TRAUMA KEPALA
DI SUSUN OLEH:
DAFTAR ISI
BAB I PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
B. ETIOLOGI
C. PATOFISIOLOGI
D. KLASIFIKASI
E. TANDA DAN GEJALA
F. KOMPLIKASI
A. PENGKAJIAN
B. ANALISA DATA
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN – INTERVENSI
D. IMPLEMENTASI
E. EVALUASI
A. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.Cedera
otak primer merupakan kerusakan yang terjadi pada otak segera setelah trauma.
Cedera kepala berat merupakan cedera kepala yang mengakibatkan penurunan
kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia > 24 jam (Haddad,
2012).Cedera kepala berat adalah keadaan dimana penderita tidak mampu melakukan
perintah sederhana oleh karena kesadaran menurun (GCS < 8) (ATLS, 2008).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitasotak.
Dari semua pengertian di atas dapat disimpulkan cedera kepala berat adalah
proses terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang mnyebabkan suatu
gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial
dimana mengalami penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8 dan mengalami
amnesia > 24 jam.
B. ETIOLOGI
Kejadian cedera kepala bervariasi mulai dari usia, jenis kelamin, suku, dan
faktor lainnya. Kejadian-kejadian dan prevalensi dalam studi epidemiologi bervariasi
berdasarkan faktor -faktor seperti nilai keparahan, apakah disertai kematian, apakah
penelitian dibatasi untuk orang yang dirawat di rumah sakit dan lokasi penelitian
(NINDS, 2013).
Penyebab cedera kepala adalah:
1. Trauma Tajam
Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi kontusio serebral,
hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa
lesi, pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma Tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi).
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu
cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,
hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar
pada hemisfer serebral, batang otak atau kedua-duanya.
Akibat trauma tergantung pada :
a) Kekuatan benturan (parahnya kerusakan).
b) Akselerasi dan Deselerasic.
c) Cup dan kontra cup
Cedera cup adalah kerusakan pada daerah dekat yang terbentur. Sedangkan
cedera kontracup adalah kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan
benturan.
1) Lokasi benturan
2) Rotasi
Pengubahan posisi pada kepala menyebabkan trauma regangan dan
robekan substansia alba dan batang otak.
3) Depresi fraktur
Kekuatan yang mendorong fragmen tulang turun menekan otak lebih
dalam. Akibatnya CSS (Cairan Serebro Spinal) mengalir keluar ke
hidung, telinga → masuk kuman → kontaminasi dengan CSS → infeksi
→kejang.
C. PATOFISIOLOGI
Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya trauma kepala ditandai oleh
kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan regulasi peredaran darah serta
metabolisme otak. Pola ischaemia-like ini menyebabkan asumsi asam laktat sebagai
akibat dari terjadinya glikolisis anaerob. Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas
pembuluh darah diikuti dengan pembentukan edema. Akibat berlangsungnya
metabolisme anaerob, sel-sel otak kekurangan cadangan energy yang turut
menyebabkan kegagalan pompa ion di membrane sel yang bersifat energy-dependent
(Werner dan Engelhard, 2007). Fase kedua dapat dijumpai depolarisasi membrane
terminal yang diikuti dengan pelepasan neurotransmitter eksitatori (glutamate dan
asparat) yang berlebihan (Werner dan Engelhard, 2007).
Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala
primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses
biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi
dampak kerusakan jaringan otat. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera
kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural hematoma,
berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdural hematoma
akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan intra
cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian
pada penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi,
ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada
iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007)
PATHWAY
Trauma
Peningkatan TIK
POLA NAPAS
TIDAK EFEKTIF Gangguan fungsi otak
Disfungsi cerebral
RISIKO PERFUSI
SEREBRAL TIDAK
EFEKTIF
D. KLASIFIKASI
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan nilai Glasgow Come Scale (GCS):
1. Minor
a. GCS 13 – 15
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
c. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Sedang
a. GCS 9 – 12
b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari
24 jam.
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
a. GCS 3 – 8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
Klasifikasi berdasarkan morfologinya menurut mufti (Mufti, 2009), terdiri dari:
1. Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam
jaringan otak dan melukai durameter, saraf otak, jaringan otak dan terdapat
tanda dan gejala dari fraktur basis trauma kepala terbuka yaitu :
- Battle sign (warna biru dibelakang telinga di atas os mastoid)
- Hemotimpanum (perdahan didaerah gendang telinga).
- Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung).
- Rinhorrhoe (liquor keluar dari hidung).
- Othorrhoe (liquor keluar dari telinga).
2. Trauma kepala tertutup
a. Komosia
- Cedera kepala ringan.
- Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.
- Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit.
- Tanpa kerusakan otak permanen.
- Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
- Disorientasi sementara.
- Tidak ada gejala sisa
b. Hematoma epidural
- Pedarahan antara tulang-tulang tengkorak dan durameter.
- Lokasi tersering temporal dan frontale.
- Pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus
- Adanya desak ruang.
- Penurunan kesadaran ringan saat kejadian.
- Penurunan kesadaran hebat.
- Koma.
- Nyeri kepala hebat.
- Reflek patologik positif
c. Hematoma subdural
- Perdarahan antara durameter dan arachnoid.
- Biasanya pecah vena, akut, subakut, dan kronis.
- Akut = gejala 24-48 jam, sering berhubungan dengan cedera otak
dan medula oblongata, tekanan intrakranial meningkat, sakit
kepala, mengantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat.
- Subakut = berkembang 7-10 hari, konkusio agak lambat, adanya
gejala TIK meningkat, kesadaran menurun.
- Kronis = perdarahan kecil terkumpul dan meluas, sakit kepala,
lethargi, kacau mental, kejang, disfagia
d. Hematoma intracranial
- Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih.
- Selalu diikuti oleh konkusio
a) kendaraan/ tidak mengebut
b) Penggunaan helm dan sabuk pengaman
c) Muatan penumpang tidak berlebihan
d) Membuat jalanan yang lebih aman dan nyaman (tidak macet, kondisi
tidak berlubang-lubang, tidak berkelok-kelok)
E. TANDA DAN GEJALA
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu
atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau
bahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
F. KOMPLIKASI
1. Gejala Trauma Kepala Berat
Setelah trauma kepala bera, kebanyakan pasien dapat kembali mandiri. Akan
tetapi, beberapa pasien dapat mengalami ketidak mambpuan baik secara fisik
(disfasia, hemiparesis, palsi saraf karnial) dan mental (gangguan kognitif,
perubahan kepribadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status
vegetatif. Trauma kepala tetap merupakan penyebab kematian yang signifikan
(9/100.000 populasi pertahun), terutama pada usia muda.
2. Kebocoran cairan cerebrospinal
Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan antara rongga
subraknoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis hanya
kecil dan tertutup jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan pasien
mungkin mengalami meningitis di kemudian hari. Selain terapi infeksi,
komplikasi ini membutuhkan reparasi bedah untuk robekan dura. Eksplorasi
bedah juga di perlukan jika terjadi kebocoran cairan cerebrospinal persisten.
3. Epilepsi Pasca Trauma
Terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal (dalam minggu
pertama setelah trauma), amnesia pasca trauma yang lama (>24 jam), fraktur
depresi cranium, atau hematoma intrakarnial.
4. Sindrom Pasca Konkusi
Nyeri kepala vertigo, depresi, dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan
setelah trauma kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera vestibular
(konkusi labirintin)
5. Hematoma Subdural Kronik
Komplikasi lanjut trauma kepala ini dapat terjadi pada cedera kepala ringan
6. Fraktur Tengkorak
Menunjukkan tingkat keparahan cedera. Tidak diperlukan terapi khusus kecuali
terjadi trauma campuran, tekanan, atau berhubungan dengan kehilangan LCS
kronis (misalnya fraktur fosa kranialis anterior dasar tengkorak).
7. Pendarahan intrakranial
a. Perdarahan Ekstradural:
Robekan pada arteri meningea media. Hematoma diantara tengkorak dan
dura. Seringkali terdapat interval lucid sebelum terbukti tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) (penurunan nadi, peningkatan TD,
dilatasi pupil ipsilateral, paresis ata paralisis kontralateral. Tetapi, dengan
evakuasi hematoma melalui lubang Burr.
b. Perdarahan Subdural Akut :
Robekan pada vena-vena diantara araknoid, dan durameter. Biasanya terjadi
pada orang lanjut usia. Terdapat perburukan neurologis yang progresif.
Tetapi dengan evakuasi namun penyembuhan biasanya tidak sempurna.
c. Hematoma Subdural Kronis :
Robekan pada vena-vena yang menyebabkan hematoma subdural akan
membesar secara perlahan akibat penyerapan LCS. Sering kali yang
menjadi penyebab adalah trauma ringan. Mengantuk dan kebingungan, sakit
kepala, hemipalgia. Trapi dengan evakuasi bekuan darah.
d. Perdarahan IntraCerebral :
Perdarahan kedalam substansi otak yang menyebabkan kerusakan
irreversibel. Usaha dilakukan untuk mencegah trauma sekunder dengan
memastikan oksigenasi dan nutrisi yang adekuat.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks atau
trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama
memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak
boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.
Breathing dan ventilation
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan
nafas bebas. Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :
Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
Pernafasan buatan
Circulation dan hemorrhage control
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah
jalan nafas bebas dan pernafasan cukup.
Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :
Hentikan perdarahan eksternal
Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)
Berikan infus cairan
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons
terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur
Glasgow Coma Scale
AWAKE =A
RESPONS BICARA (verbal) =V
RESPONS NYERI =P
TAK ADA RESPONS =U
D. Implementasi
Implementasi adalah tindakan keperawatan yang sesuai dengan
dan kesimpulan perawat dan bukan atas petunjuk tenaga kesehatan lainnya.
E. Evaluasi
Evaluasi yang digunakan mencakup dua bagian yaitu evalusi formatif yang
disebut juga evaluasi proses dan evaluasi jangka pendek adalah evaluasi
dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah disusun berdasarkan diagnosa
keperawatan prioritas.
BAB II
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Cidera kepala adalah trauma yang mengenai otak yang terjadi secara langsung atau tidak
langsung atau efek sekunder yang menyebabkan atau berpengaruh berubahnya fungsi neurologis,
kesadaran, kognitif, perilaku, dan emosi.
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
(Muttaqin, 2008), cedera kepala biasanya diakibatkan salah satunya benturan atau kecelakaan.
Sedangkan akibat dari terjadinya cedera kepala yang paling fatal adalah kematian.
Akibat trauma kepala pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun
psikologis, asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala memegang peranan penting
terutama dalam pencegahan komplikasi.
Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera kepala berperan pada
hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-trauma. Cedera kepala merupakan keadaan
yang serius.
Oleh karena itu, diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan
morbiditas dan mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat
menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi
(Tarwoto, 2007).
DAFTAR PUSTAKA