OLEH
FITRI ROHMAYANI
(P07120317008)
SKULL DEFECT
I. KONSEP PENYAKIT
A. DEFINISI
Skull defect menjadi suatu masalah sejak awal periode kehidupan
manusia. Skull defect sudah dapat ditemukan pada jaman neolitikum. Skull
defect adalah kelainan pada kepala dimana tidak adanya tulang
cranium/tulang tengkorak. Skull deffect adalah adanya pengikisan pada
tulang cranium yang disebabkan oleh adanya pengikisan yang disebabkan
massa ekstrakranial atau intrakranial, atau juga bisa berasal dari dalam
tulang (Burgener & Kormano, 1997).
Skull defect dapat terjadi dari lahir atau kongenital pada bayi yang
biasanya disebut dengan anenchephaly dan juga skull defect yang
dilakukan secara sengaja untuk membantu pengeluaran cairan atau
pendarahan atau massa yang ada di kepala atau otak.
B. ETIOLOGI
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan
cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah
biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi
meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya
corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri
kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran.
Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto
kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada
kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi
AP/lateral dan oblique.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
a) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak
menghilang setelah pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.
b) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna
terdapat lesi intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
c) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial
telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena
misal terjadi shock, febris, dll).
d) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal
fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi
kanan.
e) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
f) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari
GCS.
g) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.
3. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan
otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Punksi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9. Analisis Gas Darah
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial.
G. PENATALAKSANAAN
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pasien diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah
pelaksanaan operasi trepanasi atau cranioplasty. Trepanasi/kraniotomi
adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan untuk
mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitive (seperti adanya
SDH (subdural hematoma) atau EDH (epidural hematoma) dan kondisi
lain pada kepala yang memerlukan tindakan kraniotomi). Cranioplasty
adalah memperbaiki kerusakan tulang kepala dengan menggunakan bahan
plastic atau metal plate. Epidural Hematoa (EDH) adalah suatu
pendarahan yang terjadi diantara tulang dang dan lapisan duramater;
Subdural Hematoa (SDH) atau pendarahan yang terjadi pada rongga
diantara lapisan duramater dan dengan araknoidea. Pelaksanaan operasi
trepanasi ini diindikasikan pada pasien 1) Penurunan kesadaran tiba-tiba
terutama riwayat cedera kepala akibat berbagai faktor,2) Adanya tanda
herniasi/lateralisasi,3) Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi
emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan. Perawatan pasca
bedah yang penting pada pasien post trepanasi adalah memonitor kondisi
umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka
pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti
dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami
trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk
menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial. Terapi konservatif
meliputi bedrest total, pemberian obat-obatan, observasi tanda-tanda vital
(GCS dan tingkat kesadaran).
Prioritas perawatan adalah maksimalkan perfusi/fungsi otak,
mencegah komplikasi, pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan
ke fungsi normal, mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga,
pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana
pengobatan, dan rehabilitasi.
Penatalaksanaan adanya skull defect yaitu dengan melakukan
operasi kraniotomi yang kemudian dilakukan cranioplasty. Cranioplasty
adalah memperbaiki kerusakan tulang kepala dengan menggunakan bahan
plastik atau metal plate. Cranioplasty adalah perbaikan defek kranial
dengan menggunakan plat logam atau plastik. Setelah dilakukan operasi
cranioplasty perawatan selanjutnya adalah dengan pemberian antibiotik
selama 3 hingga 5 hari, dan memonitor drain untuk membantu
pengeluaran darah dan mencegah hematoma hingga cairan atau darah
berkurang 2 hingga 3 cc. Instruksi penting selanjutnya adalah tidak
melakukan dan tidak memberikan tekanan pada area yang telah dioperasi
selama 3 sampai 4 minggu. Proses pembentukan dan penyambungan
tulang akan terjadi selama 6 hingga satu tahun (Ramamurthi, et al, 2007).
H. KOMPLIKASI
1. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma.
Pada situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau
minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan
beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau mati penderita
pada masa vegetative statesering membuka matanya dan
mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun
demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan
sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu tahun
jarang sembuh
2. Seizure
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
3. Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini
biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk
menyebar ke sistem saraf yang lain
4. Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada
nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau
kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan
terjadinya penglihatan ganda
5. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan
memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan
cedera kepala berat mengalami masalah kesadaran.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajiaan
a. Data subjektif :
1) Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: Nama,
umur,jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
status perkawinan, alamat, dan hubungan pasien dengan
keluarga/pengirim).
2) Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat
darurat, apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim
oleh orang lain?
3) Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal,
jam), lokasi/tempat mengalami cedera.
4) Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai pasien
menjadi cedera.
5) Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap
makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.
6) Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan
pengobatan pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani
proses pengobatan terhadap penyakit tertentu?
7) Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah pasien
menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah
penyakit tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?
8) Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir
sebelum cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk
mempermudah mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih
lanjut/operasi.
9) Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah
pasien mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa
terjadi?
b. Pengkajian ABCD FGH
1) AIRWAY
Cek jalan napas paten atau tidak
Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh
kebelakang, terdapat cairan, darah, benda asing, dan lain-
lain.
Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas
tambahan seperti snoring, gurgling, crowing.
2) BREATHING
Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
Gerakan dinding dada simetris atau tidak
Irama napas cepat, dangkal atau normal
Pola napas teratur atau tidak
Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
Ada sesak napas atau tidak (RR)
Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu
pernapasan
3) CIRCULATION
Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
Tekanan darah
Sianosis, CRT
Akral hangat atau dingin, Suhu
Terdapa perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
Turgor kulit
Diaphoresis
Riwayat kehilangan cairan berlebihan
4) DISABILITY
Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
GCS : EVM
Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
Ada tidaknya refleks cahaya
Refleks fisiologis dan patologis
Kekuatan otot
5) EXPOSURE
Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi,
laserasi, edema
Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka,
kedalaman
6) FIVE INTERVENTION
Monitoring jantung (sinus bradikardi, sinus takikardi)
Saturasi oksigen
Ada tidaknya indikasi pemasangan kateter urine, NGT
Pemeriksaan laboratorium
7) GIVE COMFORT
Ada tidaknya nyeri
Kaji nyeri dengan
o P : Problem
o Q : Qualitas/Quantitas
o R : Regio
o S : Skala
o T : Time
8) H 1 SAMPLE
Keluhan utama
Mekanisme cedera/trauma
Tanda gejala
9) H 2 HEAD TO TOE
Fokus pemeriksaan pada daerah trauma
Kepala dan wajah
2. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
a) Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK
b) Resiko tinggi cedera berhubungan dengan perubahan fungsi
neurologis
c) Perubahan persepsi sensori visual berhubungan dengan gangguan
persepsi, transmisi
d) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan saraf
e) Cemas berhubungan dengan ancaman kematian
Intra Operasi
a) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan
Post Operasi
a) Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
b) Resiko cedera berhubungan dengan trauma intracranial
c) Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
3. Intervensi keperawatan
Diagnosa
No Keperawat Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
an
Pre Operasi
Post Operasi
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.
PriceS.A., Wilson L. M. 2006. Buku Ajar Ilmu. Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta : EGC.