Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, atas karunianya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Terapi Modalitas: Terapi Psikoreligius” dengan baik dan lancar. Atas dukungan
moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, dan bermanfaat di masyarakat.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan
makalah ini.

Denpasar, 30 Agustus 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................2
D. Manfaat.........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
A. Definisi Terapi Psikoreligius.........................................................................4
B. Unsur-unsur Psikoreligius.............................................................................5
C. Metode Terapi Psikoreligius.........................................................................5
D. Religius Sebagai Kebutuhan Dasar Dan God Spot Pada Otak Manusia......7
E. Riset Religiusitas pada Klien Jiwa................................................................8
F. Pendapat Para Ahli Ilmu Jiwa.......................................................................9
G. Pandangan Beberapa Ahli Ilmu Jiwa..........................................................10
H. Pengaruh Doa terhadap penyakit kejiwaan.................................................12
I. Penerapan Psikoreligius Terapi di Rumah Sakit Jiwa.................................14
J. Terapi Psikoreligius Bagi Klien Ketergantungan NAPZA.........................14
K. Proses Keperawatan Pada Terapi Psikoreligius..........................................16
BAB III PENUTUP...............................................................................................20
A. Simpulan.....................................................................................................20
B. Saran...........................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................21

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada orang yang gelisah, langkah awal yang harus dilakukan adalah
menjalani terapi keagamaan. Orang ini harus diterapi jiwa dan komitmen
keagamaannya sehingga siap untuk meghadapi kenyataan. Ini adalah suatu
contoh tentang pentingnya peranan agama.
Pada konfrensi yang diadakan di Canberra pada tahun 1980, dengan
tema ”The Role of Religion in The Prevention Of Drug Addiction”. Pada
kelompok-kelompok yang terkena narkotik, alcohol, dan zat adiktif (NAZA)
itu sejak dini komitmen agamanya lemah. Hal ini dibandingkan dalam
penelitian dengan orang yang kuat komitmen agamanya. Kesimpulannya
remaja-remaja yang sejak dini komitmen agamanya lemah memiliki resiko
terkena NAPZA 4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak-anak remaja
yang sejak dini komitmen agamanya kuat. Inilah salah satu contoh peranan
agama karena agama itu membawa ketenanangan. Agama mencegah remaja
yang mencari ketenangan pada alcohol, narkotik dll.
Contoh tentang peranan agama yang lain adalah di sejumlah rumah sakit
jiwa. Ada uji perbandingan terapi yang diterapkan kepada para pendertia
penyakit jiwa skizofrenia, yakni antara cara konvensional ( dengan obat dan
sebagainya) dan dengan cara pendekatan keagamaan, hasilnya kelompok
skizofrenia yang terapinya ditambah dengan keagamaan waktu perawatannya
lebih pendek dan gejala-gejalanya cepat hilang.
Terapi terhadap orang sakit seharusnya dilaksanakan secara holistik
(menyeluruh) yang meliputi biologi, psikologis, sosial dan spiritualnya.
Menurut Dadang Hawari, pendekatan spiritual dikalangan rumah sakit
memang perlu dimasayarakatkan dimana harus ada rohaniawan yang datang
ke rumah sakit dan mendoakan penyembuhan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan terapi psikoreligius?
2. Apa saja unsur-unsur dari terapi psikoreligius?
3. Bagaimana pengaruh religius sebagai kebutuhan dasar dan god spot pada
otak manusia?

1
4. Bagaimana riset religiusitas pada klien jiwa?
5. Bagaimana pendapat para ahli ilmu jiwa tentang psikoreligius?
6. Bagaimana pandangan beberapa ahli ilmu jiwa tentang psikoreligius?
7. Bagaimana pengaruh doa terhadap penyakit kejiwaan?
8. Apa saja penerapan psikoreligius terapi di rumah sakit jiwa?
9. Bagaimana terapi psikoreligius bagi klien ketergantungan NAPZA?
10. Bagaimana proses keperawatan pada terapi psikoreligius?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana teori psikoreligius dalam penyembuhan
penyakit.
2. Tujuan Khusus
a Untuk mengetahui pengertian terapi psikoreligius.
b Untuk mengetahui unsur-unsur dari terapi psikoreligius.
c Untuk mengetahui pengaruh religius sebagai kebutuhan dasar dan
god spot pada otak manusia.
d Untuk mengetahui riset religiusitas pada klien jiwa.
e Untuk mengetahui pendapat para ahli ilmu jiwa tentang
psikoreligius.
f Untuk mengetahui pandangan beberapa ahli ilmu jiwa tentang
psikoreligius.
g Untuk mengetahui pengaruh doa terhadap penyakit kejiwaan.
h Untuk mengetahui penerapan psikoreligius terapi di rumah sakit
jiwa.
i Untuk mengetahui terapi psikoreligius bagi klien ketergantungan
NAPZA.
j Untuk mengetahui proses keperawatan pada terapi psikoreligius.

D. Manfaat
1. Dapat mengetahui pengertian terapi psikoreligius.
2. Dapat mengetahui unsur-unsur dari terapi psikoreligius.
3. Dapat mengetahui pengaruh religius sebagai kebutuhan dasar dan god
spot pada otak manusia.
4. Dapat mengetahui riset religiusitas pada klien jiwa.
5. Dapat mengetahui pendapat para ahli ilmu jiwa tentang psikoreligius.
6. Dapat mengetahui pandangan beberapa ahli ilmu jiwa tentang
psikoreligius.
7. Dapat mengetahui pengaruh doa terhadap penyakit kejiwaan.
8. Dapat mengetahui penerapan psikoreligius terapi di rumah sakit jiwa.
9. Dapat mengetahui terapi psikoreligius bagi klien ketergantungan
NAPZA.
10. Dapat mengetahui proses keperawatan pada terapi psikoreligius.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Terapi Psikoreligius


Terapi psikoreligius merupakan suatu pengobatan dalam praktek
keperawatan khususnya keperawatan jiwa yang menggunakan pendekatan
keagamaan antara lain doa-doa, dzikir, ceramah keagamaan, dan lain-lain untuk
meningkatkan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem
kehidupan yang merupakan stressor psikososial guna peningkatan integrasi
kesehatan jiwa (Ilham A, 2008).Terapi psikoreligius merupakan suatu pengobatan
alternatif dengan cara pendekatan keagamaan melalui doa dan dzikir yang
merupakan unsur penyembuh penyakit atau sebagai psikoterapeutik yang

3
mendalam, bertujuan untuk membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme yang
paling penting selain obat dan tindakan medis (Rozalino R, 2009).
Pendekatan keagamaan dalam praktek kedokteran dan keperawatan dalam
dunia kesehatan, bukan untuk tujuan mengubah keimanan seseorang terhadap
agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan
spiritual dalam menghadapi penyakit merupakan terapi psikoreligius (Yosep I,
2009).
Yang dimaksud dengan terapi spiritual kurang lebih adalah terapi dengan
memakai upaya-upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini sama dengan
terapi keagamaan, religius, atau psikoreligius, yang berarti terapi dengan
menggunakan faktor agama, kegiatan ritual keagamaan, seperti sembahyang,
berdoa, memanjatkan puji-pujian, ceramah keagamaan, kajian kitab suci, dan
sebagainya. Hanya saja terapi spiritual lebih umum sifatnya dan tidak selalu
dengan agama formal masing-masing individu (Wicaksana I, 2008).
Pengertian terapi spiritual atau terapi religius adalah sebuah terapi dengan
pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut oleh klien, pendekatan ini
dilakukan oleh seorang pemuka agama dengan cara memberikan pencerahan,
kegiatan ini dilakukan minimal 1 kali seminggu untuk semua klien dan setiap hari
untuk pasien. Terapi spiritual berbeda dengan berdoa, doa tersebut ditiupkan
disebuah gelas berisi air minum kemudian meminta klien meminum air tersebut,
meskipun sama - sama menggunakan sebuah perilaku dalam sebuah agama atau
kepercayaan tetapi akan sangat berbeda dengan terapi spiritual (Rosyidi I, 2009).

B. Unsur-unsur Psikoreligius
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam terapi psikoreligius sebagai berikut
(Ilham A, 2008) :
1. Doa-doa
Dalam dimensi psikoreligius, doa berarti permohonan penyembuhan kepada
Tuhan Yang Maha Esa
2. Dzikir
Dzikir adalah mengingat Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya, mengucapkan
baik secara lisan maupun dalam hati segala kuasa-Nya.
Dari sudut ilmu kedokteran jiwa atau keperawatan jiwa atau kesehatan jiwa, doa
dan dzikir (psikoreligius terapi) merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi
daripada psikoterapi biasa (Ilham A, 2008).

4
C. Metode Terapi Psikoreligius
1. Metode Wawancara
Adalah salah satu cara memperoleh fakta-fakta kejiwaan yang dapat
dijadikan bahan pemetaan tentang bagaimana sebenarnya hidup klien bimbing
pada saat tertentu yang memerlukan bantuan.
Segala fakta yang diperoleh dari klien dicatat secara teratur dan rapi di
dalam buku catatan (cumulativae records) untuk klien yang bersangkutan serta
disimpan baik-baik sebagai file (dokumen penting). Pada saat dibutuhkan
catatan pribadi tersebut dianalisa dan diidentifikasikan untuk bahan
pertimbangan tentang metode apakah yang lebih tepat bagi bantuan yang
harus diberikan kepadanya.
2. Metode Group Guidance (bimbingan secara berkelompok)
Cara pengungkapan jiwa atau batin serta pembinaannya melalui kegiatan
kelompok seperti ceramah, diskusi, seminar, simposium, atau dinamika
kelompok (group dynamics) dan sebagainya.
Metode ini baru dapat berjalan dengan baik bilamana bimbingan secara
kelompok memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Usahakan agar bimbingan kelompok dapat berlangsung dengan tenang,
jauh dari gangguan apapun serta tempat tersebut cukup sehat karena cukup
ventilasi udaranya dan cahaya sinar matahari atau lampu.
b. Usahakan agar kelompok tersebut tidak terlalu besar, sebaliknya jangan
lebih dari 13 orang.
c. Secara periodik, bimbingan kelompok perlu dilaksanakan dan diisi dengan
ceramah-ceramah tentang hal-hal atau topik-topik masalah yang
berakaitan dengan pengembangan karier, tentang pekerjaan dan jabatan-
jabatan swasta/pemerintahan yang tersedia, tentang orientasi lanjutan di
lembaga-lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
3. Metode Non Direktif (cara yang tidak mengarahkan)
Cara lain untuk mengungkapkan segala perasaan dan fikiran yang
tertekan, sehingga menjadi penghambat kemajuan klien adalah metode non
direktif.
Metode ini di bagi menjadi dua macam yaitu:

5
a. Metode Client centered
Yaitu metode ini terdapat dasar pandangan bahwa klien sebagai makhluk
yang bulat yang memiliki kemampuan berkembang sendiri dan sebagai
pencari kemantapan diri sendiri (self consistency). Jadi bilamana konselor
mempergunakan metode ini maka ia harus bersikap sabar mendengarkan
dengan penuh perhatian segala ungkapan batin klien yang diutarakan
kepadanya, dengan demikian seolah-olah konselor pasif, tetapi
sesungguhnya aktif menganalisa segala apa yang dirasakan oleh klien
sebagai beban batinnya.
b. Metode Edukatif
Yaitu cara pengungkapan tekanan perasaan yang menghambat
perkembangan klien dengan mengkorek sampai tuntas perasaan/sumber
perasaan yang menyebabkan hambatan dan ketegangan dengan cara-cara
okeint centered, yang diperdalam dengan permintaan/pertanyaan yang
motivatif dan persuasif (meyakinkan) untuk mengingat-ingat dan serta
didorong untuk berani mengungkap perasaan tertekan sampai ke akar-
akarnya. Dengan cara demikian, dapat terlepas dari dari penderitaan batin
yang bersifat obsentif (pada hal yang menyebabkan ia terpaku pada
hal-hal yang menekan batinnya)
4. Metode Psikoanalitik (penganalisahan jiwa)
Metode ini berasal dan teori psiko-analisa Freud yang dipergunakan
untuk mengungkapkan segala tekanan perasaan terutama perasaan yang sudah
lagi tidak disadari. Menurut teori ini, manusia yang senantiasa mengalami
kegagalan usaha dalam mengejar cita-cita atau keinginan, menyebabkan
timbulnya perasaan tertekan yang makin lama makin menumpuk. Bilamana
tumpukan perasaan gagal tersebut tidak dapat diselesaikan, maka akan
mengendap ke dalam lapisan jiwa bawah sadamya. Untuk memperoleh data
tentang jiwa tertekan bagi penyembuhan klien tersebut, diperlukan metode
psikoanalitik yaitu menganalisa gejala tingkah laku baik melalui mimpi atau
ataupun melalui tingkah laku yang serba salah itu terjadi ulang-ulang.
5. Metode Direktif (metode yang bersifat mengarahkan)

6
Metode ini lebih bersifat mengarahkan pada anak bombing untuk
berusaha mengatasi segala kesulitan (problema) yang dihadapi. Pengarahan
yang diberikan kepada klien ialah dengan memberikan secara langsung
jawaban-jawaban terhadap permasalahan yang menjadi sebab kesulitan yang
dihadapi/dialami klien.
6. Metode yang lainnya berkaitan dengan sikap sosial dalam hubungannya
dengan pergaulan klien sering dipakai metode sosiometri, yaitu suatu cara
yang dipergunakan untuk mengetahui kedudukan anak bimbing dalam
hubungan kelompok

D. Religius Sebagai Kebutuhan Dasar Dan God Spot Pada Otak Manusia
V.S. Ramachandran, Direktur Center For Brain America, telah mengadakan
serangkaian riset terhadap pasien-pasien pasca epilepsi, yang menyimpulkan
bahwa pada klien epilepsi terjadi ledakan aktivitas listrik di luar batas normal
yang ditandai dengan peningkatan lobus temporal. Klien pasca epilepsi tersebut
sebagian besar mengungkapkan pengalaman spiritual berupa keterpesonaan yang
mendalam sehingga semua yang lain menjadi sirna, menemukan kebenaran
tertinggi yang tidak dialami pikiran biasa, kecemerlangan dan merasakan
persentuhan dengn cahaya illahi (Ian Marshal, Spiritual Inteligenci, 2000 : 10).
Penelitian penting selanjutnya membuktikan bahwa elektroda EEG
dihubungkan dengan pelipis orang normal dan klien epilepsi ketika diberi nasihat
yang bersifat spiritual / religius, maka terjadi peningkatan aktivitas listrik pada
lobus temporal seperti yang terjadi pada klien epilepsi. Pengalaman spiritual di
bagian lobus temporal yang berlangsung beberapa detik saja dapat mempengaruhi
emosional yang lama dan kuat sepanjang hidup dan dapat mengubah arah hidup
(life transforming). Sebagian besar pakar neurobiologi berpendapat Titik Tuhan /
”God Spot” atau Modul Tuhan ”God Module” berkaitan denga pengalaman
religius.
Menurut kajian Howard Clinell, yang dikutip Dadang Hawari, menyatakan
bahwa pada dasarnya manusia memiliki 10 kebutuhan religius :
1. Kepercayaan dasar (Basic Trust).
2. Makna hidup secara vertikel dan horizontal.
3. Komitmen peribadatan ritual dan hubungannya dengan keseharian.

7
4. Kebutuhan pengisian keimanan (Charge) dan kontinuitas hubungan dengan
Tuhan.
5. Bebas dari rasa salah dan dosa.
6. Self acceptance and self esteem.
7. Rasa aman, terjamin, dan keselamatan masa depan.
8. Tercapainnya derajat dan martabat yang semakin tinggi serta integritas
pribadi.
9. Terpeliharanya interaksi dengan alam.
10. Hidup dalam masyarakat yang religius.

E. Riset Religiusitas pada Klien Jiwa


Manfaat komitmen agama tidak hanya dalam penyakit fisik, tetapi juga di
bidang kesehatan jiwa. Dua studi epidemologik yang luas telah dilakukan
terhadap penduduk. Untuk mengetahui sejauh mana penduduk menderita
psychological distress. Dari studi tersebut di peroleh kesimpulan bahwa makin
religius maka makin terhindar seseorang dari stress (Linaen 1970, Strak 1971).
Kemudian dikemukakan lebih mendalam komitmen agama seseorang telah
menunjukan peningkatan taraf kesehatan jiwanya.
Terapi keagamaan (Intervensi religi) pada kasus-kasus gangguan jiwa
ternyata juga membawa manfaat. Misalnya angka rawat inap pada klien
skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaan lebih rendah bila di bandingkan
dengan mereka yang tidak mengikutinya. (Chu dan Klien, 1985). Studi Stark
menunjukan bahwa angka frekuensi kunjungan ke tempat ibadah lebih merupakan
indicator dan factor yang efektif dalam hubungannya dengan penurunan angka
bunuh diri. Sedangkan klien yang tidak diberikan psiko religius terapi pada
swicide memiliki risiko 4 kali lebih besar untuk melakukan bunuh diri (Comstock
dan Partridge, 1972).
Selanjutnya dikemukakan bahwa kegiatan keagamaan/ibadah/shalat,
menurunkan gejala psikiatrik (Mahoney 1985, Young 1986, Martin 1989). Riset
yang lain menyebutkan bahwa menurunnya kunjungan ke tempat ibadah,
meningkatkan jumlah bunuh diri di USA (Stack, Rusky, 1983).
Kesimpulan dari berbagai riset menunjukkan bahwa religiusitas mampu
mencegah dan melindungi dari penyakit kejiwaan, mengurangi penderitaan
meningkatkan proses adaptasi dan penyembuhan.

8
F. Pendapat Para Ahli Ilmu Jiwa.
1. Daniel Freedman:”Di dunia ini ada 2 lembaga besar yang berkepentingan
dalam Kesehatan Manusia, yaitu kedokteran dan agama”.
2. Larson (1990): “In navigating the complexities of human health and relation
ship religious commitmen is a force to consider”.
3. Kaplan Sadock (1991): “Dalam klien jiwa latar belakang kehidupan agama
klien, keluarga dan pendidikan agama merupakan factor yang sangat penting”.
4. Gery R. (1992): “Komitmen agama mencegah Aids dan homoseksual”.
5. Woodhouse (direktur UNICEF,1997): “Pegang teguh ciri khas indonesia, yaitu
religius, keutuhan keluarga, gotong royong, agar tidak mengidap penyakit
psikososial seperti barat”.
6. Dadang Hawari (1999): “Al-Qur’an adalah teks book kedokteran dan jiwa”.
7. C.C. Jung : “ semua penyakit kejiwaan berhubungan dengan agama “.
8. Emile Bruto : “ kaum sufi ( orang yang merenungi kehidupan batin manusia
dan selalu mendekatkan diri pada Tuhannya ), mereka adalah para psikolog-
psikolog besar. Mereka memliki kekuatan jiwa yang luar biasa hebatnya. “
( Nazar, 2001 : 313 ).
9. Ford H. : “ kaum sufi dapat masuk dan deteksi penyebab penyakit kejiwaan
seseorang dimana bila dilakukan oleh pakar psikoanalisa akan memakan
waktu bertahun-tahun untuk menganalisanya. ( Nazar, 2001 : 355 ) “.
10. Subhi : ” metode terapi psikoanalisa bertemu dengan metode terapi sufistik “.
11. Zakiah Darajat : “ saya temukan bahwa penyakit jiwa yang disertai dengan
terapi agama yang dianutnya, berhasil disembuhkan lebih cepat dan lebih baik
dari pada penyakit jiwa yang dilakuka dengan metode modern saja ”.
(Zindani, dkk, 1997 : 215).

G. Pandangan Beberapa Ahli Ilmu Jiwa


Seorang dokter ahli pengobatan kejiwaan yang berkaliber internasional,
yaitu C.C. Jung, menyatakan dalam bukunya Modern Man in Search Of Soul
menjelaskan bahwa betapa pentingnya kedudukan agama dalam bidang
kedokteran dan keperawatan jiwa. Selanjutnya beliau mengungkapkan :di antara
pasien saya yang usianya lebih dari setengah baya ( > 35 Tahun ) tidak
seorangpun yang menglami penyakit kejiwaan tanpa berhubungan dengan aspek
agama.
Menurut J. G. Mackenzie yang dikutip Leslie D. Weatherhead :“hasil-hasil
baik ahli pengobatan kejiwaan tidak diperolehnya karena pengetahuan yang

9
sempurna tentang ilmu kedokteran umum, malahan juga tidak disebabkan karena
ia ahli ilmu penyakit saraf,melainkan karena kecakapannya di lapangan agama”.
Pernyataan lain yang juga menegaskan tentang besarnya faedah agama di
lapangan ilmu kedokteran dan keperawatan jiwa adalah apa yang dikemukakan
oleh Hafield yang sudah bertahun-tahun melakukan pengobatan kejiwaan, di
mana ia sampai pada kesimpulan:“Saya telah mencoba menyembuhkan penderita
kerusakan keseimbangan saraf dengan jalan memberikan sugesti
(mengisyaratkan) ketenangan dan kepercayaan tetapi usaha ini baru berhasil baik
sesudah dihubungkan dengan keyakinan akan kekuasaan Tuhan”.Semakin lama
lapangan ilmu pengetahuan bertambah sadar bahwa keberadaan agama untuk ilmu
kedokteran dan keperawatan semakin penting.
Di kota New York ada 1 klinik yaitu Religion Psychiatric Clinic (Klinik
Kejiwaan Keagamaan) di mana agama memainkan peranan penting. Salah
seorang pengarang buku yang terkenal berjudul “agama dan kesehatan jiwa” yaitu
Prof. Dr. H. Aulia pernah berkunjung ke tempat tersebut dan mengatakan bahwa
pengobatan dan perawatan pasien yang mengalami masalah kejiwaan ditangani
secara kolaboratif oleh ahli-ahli kedokteran dan ahli-ahli penyakit jiwa, yaitu Dr.
Smiley Belanton dan Dr. Norman V. Pelae. Kedua anggota pimpinan ini mengutip
dalam buku karangan mereka berjudul Faith is the answer yang menyatakan
bahwa agama besar sekali faedahnya untuk ilmu-ilmu kedokteran khusunya
kedokteran kejiwaan. Selanjutnya Dr. Robert C. Pelae, seorang dokter ahli bedah
menyatakan sebagai berikut “ Berkat kepercayaan dan keyakinan penderita yang
mengalami luka atau pasien , saya sebagai dokter ahli bedah selalu melihat
penyembuhan-penyembuhan yang disangka tidak mungkin. Saya melihat pula
hasil-hasil yang tidak menyenangkan karena percobaan dengan penyembuhan
dengan agama saja atau hanya dengan ilmu pengetahuan saja. Oleh sebab itu saya
berkeyakinan bahwa ada hubungan yang pasti dan tetap antar agama dan ilmu
pengetahuan, dan Tuhan telah memberikan kepada kita kedua-duanya sebagai
senjata untuk melawan penyakit dan kesedihan. Bila kedua-duanya dipakai
bersama-sama untuk kepentingan manusia maka kemungkinan-kemungkinan kita
akan mendapatkan hasil yang baik dengan tidak ada batasnya.
Dalam konfrensi-konfrensi internasional dibahas peranan agama terhadap
penyakit-penyakit terminal, seperti AIDS dan kanker, ternyata masalah utamanya

10
bukan masalah medis lagi. Peranan psikiater dan perawat jiwa menjadi lebih
penting karena pasien sering merasa cemas, depresi, takut, gelisah, menunggu
saat-saat terakhir hidupnya. Untuk itu dibentuklah tim/kelompok-kelompok
religius yang disebut psycho-spiritual atau psycho-religius for AIDS patient, for
cancer patient, and for terminal ill patient.
Kekosongan spiritual, kerohanian, dan rasa keagamaan inilah yang sering
menimbulkan peramasalahan psikososial di bidang kesehatan jiwa. Para pakar
berpendapat bahwa untuk memahami manusia seutuhnya baik dalam keadaan
sehat maupun dalam keadaan sakit, pendekatannya tidak lagi memandang
manusia sebagai makhluk biopsikososial, tetapi sebagai makhluk
biopsikososiospiritual.
Menurut Zakiah Darajat, perasaan berdosa merupakan faktor penyebab
gangguan jiwa yang berkaitan dengan penyakit-penyakit psikomatik. Hal ini
diakibatkan karena seseorang merasa melakukan dosa tidak bisa terlepas dari
perasaan tersebut kemudian menghukum dirinya. Bentuk psikosomatik dapat
berupa matanya tidak dapat melihat, lidahnya menjadi bisu, atau menjadi lumpuh.

H. Pengaruh Doa terhadap penyakit kejiwaan


Salah satu tindakan keagamaan yang penting adalah berdoa, yakni
memanjatkan permohonan kepada tuhan supaya memperoleh sesuatu kehendak
yang diridhoi. Dari masa ke masa pengaruh doa tersebut terus-menerus mendapat
perhatian penting. Di antaranya oleh A. Carrel pemenang hadaih Nobel tahun
1912 untuk ilmu kedokteran, karena penemuannya di lapangan ilmu bedah. Bila
doa itu dibiasakan dan betul-betul bersungguh-sungguh, maka pengaruhnya
menjadi sangat jelas, ia merupakan perubahan kejiawaan dan perubahan somatik.
Ketentraman yang ditimbulkan oleh doaa itu merupakan pertolongan yang besar
pada pengobatan.
WHO telah menyempurnakan batasan sehat dengan menambahkan satu
spiritual (agama) sehingga sekarang ini yang dimaksud dengan sehat adalah tidak
hanya sehat dalam arti fisik, psikoloik, dan sosial, tetapi juga sehat dalam arti
spiritual sehingga dimensi sehat menjadi biopsikososiospiritual. Perhatian ilmuan
di bidang kedokteran dan keperawatan terhadap agama semakin besar. Tindakan
kedokteran tidak selamanya berhasil, seorang ilmuan kedokteran sering berkata ”

11
dokter yang mengobati tetapi Tuhanlah yang menyembuhkan”. Sebagai dampak
modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi, agama,
dan tradisi lama ditinggalkan karena dianggap usang. Kemakmuran materi yang
diperoleh ternyata tidak selamanya membawa kesejahteraan (well being). Dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat negara maju telah kehilangan aspek spiritual
yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia. Kekosongan spiritual,
kerohanian dan rasa keagmaan inilah yang menimbulkan permasalahan
psikososial di bidang kesehatan jiwa.
Dalam hubungan antara agama da kesehatan jiwa, Cancellaro, Larson, dan
Wilson (1982) telah melakukan penelitian terhadap 3 kelompok :
1. Kronik alkoholik
2. Kronik drug addict
3. Skizofrenia
Ketiga kelompok tadi dibandingkan dengan kelompok kontrol dari ketiga
kelompok gangguan jiwa dan kelompok kontrol ini yang hendak diteliti adalah
riwayat keagamaan mereka. Hasil penelitiannya sungguh mengejutkan, bahwa
ternyata pada kelompok control lebih konsisten keyakinan agamanya dan
pengalamannya,bila dibandingkan dengan ketiga kelompok di atas. Temuan ini
menunjukkan bahwa agama dapat berperan sebagai pelindung daripada sebagai
penyebab masalah (religion may have actually been protective rather than
problem producing).
Dalam penelitian juga ditemukan bahwa penyalahgunaan narkotik minatnya
terhadap agama sangat rendah bahkan boleh dikatakan tidak ada minat sama
sekali, bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Minat agama khusunya di
usia remaja, disebutkan bahwa jika religius di masa remaja tidak ada atau sangat
rendah, maka remaja ini memiliki resiko lebih tinggi untuk terlibat dalam
penyalahgunaan obat/narkotika dan alkohol. Temuan ini sesuai dengan temuan di
Indonesia (Hawari, 1997 : 14).
Hasil serupa diperoleh dari hasil penelitian Daun dan lavenhar (1980), yang
menunjukkan bahwa mereka yang tidak menganut agama dan dalam riwayat tidak
pernah menjalankan ibadah keagamaan di usia remaja, mempunyai risiko tinggi
dan tendensi ke arah penyalahgunaan obat/narkotika/alkohol.
Selanjutnya dalam studi tersebut dikemukakan bahwa 89% dari alkoholik
telah kehilangan minat agama pada usia remaja (during tenage years), sementara

12
di pihak kontrol 48% minat terhadap agama naik. Sedangkan 32% tidak
mengalami perubahan. Hilangnya minat agama pada penderita skizofrenia lebih
rendah bila dibandingkan dengan kedua kelompok lainnya. Dibandingakn dengan
kelompok kontrol, kelompok skizofrenia tidak menjalankan agamanya dan tidak
serajin kelompok kontrol. Hasil temuan ini adalah sebagai akibat dari
ketidakharmonisan keluarga. Sebagai contoh misalnya pengajaran agama pada
keluarga-keluarga penderita skizofrenia. Tuhan digambarkan sebagai sosok yang
suka menghukum dan bertindak kasar (73%). Sedangkan pada keluarga dari
kelompok control Tuhan digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih sayang dan
baik hati (70%) (Wilson, Larson, dan Meier). Temuan di atas merupakan
tantangan bagi sebagian psikiater yang beranggapan bahwa komitmen agama bagi
kesehatan jiwa. Kelompok kontrol yang merupakan kelompok yang tidak
mengalami gangguan jiwa ternyata lebih konsisten religiusitasnya daripada
kelompok yang menderita gangguan jiwa.

I. Penerapan Psikoreligius Terapi di Rumah Sakit Jiwa


1. Psikiater, psikolog, perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup
tentang agamanya/kolaborasi dengan agamawan atau rahaniawan.
2. Psikoreligius tidak diarahkan untuk merubah agama kliennya tetapi menggali
sumber koping.
3. Memadukan milleu therapy yang religius ; kaligrafi, ayat-ayat, fasilitas
ibadah, buku-buku, musik, misalnya lagu pujian/rohani untuk nasrani.
4. Dalam terapi aktivitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama untuk
pasien rehabilitasi.
5. Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat kehidupan
dunia dan sebagainnya.
6. Sebelum teori Psikoanalisa, para sufi telah mempelopori metoda pengkajian
yang mendalam dalam komunikasi yang menyentuh perasaan, menguak
konflik-konflik alam bawah sadar pasiennya, mendeteksi was-was,
kemarahan, takabbur, kesombongan, ria, dengki, menjadi sabar, wara, zuhud,
tawakkal, ridha, syukur, cinta illahi.

J. Terapi Psikoreligius Bagi Klien Ketergantungan NAPZA


NAPZA adalah suatu momok menakutkan yang membayang-bayangi dan
menghantui serta siap menghancurkan masa depan terutama generasi muda. Bagi

13
pecandu, akibat akhir setelah terlibat NAPZA mudah ditebak.pilihannya adalah
kantor polisi, rumah sakit jiwa, kuburan, atau selamat kembali jika ia mau
bertobat dan insyaf.
Masalah NAPZA sebetulnya masalah mental. Jadi focus yang terberat
dalam penangannya sebenarnya pada tahap rehabilitasi mental bukan pada terapi
medik, itu yang dituturkan oleh Prof. Dr. Dadang Hawari. Dalam hal ini
pendekatan agamalah yang lebih tepat.
1. Psikoreligius Islami untuk Klien Ketergantungan NAPZA
Dalam islami, penanganan masalah NAPZA sudah cukup lengkap baik
segi preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Secara preventif, islami telah
melarang dengan tegas yang tertera dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2);
219 dan Surat al-Imron (3); 90-91 bahwa khamar (arak dan sejenisnya yang
merusak fisik dan mental manusia) adalah haram. Dalam khamar terdapat
dosa besar dan manfaat bagi manusia, tapi dosanya lebih besar daripada
manfaatnya dan implikasinya selain merusak langsung pada dirinya juga akan
menjerumuskan ke dalam permusuhan dan membenci antar sesama. Hah ini
sudah terbukti secara nyata dalam masyarakat, akibat NAPZA berupa tindak
kriminal, pemerkosaan, anarkis sampai si pemakainya mengalami
psikosis/skizofrenia.Secara kuratif, dalam islam ada berbagai macam cara, di
antaranya;
a Niat dan Mempunyai Motivasi Bertaubat
Langkah awal yang merupakan kunci untuk keberhasilan terapi,
klien harus mempunyai motivasi dan niat yang ikhlas untuk tidak
menyalahgunakan NAPZA lagi, artinya klien melakukan taubatan nasuha
(tobat yang sebenar-benarnya) untuk tidak mengulangi perbuatan dhalim-
nya. Sesuai dengan teori motivasi bahwa terjadinya tingkahlaku
disebabkan oleh adanya kebutuhan yang dirasakan oleh individu.

Dorongan/kebutuhan→ motif →rangsangan→ perbuatan→ tujuan

Kuatnya motivasi sangat menentukan keberhasilan tujuannya, hal ini dapat


dilihat dari:
1) Kuatnya kemauan untuk berbuat.
2) Jumlah waktu yang disediakan.
3) Kerelaan meninggalkan pekerjaan yang lain.
4) Kerelaan mengeluarkan biaya.
5) Ketekunan dalam mengerjakan tugas.

14
Untuk mencapai tujuan melepaskan diri dari NAPZA, klien harus
mempunyai motivasi terlebih dahulu dan diikuti dengan perbuatan diantara
diantaranya mandi, shalat, djikir, shaum, dan menjalankan syariat islam
yang lainnya.

K. Proses Keperawatan Pada Terapi Psikoreligius


Adapun proses keperawatan dalam terapi psikoreligius (Ilham A, 2008)
antara lain:
a. Pengkajian
Pada dasarnya informasi yang perlu digali secara umum adalah :
1) Afiliasi agama
a) Partisipasi klien dalam kegiatan agama apakah dilakukan secara
aktif atau tidak
b) Jenis partisipasi dalam kegiatan agama
2) Keyakinan agama atau spiritual, mempengaruhi :
a) Praktik kesehatan : diet, mencari dan menerima terapi, ritual atau
upacara keagamaan
b) Presepsi penyakit : hukuman, cobaan terhadap keyakinan
c) Strategi koping
3) Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi :
a) Tujuan dan arti hidup
b) Tujuan dan arti kematian
c) Kesehatan dan pemeliharaannya
d) Hubungan dengan Tuhan, diri sendiri dan orang lain

a) Pengkajian Data
1. Pengkajian data subyektif
pedoman pengkajian spiritual yang disusun oleh Stoll dalam Craven &
Hirnie, pengkajian mencakup 4 area, yaitu :
a) Konsep tentang Tuhan atau ketuhanan
b) Sumber harapan dan kekuatan
c) Praktik agama dan ritual
d) Hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan
2. Pengkajian data objektif
Meliputi :
a) Pengkajian afek dan sekap, perilaku, verbalisasi, hubungan
interpersonal dan lingkungan
b) Pengkajian data objektif terutama dilakukan melalui observasi
Pada umumnya karakteristik klien yang potensial mengalami distres
spiritual adalah sebagai berikut :
a) Klien tampak kesepian dan sedikit pengunjung

15
b) Klien yang mengekspresikan rasa takut dan cemas
c) Klien yang mengekspresikan keraguan terhadap sistem
kepercayaan atau agama
d) Klien yang mengekspresikan rasa takut terhadap kematian
e) Klien yang akan menjalani operasi
f) Penyakit yang berhubungan dengan emosi atau implikasi sosial dan
agama
g) Mengubah gaya hidup
h) Preokupasi tentang hubungan agama dan kesehatan
i) Tidakk dapat dikunjungi oleh pemuka agama
j) Tidak mampu atau menolak melakukan ritual spiritual
k) Menganggap bahwa penyakit yang dideritanya merupakan
hukuman dari Tuhan
l) Mengekspresikan kemarahannya kepada Tuhan
m) Mempertanyakan rencana terapi karena bertentangan dengan
keyakianan agama
n) Sedang menghadapi sakaratul maut (dying)
b) Diagnosa
Distres spiritual mungkin mempengeruhi fungsi manusia lainnya.
Berikut ini adalah diagnosa keperawatan distres spiritual sebagai
etiologi atau penyebab masalah lain :
1) Gangguan penyesuaian terhadap penyakit yang berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk merekonsiliasi penyakit dengan
keyakinan spiritual.
2) Koping individual tidak efektif yang berhubungan dengan
kehilangan agama sebagai dukungan utama (merasa
ditinggalkan oleh Tuhan).
3) Takut berhubungan dengan belum siap untuk menghadapi
kematian dan pengalaman hidup setelah mati.
4) Berduka yang disfungsional : keputusasaan yang berhubungan
dengan keyakinan bahwa agama tidak mempunyai arti.
5) Keputusasaan yang berhubungan dengan keyakinan bahwa
tidak ada yang peduli termasuk Tuhan.
6) Ketidakberdayaan yang berhubungan dengan perasaan menjadi
korban.
7) Gangguan harga diri yang berhubungan kegagalan untuk hidup
sesuai dengan ajaran agama.
8) Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan distres
spiritual.

16
9) Resiko tindak kekerasan terhadap diri sendiri berhubungan
dengan perasaan bahwa hidup ini tidak berarti.
c) Perencanaan
1) Periksa keyakinan spiritual pribadi perawat
2) Fokuskan perhatian pada persepsi klien terhadap kebutuhan
spiritualnya.
3) Kaji pesan non verbal klien tentang kebutuahn spiritualnya.
4) Beri respon secara singkat, spesifik dan faktual.
5) Dengarkan secara aktif dan tunjukkan empati yang berarti
menghayati masalah klien
6) Terapkan teknik komunikasi terapeutik dengan teknik
mendukung, menerima, bertanya, memberi informasi, refleksi,
menggali perasaan dan kekuatan yang dimiliki klien.
7) Tingkatkan kesadaran dengan kepekaan pada ucapan atau
pesan verbal klien.
8) Bersikap empati yang berarti memahami perasaan klien.
9) Pahami masalah klien tanpa menghukum walaupun tidak
menyetujui klien.
10) Tentukan arti dari situasi klien bagaimana klien berespon
terhadap penyakit
11) Bantu memfasilitasi klien agar dapat memenuhi kewajiban
agama
12) Beri tahu pelayanan spiritual yang tersedia di rumah sakit.
d) Evaluasi
1) mampu beristirahat dengan tenang.
2) Menyatakan penerimaan keputusan moral atau etika.
3) Mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan Tuhan.
4) Menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka dengan
pemuka agama
5) Menunjukkan afek positif tanpa perasaan marah, rasa bersalah
dan ansietas
6) Menunjukkan perilaku lebih positif
7) Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan
keberadaannya

17
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Terapi psikoreligius merupakan suatu pengobatan alternatif dengan cara
pendekatan keagamaan melalui doa dan dzikir yang merupakan unsur
penyembuh penyakit atau sebagai psikoterapeutik yang mendalam, bertujuan
untuk membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme yang paling penting
selain obat dan tindakan medis.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam terapi psikoreligius adalah
doa-doa, dzikir.
Metode terapi psikoreligius adalah dengan metode wawancara, metode
group guidance (bimbingan secara berkelompok), metode non direktif (cara
yang tidak mengarahkan), metode psikoanalitik (penganalisahan jiwa), metode
direktif (metode yang bersifat mengarahkan).
Religiusitas mampu mencegah dan melindungi dari penyakit kejiwaan,
mengurangi penderitaan meningkatkan proses adaptasi dan penyembuhan.
Salah satu tindakan keagamaan yang penting adalah berdoa, yakni
memanjatkan permohonan kepada tuhan supaya memperoleh sesuatu
kehendak yang diridhoi. Dari masa ke masa pengaruh doa tersebut terus-
menerus mendapat perhatian penting.

B. Saran
Gangguan jiwa atau penyakit jiwa merupakan penyakit dengan multi
kausal, suatu penyakit dengan berbagai penyebab yang sangat bervariasi.
Dalam pembuatan makalah ini diharapkan dapat membantu dan
mengembangkan pengetahuan bahwa teori psikoreligius dapat menyembuhkan
penyakit.

18
DAFTAR PUSTAKA
Stuart, G., Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Riyadi, Sujono, Teguh Purwanto.2009.Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta:
Graha ilmu
Hamid, S Achiryani.1999. Aspek Spiritual dalam Keperawatan.Jakarta: Widya
Purwaningsih,W, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jogjakarta : Nuha
Medika press
Kusumawati Farida, Yudi Hatono.2011. Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.

19

Anda mungkin juga menyukai