yaitu :

1. Kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda dan mobil, kecelakaan pada saat
olahraga dan jatuh.
2. Cedera akibat kekerasan dan benturan benda tumpul.
3. Luka tembak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
4. Trauma kepala dan fraktur tulang tengkorak.

C. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA :

Klasifikasi Cedera Kepala Berdasarkan Berat Ringannya Cedera Kepala Menurut


Perhimpunan Dokter Ahli Saraf Indonesia (Perdossi, 2006), cedera kepala
berdasarkan berat ringannya dikelompokkan:
1 Cedera kepala minimal (simple head injury) Kriteria cedera kepala ini adalah nilai
GCS 15, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada amnesia post trauma dan tidak
ada defisit neurologi.
2 Cedera kepala ringan (mild head injury) Kategori cedera kepala ini adalah nilai
GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tidak
terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematom dan amnesia post trauma kurang
dari 1 jam.
3 Cedera kepala sedang (moderate head injury) Pada cedera kepala ini nilai GCS
antara 912, atau GCS lebih dari 12 akan tetapi ada lesi operatif intrakranial atau
abnormal CT Scan, hilang kesadaran antara 30 menit sampai 24 jam, dapat disertai
fraktur tengkorak, dan amnesia post trauma 1 sampai 24 jam.
4 Cedera kepala berat (severe head injury) Kategori cedera kepala ini adalah nilai
GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai kontusio,
laserasi atau adanya hematom, edema serebral dan amnesia post trauma lebih dari 7
hari
D. MANIFESTASI KLINIK

Tanda dan gejala yang timbul pada subdural hematoma dalah sebagai berikut
(Sylvia A : 2006) :Nyeri kepala, bingung, mengantuk, lambat berpikir, kejang dan
edema pupil dan secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran disertai adanya
lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/hemiplegi. Pada pemeriksaan CT
Scan di dapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent).

E. KOMPLIKASI

Komplikasi yang terjadi pada pasien subdural hematoma adalah sebagai berikut:
Hemiparese/hemiplegia dan Disfasia / afasia

Epilepsi, Encephalitis, Abses otak, Tumor otak.

Hidrosepalus, Subdural empiema dan Stroke.


Adverse drugs reactions dan Perdarahan subarachnoid.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan subdural hematom adalah sebagai


berikut:
1. CT Scan
CT Scan saat tanpa atau dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. MRI (Magnetic resonance imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) untuk mengidentifikasi perdarahan
ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih cepat dan
akurat sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan dibandingkan MRI pada fase
akut. MRI baru dipakai setelah trauma untuk menetukan kerusakan parenkim otak
akibat trauma yang tidak dapat dilihat dengan CT-scan.
3. Angiografi Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat
edema, perdarahan, trauma.
4. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
5. Analisa Gas Darah
Mendeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
6. Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrakranial.
7. Laboratorium
Pemeriksaan meliputi, pemeriksaan darah rutin, profil hemostasis/koagulasi.
8. Foto tengkorak
Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya
perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur
tengkorak dan SDH.
Tindakan sub dural hematoma umumnya dilakukan pemberian dosis tinggi manitol
preoperatif, pengaturan ventilasi, regulasi suhu tubuh preoperatif, menjaga stabilisasi
hemodinamik preoperatif. Namun sebelum hal-hal tersebut dilakukan, seperti pasien
cedera kepala berat pada umumnya pasien ini juga dilakukan tindakan seperti:
1. Pemasangan pipa endotrakeal memastikan jalan napas tetap bebas dan mencegah
aspirasi paru.
2. Oksigenasi dan kontrol ventilasi untuk mencegah hipoksia dan hiperkapnea.
3. Menjaga status hemodinamik tetap stabil dengan menghindari hipertensi yang
berlebih dan mencegah terjadinya hipotensi yang membahayakan. Cairan infus
rumatan digunakan yang bersifat isoosmoler (ringerfundin).
4. Posisi kepala netral dan head up untuk memastikan aliran darah balik serebral tidak
mengalami gangguan (tetap mengawasi akibat posisi tersebut pada status
hemodinamik pasien).
5. phenytoin sebagai anti kejang diberikan intravena.
6. Propofol dan atracurium kontinyu serta dexketoprofen intravena diberikan sebagai
sedatif, analgesik serta memfasilitasi penggunaan ventilasi mekanik pada pasien
ini.
7. Pemberian manitol dosis 0,5 g/kgBB diberikan sebagai usaha mengendalikan TIK
( Christanto S., Rahardjo S., Suryono B, Saleh C.S.,2015).
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan medik yang dilakukan pada pasien dengan subdural hematoma
adalah sebagai berikut :

1. Tindakan Tanpa Pembedahan


Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan
tindakan konservatif. Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma
tetapi tidak menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang
bermakna kemungkinan menderita suatu diffuse axonal injury. Pada penderita
ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit neurologik dan karenanya tidak di
indikasikan untuk tindakan operasi.
2. Tindakan Pembedahan
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-
gejala yang progresif, maka diperlukan tindakan operasi untuk melakukan
pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum dilakukan tindakan operasi, harus kita
perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operasi
ditujukan kepada:
a. Evakuasi seluruh SDH
b. Merawat sumber perdarahan
c. Reseksi parenkim otak yang nonviable
d. Mengeluarkan ICH yang ada.

Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:


a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau
pergeseran midline shift > 5 mm pada CT-scan
b. Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
c. Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan
pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2
poin antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit
d. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi
asimetris/fixed
e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist
drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk
perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik
ini menunjukan komplikasi yang minimal.
Kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada
pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis,
reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang
kembali.
Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara
cepat dengan lokal anestesi. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan
karena dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang
biasanya solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih
dari seperlima penderita SDH akut mempunyai volume hematoma lebih dari
200 ml.
Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang
invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Hampir semua ahli bedah
saraf memilih kraniotomi luas. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya
hematoma dan lokasi kerusakan parenkim otak. Lubang bor yang pertama
dibuat dilokasi dimana di dapatkan hematoma dalam jumlah banyak, dura mater
dibuka dan diaspirasi sebanyak mungkin hematoma, tindakan ini akan segara
menurunkan TIK.
Usaha diatas adalah untuk memperbaiki prognosa akhir SDH, dilakukan
kraniotomi dekompresif yang luas dengan maksud untuk mengeluarkan seluruh
hematoma, merawat perdarahan dan mempersiapkan dekompesi eksternal dari
edema serebral pasca operasi. Pemeriksaan pasca operasi menujukkan sisa
hematoma dan perdarahan ulang sangat minimal dan struktur garis tengah
kembali lebih cepat ke posisi semula dibandingkan dengan penderita yang tidak
dioperasi dengan cara ini.
Trepanasi atau kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala
yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada
pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor
dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda
adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar
disebabkan oleh adanya massa extra aksial.
3. Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Setelah operasi harus tetap
hati-hati, karena pada sebagian pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal
dari pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang
kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus,
kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi
dari cairan subdural. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan
sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial CT-scan tomografi pasca kraniotomi
sebaiknya juga dilakukan.

4. Follow Up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan
untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
BAB II
KONSEP KEPERAWTAN

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

1) Anamnesis.
Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jejas
dikepala atau tidak, ada tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan, Pernah
sadar dan pingsan lagi dan lamanya periode sadar atau lucid interval. Untuk
tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah
terjadinya trauma kepala, untuk mencari penyebab utama penderita tidak sadar
apakah karena inspirasi atau sumbatan nafas atas, atau karena proses intrakranial
yang masih berlanjut.
Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual,
adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah-muntah yang tidak bisa
ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, obat-obatan yang
sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh alkohol.
2) Pemeriksaan Fisik.
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang
mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau
nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus
dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang pipa
orofaring atau pipa endotrakeal lalu diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini
bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh.
Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan darah untuk memantau
apakah terjadi hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.
Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan refleks Cushing
yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan bradipnea.
Pemeriksaan neurologik yang meliputi kesadaran penderita dengan
menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan
tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala
Koma Glasgow menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon
motorik pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan diameter kedua
pupil dan adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di
dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang korteks menuju
medula spinalis.
Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial
meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi
dini adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal
(unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya.
Adanya trauma langsung pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.

B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Masalah yang sering muncul pada kasus SDH adalah:
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d gangguan transport oksigen.
2. Ketidakefektifan pola napas b.d hipoventilasi sindrom.
3. Nyeri akut b.d agen cedera fisik ( Trauma ).
4. Hambatan komunikasi verbal b.d gangguan fisiologis ( penurunan sirkulasi ke
otak ).
5. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular.

C. RENCANA/INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa Rencana keperawatan


Keperawatan/
Masalah Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Kolaborasi
Perfusi jaringan cerebral NOC : NIC :
tidak efektif b/d gangguan Circulation status Monitor TTV
transport O2 yang ditandai Neurologic status Monitor AGD, ukuran pupil,
dengan Tissue Prefusion : cerebral ketajaman, kesimetrisan dan
DO : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama reaksi
- Gangguan status mental beberapa hari diharapkan ketidakefektifan perfusi Monitor adanya diplopia,
- Perubahan perilaku jaringan cerebral teratasi dengan kriteria : pandangan kabur, nyeri kepala
- Perubahan respon motorik Tekanan systole dan diastole dalam Monitor level kebingungan dan
- Perubahan reaksi pupil rentang yang diharapkan orientasi
- Kesulitan menelan Tidak ada ortostatikhipertensi Monitor tonus otot pergerakan
- Kelemahan atau paralisis Komunikasi jelas Monitor tekanan intrkranial dan
ekstrermitas Menunjukkan konsentrasi dan orientasi respon nerologis
- Abnormalitas bicara Pupil seimbang dan reaktif Catat perubahan pasien dalam
Bebas dari aktivitas kejang merespon stimulus
Tidak mengalami nyeri kepala Monitor status cairan
Pertahankan parameter
hemodinamik
Tinggikan kepala 0-45o
tergantung pada kondisi
pasien dan order medis

Diagnosa Rencana keperawatan


Keperawatan/
Masalah
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Kolaborasi
Pola Nafas tidak efektif NOC: NIC:
berhubungan dengan Respiratory status : Ventilation Posisikan pasien untuk memaksimalkan
hipoventilasi sindrom yang Respiratory status : Airway patency ventilasi
ditandai dengan: Vital sign Status Pasang mayo bila perlu
DS: Lakukan fisioterapi dada jika perlu
- Dyspnea Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Keluarkan sekret dengan batuk atau
- Nafas pendek beberapa hari diharapkan pasien menunjukkan suction
DO: keefektifan pola nafas, dibuktikan dengan Auskultasi suara nafas, catat adanya
- Penurunan tekanan kriteria : suara tambahan
inspirasi/ekspirasi Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara
- Penurunan pertukaran Berikan bronkodilator.
nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan
udara per menit Berikan pelembab udara Kassa basah
dyspneu (mampu mengeluarkan sputum,
- Menggunakan otot NaCl Lembab
mampu bernafas dg mudah, tidakada pursed
pernafasan tambahan Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
lips)
- Orthopnea Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien keseimbangan.
- Pernafasan pursed-lip Monitor respirasi dan status O2
tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi
- Tahap ekspirasi Bersihkan mulut, hidung dan secret
pernafasan dalam rentang normal, tidak ada
berlangsung sangat trakea
suara nafas abnormal)
lama Pertahankan jalan nafas yang paten
Tanda Tanda vital dalam rentang normal
- Penurunan kapasitas vital Observasi adanya tanda tanda
(tekanan darah, nadi, pernafasan)
- Respirasi: < 11 24 x /mnt hipoventilasi
Monitor adanya kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
Monitor vital sign
Informasikan pada pasien dan
keluarga tentang tehnik relaksasi
untuk memperbaiki pola nafas.
Ajarkan bagaimana batuk efektif
Monitor pola nafas
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan
Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (trauma) NOC : NIC :
yang ditandai dengan: Pain Level, Lakukan pengkajian nyeri secara
DS: pain control, komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
- Laporan secara verbal comfort level durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
Setelah dilakukan tinfakan presipitasi
DO:
keperawatan selama beberapa hari Observasi reaksi nonverbal dari
- Posisi untuk menahan nyeri
diharapkan Pasien tidak ketidaknyamanan
- Tingkah laku berhati-hati mengalami nyeri, dengan kriteria : Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
- Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau Mampu mengontrol nyeri (tahu dan menemukan dukungan
gerakan kacau, menyeringai) penyebab nyeri, mampu Kontrol lingkungan yang dapat
- Terfokus pada diri sendiri menggunakan tehnik mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
- Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan nonfarmakologi untuk pencahayaan dan kebisingan
proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan mengurangi nyeri, mencari Kurangi faktor presipitasi nyeri
lingkungan) bantuan) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
Melaporkan bahwa nyeri menentukan intervensi
- Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui
berkurang dengan menggunakan Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang) manajemen nyeri napas dala, relaksasi, distraksi, kompres
- Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan Mampu mengenali nyeri (skala, hangat/ dingin
tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil) intensitas, frekuensi dan tanda Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
- Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam nyeri) Tingkatkan istirahat
rentang dari lemah ke kaku) Menyatakan rasa nyaman Berikan informasi tentang nyeri seperti
- Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, setelah nyeri berkurang penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh Tanda vital dalam rentang normal berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan
kesah) Tidak mengalami gangguan tidur dari prosedur
- Perubahan dalam nafsu makan dan minum Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Kelebihan Volume Cairan berhubungan NOC : NIC :
dengan gangguan mekanisme regulasi Electrolit and acid base balance Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
yang ditandai dengan: Fluid balance Pasang urin kateter jika diperlukan
DO/DS : Hydration Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan
- Berat badan meningkat pada Setelah dilakukan tindakan keperawatan (BUN , Hmt , osmolalitas urin )
selama beberapa hari diharapkan Monitor vital sign
waktu yang singkat
Kelebihan volume cairan teratasi dengan Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan (cracles,
- Asupan berlebihan dibanding kriteria:
output CVP , edema, distensi vena leher, asites)
Terbebas dari edema, efusi,
Kaji lokasi dan luas edema
- Distensi vena jugularis anaskara
Monitor masukan makanan / cairan
- Perubahan pada pola nafas, Bunyi nafas bersih, tidak ada
Monitor status nutrisi
dyspnoe/sesak nafas, dyspneu/ortopneu
Terbebas dari distensi vena Berikan diuretik sesuai interuksi
orthopnoe, suara nafas
jugularis, Kolaborasi pemberian obat.
abnormal (Rales atau crakles), ,
Memelihara tekanan vena sentral, Monitor berat badan
pleural effusion
tekanan kapiler paru, output Monitor elektrolit
- Oliguria, azotemia
jantung dan vital sign DBN Monitor tanda dan gejala dari odema
- Perubahan status mental, Terbebas dari kelelahan,
kegelisahan, kecemasan kecemasan atau bingung

Diagnosa Rencana keperawatan


Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Intervensi
Kriteria Hasil
Ketidakseimbangan nutrisi NOC: NIC:
kurang dari kebutuhan tubuh a Nutritional status: Kaji adanya alergi makanan
berhubungan dengan Adequacy of Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
ketidakmampuan untuk nutrient dibutuhkan pasien
mengabsorbsi nutrien yang b Nutritional Status : food Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
ditandai dengan: and Fluid Intake Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
DS: c Weight Control Monitor adanya penurunan BB dan gula darah
- Nyeri abdomen Setelah dilakukan
Monitor lingkungan selama makan
- Muntah tindakan keperawatan
Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
- Kejang perut selama beberapa hari
Monitor turgor kulit
- Rasa penuh tiba-tiba setelah diharapkan nutrisi
makan kurang teratasi dengan Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb dan kadar Ht
DO: indikator: Monitor mual dan muntah
- Diare Albumin serum Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
- Rontok rambut yang berlebih Pre albumin serum Monitor intake nuntrisi
- Kurang nafsu makan Hematokrit Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi
- Bising usus berlebih Hemoglobin Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti NGT/ TPN
- Konjungtiva pucat Total iron binding sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan.
- Denyut nadi lemah Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan
capacity
Jumlah limfosit Kelola pemberan anti emetik.
Anjurkan banyak minum
Pertahankan terapi IV line
Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oval
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Hambatan mobilitas fisik yang NOC : NIC :


berhubungan dengan gangguan Joint Movement : Active Exercise therapy : ambulation
neuromuskular yang ditandai dengan: Mobility Level Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan
DO: Self care : ADLs lihat respon pasien saat latihan
- Penurunan waktu reaksi Transfer performance Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana
- Kesulitan merubah posisi Setelah dilakukan tindakan ambulasi sesuai dengan kebutuhan
- Perubahan gerakan (penurunan untuk keperawatan selama beberapa hari Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan
berjalan, kecepatan, kesulitan diharapkan gangguan mobilitas fisik dan cegah terhadap cedera
memulai langkah pendek) teratasi dengan kriteria : Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang
- Keterbatasan motorik kasar dan halus Klien meningkat dalam aktivitas teknik ambulasi
- Keterbatasan ROM Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
fisik
- Gerakan disertai nafas pendek atau
Mengerti tujuan dari peningkatan Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs
tremor
mobilitas secara mandiri sesuai kemampuan
- Ketidak stabilan posisi selama
Memverbalisasikan perasaan Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu
melakukan ADL
dalam meningkatkan kekuatan penuhi kebutuhan ADLs ps.
- Gerakan sangat lambat dan tidak
dan kemampuan berpindah Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
terkoordinasi
Memperagakan penggunaan alat Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
Bantu untuk mobilisasi (walker) berikan bantuan jika diperlukan

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Risiko infeksi NOC : NIC :
Faktor-faktor risiko : Immune Status Pertahankan teknik aseptif
- Prosedur Infasif Knowledge : Infection control Batasi pengunjung bila perlu
- Kerusakan jaringan dan peningkatan Risk control Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
paparan lingkungan Setelah dilakukan tindakan Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
keperawatan selama beberapa hari Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
- Malnutrisi
diharapkan pasien tidak mengalami
- Peningkatan paparan lingkungan Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung
infeksi dengan kriteria :
patogen kencing
Klien bebas dari tanda dan
- Imonusupresi Tingkatkan intake nutrisi
gejala infeksi
- Tidak adekuat pertahanan sekunder Menunjukkan kemampuan Berikan terapi antibiotik.
(penurunan Hb, Leukopenia, untuk mencegah timbulnya Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
penekanan respon inflamasi) infeksi Pertahankan teknik isolasi k/p
- Penyakit kronik Jumlah leukosit dalam batas Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas,
normal drainase
- Imunosupresi
Menunjukkan perilaku hidup Monitor adanya luka
- Malnutrisi
sehat Dorong masukan cairan
- Pertahan primer tidak adekuat Status imun, gastrointestinal, Dorong istirahat
(kerusakan kulit, trauma jaringan, genitourinaria dalam batas Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
gangguan peristaltik) normal Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam
BAB III
WOC
Benturan

Trauma

Trauma akibat deselerasi

Trauma Robekan
pada Cedera jaringan dan
jaringan otak
akselerasi

Kerusakan Hematoma Menekan


jaringan jaringan sekitar
kepala
Oedema
cerebri Nyeri
Luka
terbuka
Akut
Suplai darah ke
TIK
daerah trauma
Resiko (Vasodilatasi)
Infeksi
Ketidakefektifan Aliran darah ke
perfusi jaringan otak
cerebral

Merangsa Merangsang Kerusakan Hipoksia


ng hipotalamus hemisfer
hipotalam

Hipotalamus Mengeluarkan Kekuatan dan Gangguan


terfiksasi (pada steroid dan tahanan otot jaringan
pertukaran
disensefalon) adrenal gas
Tidak mampu
Hambatan
Kelebihan
Ketidakseimbanga
Produksi Ketidakseimb
Sekresi HCL
Hambatan
mengucapkan
Ketidakefekt
Gangguan
Retensi Na + Mual,munta komunikasi verbal
Kesadara ifan pola
angan nutrisi. mobilitas
volume
n cairan
ADHdan kata-kata Pernapasan
persepsi
H2O h n dangkal
DAFTAR PUSTAKA

Adriman,S., Umar,N.,Rasman,M., 2015; Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak


Traumatik pada Pasien Berusia Lanjut, Jurnal Neuroanestesi Indonesia ; JNI 2015; 4
(2): 10411
A.Price,Sylvia, Lorraine M. Wilson.2006.PATOFISIOLOGI Jilid 1.Jakarta:EGC.
Black, M. J., & Hawks, H.J. (2009). Medical surgical nursing clinical management for
positive outcomes. 8 th Edition. St Louis Missouri: Elsevier Saunders.
Christanto S., Rahardjo S., Suryono B, Saleh C.S.2015; Penatalaksanaan Pasien Cedera
Kepala Berat dengan Evakuasi Perdarahan Subdural yang Tertunda Jurnal
Neuroanestesi Indonesia JNI 2015;4(3): 17786.
Hardhi A.,2013; Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA
NIC-NOC, Edisi Revisi Jilid 1, Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional
Yogyakarta, MediAction Publising.
Perdossi. (2010). Konsensus nasional III, diagnostik dan penatalaksanaan nyeri kepala,
kelompok studi nyeri kepala. Surabaya : Airlangga University Press
Smeltzer C.S.,Bare G.B.,2002; Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Edisi 8,Vol 2,
Jakarta,EGC.

Anda mungkin juga menyukai