Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

EFIDURAL HEMATOMA(EDH)

Oleh :

Rifa Raudatul Jannah

2206277067

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

CIAMIS

2022
EPIDURAL HEMATOM

A. Definisi
1. Cedera Kepala

Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak

dan otak.

Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma, baik

trauma tumpul maupun tajam. Deficit neurologys terjadi karena robeknya

substansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik, serta edema

serebral disekitar jaringan otak.

a. Klasifikasi cedera kepala :

Berdasarkan patologi :

1) Cedera Kepala Primer

Merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan gangguan

intregitas fisik, kimia dan listrik dari sel di area tersebut yang

menyebabkan kematian sel.

2) Cedera Kepala Sekunder

Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih

lanjut yang terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan TIK yang tak

terkendali, meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema

cerebral, perubahan biokimia, dan perubahan hemodinamik serebral,

iskemia serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi local atau sistemik.

b. Jenis cedera :

1) Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang, tengkorak dan

laserasi diameter. Trauma yang menembus tengkorak dan jaringa otak.

2
2) Cedera kepala tertutup : dapat disamakan pada pasien dengan gegar otak

ringan dengan cedera cerebral yang luas.

c. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glasgown Coma Scale) :

1) Cedera kepala ringan / minor

a) GCS 14-15

b) Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia tetapi kurang dari 30

menit

c) Tidak ad fraktur tengkorak

d) Tidak ada kontusia serebral, hemotoma

2) Cedera kepala sedang

a) GCS 9-13

b) Kehilangan kesadaran dan asam anamnesa lebih dari 30 menit tetapi

kurang dari 24 jam.

c) Dapat mengalami fraktur tengkorak

d) Diikuti kontusia serebral, laserasi dan hematoma intracranial.

3) Cedera Kepala Berat

a) GCS 3-8

b) Kehilangan kesadaran atau terjadi anamnesa lebih dari 24 jam

c) Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma intracranial.

Trauma kepala atau Head trauma juga digambarkan sebagai trauma yang

mengenai otak yang dapat mengakibatkan perubahan pada fisik, intelektual,

emosional, sosial, atau vokasional.

B. Etiologi
Epidural hematom terjadi karena laserasi pembuluh darah yang ada di antara
tengkorak dan durameter akibat benturan yang menyebabkan fraktur tengkorak seperti

3
kecelakaan kendaraan, atau tertimpa sesuatu. Sumber perdarahan biasanya dari laserasi
cabang arteri meningen, sinus duramatis, dan diploe

C. Patofisiologi
Fraktur tengkorak karena benturan mengakibatkan laserasi (rusak) atau robeknya
arteri meningeal tangah, arteri ini berada diantara durameter dan tengkorak daerah
inferior menuju bagian tipis tulang temporal. Rusaknya pembuluh darah ini
mengakibatkan darah memenuhi ruangan epidural yang menyebabkan hematom epidural.
Apabila perdarahan ini terus berlangsung menimbulkan desakan durameter yang akan
menjauhkan duramater dari tulang tengkorak, hal ini akan memperluas hematom.
Perluasan hematom ini akan menekan lobus temporal ke dalam dan kebawah. Tekanan
ini menyebabkan isi otak mengalami herniasi. Adanya herniasi ini akan mengakibatkan
penekanan saraf yang ada dibawahnya seperti penekanan pada medulla oblongata
menyebabkan hilangnya kesadaran. Pada bagian juga terdapat nervus okulomotor, yang
mana penekanan pada saraf ini menyebabkan dilatasi pupil dan ptosis. Perluasan atau
membesarnya hematom akan mengakibatkan seluruh isi otak terdorong ke arah yang
berlawanan yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intracranial (TIK)
sehingga terjadi penekanan saraf-saraf yang ada di otak.

D. ANATOMI OTAK
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya,
tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti adanya, akan mudah
sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak
dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi
seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek
ini harus dihindari dan ditemukan secepatnya dari tim medis untuk menghindari
rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian.
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa, padat
dapat di gerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan trauma eksternal.
Di antar kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang
mngandung pembuluh-pembuluih besar. Bila robek pembuluh ini sukar mengadakan
vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang berarti pada penderita
dengan laserasi pada kulit kepala. Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik
yang mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat emmbawa
4
infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan
betapa pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila galea
terkoyak. Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan intracranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau
tabula yang di pisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar di sebit tabula eksterna, dan
dinding bagian dalam di sebut tabula interna. Struktur demikian memungkinkan suatu
kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan . tabula interna
mengandung alur-alur yang berisiskan arteria meningea anterior, media, dan posterior.
Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan tekopyaknya salah satu dari artery-artery
ini, perdarahan arterial yang di akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural,
dapat manimbulkan akibat yang fatal kecuali bila di temukan dan diobati dengan segera.
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges adalah
dura mater, arachnoid, dan pia mater.
1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua lapisan:
- Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh periosteum yang
membungkus dalam calvaria
- Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat yang
berlanjut terus di foramen mágnum dengan dura mater spinalis yang
membungkus medulla spinalis
2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang laba-laba
3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak pembuluh
darah.
E. Manifestasi klinis
1. Penurunan kesadaran sampai koma
2. Keluarnya darah yang bercampur CSS/cairan serebrospinal dari hidung (rinorea) dan
telinga (othorea)
3. Nyeri kepala yang berat
4. Susah bicara
5. Dilatasi pupil dan ptosis
6. Mual
7. Hemiparesis
8. Pernafasan dalam dan cepat kemudian dangkal irregular
9. Battle sign
10. Peningkatan suhu
5
11. Lucid interval (mula-mula tidak sadar lalu sadar dan kemudian tidak sadar)

F. Pemeriksaan penunjang
1. CT scan: Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran otak
2. MRI: sama dengan CT scan dengan/tanpa menggunakan kontras
3. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergerseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan/trauma
4. EEG: untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
5. Sinar X: mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang
6. BAER (Brain auditory Evoked Respons): menentukan fungsi korteks dan batang
otak
7. PET(Positron Emission Tomogrhapy): menunjukkan metabolisme pada otak
8. Fungsi lumbal: dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid
9. AGD: mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK.

G. PENATALAKSANAAN
1. Penanganan darurat :
a. Dekompresi dengan trepanasi sederhana
b. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
2. Terapi medikamentosa
a. Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera spinal
atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan intracranial
dan meningkakan drainase vena.
b. Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan
dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam),
mannitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema
cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih mana
yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin
sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic
dan untuk penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.
6
Tri-hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer yang dapat
masuk ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari natrium
bikarbonat. Dalam hal ini untuk mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat
dapat dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi dan mempunyai
efek protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa diterapkan
adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan
dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar
serum 3-4mg%.
3. Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
a. Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
b. Keadaan pasien memburuk
c. Pendorongan garis tengah > 3 mm
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional
saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi
emergenci. Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang. Indikasi
untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
a. 25 cc = desak ruang supra tentorial
b. 10 cc = desak ruang infratentorial
c. 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
a. Penurunan klinis
b. Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
c. Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan
klinis yang progresif.

7
Clinical Pathway

ASUHAN

KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Pengumpulan data adalah kegiatan dalam menghimpun informasi dari penderita dan
sumber-sumber lain yan meliputi unsur bio psikososio spiritual yang komprehensif
dan dilakukan pada saat penderita masuk.
2. Keluhan utama

8
Keluhan utama penderita dengan CVA bleeding datang dengan keluhan kesadaran
menurun, kelemahan/kelumpuhan pada anggota badan (hemiparese/hemiplegi),
nyeri kepala hebat.
3. Riwayat Penyakit
a. Riwayat penyakit sekarang
Adanya nyeri kepala hebat atau akut pada saat aktivitas, kesadaran menurun
sampai dengan koma, kelemahan/kelumpuhan anggota badan sebagian atau
keseluruhan, terjadi gangguan penglihatan, panas badan.
b. Riwayat penyakit dahulu
Penderita punya riwayat hipertensi atau penyakit lain yang pernah diderita oleh
penderita seperti DM, tumor otak, infeksi paru, TB paru.
c. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keturunan yang pernah dialami keluarga seperti DM, penyakit lain
seperti hipertensi dengan pembuatan genogram.
4. Data biologis
a. Pola nutrisi
Dengan adanya perdarahan di otak dapat berpengaruh atau menyebabkan
gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi karena mual muntah sehingga intake
nutrisi kurang atau menurun.
b. Pola eliminasi
Karena adanya CVA bleeding terjadi perdarahan dibagian serebral atau
subarochnoid, hal ini dapat berpengaruh terhadap reflex tubuh atau mengalami
gangguan dimana salah satunya adalah hilangnya kontrol spingter sehingga
terjadi inkonhnentia atau imobilisasi lama dapat menyebabkan terjadinya
konstipasi.
c. Pola istirahan dan tidur
Penderita mengalami nyeri kepala karena adanya tekanan intrakronial yang
meningkat sehingga penderita mengalami gangguan pemenuhan tidur dan
istirahat.
d. Pola aktivitas
Adanya perdarahan serebral dapat menyebabkan kekakuan motor neuron yang
berakibat kelemahan otot (hemiparese/hemiplegi) sehingga timbul keterbatasan
aktivitas.
5. Pemeriksaan Fisik
9
a. Keadaan umum
Keadaan umum penderita dalam kesadaran menurun atau terganggu postur
tubuh mengalami ganguan akibat adanya kelemahan pada sisi tubuh sebelah
atau keseluruhan lemah adanya gangguan dalam berbicara kebersihan diri
kurang serta tanda-tanda vital (hipertensi)
b. Kesadaran
Biasanya penderita dengan CVA bleeding terjadi perubahan kesadaran dari
ringan sampai berat, paralise, hemiplegi, sehingga penderita mengalami
gangguan perawatan diri berupa self toileting, self eating.
6. Data Spikologis
a. Konsep diri
Penderita mengalami penurunan konsep diri akibat kecacatannya.
7. Data sosial
a. Hubungan sosial
Akibat perdarahan intraserebral terjadi gangguan bicara, penderita mengalami
gangguan dalam berkomunikasi dan melaksanakan perannya.
b. Faktor sosio kultural
Peran penderita terhadap keluarga menurun akibat adanya perasaan rendah diri
akibat sakitnya tidak dapat beraktifitas secara normal karena adanya kelemahan
dan bagaimana hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa .
8. Data Spiritual
Penderita mengalami kesulitan dalam menjalankan ibadahnya karena adanya
kelumpuhan.
9. Data penunjang
Penderita mengalami nyeri kepala karena adanya tekanan intrakronial yang
meningkat sehingga penderita mengalami gangguan pemenuhan tidur dan istirahat.

B. DIAGNOSA DAN INTERVENSI


1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia
(hipovolemia, disritmia jantung).
Tujuan:
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi
motorik/sensorik.
10
Kriteria hasil:
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK

Intervensi Rasional
 Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan
koma/penurunan perfusi jaringan otak dalam pemulihannya setelah serangan awal,
dan potensial peningkatan TIK. menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan
 Pantau /catat status neurologis secara intensif.
teratur dan bandingkan dengan nilai Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan
standar GCS. TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi,
 Evaluasi keadaan pupil, ukuran, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III)
terhadap cahaya. berguna untuk menentukan apakah batang otak
 Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, masih baik.
frekuensi nafas, suhu. Peningkatan TD sistolik yang diikuti oleh penurunan
 Pantau intake dan out put, turgor kulit TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda
dan membran mukosa. terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh
 Turunkan stimulasi eksternal dan penurunan kesadaran.
berikan kenyamanan, seperti lingkungan Bermanfaat sebagai ndikator dari cairan total tubuh
yang tenang. yang terintegrasi dengan perfusi jaringan.
 Bantu pasien untuk menghindari Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi
/membatasi batuk, muntah, mengejan. fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk
 Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad mempertahankan atau menurunkan TIK.
sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi. Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak
 Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
 Berikan oksigen tambahan sesuai Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga
indikasi. akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko
 Berikan obat sesuai indikasi, misal: terjadinya peningkatan TIK.
diuretik, steroid, antikonvulsan, Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan
analgetik, sedatif, antipiretik. edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran
vaskuler TD dan TIK.
Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat
meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral
yang meningkatkan TIK.
Tindakan kolaboratif

11
2. Resiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
(cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi
trakeobronkhial.
Tujuan:
Mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:
Bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Intervensi Rasional
Pantau frekuensi, irama, kedalaman Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan
pernapasan. Catat ketidakteraturan perlunya ventilasi mekanis.
pernapasan. Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi
Pantau dan catat kompetensi reflek penting untuk pemeliharaan jalan napas.
gag/menelan dan kemampuan pasien Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan
untuk melindungi jalan napas sendiri. perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.
Pasang jalan napas sesuai indikasi. Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan
Angkat kepala tempat tidur sesuai menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang
aturannya, posisi miirng sesuai indikasi menyumbat jalan napas.
Anjurkan pasien untuk melakukan napas Mencegah/menurunkan atelektasis.
dalam yang efektif bila pasien sadar. Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau
Lakukan penghisapan dengan ekstra hati- dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat
hati, jangan lebih dari 10-15 detik. membersihkan jalan napasnya sendiri.
Catat karakter, warna dan kekeruhan Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti
dari sekret. atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang
Auskultasi suara napas, perhatikan membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau
daerah hipoventilasi dan adanya suara menandakan terjadinya infeksi paru.
tambahan yang tidak normal misal: Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam
ronkhi, wheezing, krekel. basa dan kebutuhan akan terapi.
Pantau analisa gas darah, tekanan Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-
oksimetri tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi
Lakukan ronsen thoraks ulang. atau bronkopneumoni.
Berikan oksigen. Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan
Lakukan fisioterapi dada jika ada membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat
indikasi. pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi
mekanik.
Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini

12
seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk
memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan
menurunkan resiko atelektasis/ komplikasi paru
lainnya.

3. Resiko terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan
kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan
(penggunaan steroid).
Tujuan
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi Rasional
Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi
pertahankan tehnik cuci tangan yang baik. nosokomial.
Observasi daerah kulit yang mengalami Deteksi dini perkembangan infeksi
kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, memungkinkan untuk melakukan tindakan
catat karakteristik dari drainase dan adanya dengan segera dan pencegahan terhadap
inflamasi. komplikasi selanjutnya.
Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis
demam, menggigil, diaforesis dan perubahan yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau
fungsi mental (penurunan kesadaran). tindakan dengan segera.
Anjurkan untuk melakukan napas dalam, Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi
latihan pengeluaran sekret paru secara terus paru untuk menurunkan resiko terjadinya
menerus. pneumonia, atelektasis.
Observasi karakteristik sputum. Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien
Berikan antibiotik sesuai indikasi yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau
setelah dilakukan pembedahan untuk
menurunkan resiko terjadinya infeksi
nosokomial.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anderson S. McCarty L. (1995). Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi. Edisi 4. Jakarta:
EGC.

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume 3.
Jakarta. : EGC

Dochterman, J. M., Bulecheck, G. N. 2004. Nursing Intervension Classification (NIC).


Missouri: Mosby

Doenges, M.E. (2000). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan


pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Herdman, T. H. 2009. NANDA International. Nursing Diagnoses : Definition and


Classification 2009 – 2011. Willey Blackwell: United Kingdom

Japardi, I. (2004). Cedera kepala. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

Smeltzher & Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 3. Jakarta: EGC

Soertidewi L. (2002). Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI.

14

Anda mungkin juga menyukai