Anda di halaman 1dari 25

A.

Konsep Trauma Kepala Berat (TKB)


1. Definisi
Trauma kepala berat adalah trauma kepala yang mengakibatkan penurunan
kesadaran dengan skor GCS 3-8, mengalami amnesia > 24 jam (Haddad, 2012).
Menurut Brain Injury Association Of America (2009), trauma kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital atau degenerative, tetapi
disebabkan oleh benturan fisik dari luar yang dapat mengakibatkan kerusakan
kemampuan kognitif maupun fisik.
Trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma
tumpul maupun trauma tajam. Deficit neorologis terjadi karena robekanya subtansia
alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik, serta edema serebral disekitar
jaringan otak (Batticaca, 2008).

2. Etiologi

Gambar 2.1 Penyebab Trauma Kepala


Trauma kepala dapat disebabkan oleh beberapa peristiwa, diantaranya:
a. Kecelakaan lalu lintas.
b. Benturan pada kepala.
c. Jatuh dari ketinggian dengan dua kaki.
d. Menyelam di tempat yang dalam.
e. Olahraga yang keras.
f. Anak dengan ketergantungan.
Cedera pada trauma capitis dapat terjadi akibat tenaga dari luar (Arif Musttaqin,
2008) berupa:
a. Benturan/jatuh karena kecelakaan
b. Kompresi/penetrasi baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru dan ledakan
panas. Akibat cedera ini berupa memar, luka jaringan lunak, cedera
muskuloskeletal dan kerusakan organ.

3. Patofisiologi
Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya trauma kepala ditandai oleh
kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan regulasi peredaran darah serta
metabolisme otak. Pola ischaemia-like ini menyebabkan asumsi asam laktat sebagai
akibat dari terjadinya glikolisis anaerob. Selanjutnya, terjadi peningkatan
permeabilitas pembuluh darah diikuti dengan pembentukan edema. Akibat
berlangsungnya metabolism anaerob, sel-sel otak kekurangan cadangan energy yang
turut menyebabkan kegagalan pompa ion di membrane sel yang bersifat energy-
dependent (Werner dan Engelhard, 2007). Fase kedua dapat dijumpai depolarisasi
membrane terminal yang diikuti dengan pelepasan neurotransmitter eksitatori
(glutamate dan asparat) yang berlebihan (Werner dan Engelhard, 2007).
Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala
primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses
biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi
dampak kerusakan jaringan otat. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari
cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural
hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdural
hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan
subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah didalam
jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi
karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi
jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007)
4. Manifestasi Klinik
Tanda gejala pada TKB adalah:
a. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
b. Kebingungan
c. Iritabel
d. Pucat
e. Mual dan muntah
f. Pusing kepala
g. Terdapat hematoma
h. Kecemasan
i. Sukar untuk dibangunkan
j. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

5. Mekanisme Cedera
Mekanisme cedera /trauma kepala, meliputi:
a. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang tidak bergerak, contohnya pada
orang yang diam kemudian dipukul atau dilempar.
b. Deselerasi
Jika kepala yang bergerak membentur benda yang diam, contohnya pada kepala
yang menabrak dinding.
c. Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, contoh
adanya fraktur pada tulang kepala, kompressi, ketegangan atau pemotongan pada
jaringan otak.

6. Klasifikasi Cedera Kepala


Klasifikasi Cedera Kepala ( Arif Muttaqin, 2008 )
a. Cedera Kepala Primer
Cedera Kepala Primer mencakup: Fraktur tulang, cedera fokal, cedera otak difusa,
yang masing-masing mempunyai mekanisme etiologis dan fatofisiologis yang
unik.
b. Kerusakan Otak Sekunder
Cedera kepala berat seringkali menampilkan gejala abnormalitas/gangguan
sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, dimana keadaan-keadaan ini merupakan
penyebab yang sering pada kerusakan otak sekunder.
c. Edema Serebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepala adalah edema vasogenik dan
edema iskemik
d. Pergeseran Otak (Brain Shift)
Adanya sat massa yang berkembang membesar (Haematoma, abses atau
pembengkakan otak) disemua lokasi dalam kavitas Intra Kranial, biasanya akan
menyebabkan pergerakan dan distorsi otak.

7. Pemeriksaan penunjang
a. Foto polos kepala
Indikasi dilakukannya pemeriksaan meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus
(peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang
menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.
b. CT-Scan
Indikasi CT-Scan adalah:
1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat-obatan analgesia.
2) Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana factor-faktor ekstrakranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena syok, febris, dll).
4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS
(Sthavira, 2012).
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status mental yang
digambarkan oleh CT-Scan. MRI telah terbukti lebih sensitive daripada CT-Scan,
terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragig cedera aksonal.
d. X-Ray
X-Ray berfungsi mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan /edema), fragmen tulang (Rasad, 2011).
e. BGA ( Blood Gas Analyze)
Mendeteksi masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intra
kranial (TIK).
f. Kadar elektrolit
Mengoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat peningkatan tekanan intra
kranial (Musliha, 2010).

8. Komplikasi
Komplikasi trauma kepala berat dapat meliputi :
a. Perdarahan intra cranial
b. Kejang
c. Parese saraf cranial
d. Meningitis atau abses otak
e. Infeksi
f. Edema cerebri
g. Kebocoran cairan serobospinal

9. Penatalaksanaan
a. Resusitasi jantung paru ( circulation, airway, breathing = CAB) Pasien dengan
trauma kepala berat sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat
gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu urutan tindakan yang benar adalah:
1) Sirkulasi (circulation)
Hipotensi menyebabkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan
sekunder. Hipotensi disebabkan oleh hipovolemia akibat perdarahan luar,
ruptur organ dalam, trauma dada disertai temponade jantung atau
pneumotoraks dan syok septic. Tindakan adalah menghentikan perdarahan,
perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma
atau darah.
2) Jalan nafas (airway)
Bebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi dengan memasang orofaryngeal airway (OPA) atau pipa
endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi
lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindarkan aspirasi
muntahan.
3) Pernafasan (breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral dan perifer.
Kelainan sentral dalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata,
pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenic hyperventilation.
Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru,
infeksi. Gangguan pernafasan dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
Tindakan dengan pemberian O2 kemudian cari dan atasi factor penyebab dan
kalau perlu memakai ventilator.
b. Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat didasarkan atas
patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6 B”(Arif Muttaqin 2008), yakni:
1) Breathing
Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya
obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan :
suction, inkubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi
bila perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan
edema cerebri.
2) Blood
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah
(Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun
mencirikan adanya suatu peninggian tekanan intracranial, sebaliknya tekanan
darah yang menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya
syok hipovolemik akibat perdarahan dan memerlukan tindakan transfusi.
3) Brain
Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik dan
verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi
perbaikan/perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih mendalam mengenai
keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-
gerakan bola mata.
4) Bladder
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat
bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan untuk
mengedan sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.
5) Bowel
Produksi urine perlu dipantau selama pasien dirawat. Bila produksi urine
tertampung di vesika urinaria maka dapat meningkatkan tekanan intra cranial
(TIK).
6) Bone
Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi.
10. Pathway

Gambar 2.2 Skema Trauma kepala


B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Trauma Kepala Berat
(TKB)

1. Pengkajian

Pengkajian Kegawatdaruratan :
a. Primary Survey

1) Airway dan Cervical control

Hal pertama yang dinilai adalah


kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan
nafas yang dapat disebabkan benda
asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maksila, fraktur
larinks atau trachea. Dalam hal ini
dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw
thrust”. Selama memeriksa dan
memperbaiki jalan nafas, harus
diperhatikan bahwa tidak boleh
dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi
dari leher.
2) Breathing dan Ventilation

Jalan nafas yang baik tidak menjamin


ventilasi yang baik. Pertukaran gas
yang terjadi pada saat bernafas
mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbon dioksida dari
tubuh. Ventilasi yang baik
meliputi:fungsi yang baik dari paru,
dinding dada dan diafragma.
3) Circulation dan Hemorrhage control

a) Volume darah dan Curah jantung

Kaji perdarahan klien. Suatu


keadaan hipotensi harus dianggap
disebabkan oleh hipovelemia. 3
observasi yang dalam hitungan
detik dapat memberikan informasi
mengenai keadaan hemodinamik
yaitu kesadaran, warna kulit dan
nadi.
b) Kontrol Perdarahan

4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat
yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil.
5) Exposure dan Environment control

Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk


memeriksa jejas.

b. Secondary Survey

1) Kepala

Kelainan atau luka kulit kepala dan


bola mata, telinga bagian luar dan
membrana timpani, cedera jaringan
lunak periorbital
2) Leher

Adanya luka tembus leher, vena leher yang


mengembang

3) Neurologis

Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Score


(GCS)

4) Dada

Pemeriksaan klavikula dan semua


tulang iga, suara nafas dan jantung,
pemantauan EKG
5) Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen,
pasang NGT dengan trauma tumpul
abdomen
6) Pelvis dan ekstremitas

Kaji adanya fraktur, denyut nadi


perifer pada daerah trauma, memar
dan cedera yang lain
7) Aktivitas/istirahat

Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang


keseimbangan.
Tanda : Perubahan
kesadaran,
letargi,
hemiparese,
puandreplegia, ataksia, cara berjalan
tidak tegang.
8) Sirkulasi

Gejala : Perubahan tekanan darah


(hipertensi) bradikardi, takikardi.
9) Integritas Ego

Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.

Tanda : Cemas, mudah


tersinggung, angitasi, bingung,
depresi dan impulsif.
10)Makanan/cairan

Gejala : Mual, muntah dan


mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah, gangguan
menelan.
11)Eliminasi

Gejala : Inkontinensia,
kandung kemih atau usus atau mengalam
12)Neurosensori

Gejala : Kehilangan kesadaran


sementara, amnesia, vertigo, sinkope,
kehilangan pendengaran, gangguan
pengecapan dan penciuman,
perubahan penglihatan seperti
ketajaman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa
sampai koma, perubahan status
mental, konsentrasi, pengaruh emosi
atau tingkah laku dan memoris.
13)Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala.

Tanda : Wajah menyeringai,


respon menarik pada rangsangan
nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa
istirahat, merintih.
14)Pernafasan

Tanda : Perubahan pola


pernafasan (apnoe yang diselingi
oleh hiperventilasi nafas berbunyi)
15)Keamanan

Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan


penglihatan, gangguan rentang
gerak, tonus otot hilang, kekuatan
secara umum mengalami paralisis,
demam, gangguan dalam regulasi
suhu tubuh.
16) Interaksi sosial

Tanda : Apasia motorik atau


sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, disartria.

2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin ada

Diagnosa keperwatan yang lazim muncul


pada pasien dengan TKB adalah:
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan
cerebral berhubungan dengan edema
serebral, peningkatan tekanan intra
cranial (TIK)
b. Pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan kegagalan otot pernafasan
3. Intervensi Keperawatan

Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA NOC NIC


KEPERAWATAN
1 Resiko NOC : 1. Monitor TIK
ketidakefektifan Circulation status - Berikan info pada oran
perfusi jaringan Tissue Prefusion : terdekat pasien
cerebral cerebral - Monitor status neurolo
berhubungan - Monitor intake dan
dengan edema Kriteria Hasil : output
cerebral 1. Perfusi jaringan 2. Manajemen edema
cerebral cerebral
- TIK normal - Monitor adanya
- Tidak ada nyeri kebingungan, keluhan
kepala pusing
- Tidak ada - Monitor status
kegelisahan pernafasan, frekuensi
- Tidak ada dan kedalaman
penurunan pernafasan
tingkat - Kurangi stimulus dalam
kesadaran lingkungan pasien
- Tidak ada - Berikan sedasi sesuai
gangguan refleks kebutuhan
saraf 3. Monitor neurologi
2. Status neurologi - Monitor tingkat
- Kesadaran kesadaran (GCS)
normal - Monitor refleks batuk
- TIK normal dan menelan
- Pola bernafas - Pantau ukuran
normal pupil,bentuk,
- Ukuran dan kesimetrisan
reaksi pupil 4. Monitor TTV
normal 5. Posisikan head up (30- 4
- Laju pernafasan derajat)
normal 6. Beri terapi O2 sesuai
- Tekanan darah anjuran medis
normal 7. Kolaborasi pemberian
terapi medis

2 Pola nafas tidak NOC : 1. Airway Management


efektif Respiratory status : - Monitor adanya keluh
berhubungan Ventilation pusing, sakit kepa
dengan kegagalan Respiratory status : mual, muntah, gelisah
otot pernafasan Airway patency - Beri posisi head up 3
Vital sign Status 40 derajat untuk
Memaksimalkan
Kriteria Hasil : Ventilasi.
1. Irama pernafasan - Keluarkan sekret
normal dengan suction.
2. Frekuensi - Monitor alat Ventila
pernafasan normal pada
3. TTV dalam batas pasien .
normal 2. Oxygen Therapy
4. Tidak ada tanda - Pertahankan jalan nafa
sesak yang paten
- Monitor aliran Oksige
- Monitor adanya Tanda
tanda Hypoventilasi
3.Vital Sign Monitoring
- Monitor TD,suhu,RR
- Identifikasi penyebab
dari perubahan Vital
Sign
3. Kolaborasi pemberi
Therapy medis
4. Implementasi

Implementasi adalah tindakan


keperawatan yang sesuai dengan yang telah
direncanakan, mencakup tindakan mandiri
dan kolaborasi. Tindakan keperawatan
mandiri merupakan tindakan berdasarkan
analisis dan kesimpulan perawat dan bukan
atas petunjuk tenaga kesehatan lainnya.
Sedangkan tindakan kolaborasi adalah
tindakan keperawatan berdasarkan hasil
keputusan bersama dengan dokter atau
tenaga kesehatan lainnya (Mitayani,2010).
Implementasi keperawatan pada studi kasus
ini
disesuaikan dengan intervensi keperawatan
yang telah disusun berdasarkan diagnosa
keperawatan prioritas.
5. Evaluasi

Evaluasi keperawatan adalah hasil


perkembangan berdasarkan tujuan
keperawatan yang hendak dicapai
sebelumnya (Mitayani, 2010). Evaluasi yang
digunakan mencakup dua bagian yaitu
evalusi formatif yang disebut juga evaluasi
proses dan evaluasi jangka pendek adalah
evaluasi yang dilaksanakan terus menerus
terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukan. Evaluasi keperawatan pada studi
kasus ini disesuaikan dengan tujuan dan
kriteria hasil yang telah disusun berdasarkan
diagnosa keperawatan prioritas.
Adapun rujukan nilai normal dari
kriteria hasil dari Nursing Output
Clasification yang telah ditentukan adalah:
 Tekanan intra cranial (TIK) normal : < 15
mmHg (8-18 cmH20) untuk orang
dewasa
 Tidak ada nyeri kepala

 Tidak ada kegelisahan

 Tidak ada penurunan tingkat kesadaran ( compos mentis)

 Tidak ada gangguan reflex saraf (Brainstem Positif)


 Pola bernafas normal /tidak sesak

 Ukuran dan reaksi pupil normal, seimbang dan reaktif kiri


dan kanan

 Laju pernafasan normal

 Tekanan darah normal


DAFTAR PUSTAKA

Aghakhani, N., Azami, M., Jasemi, M. et al.(2013).


Epidemiology of Traumatic Brain Injur in
Urmia, Iran. Iranian Red Crescent Medical
Journal, vol.15(no.2), pp.173-4.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian


Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Batticaca, F. B. 2008. Asuhan Keperawatan
Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Brain Injury Association of America. (2009). Types
of Brain Injury.
http://www.biausa.org/pages/type of brain
injury. html. [Accessed 20
Juni 2018].
Dharma, K.K. 2011. Metode Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Panduan
MelaksanakanMenerapkan Hasil Penelitian.
Deswani. 2009. Asuhan Keperawatan dan Berdikir
Kritis. Jakarta: Salemba Medika.
Haddad, S.H., & Arabi, Y.M. 2010. Critical care
manajementof severe traumatic brain injury
in adults. Scan J Trauma ResuscEmerg Med
20 (12) :1-15.
Irawan H, Setiawan F, Dewi, DewantoG . (2010).
Perbandingan Glasgow Coma Scale dan
Revised Trauma Score dalam Memprediksi
Disabilitas Pasien Trauma Kepala di Rumah
Sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran
Indonesia.http://indonesia.digitaljournals.org
/diakses 20 Juni 2018

Moleong, lexy j. 2010. Metodologi penelitian


kualitatif. Bandung : Remaja Rosda karya

Muttaqin, A. 2008. Pengantar Asuhan


Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba
Medika.
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat.
Yogyakarta: Nuha Medika. NANDA. 2015.
Nursing Diagnosis: Definition and Classification.
Philadelphia:
NANDA International.
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan
Metodologi penelitian
Ilmu Keperawatan. Edisi 2. Jakarta:
Salemba medika.
Roozenbeek, B., Maas, A.I.R. & Menon, D.K., 2013. Nature Reviews
Neurology
.http://www.nature.com/nrneurol/journal/v9/
n4/full/nrneurol.2013.22.html diakses 10
Juni 2018.

Rasad Sjahriar. Radiologi Diagnostik. 2rd eds. New


Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers, 2004: 150-4, 604-7.

Tarwoto, Wartonah, Suryati, 2007. Keperawatan


Medikal Bedah Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: SagungSeto.

Werner, C., dan K. Engelhard, 2007. Pathophysiology of Traumatic


Brain Injury.
British Journal of Anaesthesy 99.

SIM RS RSUD Bahteramas,2017. Data kasus


kecelakaan Instalasi Gawat Darurat dan
data kematianpasien Trauma Capitis
Intensif Care Unit.

Anda mungkin juga menyukai