Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem perkemihan merupakan sistem yang penting untuk
membuang sisa-sisa metabolisme makanan yang dihasilkan oleh tubuh
terutama senyawa nitrogen seperti urea dan kreatinin, bahan asing dan
produk sisanya. Sampah metabolisme ini dikeluarkan (disekresikan) oleh
ginjal dalam bentuk urin. Saat seseorang memasuki usia lanjut maka akan
terjadi penurunan fungsi organ tubuh, salah satunya akan mengalami
gangguan pada sistem genitourinaria dan berdampak pada timbulnya
berbagai macam penyakit.
Proses penuaan menimbulkan masalah kesehatan yaitu kurang
bergerak (immobility), infeksi (infection), berdiri dan berjalan tidak stabil
(instability), gangguan intelektual/dementia (intellectual impairment), sulit
buang air besar (impaction), depresi (isolation), menderita penyakit dari
obat-obat (iatrogenesis), daya tahan tubuh menurun (immune deficiency),
gangguan tidur (insomnia), dan gangguan buang air kecil (urinary
incontinence). Salah satu masalah proses penuaan adalah inkontinensia
urine.
Inkontinensia urin didefenisikan sebagai semua jenis gangguan
dimana urin hilang secara tidak terkontrol. Inkontinensia urin adalah
masalah gangguan umum diantara pasien geriatri. Diperkirakan bahwa 25-
35% dari seluruh orang tua aan mengalami inkontinensia urina selama
kejadian seumur hidup.Penyebab inkontinensia urine antara lain terkait
dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, serta
produksi urin yang meningkat (keinginan sering ke kamar mandi).
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi.
Menurut data dari WHO 200 juta penduduk di dunia yang
mengalami inkontiensia urin. Di Amerika Serikat, jumlah penderita

1
inkontinensia mencapai 13 juta dengan 85 persen diantara perempuan dan
lelaki.
Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien ataupun
keluarganya, hal ini mungkin dikarenakan adanya anggapan bahwa
masalah tersebut merupakan hal yang memalukan atau tabu untuk
diceritakan. Inkontinensia urin berkepanjangan yang tidak tertangani
dengan baik secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan
seseorang, menimbulkan masalah kehidupan baik dari segi meis, sosial,
ekonomi maupun psikologis.
Berdasarkan hal diatas kelompok ingin lebih memahami
bagaimana asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah
genitourrinaria dengan lebih menekankan pada kasus inkontinensia urin.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem urinaria?
2. Apa saja perubahan yang terjadi pada sistem urinaria?
3. Apa saja dampak yang terjadi akibat perubahan sistem urinaria?
4. Apa yang dimaksud dengan inkontinensia urine?
5. Bagaimana etiologi terjadinya inkontinensia urine?
6. Apa saja manifestasi klinis inkontinensia urine?
7. Apa saja klasifikasi inkontinensia urine?
8. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urine?
9. Apa saja komplikasi yang terjadi pada inkontinensia urine?
10. Apa saja pemeriksan penunjang inkontinensia urine?
11. Bagaimana penatalaksanaan inkontinensia urine?
12. Apa saja pengaruh perubahan sistem urinaria terhadap psikologis?
13. Bagaimana asuhan keperawataan pada inkontinensia urine?

C. Tujuan
1. Mengeahui anatomi dan fisiologi sistem urinaria.
2. Mengeahui perubahan yang terjadi pada sistem urinaria.
3. Mengeahui dampak yang terjadi akibat perubahan sistem urinaria.

2
4. Mengeahui pengertian inkontinensia urine.
5. Mengeahui etiologi terjadinya inkontinensia urine.
6. Mengeahui manifestasi klinis inkontinensia urine.
7. Mengeahui klasifikasi inkontinensia urine.
8. Mengeahui patofisiologi inkontinensia urine.
9. Mengeahui komplikasi yang terjadi pada inkontinensia urine.
10. Mengeahui pemeriksan penunjang inkontinensia urine.
11. Mengeahui penatalaksanaan inkontinensia urine.
12. Mengeahui pengaruh perubahan sistem urinaria terhadap
psikologis.
13. Mengeahui asuhan keperawataan pada inkontinensia urine.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Genitourinaria.


Sistem perkemihan merupakan sistem yang penting untuk
membuang sisa-sisa metabolisme makanan yang dihasilkan oleh tubuh
terutama senyawa nitrogen seperti urea dan kreatinin, bahan asing dan
produk sisanya. Sampah metabolisme ini dikeluarkan (disekresikan) oleh
ginjal dalam bentuk urin. Urin kemudian akan turun melewati ureter
menuju kandung kemih untuk disimpan sementara dan akhirnya secara
periodik akan dikeluarkan melalui uretra.
Sistem perkemihan terdiri atas: kedua ginjal (ren, kidney), ureter,
kandung kemih (vesika urinaria/urinary bladder/ nier) dan uretra.
1. Ginjal
Ginjal berbentuk seperti kacang merah dengan panjang 10-12 cm
dan tebal 3,5-5 cm, terletak di ruang belakang selaput perut tubuh
(retroperitonium) sebelah atas. Ginjal kanan terletak lebih ke bawah
dibandingkan ginjal kiri. Ginjal dibungkus oleh simpai jaringan fibrosa
yang tipis. Bagian ureter atas melebar dan mengisi hilus ginjal, dikenal
sebagai piala ginjal (pelvis renalis). Pelvis renalis akan terbagi lagi
menjadi 2 yaitu;
a. kaliks mayor (2 buah).
b. kaliks minor (8-12 buah).
Setiap kaliks minor meliputi tonjolan jaringan ginjal berbentuk
kerucut yang disebut papila ginjal. Satu piramid dengan bagian
korteks yang melingkupinya dianggap sebagai satu lobus ginjal.
Secara histologi ginjal terbungkus dalam kapsul atau simpai
jaringan lemak dan simpai jaringan ikat kolagen. Bagian-bagian
yang terdapat pada korteks dan medula ginjal adalah
a. Korteks ginjal terdiri atas beberapa bagian yaitu
1) Korpus Malphigi terdiri atas kapsula Bowman (bagian berbentuk
cangkir) dan glomerulus (jumbai /gulungan kapiler).

4
2) Bagian sistim tubulus yaitu tubulus kontortus proksimalis dan
tubulus kontortus distal.
b. Medula ginjal terdiri atas beberapa bagian yang merupakan bagian
sistim tubulus yaitu pars descendens dan descendens ansa Henle,
bagian tipis ansa Henle, duktus ekskretorius (duktus koligens) dan
duktus papilaris Bellini.
2. Nefron
Struktur halus ginjal terdiri atas banyak nefron yang merupakan
satuan fungsional ginjal, jumlahnya sekitar 1 juta pada setiap ginjal.
Setiap nefron terdiri atas beberapa bagian;
a. Korpus Malphigi
Korpus Malphigi terdiri atas 2 macam bagian yaitu Kapsul
Bowman dan glomerulus. Kapsul Bowman sebenarnya merupakan
pelebaran ujung proksimal saluran keluar ginjal (nefron) yang
dibatasi epitel. Glomerulus merupakan bagian yang berbentuk khas,
bundar dengan warna yang lebih tua daripada sekitarnya karena sel-
selnya tersusun lebih padat. Glomerulus merupakan gulungan
pembuluh kapiler.
b. Tubulus Ginjal (Nefron)
1) Tubulus Kontortus Proksimal
Tubulus kontortus proksimal berjalan berkelok-kelok dan
berakhir sebagai saluran yang lurus di medula ginjal (pars
desendens Ansa Henle). Fungsi tubulus kontortus proksimal
adalah mengurangi isi filtrat glomerulus 80-85 persen dengan
cara reabsorpsi glukosa, asam amino dan protein seperti
bikarbonat, akan direabsorpsi.
2) Ansa Henle
Ansa henle terbagi atas 3 bagian yaitu bagian tebal turun
(pars asendens), bagian tipis (segmen tipis) dan bagian tebal
naik (pars asendens). Ansa henle terletak di medula ginjal.
Fungsi ansa henle adalah untuk memekatkan atau mengencerkan
urin.

5
3) Tubulus kontortus distal
Tubulus kontortus distal berjalan berkelok-kelok.
Dindingnya disusun oleh selapis sel kuboid dengan batas antar
sel yang lebih jelas dibandingkan tubulus kontortus proksimal.
Bagian ini terletak di korteks ginjal. Fungsi bagian ini juga
berperan dalam pemekatan urin.
4) Duktus koligen
Saluran ini terletak di dalam medula. Fungsi duktus koligen
adalah menyalurkan kemih dari nefron ke pelvis ureter dengan
sedikit absorpsi air yang dipengaruhi oleh hormon antidiuretik
(ADH).
Di samping bagian korteks dan medula, pada ginjal ada
juga bagian korteks yang menjorok masuk ke dalam medula
membentuk kolom mengisi celah di antara piramid ginjal yang
disebut sebagai kolumna renalis Bertini. Sebaliknya ada juga
jaringan medula yang menjorok masuk ke dalam daerah korteks
membentuk berkas-berkas yang disebut prosessus Ferreini.
3. Ureter
Secara histologik ureter terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan
adventisia. Fungsi ureter adalah meneruskan urin yang diproduksi oleh
ginjal ke dalam kandung kemih.
4. Kandung kemih
Kandung kemih terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan
serosa/adventisia. Fungsi kandung kemih adalah menampung urin yang
akan dikeluarkan kedunia luar melalui uretra.
5. Uretra
Panjang uretra pria antara 15-20 cm dan untuk keperluan deskriptif
terbagi atas 3 bagian yaitu:
1) Pars Prostatika, yaitu bagian uretra mulai dari muara uretra pada
kandung kemih hingga bagian yang menembus kelenjar prostat. Pada
bagian ini bermuara 2 saluran yaitu duktus ejakulatorius dan saluran
keluar kelenjar prostat.

6
2) Pars membranasea yaitu bagian yang berjalan dari puncak prostat di
antara otot rangka pelvis menembus membran perineal dan berakhir
pada bulbus korpus kavernosus uretra.
3) Pars kavernosa atau spongiosa yaitu bagian uretra yang menembus
korpus kavernosum dan bermuara pada glands penis. Pada wanita
uretra jauh lebih pendek karena hanya 4 cm panjangnya.

Gambar anatomi dan fisiologi sistem perkemihan

B. Perubahan Yang Terjadi Pada Sistem Genitourinaria.


Perubahan sistem genitourinaria mempengaruhi fungsi dasar tubuh
dalam BAK dan penampilan seksual. Kepercayaan yang dipegang
masyarakat bahwa masalah pada sistem genitourinaria merupakan hal
yang wajar seiring pertambahan usia. Akibatnya ketika terjadi masalah
pada sistem ini lanjut usia terlambat mencari pertolongan. Membantu
lansia mempertahankan fungsi optimal sistem genitourinaria merupakan
tantangan bagi perawat.
Perubahan akibat proses menua :
1. Fungsi ginjal
a. Aliran darah ke ginjal menurun karena penurunan cardiac output dan
laju filtrasi glomerulus menurun.
b. Terjadi gangguan dalam kemampuan mengkonsentrasikan urine.
2. Kandung kemih

7
a. Tonus otot menghilang dan terjadi gangguan pengosongan kandung
kemih
b. Penurunan kapasitas kandung kemih
3. Miksi
a. Pada pria, dapat terjadi peningkatan frekuensi miksi akibat
pembesaran prostat.
b. Pada wanita, peningkatan frekuensi miksi dapat terjadi akibat
melemahnya otot perineal.
4. Reproduksi wanita
a. Terjadi atropi vulva
b. Penurunan jumlah rambut pubis
c. Sekresi vaginal menurun, dinding vagina menjadi tipis dan kurang
elastik
5. Reproduksi pria
a. Ukuran testis mengecil
b. Ukuran prostat membesar

Meski terjadi penurunan aliran darah ke ginjal dan terjadi penurunan


massa ginjal, selama tidak terjadi suatu penyakit maka sistem
genitourinaria masih dapat berfungsi dengan baik. Perubahan fungsional
terjadi akibat penurunan fungsi kandung kemih termasuk peningkatan
miksi, nokturia, dan retensi urin. Perubahan ini dapat menyebabkan
disfungsi yang dapat menimbulkan infeksi, urgensi, dan inkontinensia.
Melemahnya otot perineal pada wanita menyebabkan berkembangnya
inkontinensia stres pada wanita. Pada kondisi ini urine akan keluar jika
lansia mengalami batuk, tertawa, bersin, atau mengangkat benda berat.
Perubahan pada vagina dapat menyebabkan nyeri saat koitus, infeksi pada
vagina dan rasa gatal berkepanjangan

Pembesaran prostat dapat menyebabkan retensi urin, gangguan


frekuensi miksi, dan inkontinensia overlaw bahkan kerusakan ginjal.
Sehingga seorang pria yang telah memasuki usia lanjut harus melakukan

8
pemeriksaan prostat secara rutin. Perubahan dalam berkemih dan fungsi
seksual dapat mempengaruhi konsep diri pada lansia.

C. Dampak Yang Terjadi Akibat Perubahan Sistem Genitourinaria.


Beberapa penyakit yang timbul akibat perubahan Sistem
Genitourinaria adalah:
1. Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH )
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak
kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau
semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan
fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika.
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum
pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat
obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius.
2. Gagal Ginjal Kronis
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan funngsi ginjal untuk
mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan
elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan
manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam
darah.
3. Inkontinensia Urine
Inkontinensia urin (IU) diartikan sebagai keluarnya urin tanpa
disadari yang dapat diamati secara objektif, serta menimbulkan
masalah sosial dan kebersihan. IU merupakan salah satu masalah
kesehatan yang sering dijumpai pada lanjut usia (lansia) (Juananda,
2017).
D. Inkontinensia Urine.
1. Pengertian Inkontinensia Urine.
Inkontinensia urin (IU) merupakan salah satu masalah kesehatan
yang sering dijumpai pada lansia. Hal tersebut jarang disampaikan oleh
pasien maupun keluarga karena dianggap memalukan (tabu) atau wajar
terjadi pada lansia sehingga tidak perlu diobati. IU dinilai bukan
sebagai penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat menimbulkan

9
berbagai gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan
kualitas hidup. Inkontinensia urin (IU) diartikan sebagai keluarnya urin
tanpa disadari yang dapat diamati secara objektif, serta menimbulkan
masalah sosial dan kebersihan. IU merupakan salah satu masalah
kesehatan yang sering dijumpai pada lanjut usia (lansia) (Juananda,
2017).
Inkontinensia urin merupakan masalah yang cukup rumit yang
dapat berimbas ke ekonomi dan sosial. Prevalensi IU meningkat seiring
dengan peningkatan usia. Karena IU bukan merupakan masalah yang
meningkatkan jiwa, IU dapat meningkatkan kualitas karena
mempengaruhi aktivitas sehari-hari, hubungan interpersonal dan seksi,
kesehatan psikologis, dan juga interaksi sosial.
Inkontinensia urin adalah keluhan keluarnya urin di luar kehendak
sehingga menimbulkan masalah sosial dan / atau kesehatan. Definisi
ini memberikan resolusi yang dibuat oleh International Continence
Society (ICS). Secara klinis, IU dapat dibedakan menjadi akut dan
persisten. IU akut adalah IU yang onsetnya tiba-tiba, biasanya
berkaitan dengan penyakit akut atau masalah iatrogenis dan sementara,
dapat dipulihkan jika masalah penyakit atau obat-obatan telah diatasi.
IU persisten adalah IU yang tidak terkait penyakit akut dan terikat
menetap (Ismail, 2010)
2. Etiologi Inkontinensia Urine.
Etiologi umum yang terjadi pada pasien incontinence adalah :
a. Gejala infeksi saluran kemih
Serangan bakteri memicu infeksi lokal yang mengiritasi mukosa
kandung kemih dan menyebabkan dorongan kuat untuk buang air
kecil. Kemudian mendesak pengeluaran urin, yang mungkin satu-
satunya tanda peringatan dari infeksi saluran kemih, juga dapat
disertai dengan frekuensi kencing, disuria, dan urin berbau busuk.
b. Atrofi vaginitis
Atrofi atau peradangan pada vagina akibat penurunan yang
signifikan dari kadar estrogen; kurangnya estrogen dapat

10
menyebabkan penurunan kekuatan otot-otot dasar panggul. atrofi
mukosa vagina juga menyebabkan ketidak nyamanan vagina, rasa
terbakar, gatal, dan terkait dispareunia.
c. Efek samping obat
Polifarmasi dan penggunaan α-adrenergik, neuroleptik,
benzodiazepines, bethanechol, cisapride, diuretik, antikolinergik,
agen anti-Parkinsonian, β-blocker, disopyramides, angiotensin-
converting enzyme inhibitor, narcoleptics, atau obat psikotropika
dapat memperburuk inkontinensia, efek sedatif dan benzodiazepin
dapat mengganggu kemampuan pasien untuk mengendalikan fungsi
kandung kemih, sehingga urge incontinence iatrogenik.
Diuretik dan meningkatkan Volume kemih konsumsi cairan
cepat dan berpotensi memperburuk gejala inkontinensia urin.
d. Konsumsi kopi dan alkohol
Kopi menyebabkan kedua efek diuretik dan efek iritasi
independen, sehingga mengisi kandung kemih yang cepat dan
keinginan yang mendesak dan tidak sukarela untuk buang air kecil.
Alkohol, ketika dikonsumsi dalam jumlah yang lebih besar, juga
dapat menumpulkan kemampuan kognitif pasien untuk mengenali
dorongan untuk buang air kecil, sehingga inkontinensia.

Inkontinensia urin biasanya berhubungan dengan penyakit fisik


yang mendasari, termasuk disfungsi kandung kemih, melemah dasar
panggul atau otot kandung kemih, penyakit neurologis, operasi panggul
sebelumnya, atau obstruksi saluran kemih.

a. Hypoestrogenic states, penuaan, dan kelainan jaringan ikat dapat


menyebabkan penurunan kekuatan otot-otot dasar panggul.
b. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan inkontinensia kronis
meliputi: Gejala sisa kehamilan dan masa nifas
Etiologi berdasar pada faktor tertentu diantaranya;
a. Penyebab inkontinensia stress

11
Inkontinensia stres terjadi ketika tekanan di dalam kandung
kemih terisi air kencing lebih bsar dari kekuatan uretra untuk tetap
tertutup. Uretra anda mungkin tidak dapat tetap menutup jika:
1) Otot panggul anda lemah ataurusak
2) Sfingter uretra anda rusak setiap tekanan ekstra mendadak pada
kandung kemih, seperti tertawa atau bersin, dapat
menyebabkan urin yang keluar dari uretra.
3) Hilangnya kekuatan dalam uretra disebabkan oleh: Kerusakan
saraf saat melahirkan, meningkatkan tekanan pada perut,
kurangnya hormon estrogen pada wanita, dan konsumsi obat
tertentu.
b. Penyebab urge incontinence
Kebutuhan buang air kecil dapat disebabkan oleh masalah
dengan otot detrusor pada dinding kandung kemih. Otot-otot
detrusor rileks untuk memungkinkan kandung kemih untuk
mengisi dengan air kencing, dan kontraksi ketika ingin pergi ke
toilet untuk membiarkan urin keluar. Kadang-kadang kontraksi otot
detrusor yang terlalu sering, menciptakan kebutuhan mendesak
untuk pergi ke toilet. Hal Ini disebut detrusor overactivity.
Alasan kontraksi otot detrusor terlalu sering mungkin tidak
jelas, tetapi kemungkinan penyebabnya termasuk:
1) Kondisi neurologis yang mempengaruhi otak dan sumsum
tulang belakang, seperti penyakit Parkinson atau multiple
sclerosis
2) Kondisi yang mempengaruhi saluran kemih bawah (uretra dan
kandung kemih), seperti infeksi saluran kemih (ISK) atau
tumor di dalam kandung kemih
3) Terlalu banyak minum alkohol atau kafein
4) Sembelit
5) Obat tertentu
6) Beberapa kemungkinan penyebab akan menyebabkan
inkontinensia urin jangka pendek, yang lain dapat

12
menyebabkan masalah jangka panjang. Jika penyebabnya dapat
diobati, hal ini dapat menyembuhkan inkontinensia.
c. Penyebab inkontinensia overflow
Inkontinensia overflow, juga disebut retensi urin kronis,
sering disebabkan oleh penyumbatan atau obstruksi kandung
kemih. Kandung kemih mungkin mengisi seperti biasa, tapi karena
terhalang atau tersumbat tidak akan dapat mengosongkan
sepenuhnya, bahkan akan terasa nyeri jika dipaksakan. Pada saat
yang sama, tekanan dari urin yang masih dalam kandung kemih
membangun obstruksi yang baru, sehingga dinding uretra sisi lain
akan terjadi kebocoran.
Obstruksi disebabkan oleh:
1) Pembesaran kelenjar prostat pada pria
2) Batu kandung kemih
3) Sembelit
4) Inkontinensia overflow juga bisa disebabkan oleh otot-otot
detrusor tidak sepenuhnya berkontraksi, yang berarti bahwa
kandung kemih tidak benar-benar kosong ketika pergi ke toilet.
Akibatnya, kandung kemih menjadi melar. Otot detrusor
mungkin tidak sepenuhnya kontraksi jika: Ada kerusakan pada
saraf, misalnya sebagai akibat dari operasi untuk bagian dari
usus atau cedera tulang belakang mengonsumsi obat-obatan
tertentu (lihat di etiologi umum di atas).
d. Penyebab inkontinensia Total
Jumlah inkontinensia terjadi ketika kandung kemih tidak
dapat menyimpan urin sama sekali. Hal ini dapat mengakibatkan
intensitas aliran baik melewati jumlah besar urin terus-menerus,
atau buang air kadang-kadang dengan sering bocor.
Jumlah inkontinensia dapat disebabkan oleh:
1) Masalah dengan kandung kemih sejak lahir
2) Cedera pada tulang belakang, yang dapat mengganggu sinyal
saraf antara otak dan kandung kemih, fistula kandung kemih,

13
yang merupakan lubang seperti terowongan kecil yang dapat
terbentuk antara kandung kemih dan daerah terdekat, seperti
vigina, dalam wanita.
3. Klasifikasi Inkontinensia Urine.
Menurut Ismail (2013), klasifikasi inkontinensia urine dibagi
menjadi:
a. Stress Incontinence
Stress Incontinence adalah pengeluaran urin secara tidak
sadar yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intra abdominal
oleh suatu aktivitas seperti batuk, bersin, tertawa atau aktivitas
lain yang dapat meningkatkan tekanan intra abdominal.
b. Urge Incontinence
Urge Incontinence adalah pengeluaran urin secara tidak
sadar, disertai oleh keinginan berkemih yang kuat. Kondisi ini
biasanya disebabkan oleh kontraksi otot detrusor yang prematur,
utamanya pada kondisi instabilitas detrusor. Instabilitas detrusor
pada umumnya disebabkan oleh gangguan neurologi, meskipun
demikian Urge Incontinence dapat terjadi pada individu yang
tidak mengalami gangguan neurologi. urge incontinence
merupakan akibat dari adanya kontraksi premature pada kandung
kemih karena adanya inflamasi atau iritasi dalam bladder.
Inflammasi atau iritasi ini dapat disebabkan oleh adanya batu,
malignansi dan infeksi. Urge incontinence umumnya terjadi pada
lansia).
c. Mixed Incontinence
Mixed Incontinence merupakan inkontinensia campuran
antara stress dan urge inkontinensia, biasanya terjadi pada wanita
tua.
d. Overflow Incontinence
Overflow Incontinence adalah pengeluaran urin yang tidak
disadari sebagai akibat dari over distensi bladder dan
pengosongan bladder yang tidak sempurna. Tanda gejala yang

14
dikeluhakan klien bermacam-macam urin yang menetes kadang-
kadang atau terus menerus, dapat juga disertai tanda gejala stress
atau urge incontinence. Over flow disebabkan oleh detrusor yang
tidak aktif atau tidak berkontraksi, atau sumbatan pada uretra.
Tidak aktifnya detrusor juga dapat disebabkan oleh efek samping
obat, diabetic neurophaty, injuri spinal segment bawah, operasi
radikal pelvis yang menyebabkan terputusnya inervasi motorik
otot detrusor, idiopati. Pada laki laki biasanya terjadi pada klien
yang mengalami pembesaran prostat
e. Transient Incontinence
Transient incontinence biasa disebut sebagai acute
incontinence, sebenarnya dua terminologi ini berbeda acute
incontinence merupakan suatu kondisi dimana klien baru
mengeluhkan adanya inkontinensia, kondisi ini dapat berkembang
menjadi kronik bila klien tidak mengalami perbaikan kondisi
secara medis seperti pada klien stroke yang tidak menglami
kemajuan rehabilitasi. Sedangkan transient atau reversible
incontinence merupakan kondisi dimana gangguan masih
mungkin dapat diatasi seperti pada klien yang mengalami efek
samping dari ACE inhibitor mengalami keluhan adanya
kebocoran urin saat batuk atau tertawa. Secara umum Transient
incontinence disebabkan oleh suatu kondisi atau gangguan
kesehatan.
f. Functional Incontinence
Functional Incontinence adalah inkontinensia yang
disebabkan oleh ketidakmampuan individu untuk mencapai atau
menggunakan fasilitas toileting secara benar, kondisi ini dapat
disebabkan oleh gangguan mobilitas dan atau gangguan fungsi
kognitif klien. Klien yang mengalami inkontinensia jenis ini dapat
pula mengalami inkontinensia tipe lain secara bersamaan.
4. Manifestasi Klinis Inkontinensia Urine.
Inkontinensia urin dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :

15
a. Inkontinensia urin akut ( Transient incontinence )
Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi
kurang dari 6 bulan dan biasanya berkaitan dengan kondisi sakit
akut atau problem iatrogenik yang menghilang jika kondisi akut
teratasi. Penyebabnya berupa delirium, infeksi, inflamasi,
gangguan mobilitas, kondisi-kondisi yang mengakibatkan poliuria
(hiperglikemia, hiperkalsemia) ataupun kondisi kelebihan cairan
seperti gagal jantung kongestif.
b. Inkontinensia urin kronik ( persisten )
Inkontinensia urin ini tidak berkaitan dengan kondisi akut
dan berlangsung lama ( lebih dari 6 bulan ). Ada 2 penyebab
kelainan mendasar yang melatarbelakangi Inkontinensia urin
kronik ( persisten ) yaitu : menurunnya kapasitas kandung kemih
akibat hiperaktif dan karena kegagalan pengosongan kandung
kemih akibat lemahnya kontraksi otot detrusor. Inkontinensia urin
kronik ini dikelompokkan lagi menjadi 4 tipe (stress, urge,
overflow, fungsional).

Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing tipe


Inkontinensia urin kronik atau persisten :

a. Inkontinensia urin tipe stress


Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin secara tidak
terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut,
melemahnya otot dasar panggul, operasi dan penurunan estrogen.
Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa,
bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga
perut. Pengobatan dapat dilakukan tanpa operasi ( misalnya dengan
Kegel exercises, dan beberapa jenis obatobatan ), maupun dengan
operasi.Inkontinensia urin tipe urge : timbul pada keadaan otot
detrusor kandung kemih yang tidak stabil, yang mana otot ini
bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai dengan
ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih

16
muncul. Manifestasinya dapat berupa perasaan ingin kencing yang
mendadak ( urge ), kencing berulang kali ( frekuensi ) dan kencing di
malam hari ( nokturia ).
b. Inkontinensia urin tipe overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar akibat isinya yang sudah
terlalu banyak di dalam kandung kemih, umumnya akibat otot
detrusor kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini dijumpai pada
gangguan saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang
belakang, atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa
rasa tidak puas setelah kencing ( merasa urin masih tersisa di dalam
kandung kemih ), urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah.
c. Inkontinensia urin tipe fungsional
Terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsi fisik dan
kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang
tepat. Hal ini terjadi pada demensia berat, gangguan mobilitas,
gangguan neurologik dan psikologik (Setiati et al, 2007 ; Iglesias et
al, 2000).

5. Patofisiologi Inkontinensia Urine.


Dalam proses berkemih yang normal dikendalikan oleh mekanisme
volunter dan involunter. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul
yang berada dibawah kontrol mekanisme volunter. Sedangkan pada otot
detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada pada bawah
kontrol sistem saraf otonom. Ketika otot detrusor berelaksasi maka
terjadinya proses pengisian kandung kemih dan sebaliknya jika otot inni
berkontraksi maka proses berkemih akan berlangsung. Dengan
kontraksi otot detrusor kandung kemih disebabkan dengan aktivitas itu
dpat terjadi karena dipicu oleh asetil koline. Ketika terjadi perubahan-
perubahan pada mekanisme normal ini maka dapat menyebabkan
proses berkemih terganggu. Pada usia lanjut baik wanita atau pria
terjadinya perubahan anatomis dan fisiologis dari sistem urogenital
bagian bawah. Perubahan tersebut akan berkaitan dengan menurunnya

17
akdar hormon estrogen pada wanita dan hormon androgen pada pria.
Perubahan yang terjadi ini berupa peningkatan fibrosis dan kandungan
kolagen pada dinding kandung kemih yang dapat mengakibatkan fungsi
kontraktil dari kandung kemih tidak efektif lagi. Pada otot uretra dapat
terjadi perubahan vaskularisasi pada lapisan submukosa, atrofi mukosa
dan penipisan otot uretra. Dengan keadaan ini menyebabkan tekanan
penutupan uretra berkurang. Otot dasar panggul juga dapat mengalami
perubahan beruap melemahnya funsi dankekuatan oto. Secara
keseluruhan perubahan yang terjadi pada sistem urogenital bagian
bawah akibat dari proses menuda sebagai faktor kontributor terjadinya
inkontinensia urin (Setiati dan Pramantara, 2007)

Perubahan struktur kandung


Perubahan neurologis kemih (degenerative)

Perubahan otot urinari

Gangguan kontrol berkemih

Defisiensi tahanan uretra Tekanan dalam kandung kemih

Inkontinensia Urin

6. Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine.


Beberapa pemeriksaan penunjang pada Inkontinensia Urine adalah:
a. Kultur urin : untuk menyingkirkan urin
b. IVU : untuk menilai saluran bagian atas dan fistula atau obstruksi
c. Urodinamik:
1) Uroflowmetri : mengukur kecepatan aliran
2) Sistometri : menggambarkan kontraktur detrusor

18
3) Sistrometri video : menunjukkan kebocoran urin saat mengedan
paa pasien dengan inkontinensia stress
4) Flowmetri tekanan ureter: mengukur tekanan ureter dan
kandung kemih saat istirahat dan selama berkemih
d. Sistoskopi: jika dicurigai terdapat batu atau neoplasma kandung
kemih.
e. Pemeriksaan spekulum vagina ± sistogram jika dicurigai terdapat
fistula vesikovagina.
7. Penatalaksanaan Inkontinensia Urine.
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah
mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol
inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis
dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan
sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih
dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal,
maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula
waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari
timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi
saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi.
c. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen
adalah antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine,
flavoxate, Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa
adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan
retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis
seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin
untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.

19
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe
stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis
tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan
tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini
dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat,
dan prolaps pelvic (pada wanita).
e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik
yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan
beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin,
diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti
urinal, komod dan bedpan.
8. Komplikasi Inkontinensia Urine.
Inkontinensia urin adalah masalah dan gangguan umum diantara
pasien geriatri. Diperkirakanbahwa 25-35% dari seluruh orangtua akan
mengalami inkontinensia urine selama kejadian seumur hidup (Onat,
2014).
Inkontinensia urine merupakan sebuah gejala, bukan sebuah
penyakit. Kondisi tersebut dapat memberi dampak bermakna dalam
kehidupan klien, menciptakan masalah fisik seperti kerusakan kulit dan
kemungkinan menyebabkan masalah psikososial seperti rasa malu,
isolasi dan menarik diri dari pergaulan sosial (Teunissen, 2005;Kozier,
2010).
Inkontinensia unrine memunculkan banyak komplikasi sekunder
bagi individu lansia, termasuk dampak psikologis. Perasaan malu yang
dirasakan lansia penderita inkontinensia, ditambah penolakan orang
lain, sering kali mengakibatkan depresi (Mass, dkk, 2011).
E. Pengaruh Perubahan Sistem Genitourinaria Terhadap Psikologis.
Menurut penelitian Collein (2012) tentang pengalaman inkontinensia
urin pada lansia bahwa meskipun inkontinensia urin bukan penyakit
berbahaya namun gangguan ini sangat mengganggu dan membuat malu,

20
sehingga dapat menimbulkan rasa rendah diri atau depresi pada
penderitanya. Hal ini berhubungan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Kurniasari & Soesilowati (2016) terdapat hubungan yang signifikan antara
inkontinensia urin dengan tingkat depresi wanita usia lanjut.
F. Asuhan Keperawatan.
1. Asuhan Keperawatan Secara Umum.
a. Pengkajian
Pengkajian merupakan bagian pertama untuk mengelola UI
(urin inkontinensia), dari pengkajian kita dapat menyimpulkan
penyebab utama UI dan menejemen yang tepat untuk setiap klien.
1) Riwayat Kesehatan Klien Pengkajian riwayat kesehatan pada
pasien dengan UI meliputi :
a) Keluhan utama terkait dengan perasaan subjektif klien
terhadap masalah saat berkemih, ketidak mampuan
menahan kencing, kebocoran urin, penggunaan absorbent.
b) Storage Lower Urinary Symtoms (LUTS), untuk
mengetahui ini pertanyaan yangharus di jawab klien adalah
berapa kali klien BAK dalam satu hari, berapa lama klien
dapat melakuka aktivitas antara waktu berkemih.
2) Riwayat penyakit, operasi, gangguan obstetri dan ginekologi
3) Obat-obatan yang dikonsumsi
4) Kapan UI mulai terjadi, durasi atau lama mengalami UI
5) Kondisi yang memicu UI seperti batuk, mengejan, keinginan
berkemih yang kuat
6) Tanda gejala yang menunjukkan kemampuan penampungan
bladder seperti frequency, urgency, nocturia
7) Tanda gejala pada setiap berkemih seperti intermittency,
pancaran kencing lemah, tetesan urin pada akhir berkemih,
mengejanRiwayat psikologi dan Sosial, dalam pengkjian ini
fungsi seksual juga menjadi unsur yang harus dikaji pada klien
untuk mengetahui kemungkinan kebocoran uring saat
melakukan hubungan seksual.

21
Pengkajian Fisik:
1) Pengkajian umum dan kemampuan fungsional, kemampuan
fungsional meliputi kemampuan klien untuk melakukan
mobilisasi, kesadaran dan ketangkasan. Metode yang dapat
digunakan untuk menguji klien adalah dengan meminta klien
berjalan dari meja periksa ke tempat tidur, meminta klien
berkemih untuk pemeriksaan spesimen urin.
2) Lakukan pengkajian untuk melihat adanya abnormalitas yang
berpengaruh langsung terhadap UI
3) Pengkajian Kekuatan otot pelvis, tujuan pemeriksaan ini
adalah untuk melihat fungsi neuromuskular dan kemampuan
otot dasar panggul yang sangat berperan saat berkemih.
Metode yang digunakan adalah dengan meminta klien
mengkontraksikan dan merilekskan bagaian otot dasar
panggul. Pengkajian ini juga dapat dilakukan dengan komputer
yaitu dengan elektomyography dan pemeriksaan tekanan
dengan menggunakan Probe yang sensitif dengan memasukkan
probe pada vagina atau rektal dan meminta klien untuk
mengkontraksikan otot dasat panggul kekuatan normalnya
adalah antara 35-42 cm H2O (Hay-Smith et al. 2002).
4) Pengkajian terhadap kulit sekitar perineal untuk melihat
adanya lesi atau ekskoriasi terkait dengan seringnya kebocoran
berkemih.
5) Pengkajian rektal, pada wanita kepentingan pengkajian rektal
untuk memvalidasi penyebabk terjadinya UI yaitu mengkaji
adanya massa atau tumor. Sedangkan pada laki-laki digital
rektal examibation (DRE) berfungsi untuk mengetahui adanya
massa atau pembesaran prostat.
6) Observasi kebocoran urin secara langsung
Pemeriksaan ini dilakukan dengan meminta klien untuk
batuk saat bladder dalam keadaan penuh sehingga dapat

22
diamati terjadinya UI. Kebocoran urin saat batuk dapat diamati
pada saat klien dalam posisi supine atau berdiri.
7) Mengukur volume residu bladder
Pengukuran dilakukan setelah klien berkemih atau Post
Voided Residual (PVR) dengan mengeluarkan sisa urin dengan
menggunakan kateter atau dengan menggunakan scan bladder.
Residu bladder normal adalah kurang dari 50 ml, residu yang
lebih dari 100 ml menunjukkan adanya pengosongan bladder
yang tidak adekuat.
8) Voiding Diary (Bladder Chart)
Voiding diary sangat penting untuk mencatat pola eliminasi
urin dan pola kebocoran urin. Voiding diary harus dilakukan
pada klien yang sedang dalam perawatan UI. Terdapat
berbagai macam bentuk voiding diary, penggunaannya
tergantung pada informasi yang diinginkan saat pengkajian,
kemampuan dan kepatuhan klien untuk mengisi. Semakin
detail dan lengkap isi diary maka data yang didapat semakin
akurat namun biasanya klien merasa lebih rumit dalam
pengisian dan menjadi tidak patuh dalam mengisi voiding
diary. Voiding diary sebaiknya berupa catatan yang mudah
dibawa klien dalam setiap aktivitas. Pencatatan dilakukan
antara 7-14 hari sehingga dapat memberikan hasil yang
reliabel.
Tes Laboratorium:
1) Urinalysis Urinalisis merupakan pemeriksaan yang esensial
untuk klien dengan UI. Pemeriksaan bertujuan untuk
mengetahui substansi yang terdapat dalam urin yang dapat
berhubungan UI seperti darah, glukosa, pus, bakteri, protein.
Pemeriksaan lain yang harus disertakan untuk menyingkirkan
adanya infeksi saluran kemih adalah kultur urin
2) Pemeriksaan serum Pemeriksaan serum darah diindikasi untuk
melihat adanya komplikasi sistemik. Seperti kemungkinan

23
terjadinya peningkatan BUN dan Ureum Creatinin pada klien
dengan obstruksi dan memiliki komplikasi hidronefrosis
3) Pengkajian lingkungan dan Fasilitas Pengkajian fasilitas terkait
dengan kemudahan klien mencapai toilet, pencahayaan,
kondisi lantai, alat bantu klien untuk mencapai tempat tidur.
Fasilitas yang dapat dikaji adalah ketersediaan alat bantu UI
seperti Absorbent, kateter, padding dan penggunaan urinal
(Kennedy, 1992).
4) Urodinamik Adalah pemeriksaan untuk melihat transportasi,
penyimpanan dan eliminasi urin pada saluran kemih bagian
tengan atau bawah.
5) Endoskopi dan Pencitraan Endoskopi untuk melihat
kemungkinan adanya tumor epitel, divertikel yang dapat
menyebabkan sumbatan pada saluran kemih.
b. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang munkin diangkat
adalah:
1) Gangguan eliminasi urin b.d tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat
kontraksi kantung kemih
2) Resiko infeksi b.d pemasangan kateter dalam waktu yang lama
3) Resiko kerusakan integritas kulit b.d irigasi kontras oleh urin
4) Resiko kekurangan volume cairan tubuh b.d intake yang
adekuat
c. Intervensi
1) Bantuan toileting (avoiding/toileting asisstance)
a) Jadwal berkemih, jadwal direkomendasikan disusun untuk
satu hari penuh. Dengan menggunakan jadwal berkemih
klien diharapkan lebih patuh terhadap waktu berkemih yang
telah disepakati. Interval berkemih pada umumnya setiap 2
jam.

24
b) Latihan merubah kebiasaan Merupakan latihan penyesuaian
antara kebiasaan klien berkemih dengan jadwal yang telah
tersusun. Hal-hal yang disesuaikan antara lain adalah
frekuensi, volume, pola kontinen dan inkontinence. Dengan
jadwal dan latihan penyesuaian diharapkan klien dapat
mempunyai pola baru.
c) Prompted voiding (mengatakan dengan bisikan pada diri
sendiri untuk menahan atau mengatur BAK). Bisikan untuk
BAK dilakukan setiap interval 2 jam. Tindakan ini
direkomendasikan untuk klien yangmengalami penurunan
sensori untuk merasakan regangan pada bladder dan
penurunan rangsangan berkemih. Pada pasien yang
mengalami kelemahan bisikan dilakukan oleh caregiver.
Bila klien berhasil melakukan BAK maka diberi reward
berupa umpan balik positif.
2) Kateter urin intermiten
Kateter urin intermiten di rekomendasikan pada pasien
dengan UI fungsional, UI Neurogenik atau Reflek, atau klien
yang mengalami penurunan kemampuan kognitif
(Doughty,2006). Tujuan tindakan ini adalah untuk mencegah
kerusakan pada otot detrusor sebagai akibat regangan yang
berlebihan. Pengeluaran urin dengan menggunakan intermitent
kateter dilakukan setiap 3-6 jam.
3) Perawatan Kulit Merupakan tindakan pencegahan yang
dilakukan untuk menurunkan risiko terjadinya kerusakan kulit
atau terjadinya ulkus dekubitus. Metode yang dilkukan pada
perawatan kulit (Kennedy, 1992) :
a) Inspeksi kebersihan dan tanda kemerahan pada arae perineal.
b) Bersihkan kulit segara bila terken bocoran urin atau feses.
c) Gunakan pembersih kulit dan cream untuk melindungi kulit
perineal.
4) Manajemen diet dan cairan

25
Klien inkontinensia dianjurkan untuk meningkatkan asupan
cairan dan makanan berserat. Klien dianjurkan untuk
mengurangi minuman yang mengandung kafein, minuman
karbonasi, jenis minuman lain yang dapat meningkatkan
rangsang berkemih lebih cepat. Peningkatan makan berserat
sangat penting untuk klien guna mencegah terjadinya konstipasi
atau impaksi yang dapat menjadi faktorpredisposisi terjadinya
UI karena adanya penekanan pada bladder dalam jangka waktu
lama.
5) Modifikasi Lingkungan
Modifikasi lingkungan lingkungan agar klien dengan
mudah mencapai toilet sehingga tidak terjadi kebocoran.
Berikan pencahayaan yang cukup, lantai yang tidak mudah licin.
Sediakan peralatan bantu seperti urinal didekat tempat tidur agar
mudah dijangkau.
2. Asuhan Keperawatan Skenario.

Ny. M (75 thn) dating ke RS AA diantar keluarganya. Keluarga


mengatakan Ny. M sering kencing tanpa disadari (ngompol), terkadang
tercium bau pesing karna Ny.M lupa membersihkannya. Klien sendiri
mengatakan tidak bias menahan jika sudah terasa ingin BAK.
Sebelumnya Ny.M ada riwayat hipertensi 2 tahun lalu dan mengosumsi
obat diuretik. Frekuensi berkemih tiap hari 15-18x/hari. Klien juga
mengatakan saat dia bersin, membungkuk dan batuk, tiba-tiba keluar
sedikit air kencing. Saat dilakukan pemeriksaan, TB dan BB Ny.M
adalah 150cm dan 45kg, TD 140/90 mmHg, Nadi 80x/mnt, RR
18x/mnt, dan suhu 36,5oC.. Klien tampak sering menguap, kurang rapi
dan terdapat distensi kandung kemih. Klien mengatakan sulit tidur
Karena sering BAK pada malam hari. Menurut keluarganya, setahun
terakhir ini pembawaan Ny.M sering marah dan sering lupa setelah
mengerjakan sesuatu yang baru saja dilakukannya.

a. Pegkajian

26
1) Identitasklien
Nama : Ny.M
Umur : 75 tahun
2) Keluhan utama
Keluarga mengatakan klien sering kencing tanpa disadari.
Klien mengatakan tidak bisa menahan BAK.
Klien mengatakan saat dia bersin, membungkuk dan batuk, tiba-
tiba keluar sedikit air kencing.
Klien mengatakan sulit tidur karena sering BAK pada malam hari.
3) Riwayat penyakit terdahulu
Hipertensi 2 tahun lalu dan mengosumsi obat diuretik.
4) Pemeriksaan TTV
TD : 140/90 mmHg
Nadi : 80x/mnt
RR : 18x/mnt
Suhu : 36,5oC
b. Analisa data
No DS DO Masalahkeperawatan
1. g. Keluarga klien - TD :140/90 mmHg Gangguan eliminasi
mengatakan klien - Terdapat distensi urin
sering kencing tanpa kandung kemih
disadari.
h. Klien mengatakan
tidak bias menahan
BAK
i. Klien mengatakan
saat dia bersin,
membungkuk dan
batuk, tiba-tiba
keluar sedikit air
kencing.
j. Klien mengatakan

27
frekuensi berkemih
tiap hari 15-18x/hari
2. k. Keluarga klien - Klientampakkurangrapi Defisitperawatandiri
mengatakan klien
sering kencing tanpa
disadari.
l. Klien mengatakan
tidak bias menahan
BAK
m. Keluarga
mengatakan
terkadang klien
berbau pesing karena
klien lupa
membersihkannya
3. - Klien mengatakan - Klien tampak sering Gangguan pola tidur
sulit tidur karena menguap
sering BAK pada
malam hari.

c. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan eliminasi urin b.d tidak adanya sensasi untuk berkemih
dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung
kemih
2) Defisit perawatan diri b.d gangguan kognitif
3) Gangguan pola tidur b.d nokturia pada malam hari
d. Intervensi

Dx Keperawatan TujuandanKriteriahasil Intervensi (NIC)


(NOC)
Gangguan eliminasi Kriteria hasil: - Lakukan penilaian kemih
urine b.d tidak - Kandung kemih kosong yang komprehensif

28
adanya sensasi untuk secara penuh berfokus pada
berkemih dan - Tidak ada residu urine inkontinensia
kehilangan >100-200 cc - Sediakan waktu yang
kemampuan untuk - Intake cairan dalam cukup untuk pengosongan
menghambat batas normal kandung kemih
kontraksi kandung - Bebas dari ISK - Gunakan kekuatan sugesti
kemih - Tidak ada spasme dengan menjalankan air
bladder atau disiram toilet
- Balance cairan seimbang - Memantau asupan dan
keluaran
- Memantau tingkat distensi
kandung kemih dengan
palpasi atau perkusi
- Membantu dengan toilet
secara berkala
- Menerapkan kateterisasi
intermitten
- Memasukkan kateter
kemih jika dibutuhkan
Defisit perawatan Kriteria hasil:
diri eliminasi b.d - Mampu melakukan - Memulai jadwal ke toilet
gangguan kognitif aktivitas perawatan fisik - Menyediakan alat bantu
dan pribadi secara (misalnya kateter eksternal
mandiri atau dengan alat atau urinal)
bantu - Menyediakan privasi
- Mampu selama eliminasi
mempertahankan - Memfasilitasi kebersihan
kebersihan dan toilet setelah eliminasi
penampilan yang rapi - Memantau integritas kulit
secara mandiri atau pasien
dengan alat bantu
- Mampu melakukan

29
aktivitas eliminasi secara
mandiri atau dengan alat
bantu
- Membersihkan diri
setelah eliminasi
Gangguan pola tidur Kriteria hasil: - Ciptakan lingkungan yang
b.d nokturia pada - Jumlah jam tidur dalam nyaman
malam hari batas normal - Determinasi efek-efek
- Pola tidur, kualitas medikasi terhadap pola
dalam batas normal tidur
- Perasaan segar sesudah - Diskusikan dengan pasien
tidur atau istirahat dan keluarga tentang
- Mampu mengidentifikasi teknik tidur pasien
hal-hal yang - Instruksikan untuk
meningkatkan tidur memonitor tidur pasien
- Monitor waktu makan dan
minum dengan waktu
tidur
- Monitor/ catat kebutuhan
tidur pasien setiap hari dan
jam

30
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan
Sistem perkemihan merupakan sistem yang penting untuk membuang
sisa-sisa metabolisme makanan yang dihasilkan oleh tubuh terutama
senyawa nitrogen seperti urea dan kreatinin, bahan asing dan produk
sisanya. Sampah metabolisme ini dikeluarkan (disekresikan) oleh ginjal
dalam bentuk urin. Saat seseorang memasuki usia lanjut maka akan terjadi
penurunan fungsi organ tubuh, salah satunya akan mengalami gangguan
pada sistem genitourinaria dan berdampak pada timbulnya berbagai
macam penyakit. Inkontinensia urin (IU) merupakan salah satu masalah
kesehatan yang sering dijumpai pada lansia. Menurut penelitian Collein
(2012) tentang pengalaman inkontinensia urin pada lansia bahwa
meskipun inkontinensia urin bukan penyakit berbahaya namun gangguan
ini sangat mengganggu dan membuat malu, sehingga dapat menimbulkan
rasa rendah diri atau depresi pada penderitanya. Hal ini berhubungan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurniasari & Soesilowati (2016)
terdapat hubungan yang signifikan antara inkontinensia urin dengan
tingkat depresi wanita usia lanjut.
b. Saran.
Penulis menyarankan untuk kasus-kasus Inkontinensia urin harus
dilaporkan oleh pasien ataupun keluarga, dan harus mendapatkan
perhatian yang khusus dikarenakan Inkontinensia urin berkepanjangan
yang tidak tertangani dengan baik secara tidak langsung akan
mempengaruhi kehidupan seseorang, menimbulkan masalah kehidupan
baik dari segi meis, sosial, ekonomi maupun psikologis.

31
DAFTAR PUSTAKA

Collein, I. 2012. Pengalaman Lansia Dalam Penanganan Inkontinensia Urin di


Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji. Jurnal Keperawatan Soedirman. Vol.
3, No. 7. Palu: Politeknik Kesehatan Palu

Dewi, S.R. 2014. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta : Deepublish

Iglesias G.F.J., Caridad J.M, Martin J.P, Perez M.L. 2000. Prevalence and
Psychosocial Impact of Urinary Incontinence in Older People of Spanish
Rural Population. pp : 204-14.

Huda, A., & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan


Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus.
Jogjakarta: Mediaction.

Ismail, D. D. S. L. (2013). Aspek keperawatan pada inkontinensia urine. Jurnal


Ilmu Keperawatan. 1(1): 2-5

Ismail, D. D. S. L. (2013). Aspek Keperawatan Pada Inkontinensia Urin.


https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2
&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjw1tiCps3kAhXYZSsKHeSDtYQFjA
BegQIAhAC&url=https%3A%2F%2Fjik.ub.ac.id%2Findex.php%2Fjik%
2Farticle%2Fdownload%2F12%2F11&usg=AOvVaw0_4lvtl0gAd48rs20i
WNA. Diakses pada 13 september 2019

Juananda, Desby & Febriantara, Dhany. (2017). Inkontinensia Urin pada


Lanjut Usia di Panti Werdha Provinsi Riau. Jurnal Kesehatan Melayu.
pISSN: 2597-6532 eISSN: 2597-7407

Kozier, Erb, Berman dan Snyder.(2010). Funda Mental Keperawatan: Konsep,


Proses& Praktek, Edisi .Jakarta:EGC. 86.

Kurniasari, D.,& Soesilowati, R. 2016. Pengaruh Antara Inkontinensia Urin


Terhadap Tingkat Depresi Wanita Lanjut Usia di Panti Wredha Catur

32
Nugroho Kaliori Banyumas. Sainteks. Vol. XIII, No. 1. Banyumas:
Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Mass, M., dkk. (2011). Asuhan Keperawatan Geriatrik: Diagnosis Nanda,


Kriteria Hasil NOC, & Intervensi NIC. Jakarta: EGC.

Nurs, N, M. (2006). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan


Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika

Onat, S., dkk. (2014). Relationship Between Urinary Incontinence and Quality
Life/ Depression in Elderly Patients. Clinical Gerontology & Geriatric.

Setiati S., Kuntjoro H., Aryo G.R. 2007. Proses Menua dan Implikasi
Kliniknya. Dalam : Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus Alwi, Marcellus
S.K., Siti setiati. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Edisi IV. Jakarta : FK UI.
pp: 1335-39.

Setiati S. dan Pramantara I.D.P. 2007. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih
Hiperaktif. Dalam : Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus Alwi, Marcellus
S.K., Siti setiati. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Edisi IV. Jakarta : FK UI.
pp: 1392-95.

Tendean H.M.M.T. 2007.Deteksiinkontinensiaurinpadausia post menopause


denganmenggunakankuesioner IIQ-7 dan UDI-6. JKM. 6(2)

Teunissen, D., dkk. (2005).Urinary Incontinence in OlderPeople Living in the


Community.British Journal of GeneralPractice. 776.

33

Anda mungkin juga menyukai