CEDERA KEPALA
A. PENGERTIAN
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstisial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2008).
Kerusakan neurologis yang diakibatkan oleh suatu benda atau serpihan tulang
yang menembus atau merobek suatu jaringan otak oleh suatu pengaruh kekuatan atau
energi yang diteruskan ke otak daan akhirnya oleh efek percepatan perlambatan pada
otak yang terbatas pada kompartemen yang kaku (Price, 1995).
Cederakepala merupakan adanya pukulan/ benturan mendadak pada kepala
dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (Susan Martin, 1996 : 496)
B. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala,
dan lebih dari 700.000 mengalami cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah
sakit. Pada kelompok ini antara 50.000 dan 90.000 orang tiap tahun mengalami
penurunan intelektual atau tingkah laku yang menghambat kembalinya mereka
menuju kehidupan normal.
Dua pertiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun, dengan jumlah laki-laki
lebih banyak dari wanita. Adanya kadar alkohol dalam darah dideteksi lebih dari 59%
pasien cedera kepala yang diterapi di ruang rawat darurat. Lebih dari setengah semua
pasien cedera kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh
lainnya. Adanya syok hipovolemia pada pasien cedera kepala biasanya karena cedera
bagian tubuh lainnya.
C. ETIOLOGI
1. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera
lokal. Kerusakan lokal meliputi contusion serebral, hematom serebral, kerusakan
otak sekunder dan disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) dimana
kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu cedera
akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil
multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral,
batang otak atau kedua – duanya. (Wijaya & Putri , 2013 : 60)
F. MANIFESTASI KLINIS
1) Cedera kepala ringan – sedang
Disorientasi ringan
Amnesia post traumatik
Hilang memori sesaat
Sakit kepala
Mual dan muntah
Vertigo dalam perubahan posisi
Gangguan pendengaran
2) Cedera kepala sedang – berat
Oedema pulmonal
Kejang
Infeksi
Tanda herniasi otak
Hemiparese
Manifestasi klinis spesifik :
1) Gangguan otak
a. Comotio serebri/ geger otak
Tidak sadar < 10 menit
Muntah-muntah, pusing
Tidak ada tanda deficit neurologis
b. Contusio cerebri / memar otak
Tidak sadar > 10 menit, bila area yang terkena luas dapat
berlangsung > 2-3 hari setelah cedera
Muntah-muntah, amnesia retrograde
Ada tanda-tanda deficit neurologis
2) Perdarahan epidural/hematoma epidural
a) Suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang tengkorak bagian dalam
dan meningen paling luar. Terjadi akibat robekan arteri meningeal
b) Gejala : penurunan kesadaran ringan, gangguan neurologis dari kacau
mental sampai koma
c) Peningkatan TIK yang mengakibatkan gangguan pernapasan, bradikardia,
penurunan TTV
d) Herniasi otak yang menimbulkan :
Dilatasi pupil dan reaksi cahaya hilang
Isokor dan anisokor
Ptosis
3) Hematoma subdural
a) Akumulasi darah antara duramater dan araknoid, karena robekan vena
b) Gejala : Sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfasia
c) Akut : gejala 24-48 jam setelah cedera, perlu intervensi segera
Sub akut : gejala terjadi 2 hari sampai 2 minggu setelah cedera
Kronis : 2 minggu sampai dengan 3-4 bulan setelah cedera
4) Hematoma 4intracranial
Pengumpulan darah > 25 ml dalam parenkim otak
Penyebab : fraktur depresi tulang tengkorak, cedera penetrasi
peluru, gerakan akselerasi-deselerasi tiba-tiba
5) Fraktur tengkorak
a) Fraktur liner/ simple
Melibatkan Os temporal dan parietal
Jika garis fraktur meluas kearah orbital/ sinus paranasal dapat
menyebabkan resiko perdarahan
b) Fraktur basiler
Fraktur pada dasar tengkorak
Bisa menimbulkan kontak CSS dengan sinus, memungkinkan
bakteri masuk
(Wijaya & Putri, 2013 : 62)
G. PENATALAKSANAAN
1) Penatalaksanaan keperawatan
a. Pertolongan pertama
Menilai jalan napas : bersihkan jalan napas dari debris dan muntah, lepaskan
gigi palsu jika ada, pertahankan tulang cervical segaris dengan badan dengan
cara pasang neck kolar, pasang gudel bila dapat ditolelir
a) Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau
tidak, jika tidak beri oksigen melalui masker oksigen
b) Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolelir hypotensi, maka
hentikan semua perdarahan dengan cara menekan arterinya. Perhatikan
secara khusus adanya cedera intra abdomen atau dada. Ukur dan catat
frekwensi denyut jantung dan tekanan darah serta monitor EKG
c) Obati kejang : kejang konvulsiv dapat terjadi setelah cedera kepala dan
harus segera ditangani.
b. Perawatan di rumah sakit bila GCS 13 -15
a) Infuse dengan cairan normostatik
b) Diberikan analgesia, anti muntah secara intra vena
c) Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberi bantal
selama 6 jam kemudian setengah duduk, pada 12 jam kemudian duduk
penuh dan dilatih berdiri
d) Jika memungkinkan dapat diberikan obat nerotropik seperti citicholine
e) Minimal penderita MRS selama 2x24 jam karena komplikasi dini dari
cedera kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cedera dan berangsur-
angsur berkurang sampai 48 jam pertama.
c. Perawatan di Rumah sakit bila GCS kurang dari 8
a) Posisi terlentang kepala miring kekiri degan diberi bantal tipis (head
up 15-30 derajat)
b) Beri masker oksigen 6-8 liter/menit
c) Atasi hipotensi, usahakan systole diatas 100 mmHg, jika tidak dapat
diberikn obat vasopressor
d) Beri cairan parenteral
e) Pasang NGT untuk pasien yang memerlukan perawatan lama.
f) Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi
g) Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya, jangan
langsung diberi obat penenang
2) Adapun obat-obatan yang dapat diberikan untuk penatalaksanaan medis non
pembedahan :
a. Glukokortikoid (dexamethason) untuk mengurangi edema
b. Diuretic osmotic (manitol) diberikan melalui jarum dengan filter untuk
mengeluarkan Kristal-kristal mikroskopis
c. Diuretic Loop (misalnya furosemid) untuk mengatasi peningkatan tekanan
intracranial
d. Obat paralitik (pancuronium) digunakan jika klien dengan ventilasi
mekanik untuk mengontrol kegelisahan atau agitasi yang dapat
meningkatkan resiko peningkatan tekanan intracranial
3) Penatalaksanaan medis pembedahan
Kraniotomi diindikasikan untuk :
a. Mengatasi subdural atau epidural hematoma
b. Mengatasi peningkatan tekanan intracranial yang tidak terkontrol
c. Mengobati hidrosefalus.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan 6diagnostik
CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : Menentukan fungsi korteks dan
batang otak
PET (Positron Emission Tomography) : Menunjukkan perubahan aktifitas
metabolisme pada otak
2. Pemeriksaan laboratorium
Analisa gas darah : Untuk mengkaji keadekuatan ventilasi (mempertahankan
AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran darah serebral adekuat)
atau untuk melihat maslah oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK
Elektrolit serum : Cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan
regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa hari, diikuti dengan
diuresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat
ketidakseimbangan elektrolit
Hematologi : Leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum
CSS : Menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid (warna,
komposisi, tekanan)
Pemeriksan toksikologi : Mendeteksi obat yang mengakibatkan penurunan
kesadaran
Kadar antikonfulsan darah : Untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang
(Wijaya & Putri, 2013 : 69)
I. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Pengkajian primer
1. Airway
Kaji adanya obstruksi jalan napas antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis
2. Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada,
fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas
tambahan seperti ronchi, wheezing.
3. Sirkulasi
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi
urin.
4. Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
5. Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
b. Pengkajian sekunder
- Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan
membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital
- Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
- Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS
- Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung,
pemantauan EKG
- Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul
abdomen
- Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan
cedera yang lain
breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing.
Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi),
cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
blood:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan
otak akibat cedera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas.
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi :
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu
sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
blader
Pada cedera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia urin,
ketidakmampuan menahan miksi.
bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan
menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
bone
Pasien cedera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula
terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang
terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan
refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
Diagnosa keperawatan
1) Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi,
hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia,
disritmia jantung)
2) Gangguan pertukaran gas b.d hipoventilasi, difusi oksigen terhambat
3) Nyeri b.d trauma jaringan akibat cedera dan refleks spasme otot sekunder
4) Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan
kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah
baring, imobilisasi.
5) Gangguan eliminasi urin b.d gangguan dalam persarafan kandung kemih,
atoni kandung kemih
6) Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
invasif, perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
7) Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat
kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan.
status hipermetabolik.
8) Resiko tinggi terhadap gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d
adanya perdarahan
Evaluasi keadaan pupil, Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III)
ukuran, kesamaan antara berguna untuk menentukan apakah batang otak masih
kiri dan kanan, reaksi baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan
terhadap cahaya. antara persarafan simpatis dan parasimpatis.
Pantau intake dan out put, Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi
turgor kulit dan membran oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil)
mukosa. yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.
Bermanfaat sebagai ndikator dari cairan total tubuh
yang terintegrasi dengan perfusi jaringan.
Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes
insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada
masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah
yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap
tekanan serebral.
Berikan obat sesuai Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan
indikasi, misal: diuretik, air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,.
steroid, antikonvulsan, Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya
analgetik, sedatif, menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk
antipiretik. mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang.
Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif
digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi.
Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam
yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme
serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.
3) Nyeri b.d trauma jaringan akibat cedera dan refleks spasme otot sekunder
Goal :
Setelah mendapat perawatan 3x24 jam pasien akan menunjukkan nyeri hilang
atau terkontrol
Objektif :
Setelah perawatan 3x24 jam nyeri pasien akan hilang yang ditandai dengan :
Ekspresi wajah rileks
Skala nyeri berkurang 1-2
TD normal 120/80 mmHg
Kriteria Evaluasi :
Melaporkan nyeri berkurang dan dapat diadaptasi
Klien tidak gelisah
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu klien Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
dengan tindakan pereda nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan
nyeri non farmakologi dan keefektifan dalam mengurangi nyeri
noninvasif
Berikan suatu alat agar Membuat pasien memiliki rasa aman, dapat mengurangi
pasien mampu untuk ketakutan karena ditinggal sendirian.
meminta pertolongan
seperti bel atau lampu
pemanggil
Ukur/pantau tekanan darah Hipotensi ortostatik dapat terjadi sebagai akibat dari
sebelum dan sesudah bendungan vena (sekunder akibat hilangnya tonus
melakukan aktifitas dalam vaskuler). Memiringkan/meninggikan kepala dapat
fase akut/ sampai keadaan menimbulkan hipotensi dan bahkan pingsan
pasien stabil. Ganti posisi
dengan perlahan .
Gunakan tempat tidur
kardiak/tempat tidur
sirkoeleltrik(dapat
berputar) jika ingin
meningkatkan pola
aktifitas
Gantilah posisi secara Mengurangi tekanan pada salah satu area dan
periodik walaupundalam mempertahankan sirkulasi perifer
keadaan duduk. Ajarkan
pasien untuk
mengguanakan teknik
memindahkan berat badan
Anjurkan pasien untuk Mengurangi tekanan otot/ kelelahan dapat mengurangi
menggunakan teknik nyeri, spasme otot, spastisitas/ kejang
relaksasi
Intervensi Rasional
Kaji pola berkemih, seperti Mengidentifikasi fungsi kandung kemih (fungsi
frekuensi dan jumlahnya. ginjal dan keseimbangan cairan)
Bandingkan haluaran urin dan
masukan cairan dan catat berat
jenis urin
Jangan biarkan kandung kemih Kateter folley digunakan selama fase akut untuk
penuh, jika awalnya memakai mencegah retensi urin dan untuk memantau
kateter, mulai melakukan haluaran. Kateter intermiten digunakan untuk
kateterisasi secara intermiten mengurangi komplikasi yang biasanya
jika diperlukan berhubungan dengan penggunaan kateter yang
lama, kateter suprapubik dapat digunakan untuk
jangka waktu yang lama
Observasi warna, bau, dan Kuning/hijau, bau sputum yang purulen merupakan
karakteristik sputum. Catat indikasi infeksi. Sputum yang kental dan sulit
drainase di sekitar daerah dikeluarkan menunjukkan adanya dehidrasi. Faktor-
trakeostomy. Kurangi faktor faktor ini tampak sederhana tetapi sangat penting
resiko infeksi nosokomial terhadap pencegahan infeksi nosokomial
seperti cuci tangan sebelum
dan sesudah melakukan
tindakan keperawatan.
Pertahankan teknik suction
secara steril
Berikan perawatan aseptik dan Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi
antiseptik, pertahankan tehnik nosokomial
cuci tangan yang baik.
Monitor/batasi kunjungan,
hindari kontak dengan orang
yang menderita infeksi saluran
napas atas
Bantu perawatan diri dan Individu dengan infeksi saluran napas atas
keterbatasan aktivitas sesuai meningkatkan resiko berkembangnya infeksi
toleransi, bantu program
latihan
Observasi dan timbang berat Tanda kehilangan berat badan (7-10%) dan
badan jika memungkinkan kekurangan intake nutrisi menunjang terjadinya
masalah katabolisme, kandungan glikogen dalam
otot, dan kepekaan terhadap pemasangan
ventilator
Catat pemasukan peroral jika Nafsu makan biasanya berkurang dan nutrisi
diindikasikan. Anjurkan klien yang masuk pun berkurang. Menganjurkan
untuk makan pasien memilih makanan yang disenangi dapat
dimakan (bila sesuai)
Aturlah diet yang diberikan sesuai Diet tinggi kalori, protein, karbohidrat, sangat
keadaan klien diperlukan selama pemasangan ventilator untuk
mempertahankan fungsi otot-otot respirasi.
Karbohidrat dapat berkurang dan penggunaan
lemak meningkat untuk mencegah terjadinya
produksi CO2 dan pengaturan sisa respirasi
Timbang berat badan setiap hari Peningkatan berat badan merupakan indikasi
berkembangnya atau bertambahnya edema
sebagai manifestasi dari kelebihan cairan
Monitor kadar elektrolit jika Elektrolit khususnya potasium dan sodium dapat
diindikasikan berkurang jika klien mendapatkan obat diuretik
IMPLEMENTASI
Disesuaikan dengan intervensi
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hafid, 1989, Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak, PKB Ilmu Bedah XI
– Traumatologi , Surabaya.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi. EGC,
Jakarta.