Anda di halaman 1dari 30

RESUME ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIAGNOSA MEDIK SKULL

DEFEK PADA An. A DI RUANG OK RSUD LABUANG BAJI


MAKASSAR

Disusun Oleh :
Jumasing, S.Kep
NIM : 70900120001

DOSEN PEMBIMBING :

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021
LAPORAN PENDAHULUAN SKULL DEFEK PADA An. A DI RUANG OK RSUD
LABUANG BAJI MAKASSAR

Disusun Oleh :
Jumasing, S.Kep
NIM : 70900120001

DOSEN PEMBIMBING :

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Anatomi dan Fisiologi Kepala

Gambar 1. Anatomi dan fisiologi kepala

1. Tengkorak
Tulang tengkorak menurut, Corwin, Elizabeth J (2009) merupakan struktur tulang
yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka.
Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan :lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam.
Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan
struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fosa; fosa
anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi lobus temporalis,
parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan sereblum.
Gambar 2. Lapisan cranium
2. Meningen
Francis A & Kormano, Martti (2010) otak dan sumsum tulang belakang
diselimuti meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa
pembulu darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang
memperkecil benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3
lapisan yaitu:
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari
kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat . Hematoma subdural
yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan
melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3) linglung
4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari
kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang
paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak
pada fosa media fosa temporalis. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin
dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan
kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan
Corwin, Elizabeth J (2009)
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala (Ramamurthi, et al. 2007).
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak
dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
3. Otak
Menurut Price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain
yaitu: a. Cerebrum
Gambar 3. Lobus-lobus Otak

Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium


serebri kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri
dari lobus frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing
lobus memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
a) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali
sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan.
daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap
aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek
perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada
ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil,
jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan
perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan
luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis
menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang
berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.
b) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,
tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil
kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus
parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya
dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian
depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang
berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini
disebut ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang
luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian
tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi
ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik misalnya,
bentuk kubus atau jam dinding. Penderita bisa menjadi linglung atau
mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan
sehari-hari lainnya.
c) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan
suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri
menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar
maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan
bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-
dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka
bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan
kehilangan gairah seksual (Ramamurthi, Ravi, et al. 2007).
d) Lobus Oksipital
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan
kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.
b. Cereblum
Terdapat dibagian belakang 8sophag menepati fosa serebri posterior
dibawah lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu; merangsang
dan menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap
koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar,
keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input sensori.
c. Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan 8sophag oblongata. Otak
tengah midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan
hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai
pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons terletak di depan sereblum
antara otak tengah dan 8sophag, serta merupakan jembatan antara 2 bagian
sereblum dan juga antara medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak
sensorik dan motorik. Medula oblongata membentuk bagian inferior dari
batang otak, terdapat pusat-pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital
seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek
batuk dan bersin (Francis. 2010).
4. Syaraf-Syaraf Otak
Smeltzer (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas
sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan
nervus yaitu:
a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa
rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot
siliaris dan otot iris.
d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang
pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyaitiga buah cabang.
Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar,
sarafnya yaitu:
1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian
depan kelopak mata atas, selaput 9sopha kelopak mata dan bola mata.
2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas,
palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi
otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi
bawah, kulit daerah temporal dan dagu.
f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata.
g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya
mensarafi otot-otot lidah dan selaput 9sopha ronga mulut. Di dalam saraf
ini terdapat serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan
kulit kepala fungsinya sebagai 9soph wajah untuk menghantarkan rasa
pengecap.
h. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah,
saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, 10sophagus, gaster
intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya
sebagai saraf perasa.
k. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI)
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan.
l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.
4. Kulit kepala
Lapian Kulit Kepala jika diurut dari luar ke dalam biasa disingkat dengan SCALP,
yang merupakan singkatan dari :
a. Skin atau kulit;
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung;
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan jaringan ikat yang
berhubungan langsung dengan tulang tengkorak;
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, Merupakan tempat yang
biasa terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal) pada
trauma/benturan kepala;
e. Perikranium, merupakan lapisan yang membungkus dan berhubungan langsung
dengan permukaan luar tulang tengkorak.
B. Pengertian
Skull defect menjadi suatu masalah sejak awal periode kehidupan manusia. Skull
defect sudah dapat ditemukan pada jaman neolitikum. Skull defect adalah kelainan pada
kepala dimana tidak adanya tulang cranium/tulang tengkorak. Skull effect adalah
adanya pengikisan pada tulang cranium yang disebabkan oleh adanya pengikisan yang
disebabkan massa ekstrakranial atau intrakranial, atau juga bisa berasal dari dalam
tulang (Smeltzer, 2002). Skull defect dapat terjadi dari lahir atau kongenital pada bayi
yang biasanya disebut dengan anenchephaly dan juga skull defect yang dilakukan
secara sengaja untuk membantu pengeluaran cairan atau pendarahan atau massa yang
ada di kepala atau otak.
C. Penyebab
Penyebab terjadinya skull defect adalah:
1) Fraktur kranium
2) Tumor
3) Penipisan tulang
4) Kelainan kongenital (enchephalocele)
5) Pengikisan massa ekstrakranial atau intrakranial
6) Post op trepanasi (Sylvia A. Price. 2006)
7) Trauma parah pada tengkorak dan tulang wajah
8) Reseksi tumor tengkorak
9) Hilangnya tulang akibat osteomyelitis
D. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses
yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak primer adalah
cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma dan merupakansuatu
fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa
dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa
mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu
benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera
robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang
bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Cedera otak
sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan
dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera
sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada
pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantaranya, bila trauma
ekstrakranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya
bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi
terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada
area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasiarterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK),
adapun, hipotensi namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan
robekan dan terjadi perdarahan juga (Sylvia A. Price. 2006). Cidera kepala intrakranial
dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa
terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan
terjadinya gangguan dalam mobilitas. Mekanisme yang paling umum dari trauma
tumpul dada yaitu kecelakaan mobil atau jatuh dari sepeda motor sedangkan untuk
trauma tembus dada yaitu luka tusuk dan luka tembak. Cedera pada dada sering
mengancam jiwa dan mengakibatkan satu atau lebih mekanisme patologi seperti
hipoksemia akibat gangguan jalan nafas, cedera pada parenkim paru, sangkar iga, otot-
otot pernapasan, kolaps paru, dan pneumothoraks. Hipovolemia juga sering timbul
akibat kehilangan cairan masif dari pembuluh besar, ruptur jantung, atau hemothoraks.
Gagal jantung akibat tamponade jantung yaitu kompresi pada jantung sebagai akibat
terdapatnya cairan di dalam sakus perikardial. Mekanisme ini seringkali mengakibatkan
kerusakan ventilasi dan perfusi yang mengarah pada gagal napas akut, syok
hipovolemia, dan kematian (Smeltzer, 2002)
E. Tanda dan Gejala
Gejala yang nampak pada pasien skull defect dapat berupa:
1) Bentuk kepala asimetris
2) Pada bagian yang tidak tertutup tulang teraba lunak
3) Pada bagian yang tidak tertutup tulang dapat dilihat adanya denyutan
atau fontanela
Sedangkan manifestasi klinis dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya
cedera kepala yaitu berupa:
1) Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive yang dapat
dilihat dengan penggunaan GCS (Glasgow Coma Scale). Pada cedera kepala berat
nilai GCS nya 3-8
2) Peningkatan TIK yang mempunyai trias klasik seperti: nyeri kepala karena regangan
dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan
pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
3) Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
4) Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi), gurgling.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang
sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka
tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi
dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan
kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto
kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya
fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
a) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.
b) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
c) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,
febris, dll).
d) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur
depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
e) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
f) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
g) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui
adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
3. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder
menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Punksi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9. Analisis Gas Darah
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intracranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrkranial.
G. Penatalaksanaan
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pasien diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah pelaksanaan
operasi trepanasi atau cranioplasty. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan
membuka tulang kepala yang bertujuan untuk mencapai otak untuk tindakan
pembedahan definitive (seperti adanya SDH (subdural hematoma) atau EDH (epidural
hematoma) dan kondisi lain pada kepala yang memerlukan tindakan kraniotomi).
Cranioplasty adalah memperbaiki kerusakan tulang kepala dengan menggunakan bahan
plastic atau metal plate. Epidural Hematoa (EDH) adalah suatu pendarahan yang terjadi
diantara tulang dang dan lapisan duramater; Subdural Hematoa (SDH) atau pendarahan
yang terjadi pada rongga diantara lapisan duramater dan dengan araknoidea. Pelaksanaan
operasi trepanasi ini diindikasikan pada pasien 1) Penurunan kesadaran tiba-tiba terutama
riwayat cedera kepala akibat berbagai faktor,2) Adanya tanda herniasi/lateralisasi,3)
Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala
tidak bisa dilakukan. Perawatan pasca bedah yang penting pada pasien post trepanasi
adalah memonitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti
dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran
CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi
nosokomial. Terapi konservatif meliputi bedrest total, pemberian obat-obatan, observasi
tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
Prioritas perawatan adalah maksimalkan perfusi/fungsi otak, mencegah komplikasi,
pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal, mendukung proses
pemulihan koping klien/keluarga, pemberian informasi tentang proses penyakit,
prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.
H. Komplikasi
1. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi
ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative
state atau mati penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan
mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian
penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita
pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh
2. Seizure
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya
sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian,
keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
3. Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena
keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain
4. Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus
facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf
untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda
5. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat
mengalami masalah kesadaran.
I. Pencegahan
1. Cranioplasty
Cranioplasty adalah prosedur bedah saraf yang dirancang untuk
memperbaiki atau membentuk kembali penyimpangan atau ketidaksempurnaan
dalam tengkorak. Untuk memperbaiki cacat atau celah dalam tengkorak, dapat
digunakan cangkok tulang dari tempat lain di dalam tubuh atau bahan sintesis.
2. Indikasi
Beberapa faktor yang dapat ditangani dengan tindakan cranioplasty adalah:
a) Premature closing dari sutura tengkorak atau craniosynostosis
b) Tengkorak yang tidak berkembang
c) Faktor genetik yang mengakibatikan cacat lahir
d) Trauma
e) Cacat tengkorak lain yang mengakibatkan lubang atau daerah sensitif pada
tengkorak
f) Kelainan tengkorak yang tidak diketahui penyebabnya yang mempengaruhi
penampilan
Cranioplasty umumnya dilakukan terhadap pasien yang mengalami cedera
traumatis. Dengan anak berusia kurang dari 3 tahun, growing skull fractures dan
anomali kongenital adalah penyebab umum. Pada semua kelompok umur,
pengangkatan tumor atau craniectomies decompressive adalah penyebab cacat
tengkorak yang paling sering terjadi. Tujuan cranioplasty bukan hanya masalah
kosmetik tetapi juga perbaikan dari cacat tengkorak memberikan bantuan kepada
kelemahan psikologis dan meningkatkan kinerja sosial. Selain itu, kejadian epilepsi
terbukti menurun setelah cranioplasty.
Kontraindikasi untuk cranioplasty adalah adanya hidrosefalus, infeksi, dan
pembengkakan otak. Pada anak-anak di bawah usia 4 tahun, jika dura mater utuh,
tengkorak dapat menutup dengan sendirinya. Saat menunggu untuk melakukan
cranioplasty, penting untuk mencegah perkembangan autograft devitalized atau
allograft infeksi. Biasanya operasi rekosntruktif dilakukan setelah 3 sampai 6 bulan.
Namun, jika ada daerah yang mengalami infeksi, masa tunggu ini bisa selama satu
tahun.
Beberapa alasan yang menyebabkan seseorang untuk melakukan cranioplasty
antara lain :
1) Kosmetik : akibat terdapat lubang di kepala yang menggangu penampilan
2) Protection : Untuk melindungi otak yang terekspose sehingga mengurangi
kerusakan berlanjut pada bagian otak tersebut.
3) Nyeri Kepala : Nyeri kepala dapat timbul jika tulang tengkorak yang telah di
angkat tidak digantikan dengan tulang baru.
4) Fungsi Neurologis: Pada beberapa pasien dapat mengalami perbaikan yang nyata
dalam fungsi neurologis jika tulang di ganti.
J. Komplikasi Post Operasi
1. Edema cerebral.
2. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
3. Hypovolemik syok.
4. Hydrocephalus.
5. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus).
6. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
7. Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah operasi.
8. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati,dan
otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini
9. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling
sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram positif.
Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang paling
penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptic

\
BAB II
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
A. Pengkajiaan
a. Data subjektif :
1) Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: Nama, umur,jenis
kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, alamat,
dan hubungan pasien dengan keluarga/pengirim).
2) Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat, apakah
pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang lain?
3) Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal, jam),
lokasi/tempat mengalami cedera.
4) Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai pasien menjadi cedera.
5) Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap makanan
(jenisnya), obat, dan lainnya.
6) Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan pengobatan
pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani proses pengobatan
terhadap penyakit tertentu?
7) Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah pasien menderita
penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah penyakit tersebut menjadi
penyebab terjadinya cedera?
8) Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir sebelum cedera?
Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk mempermudah mempersiapkan bila
harus dilakukan tindakan lebih lanjut/operasi.
9) Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah pasien mengalami
sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa terjadi?
b. Pengkajian ABCD FGH
1) AIRWAY
a. Cek jalan napas paten atau tidak
b. Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh kebelakang, terdapat
cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
c. Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan seperti snoring,
gurgling, crowing.
2) BREATHING
a. Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
b. Gerakan dinding dada simetris atau tidak
c. Irama napas cepat, dangkal atau normal
d. Pola napas teratur atau tidak
e. Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
f. Ada sesak napas atau tidak (RR)
g. Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan
3) CIRCULATION
a. Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
b. Tekanan darah
c. Sianosis, CRT
d. Akral hangat atau dingin, Suhu
e. Terdapa perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
f. Turgor kulit
g. Diaphoresis
h. Riwayat kehilangan cairan berlebihan
4) DISABILITY
a. Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
b. GCS : EVM
c. Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
d. Ada tidaknya refleks cahaya
e. Refleks fisiologis dan patologis
f. Kekuatan otot
5) EXPOSURE
a. Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi, edema
b. Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman
6) FIVE INTERVENTION
a. Monitoring jantung (sinus bradikardi, sinus takikardi)
b. Saturasi oksigen
c. Ada tidaknya indikasi pemasangan kateter urine, NGT
d. Pemeriksaan laboratorium
7) GIVE COMFORT
a. Ada tidaknya nyeri
b. Kaji nyeri dengan
P : Problem
Q : Qualitas/Quantitas
R : Regio
S : Skala
T : Time
8) H 1 SAMPLE
a. Keluhan utama
b. Mekanisme cedera/trauma
c. Tanda gejala
9) H 2 HEAD TO TOE
a. Fokus pemeriksaan pada daerah trauma
b. Kepala dan wajah
B. Diagnosa Keperawatan Pre Operasi (SDKI DPP PPNI, 2016)
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK
2. Risiko tinggi cedera ditandai dengan perubahan fungsi neurologis
3. Perubahan persepsi sensori visual berhubungan dengan gangguan persepsi,
transmisi
4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan saraf
5. Cemas berhubungan dengan ancaman kematian
Intra Operasi
1. Risiko kekurangan volume cairan ditandai dengan kehilangan cairan
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Risiko cedera ditandai dengan trauma intracranial
3. Risiko infeksi ditandai dengan luka post operasi
C. Intervensi Keperawatan
Standar intervensi keperawatan menurut (SIKI DPP PPNI, 2018), (SLKI PPNI, 2019)

Pre Operasi

Diagnosis Kriteria Hasil Intervensi Rasional


No keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan Pemberian Analgesik Pemberian Analgesik
dengan peningkatan TIK keperawatan manajemn Observasi Observasi
ditandai dengan klien nyeri pemberian analgesik 1. Identifikasi karasteristik nyeri (mis, 1. Identifikasi karasteristik nyeri (mis,
tampak meringis selama 3x24 jam maka pencetus, Pereda, klwalitas, lokasi, pencetus, Pereda, klwalitas, lokasi,
kesakitan tak tertahankan kontrol nyeri meningkat insensitas, frekuensi dan durasi) insensitas, frekuensi dan durasi)
(SDKI DPP PPNI, 2016) dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi riwayat alergi obat 2. Identifikasi riwayat alergi obat
1. klien tidak 3. Identifikasi kesesuaian jenis 3. Identifikasi kesesuaian jenis analgesic
menunjukkan adanya analgesic (is, narkotika, non- (is, narkotika, non-naekotik, atau
nyeri atau ketidak naekotik, atau NSAID) dengan NSAID) dengan tingkat keparahan
nyamanan tingkat keparahan nyeri nyeri
2. TIK dalam batas normal 4. Monitor tanda-tanda vital sebelum 4. Monitor tanda-tanda vital sebelum
3. tidak ada tanda-tanda dan sesudah pemberian analgesic dan sesudah pemberian analgesic
peningkatan TAK 5. Monitor efektilitas analgesic 5. Monitor efektilitas analgesic
Teraupetik Teraupetik
1. Diskusikan jenis analgetik yang 1. Diskusikan jenis analgetik yang
disukai untuk mencapai anagesik disukai untuk mencapai anagesik
optimal, jika perlu optimal, jika perlu
2. Pertimbangkan penggunaan infus 2. Pertimbangkan penggunaan infus
kontinu, atau bolus oploid untuk kontinu, atau bolus oploid untuk
mempertahankan kadar dalam mempertahankan kadar dalam serum
serum 3. Tetapkan target efektifitas anagesik
3. Tetapkan target efektifitas anagesik untuk mengoptimalkan respons
untuk mengoptimalkan respons pasien
pasien 4. Dokumentasikan respons terhadap
4. Dokumentasikan respons terhadap efek analgesic dan efek yang tidak
efek analgesic dan efek yang tidak diinginkan
diinginkan Edukasi
Edukasi 1. Jelaskan efek terapi dan efek samping
1. Jelaskan efek terapi dan efek obat
samping obat Kolaborasi
Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian dosis jenis
1. Kolaborasi pemberian dosis jenis analgesik, sesuai indikasi
analgesik, sesuai indikasi
2. Risiko cedera ditandai Setelah dilakukan tindakan Pencegahan cidera Pencegahan cidera
keperawatan pencegahan Observasi Observasi
dengan perubahan fungsi
cidera maka tingkat cidera 1. Identifikasi lingkungan sekitar yang 1. Identifikasi lingkungan sekitar yang
neurologis menurun dengan kriteria dapat memperberat cidera dapat memperberat cidera
hasil: 2. Identifikasi obat yang dapat 2. Identifikasi obat yang dapat
1. kejadian cidera menurun menyebabkan potensi cidera menyebabkan potensi cidera
2. pendarahn tidak ada Teraupeutik Teraupeutik
3. frekuensi nadi dalam 1. Sediakan pencahayaan yang 1. Sediakan pencahayaan yang memadai
batas normal memadai 2. Gunakan lampu tidur sesuai jam
2. Gunakan lampu tidur sesuai jam 3. Gunakan pengaman tempat tidur
3. Gunakan pengaman tempat tidur dengan tepat
dengan tepat 4. Diskusikan mengenai terapi fisik
4. Diskusikan mengenai terapi fisik yang akan dilakukan
yang akan dilakukan 5. Diskusikan mengenai alat bantu
5. Diskusikan mengenai alat bantu mobilisasi yang sesuai
mobilisasi yang sesuai 6. Dikusikan dengan keluarga tentang
6. Dikusikan dengan keluarga tentang support system yang diberikan oleh
support system yang diberikan oleh klien
klien 7. Tingkatkan frekuensi obsevasi dan
7. Tingkatkan frekuensi obsevasi dan pengawasan pasien, sesuai kebutuhan
pengawasan pasien, sesuai Edukasi
kebutuhan 1. Jelaskan alasan intervensi
Edukasi pencegahan yang harus dilakukan
1. Jelaskan alasan intervensi keluarga untuk klien
pencegahan yang harus dilakukan 2. Anjurkan berganti posisi secara
keluarga untuk klien perlahan dan duduk selama beberapa
2. Anjurkan berganti posisi secara menit sebelum berdiri
perlahan dan duduk selama
beberapa menit sebelum berdiri
3. Gangguan komunikasi Setelah dilakukan tindakan Terapi sentuhan Terapi sentuhan
keperawatan terapi Observasi Observasi
verbal berhubungan
sentuhan maka komunikasi 1. Identifikasi keinginan melakukan 1. Identifikasi keinginan melakukan
dengan kerusakan saraf verbal meningkat dengan intervensi komunikasi intervensi komunikasi
kriteria hasil : 2. Identifikasi tujuan dari terapi 2. Identifikasi tujuan dari terapi
1. kemampuan komunikasi sentuhan yang diinginkan sentuhan yang diinginkan
klien meningkat 3. Monitor relaksasi perubahan lain 3. Monitor relaksasi perubahan lain
2. kemampuan mendengar yang diharapkan yang diharapkan
dan kesesuaian ekspresi Teraupeutik Teraupeutik
3. kontak mata sesuai 1. Ciptakan lingkungan yang aman 1. Ciptakan lingkungan yang aman dan
dan nyaman nyaman
2. Posisikan duduk dan terlentang 2. Posisikan duduk dan terlentang yang
yang nyaman nyaman
3. focus diri pada kekuatan batin 3. focus diri pada kekuatan batin
4. Gerakkan tangan dengan sangat 4. Gerakkan tangan dengan sangat
lembut kebawah memalui mendan lembut kebawah memalui mendan
energy pasien energy pasien
Edukasi Edukasi
1. Anjurkan klien istirahat selama 20 1. Anjurkan klien istirahat selama 20
menit stelah pemberian menit stelah pemberian
2. Lakukan segera tindakan intensif 2. Lakukan segera tindakan intensif jika
jika tamnah parah tamnah parah

Intra Operasi

Diagnosis Kriteria Hasil Intervensi Rasional


No keperawatan
1. Risiko ketidak Setelah dilkukan tindakan Pemantauan cairan Pemantauan cairan
seimbangan cairan keperawatan pemantauan Observasi Observasi
ditandai dengan cairan maka keseimbangan 1. Monitor frekuensi dan kekuatan 1. Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
kehilangan cairan cairan meningkat dengan nadi 2. Monitor frekuensi nafas
kriteria hasil : 2. Monitor frekuensi nafas 3. Monitor tekanan daranh
1. asupan cairan terpenuhi 3. Monitor tekanan daranh 4. Monitor berat badan
2. autput dan input sejalan 4. Monitor berat badan 5. Monitor waktu pengisian kapiler
5. Monitor waktu pengisian kapiler 6. Monitor elastisitas turgor kulit
6. Monitor elastisitas turgor kulit 7. Monitor jumlah dan berat warna urine
7. Monitor jumlah dan berat warna 8. Monitor intake dan output cairan
urine Teraupeutik
8. Monitor intake dan output cairan 1. Atur interval waktu pemantauan sesai
Teraupeutik kondisi pasien
1. Atur interval waktu pemantauan 2. Dokumentasikan hasil pemantauan
sesai kondisi pasien Edukasi
2. Dokumentasikan hasil pemantauan 1. Jelaskan tujuan dan prosedur
Edukasi pemantauan
1. Jelaskan tujuan dan prosedur 2. Informasikan hasil pemantauan, jika
pemantauan perlu
2. Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu

Post Operasi

Diagnosis Kriteria Hasil Intervensi Rasional


No keperawatan
1. Nyeri berhubungan Setelah dilakukan tindakan Pemberian Analgesik Pemberian Analgesik
kolaborasi pemberian Observasi Observasi
dengan agen cedera fisik
analgesik maka tingkat 1. Identifikasi karasteristik nyeri (mis, 1. Identifikasi karasteristik nyeri (mis,
nyeri menurun dengan pencetus, Pereda, klwalitas, lokasi, pencetus, Pereda, klwalitas, lokasi,
kriteria hasil: insensitas, frekuensi dan durasi) insensitas, frekuensi dan durasi)
1. klien tidak mengeluh 2. Identifikasi riwayat alergi obat 2. Identifikasi riwayat alergi obat
nyeri lagi 3. Identifikasi kesesuaian jenis 3. Identifikasi kesesuaian jenis analgesic
2. tidak ada tanda-tanda analgesic (is, narkotika, non- (is, narkotika, non-naekotik, atau
nyeri yang munvul pada naekotik, atau NSAID) dengan NSAID) dengan tingkat keparahan
klien tingkat keparahan nyeri nyeri
3. skala nyeri menurun 4. Monitor tanda-tanda vital sebelum 4. Monitor tanda-tanda vital sebelum
dan sesudah pemberian analgesic dan sesudah pemberian analgesic
5. Monitor efektilitas analgesic 5. Monitor efektilitas analgesic
Teraupetik Teraupetik
1. Diskusikan jenis analgetik yang 1. Diskusikan jenis analgetik yang
disukai untuk mencapai anagesik disukai untuk mencapai anagesik
optimal, jika perlu optimal, jika perlu
2. Pertimbangkan penggunaan infus 2. Pertimbangkan penggunaan infus
kontinu, atau bolus oploid untuk kontinu, atau bolus oploid untuk
mempertahankan kadar dalam mempertahankan kadar dalam serum
serum 3. Tetapkan target efektifitas anagesik
3. Tetapkan target efektifitas anagesik untuk mengoptimalkan respons
untuk mengoptimalkan respons pasien
pasien 4. Dokumentasikan respons terhadap
4. Dokumentasikan respons terhadap efek analgesic dan efek yang tidak
efek analgesic dan efek yang tidak diinginkan
diinginkan Edukasi
Edukasi 1. Jelaskan efek terapi dan efek samping
1. Jelaskan efek terapi dan efek obat
samping obat Kolaborasi
Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian dosis jenis
1. Kolaborasi pemberian dosis jenis analgesik, sesuai indikasi
analgesik, sesuai indikasi
2. Risiko cedera ditandai Setelah dilakukan tindakan Pencegahan cidera Pencegahan cidera
keperawatan pencegahan Observasi Observasi
dengan trauma
cidera maka tingkat cidera 1. Identifikasi lingkungan sekitar yang 1. Identifikasi lingkungan sekitar yang
intracranial menurun dengan kriteria dapat memperberat cidera dapat memperberat cidera
hasil: 2. Identifikasi obat yang dapat 2. Identifikasi obat yang dapat
1. kejadian cidera menurun menyebabkan potensi cidera menyebabkan potensi cidera
2. pendarahn tidak ada Teraupeutik Teraupeutik
3. frekuensi nadi dalam 1. Sediakan pencahayaan yang 1. Sediakan pencahayaan yang memadai
batas normal memadai 2. Gunakan lampu tidur sesuai jam
2. Gunakan lampu tidur sesuai jam 3. Gunakan pengaman tempat tidur
3. Gunakan pengaman tempat tidur dengan tepat
dengan tepat 4. Diskusikan mengenai terapi fisik
4. Diskusikan mengenai terapi fisik yang akan dilakukan
yang akan dilakukan 5. Diskusikan mengenai alat bantu
5. Diskusikan mengenai alat bantu mobilisasi yang sesuai
mobilisasi yang sesuai 6. Dikusikan dengan keluarga tentang
6. Dikusikan dengan keluarga tentang support system yang diberikan oleh
support system yang diberikan oleh klien
klien 7. Tingkatkan frekuensi obsevasi dan
7. Tingkatkan frekuensi obsevasi dan pengawasan pasien, sesuai kebutuhan
pengawasan pasien, sesuai Edukasi
kebutuhan 1. Jelaskan alasan intervensi
Edukasi pencegahan yang harus dilakukan
1. Jelaskan alasan intervensi keluarga untuk klien
pencegahan yang harus dilakukan 2. Anjurkan berganti posisi secara
keluarga untuk klien perlahan dan duduk selama beberapa
2. Anjurkan berganti posisi secara menit sebelum berdiri
perlahan dan duduk selama beberapa
menit sebelum berdiri
3. Risiko infeksi ditandai Setelah dilakukan tindakan Pencegahan infeksi Pencegahan infeksi
keperawatan pencegahan Obsevasi Obsevasi
dengan luka post operasi
infeksi selama perawatan 1. Monitor tanda dan gejala infeksi 1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal
maka tingkat infeksi lokal dan sistematik dan sistematik
menurun dengan kriteria Teraupeutik Teraupeutik
hasil: 1. Berikan perawatan pada daerah luka 1. Berikan perawatan pada daerah luka
1. tidak adanya tanda – dengan steril dengan steril
tanda infeksi seperti 2. Ganti verban sesering mungkin dan 2. Ganti verban sesering mungkin dan
kemerahan, demam, gunakan tehnik aseptic gunakan tehnik aseptic
dan gatal pda luka 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah
bekas operasi kontak dengan klien kontak dengan klien
Edukasi Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Ajarkan cara mencuci tangan 2. Ajarkan cara mencuci tangan kepada
kepada keluarga dengan benar keluarga dengan benar ketika kontak
ketika kontak dengan klien dengan klien
3. Anjurkan klien untuk maningkatkan 3. Anjurkan klien untuk maningkatkan
asupan nutrisi asupan nutrisi
4. Anjurkan klien untuk meningkatkan 4. Anjurkan klien untuk meningkatkan
asupan cairan asupan cairan
D. Evaluasi
1. Peningkatan perfusi serebral
a. Tidak ada tanda peningkatan TIK
b. Pasien mampu bicara dengan jelas, menunjukkan konsentrasi, perhatian dan orientasi
baik
c. Peningkatan tingkat kesadaran (GCS 15, tidak ada gerakan involunter)
d. TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16-20x/mnt, Nadi 80- 100x/mnt, Suhu
36,5-37,5oC)
2. Keefektifan pola napas
a. Suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu
b. Irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal (16-20x/menit)
c. TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16-20x/mnt, Nadi 80- 100x/mnt, Suhu
36,5-37,5oC)
3. Nyeri berkurang atu hilang
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri)
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
e. TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16-20x/mnt, Nadi 80- 100x/mnt, Suhu
36,5-37,5oC)
E. Penyimpangan KDM
Tumor, pendarahan di kepala

Operasi Trepanasi/Craniotomi

Skull defect

Kerusakan kontinuitas jaringan


Resiko tulang, jaringan kulit, otot, dan Nyeri akut
perdarahan laserasi pembuluh darah

Perdarahan atau
hematoma Jaringan otak Gangguan
rusak
Menurunkan Port the entry suplai darah
tekanan pembuluh Risiko virus
bakteri,
Perubahan Rangsangan
darah pulmonal infeksi Iskemia
sirkulasi CSS simpatis
meningkat Pertahanan
tubuh Hipoksia
Peningkatan inadekuat
TIK Tahanan vaskuler
Risiko sistemik dan Gangguan
tekanan darah
Penurunan Injury perfusi jaringan
meningkat
kesadaran selebral

Penumpukan
sekret

Batuk tidak Tekanan


efektif hidrostatik
meningkat

Ketidakfektifan
bersihan jalan nafas Kebocoran
cairan kapiler

Imobilisasi Gangguan Oedem paru


integritas kulit
Bed rest total
Difusi oksigen
terhambat Ketidakefektifan
pola napas
Penekanan area
tubuh
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.


Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC.
Francis A & Kormano, Martti. 2010. Bone And Joint Disorder. NewYork: Thieme.
Heather, Herdman. 2015. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
PriceS.A., Wilson L. M. 2006. Buku Ajar Ilmu. Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta :
EGC.
Ramamurthi, Ravi, et al. 2007. Textbook of Operative Neurosurgery. New Delhi: BI
Publications.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah edisi 3 volume 8.
Jakarta: EGC.
PPNI, S. D. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, S. D. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
SLKI PPNI, D. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Sylvia A. Price. 2006. Patofosiologi Konsep Penyakit. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai