Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN (RESUME)

TRAUMA KEPALA
DI POLI SARAF RSUD PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMBIMBING AKADEMIK :
HADI KUSUMA ATMAJA, SST.,M.Kes

PEMBIMBING LAHAN :
Ns. LAILY SURAUWATI, S.Kep

DISUSUN OLEH :

MUTIARA ROHMAH (P07120421028)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN MATARAM
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
A. TINJAUAN TEORI KASUS

1. Definisi
Trauma kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala (Tarwoto dkk, 2007).
2. Etiologi
Trauma kepala dapat disebabkan oleh :
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Terjatuh
c. Kecelakaan industry
d. Kecelakaan olahraga
e. Cidera akibat kekerasan
f. Cidera akibat terbentur
3. Tanda dan Gejala
Secara umum tanda dan gejala pada cedera kepala meliputi ada atau tidaknya
fraktur tengkorak, tingkat kesadaran dan kerusakan jaringan otak.
a. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf- saraf otak, merobek
duramater yang mengakibatkan perebesan cairan serebrospinalis. Jika terjadi
fraktur tengkorak kemungkinan yang terjadi adalah :
1) Keluarnya cairan serebrospinalis atau cairan lain dari hidung (rhinorrhoe) dan
telinga (Ottorhoe)
2) Kerusakan saraf kranial
3) Perdarahan di belakang membran timpani
4) Ekimosis pada periorbital
Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan adanya gangguan pada saraf kranial dan
kerusakan bagian dalam telinga. Sehingga kemungkinan tanda dan gejalanya :
1) Perubahan tajam penglihatan karena kerusakan nervus optikus.

1
2) Kehilangan pendengaran karena kerusakan pada nervus auditorius.
3) Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan beberapa ssle otot mata
karena kerusakan nervus okulomotorius.
4) Paresis wajah karena kerusakan nervus fasialis.
5) Vertigo karena kerusakan otolith dalam telinga bagian dalam.
6) Nistagmus karena kerusakan pada sistem vestibular.
7) Warna kebiruan di belakang telinga di atas mastoid (Battle sign).
b. Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien tergantung dari berat ringannya cedera kepala, ada atau
tidaknya amnesia retrograt, mual dan muntah.
c. Kerusakan jaringan otak
Manifestasi klinik kerusakan jaringan otak bervariasi tergantung dari cedera
kepala. Untuk melihat adanya kerusakan cedera kepala perlu dilakukan
pemeriksaan CT scan atau MRI.
4. Patofisiologi
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi)
terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma
akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera
perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah.
Adanya cedera kepala dapat mengakibatkan gangguan atau kerusakan struktur
misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan,
edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosin. tripospat dalam
mitokondria, perubahan permeabilitas vaskuler.
Patofisologi cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu cedera
kepala otak primer dan cedera kepala otak sekunder. Cedera kepala otak primer
merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala
terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder
terjadi akibat cedera primer misalnya adanya hipoksia, iskemia, perdarahan.

2
Perdarahan serebral menimbulkan hematom, misalnya pada epidural hematom
yaitu berkumpulnya darah antara lapisan periosteum tengkorak dengan duramater,
subdural hematom diakibatkan berkumpulnya darah pada ruang antara duramater
dengan subarahnoid dan intracerebral hematom adalah berkumpulnya darah pada
jaringan serebral.
Kematian pada cerdera kepala banyak disebabkan karena hipotensi karena
gangguan pada outoregulasi. Ketika terjadi gangguan outoregulasi akan menimbulkan
hipoperfusi jaringan serebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak, karena otak
sangat sensitif terhadap oksigen dan glukosa

5. Komplikasi dan Klasifikasi


a. Komplikasi Trauma Kepala
1) Pendarahan Otak
2) Kejang
3) Keluar cairan bening dari telinga

3
4) Gangguan bicara, ingatan, dan emosi
5) Infeksi
b. Klasifikasi Trauma kepala
1) Berdasarkan kerusakan jaringan otak
a) Komosio serebri (gegar otak): Gangguan fungsi neurologik ringan tanpa
adanya kerusakan struktur otak, terjadi hilangnya kesadaran kurang dari
10 menit atau tanpa disertai amnesia retrograd, mual, muntah, nyeri
kepala.
b) Kontusio serebri (memar): Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan
jaringan otak tetapi kontinuitas otak masih utuh, hilangnya kesadaran lebih
dari 10 menit.
c) Laserasio serebri: Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak
yang berat dengan fraktur tengkorak terbuka. Massa otak terkelupas ke
luar dari rongga intrakranial.
2) Berdasarkan berat ringannya cedera kepala
a) Cedera kepala ringan: Jika GCS antara 15-13, dapat terjadi kehilangan
kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio
atau hematom.
b) Cedera kepala sedang : Jika nilai GCS antara 9-12, hilang kesadaran
antara 30 menit sampai dengan 24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak,
disorientasi ringan moming
c) Cedera kepala berat Jika GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24
jam, biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya hematom, edema
serebral.
6. Pemeriksaan Diagnostic
a. Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
b. Rotgen Foto: mengetahui adanya fraktur tengkorak, fragmen tulang.
c. CT Scan: kemungkinan adanya subdural hematom, intraserebral hematom,
keadaan ventrikel.
d. MRI: sama dengan CT Scan

4
e. Serum alcohol: mendeteksi penggunaan alcohol sebelum cedera kepala, dilakukan
terutama pada cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas.
f. Serum obat: mengetahui penyalahgunaan obat sebelum cedera kepala.
g. Serum human chorionic gonadotropin: mendeteksi kehamilan.
7. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan umum :
1) Monitor respirasi : Bebaskan jalan napas, monitor keadaan ventilasi, periksaan
AGD, berikan oksigen jika perlu.
2) Monitor tekanan intrakranial (TIK).
3) Atasi syok bila ada.
4) Kontrol tanda vital.
5) Keseimbangan cairan dan elektrolit.
b. Operasi
Dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral, debridemen luka,
kranioplasti, prosedur shunting pada hidrocepalus, kraniotomi.
c. Pengobatan
1) Diuretik : untuk mengurangi edema serebral misalnya manitol 20 %,
furosemid (lasik).
2) Antikonvulsan : Untuk menghentikan kejang misalnya dengan dilantin,
tegretol, valium.
3) Kortokosteroid : untuk menghambat pembentukan edema misalnya dengan
deksametason.
4) Antagonis histamin : mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi
akibat efek trauma kepala misalnya dengan cemetidin, ranitidin.
5) Antibiotik jika terjadi luka yang besar.

B. TINJAUAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Data biografi
Identitas pasien seperti nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama,
penanggungjawab, status perkawinan.
1) Riwayat keperawatan

5
2) Riwayat medis dan kejadian yang lalu
3) Riwayat kejadian cedera kepala
4) Penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang
b. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
2) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
3) Sistem saraf :
 Kesadaran GCS.
 Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak
akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
 Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat
kejang.
4) Sistem pencernaan
 Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika
pasien sadar tanyakan pola makan?
 Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
 Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
5) Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik  hemiparesis/plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
6) Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia atau
afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
7) Psikososial  data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga.
8) Fraktur tengkorak: jenis fraktur, luka terbuka, perdarahan konjungtiva,
rihinorrea, otorhea, ekhimosisis periorbital,gangguan pendengaran.
9) Tingkat kesadaran Adanya perubahan mental seperti lebih sensistif, gelisah,
stupor, koma.

6
10) Saraf kranial: Adanya anosmia, agnosia, kelemahan gerakan otot mata,
vertigo.
11) Kognitif: Amnesia postrauma, disorientasi, amnesia retrograt, gangguan
bahasa dan kemampuan matematika.
12) Rangsangan meningeal: Kaku kuduk, kernig, brudzinskhi.
13) Jantung: Disritmia jantung. Respirasi : Roles, rhonkhi, napas cepat dan
pendek, takhipnea,gangguan pola napas.
14) Fungsi sensori Lapang pandang, diplopia, gangguan persepsi, gangguan
pendengaran, gangguan sensasi raba.

2. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul


Masalah keperawatan atau diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien
Trauma Kepala adalah sebagai berikut :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik.
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular.
d. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan hipoksia serebral.
e. Resiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi psikomotor.
f. Resiko jatuh berhubungan dengan neuropati.
3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri akut teratasi dengan kriteria hasil:
1) Keluhan nyeri menurun
2) Gelisah menurun
3) Kesulitan tidur menurun
4) Meringis menurun
5) Frekuensi nadi membaik

Intervensi Keperawatan:

Intervensi

7
Observasi :

1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan integritas nyeri.


2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respons nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyaninan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik :

1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.


2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
3. Fasilitasi Istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri

Edukasi :

1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri


2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi :

Kolaborasi pemberian analgenik, jika perlu

8
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi
dengan kriteria hasil:
1) Produksi sputum menurun
2) Suara nafas mengi menurun
3) Suara nafas wheezing menurun
4) Frekuensi nafas membaik

Intervensi keperawatan :

Intervensi
Observasi :
1. Identifikasi kemamouan batuk

2. Monitor adanya retensi sputum

3. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas

4. Monitor input dan output cairan (mis. Jumlah dan karakteristik)

Terapeutik :

1. Atur posisi semi fowler atau fowler

2. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien

3. Buang sekret pada tempat sputum

Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
2. Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan 2 detik,
kemudian keluarkan dari mulut denganbibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
3. Anjurkan mengulangi tarik napas dalam yang ke3
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu

9
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam gangguan mobilitas fisik teratasi dengan
Kriteria hasil :
1) Pergerakan ektremitas meningkat
2) Kekuatan otot meningkat
3) Rentang gerak meningkat
Intervensi keperawatan :

Intervensi
Observasi :
1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya

2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan

3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi

4. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi

Terapeutik :
1. Fasilitasi aktifitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. Pagar tempat tidur)
2. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. Duduk di tempat tidur, duduk di
sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi)

d. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan hipoksia serebral.


Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam gangguan persepsi sensorik teratasi dengan
Kriteria hasil :
1) Verbalisasi mendengar, melihat, penciuman, perabaan, pengecapan
meningkat.
2) Respon sesuai stimulus membaik
10
Intervensi keperawatan :

Intervensi
Observasi :

1. Monitor perilaku yang mengindikasi halusinasi

2. Monitor dan sesuaikan tingkat aktivitas dan stimulasi lingkungan

3. Monitor isi halusinasi (mis. kekerasan atau mem- bahayakan diri )

Terapeutik :

1. Pertahankan lingkungan yang aman


2. Lakukan tindakan keselamatan ketika tidak dapat mengontrol perilaku (mis. limit
setting, pembatasan wilayah, pengekangan fisik)
3. Diskusikan perasaan dan respons terhadap halusinasi
4. Hindari perdebatan tentang validitas halusinasi

Edukasi :

1. Anjurkan memonitor sendiri situasi terjadinya halusinasi


2. Anjurkan bicara pada orang yang percaya untuk memberi dukungan dan umpan
balik koreksi terhadap halusinasi
3. Anjurkan melakukan distraksi
4. Ajarkan pasien dan keluarga cara mengontrol halusinasi

Kolaborasi :

Kolaborasi pemberian obat antipsikotik dan antiansietas, jika perlu

e. Resiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi psikomotor


Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam resiko cedera menurun dengan Kriteria hasil :
1) Kejadian cedera menurun
2) Luka/lecet menurun
Intervensi keperawatan :

11
Intervensi
Observasi :

1. Identifikasi area lingkungan yang berpotensi menyebabkan cedera

2. Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan cedera

3. Identifikasi kesesuaian alas kaki atau stoking elastis pada ekstremitas bawah

Terapeutik :

1. Sediakan pencahayaan yang memadai


2. Gunakan lampu tidur selama jam tidur
3. Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan lingkungan ruang rawat (mis
penggunaan telepon, tempat tidur, penerangan ruangan dan lokasi kamar mandi)
4. Gunakan alas lantai jika berisiko mengalami cedera serius
5. Sediakan alas kaki antislip
6. Sediakan pispot atau urinal untuk eliminasi di tempat tidur, jika pertu
7. Pastikan bel panggilan atau telepon mudah dijangkau
8. Pastikan barang-barang pribadi mudah dijangkau
9. Pertahankan posisi tempat tidur di posisi terendah saat digunakan
10. Pastikan roda tempat tidur atau kursi roda dalam kondisi terkunci
11. Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan kebijakan fasilitas pelayanan
kesehatan
12. Pettimbangkan penggunaan alarm elektronik pribadi atau alarm sansor pada tempat
tidur atau kursi
13. Diskusikan mengenai latihan dan terapi fisik yang diperlukan
14. Diskusikan mengenai alat bantu mobilitas yang sesual (mis. tongkat atau alat bantu
jalan)
15. Diskusikan bersama anggota keluarga yang dapat mendampingi pasien
16. Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien, sesuai kebutuhan

Edukasi :

12
1) Jelaskan alas an intervensi pencegahan jatuh ke pasien dan keluarga
2) Anjurkan berganti posisi secara perlahan dan duduk selama beberapa menit
sebelum berdiri

f. Resiko jatuh berhubungan dengan neuropati.


Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam resiko jatuh menurun dengan Kriteria hasil :
1) Jatuh saat berdiri menurun
2) Jatuh saat berjalan menurun
Intervensi keperawatan :

Intervensi
Observasi :

1. Identifikasi afktr risiko jatuh (mis. Usia >65 tahun, penurunan tingkat
kesadaran, defisit kognitif, hiptensi ortostatik, gangguan keseimbangan,
gangguan penglihatan, neuropal)

2. Identifikasi risiko jatuh setidaknya sekali setiap shift atau sesuai dengan
kebijakan institusi

3. Identifikasi faktor lingkungan yang meningkatkan risiko jatuh (mis. Lantai


licin, penerangan kurang)

4. Hitung risiko jatuh dengan menggunakan skala (mis. Fall morse scale,
humpty dumpty scale), jika perlu

5. Monitor kemampuan berpindah dari tempat tidur ke kursi roda dan


sebaliknya

Terapeutik :

1. Orientasikan ruangan pada pasien dan keluarga


2. Pastikan roda tempat tidur dan kursi roda selalu terkunci
3. Pasang handrall tempat tidur
4. Atur tempat tidur mekanis pada posisi terendah
5. Tempatkan pasien beresiko tinggi jatuh dekat dengan pemantauan perawat dari

13
nurse statin
6. Gunakan alat bantu berjalan (mis. Kursi roda, walker)
7. Dekatkan bel pemanggil dalam jangkauan pasien

Edukasi :

1. Anjurkan memanggil perawat jika membutuhkan bantuan untuk berpindah


2. Anjurkan menggunakan alas kaki yang tidak licin
3. Anjurkan berkonsentrasi untuk menjaga keseimbangan tubuh
4. Anjurkan melebarkan jarak kedua kaki untuk meningkatkan keseimbangan saat
berdiri
5. Ajarkan cara menggunakan bel pemanggil untuk memanggil perawat

14
DAFTAR PUSTAKA

Noviyanter Siahaya Laura B. S. Huwae, Ony W. Angkejaya, Johan B. Bension, Jacky


Tuamelly. (2020). Prevalensi Kasus Cedera Kepala Berdasarkan Klasifikasi
Derajat Keparahannya Pada Pasien Rawat Inap Di Rsud Dr. M.Haulussy
Ambon Pada Tahun 2018: Molucca Medica,12(2). 14-18.

Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi penelitian Ilmu Keperawatan.


Edisi 2. Jakarta: Salemba medika.

Riki Ristanto, M. Rasjad Indra, Sri Poeranto, Ika Setyorini. (2016). Akurasi Revised
Trauma Score Sebagai Prediktor Mortality Pasien Cedera
Kepala: Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti,4(2). 76-90

Siahaan, Elyna. 1994. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. EGC; Jakarta.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

15

Anda mungkin juga menyukai