Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN RPK

Disusun Oleh kelompok 2:

1. Euis Mela Sari (C1017064)


2. Entika Nur R. (C1017063)
3. Fatmawati (C1017066)
4. Firyal Hasna (C1017068)
5. Frike Helyanik N. (C1017069)
6. Nailistianati Nur Aulia (C1017082)
7. Selawati (C1017092)

Kelas 3B

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

BHAKTI MANDALA HUSADA

Jln. Cut Nyak Dhien No. 16, Kalisapu, Slawi, Kab. Tegal

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut World Health Organization (WHO), jumlah penderita gangguan
jiwa diseluruh dunia mencapai hampir 450 juta orang, dimana sepertiganya
berdomisili di negara-negara berkembang. Hal ini diperkuat dengan data dan
fakta bahwa hampir separuh populasi dunia tinggal di negara dimana satu
orang psikiater melayani 200.000 orang. Perkembangan kebudayaan
masyarakat banyak membawa perubahan dalam segi kehidupan manusia.
Setiap perubahan situasi kehidupan baik positif maupun negatif dapat
mempengaruhi keseimbangan fisik, mental, dan psikososial seperti bencana
dan konflik yang dialami sehingga berdampak sangat besar terhadap
kesehatan jiwa seseorang yang berarti akan meningkatkan jumlah pasien
gangguan jiwa (Keliat, 2011).
Indonesia mengalami peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa cukup
banyak diperkirakan prevalensi gangguan jiwa berat dengan psikosis/
skizofrenia di Indonesia pada tahun 2013 adalah 1. 728 orang. Adapun
proposi rumah tangga yang pernah memasung ART gangguan jiwa berat
sebesar 1.655 rumah tangga dari 14,3% terbanyak tinggal di pedasaan,
sedangkan yang tinggal diperkotaan sebanyak 10,7%. Selain itu prevalensi
gangguan mental emosional pada penduduk umur lebih dari 15 tahun di
Indonesia secara nasional adalah 6.0% (37. 728 orang dari subjek yang
dianalisis). Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi
adalah Sulawesi Tengah (11, 6%), Sedangkan yang terendah dilampung (1,2
%) (Riset Kesehatan Dasar, 2013). Berdasarkan data dari dinas kesehatan
Provinsi Jawa Tengah tercatat ada 1.091 kasus yang mengalami gangguan
jiwa dan beberapa dari kasus tersebut hidup dalam pasungan. Angka tersebut
diperoleh dari pendataan sejak Januari hingga November 2012 ( Hendry, 2012
).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik,baik kepada diri sendiri
maupun orang lain. Sering juga disebut gaduh gelisah atau amuk dimana
seseorang marah berespon terhadap seuatu stresor dengan gerakan motorik
yang tidak terkontrol (Yosep 2010).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Menurut Dinas Kesehatan
Kota Jawa Tengah (2012), mengatakan angka kejadian penderita gangguan
jiwa di Jawa Tengah berkisar antara 3.300 orang hingga 9.300 orang. Angka
kejadian ini merupakan penderita yang sudah terdiagnosa. Teknik tarik napas
dalam termasuk teknik relaksasi latihan pernapasan yang sering digunakan
dalam pengaturan klien klinis untuk membantu mengatur stress dan relaksasi
untuk mencapai kesejahteraan, secara keseluruhan teknik tarik napas dalam
juga dapat melemaskan otot untuk mengurangi ketegangan, mengurangi
kecemasan dan mempunyai efek distraksi atau pengalihan
perhatian.Berdasarkan hasil pengambilan data dalam kurung waktu dua
minggu di RSJD dr.Amino Gondhohutomo semarang pada tanggal 3
september 2015.
Diperoleh data pada tahun 2012 pasien yang mengalami ganguan jiwa
perilaku kekerasan sebanyak(3.401) dari jumlah pasien (7.132). Pada tahun
2013 diperoleh data gangguan jiwa perilaku kekerasan sebanyak (3.633) dari
jumlah pasien(8.458).Sedangkan pada tahun 2012 dan 2013 yang mengalami
juga tampak pada jumlah penderita gangguan jiwa yang mengalami perilaku
kekerasan yaitu (232). Pada tahun 2015 didapatkan data bulan Februari
penderita gangguan jiwa perilaku kekerasan yaitu (285). (Rekam Medis RSJD
dr.Amino Gondohutomo Semarang 2015).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kuantati (2008), tentang
Pengaruh Teknik Relaksasi Terdapat pasien perilaku kekerasan di Rumah
Sakit Daerah Surakarta telah membuktikan bahwa adanya pengaruh yang
signifikan antara teknik relaksasi nafas dalam terhadap tingkat emosi klien
perilaku kekerasan dengan nilai p =0,000.
Berdasarkan hal diatas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh
tarik napas dalam terhadap perilaku kekerasan pada pasien rawat inap resiko
perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa dr. Amino GondoHutomo Provinsi
Jawa Tengah.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum :
a. Untuk mengetahui definisi RPK
b. Untuk mengetahui etiologi RPK
c. Untuk mengetahui rentang respon adaptif dan maladaptif RPK
d. Untuk mengetahui pathway RPK
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan RPK

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui konsep dasar dari asuhan keperawatan pada pasien


RPK

b. untuk mengetahui asuhan Keperawatan pada pasien RPK


2

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psiklogis. Berdasarkan definisi
tersebut maka perilaku kekerasan dapat dilakukakn secara verbal, diarahkan
pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi
dalam dua bentuk yaitu sedang berlangsung kekerasan atau perilaku kekerasan
terdahulu (riwayat perilaku kekerasan). Perilaku kekerasan adalah suatu
keadaan dimana seorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan
secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan yang
dirasakan sebagai ancaman
2.2 Etiologi
2.2.1 Faktor PredisposisiMenurut Yosep (2010), faktor predisposisi klien
dengan perilaku kekerasan adalah:1. Teori Biologisa. Neurologic
Faktor
Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap,
neurotransmitter, dendrit, akson terminalis mempunyai peran
memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang
mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam
menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).
Lobus frontalis memegang peranan penting sebagai penengah
antara perilaku yang berarti dan pemikiran rasional, yang merupakan
bagian otak dimana terdapat interaksi antara rasional dan emosi.
Kerusakan pada lobus frontal dapat menyebabkan tindakan agresif
yang berlebihan (Nuraenah, 2012: 29).
b. Genetic Faktor
Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi
potensi perilaku agresif. Menurut riset kazu murakami (2007) dalam
gen manusia terdapat dorman (potensi) agresif yang sedang tidur
akan bangun jika terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut
penelitian genetik tipe karyotype XYY, pada umumnya dimiliki oleh
penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut
hukum akibat perilaku agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal
100).

c. Cycardian Rhytm

Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut penelitian


pada jam sibuk seperti menjellang masuk kerja dan menjelang
berakhirnya kerja ataupun pada jam tertentu akan menstimulasi
orang untuk lebih mudah bersikap agresif (Mukripah Damaiyanti,
2012: hal 100).

d. Faktor Biokimia

Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak contohnya


epineprin, norepenieprin, dopamin dan serotonin sangat berperan
dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam
tubuh. Apabila ada stimulus dari luar tubuh yang dianggap
mengancam atau membahayakan akan dihantarkan melalui impuls
neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent.
Peningkatan hormon androgen dan norepineprin serta penurunan
serotonin dan GABA (Gamma Aminobutyric Acid) pada
cerebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya
perilaku agresif ( Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).

e. Brain Area Disorder

Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, siindrom otak,


tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan
sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).

2. Teori Psikogisa. Teori Psikoanalisa


Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat
tumbuh kembang seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya
ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak
mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yang
cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan
setelah dewasa sebagai komponen adanya ketidakpercayaan pada
lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman
dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang yang rendah. Perilaku agresif dan tindakan
kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri perilaku tindak
kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100 — 101)

b. Imitation, modelling and information processing theory

Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam


lingkungan yang mentolelir kekerasan. Adanya contoh, model
dan perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar
memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu
penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menontn tayangan
pemukulan pada boneka dengan reward positif ( semakin keras
pukulannya akan diberi coklat). Anak lain diberikan tontonan
yang sama dengan tayangan mengasihi dan mencium boneka
tersebut dengan reward yang sama (yang baik mendapat hadiah).
Setelah anak — anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-
masing anak berperilaku sesuai dengan tontnan yang pernah
dilihatnya (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 101).

c. Learning Theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah
saat menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respon ibu
saat marah ( Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 101).

2.2.2 Faktor Presipitasi1. Rentang respon

Respon adaptif Respon maladaptive Asertif Frustasi Pasif Agresif


PK Klien mampu mengungkapkan rasa marah tanpa menyalahkan
orang lain dan memberikan kelegaan. Klien gagal mencapai tujuan
kepuasan saat marah dan tidak dapat menemukan alternatifnya.
Klien merasa tidak dapat mengungkapkan perasaannya, tidak
berdaya dan menyerah. Klien mengekspresikan secara fisik, tapi
masih terkontrol, mendorong orang lain dengan ancamanPerasaan
marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang kontrol disertai amuk,
merusak lingkungan Gambar Rentang Respon Marah

2.3 Rentang Respon Adaptif dan Maladptif


a. Respon Adaptif
Respon adaprif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas
normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah
tersebut, respon adaptif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 96):1) Pikiran
logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan2) Persepsi akurat
adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
b. Respon Maladaptif
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan social
l2) Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari hati
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97).
2.4 Patway

Akibat...........................................................Resiko menciderai diri sendiri,


orang lain dan lingkungan

Masalah utama............................................. Perilaku Kekerasan

Penyebab .................................................... Faktor predisposisi dan


presipitasi

2.5 Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan
mempunyai dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang
berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat
bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya trifluoperasineestelasine, bila
tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer bukan obat anti psikotik
seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek
anti tegang,anti cemas,dan anti agitasi (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
b. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan
kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu
dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk
kegiatan seperti membaca koran, main catur dapat pula dijadikan media
yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau
berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi
ni merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap
rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program
kegiatannya (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
c. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat
membantu keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu
mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan,
memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan
keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada masyarakat.
Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah akan dapat
mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi
perilaku maladaptif (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku
maladaptif ke perilakuadaptif (pencegahan tersier) sehinnga derajat
kesehatan pasien dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal (Eko
Prabowo, 2014: hal 145).
d. Terapi somatik
Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic
terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan
mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan
melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien,terapi
adalah perilaku pasien (Eko Prabowo, 2014: hal 146).e. Terapi kejang
listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah
bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall
dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang menangani
skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah
setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) (Eko Prabowo, 2014: hal 146).
2.6 Pengkajian (secara teori)

1. Pengkajian fisik

2. Pemeriksaan Tanda vital

3. Melakukan wawancara terhadap pasien dan keluarga

2.7 Diagnosa Keperawatan (secara teori)


Diagnosis keperawatan dari pohn masalah pada gambar adalah sebagai berikut
(Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 106).
1. Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri dan orang lain

2.8 Intervensi (secara teori)


 Intervensi pada pasien
Pertemuan 1
1. Identifikasi penyebab, tanda dan gejala PK yang dilakukan
2. Jelaskan cara mengontrol PK: fisik, obat, verbal, spiritual
3. Latihan cara mengontrol PK secara fisik: tarik nafas dalam dan
pukul kasur dan bantal
4. Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik
Pertemuan 2
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik. Beri pujian
2. Latih cara mengontrol PK dengan obat (jelaskan 6 benar: jenis,
guna, dosis, frekuensi, cara, kontinuitas minum obat)
3. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan fisik dan minum obat
Pertemuan 3
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik & obat. Beri pujian
2. Latih cara mengontrol PK secara verbal (3 cara, yaitu:
mengungkapkan, meminta, menolak dengan benar)
3. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan fisik, minum obat
dan verbal
Pertemuan 4
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik & obat & verbal. Beri pujian
2. Latih cara mengontrol spiritual (2 kegiatan)
3. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan fisik, minum obat,
verbal dan spiritual
Pertemuan 5
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik1,2 & obat & verbal & spiritual. Beri
pujian
2. Nilai kemampuan yang telah mandiri
3. Nilai apakah PK terkontrol
 Intervensi pada keluarga
Pertemuan 1
1. Diskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien
2. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala, dan proses terjadinya PK
3. Jelaskan cara merawat PK
4. Latih satu cara merawat PK dengan melakukan kegiatan fisik: tarik
nafas dalam dan pukul kasur dan bantal
5. Anjukan membantu pasien sesuai jadwal dan memberi pujian
Pertemuan 2
1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat/melatih pasien fisik.
Beri pujian
2. Jelaskan 6 benar cara memberikan obat
3. Latih cara memberikan/membimbing minum obat
4. Anjurkan membantu pasien sesuai jadual dan memberi pujian
Pertemuan 3
1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat/melatih pasien fisik dan
memberikan obat. Beri pujian
2. Latih cara membimbing: cara bicara yang baik
3. Latih cara membimbing kegiatan spiritual
4. Anjurkan membantu pasien sesuai jadual dan memberikan pujian

Pertemuan 4
1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat/melatih pasien fisik,
memberikan obat, latihan bicara yang baik & kegiatan spiritual.
Beri pujian
2. Jelaskan follow up ke RSJ/PKM, tanda kambuh, rujukan
3. Anjurkan membantu pasien sesuai jadual dan memberikan pujian
Pertemuan 5
1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat/melatih pasien fisik,
memberikan obat, cara bicara yang baik & kegiatan spiritual dan
follow up. Beri pujian
2. Nilai kemampuan keluarga merawat pasien
3. Nilai kemampuan keluarga melakukan kontrol ke RSJ/PKM
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Perilaku kekerasan atau tindak kekerasan merupakan ungkapan perasaan
marah dan bermusuhan sebagai respon terhadap kecemasan/kebutuhan yang
tidak terpenuhi yang mengakibatkan hilangnya kontrol diri dimana individu
bisa berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan
3.2 SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas saran yang dapat kami buat yaitu untuk
lebih memperdalam lagi tentang asuhan keperawatan dengan resiko perilaku
kekerasan dan perilaku kekerasan karena dalam makalah kami tentunya
masih banyak kekurangannya.
DAFTAR PUSTAKA

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN


JIWA.Yogyakarta: Nuha Medika.

Mukhripah Damaiyanti. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Samarinda: Refka


Aditama.

Nuraenah. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dan Beban Keluarga dalam


Merawat Anggota dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di RS. Jiwa Islam
Klender Jakarta Timur, 29-37.

Sari, K. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta:


Trans info Media

Anda mungkin juga menyukai