Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH TELAAH JURNAL KEPERAWATAN JIWA

GEJALA PSIKOTIK BERAT PADA PASIEN COVID-19

DISUSUN OLEH :
Azel Tiara Dewi P1337420920191
Feti Millati Islami P1337420920141
Ratih Hastuti P1337420920022
Rickar Julio Hulukiti P1337420920038

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2021
DAFTAR ISI

Halaman Judul i
Daftar Isi iv
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 2

BAB II TINJAUAN TEORI 11

A. Kegawatdaruratan Psikiatri 11
1. Pengertian 13
2. Penatalaksanaan 14
3. Intervensi Psikososial Pada Kedaruratan Psikiatri 17
B. Teori Psikotik 17
1. Gangguan Psikotik 18
2. Gangguan psikotik pada pasien terinfeksi COVID-19 18
BAB III PEMBAHASAN 38
A. Ringkasan Kasus Kegawatdaruratan 38
B. Pembahasan 40
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 42

A. Kesimpulan 42
B. Saran 42

Daftar Pustaka 43
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gangguan mental emosional merupakan suatu keadaan yang mengidentifikasi


individu yang mengalami suatu perubahan emosional yang dapat berkembang
menjadi keadaan patologis apabila terus berlanjut. Gangguan mental emosional bisa
terjadi karena pandemi covid 19. Pandemi covid 19 merupakan bencana non alam
yang memberikan dampak permasalahan bagi masyarakat luas. Kondisi ini memberi
dampak fisik maupun psikologis bagi setiap individu, khususnya masyarakat yang
harus mengalami isolasi atau karantina covid 19. Masyarakat harus tinggal di rumah
khusus karantina karena dianggp tidak mampu melakukan karantina mandiri di rumah
dan berpotensi untuk menyebarkan covid 19. Hal ini bisa menyebabkan gngguan
mentl emosionl. Respon dari lingkungan masyarakat sekitar, terisolasi, berpisah dari
keluarganya di rumah, menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya gangguan mental
emosional. Respon yang muncul bisa bermacam-macam. Mulai dari sakit kepala,
kehilangan nafsu makan, tidur tidak nyenyak, merasa tegang, khawatir, maupun
cemas. Kondisi karantina (perbatasan gerak aktivitas) juga bisa menyebabkan
aktivitas sehari-hari menjadi terganggu

Ketika covid 19 muncul di Cina pada akhir 2019, sebagian besar warga di
karantina di rumah untuk mencegah penyebaran virus. Begitu juga di Indonesia.
Sampai saat ini kasus di Indonesia sudah mencapai 1.078.314 kasus terkonfirmasi,
175.095 kasus dalam perawatan, 873.221 kasus sembuh dan 29.998 kasus meninggal
dunia (Kemenkes RI, 2021). Pada kasus ini terdapat beberapa masyarakat yang
melakukan karantina secara mandiri di rumah, di tempat yang sudah disediakan oleh
pemerintah. Penelitian Tang (2020) yang mengeksplorasi prevalensi post traumatic
stress disorder dan depresi pada mahasiswa yang dikarantina di asrmw menunjukwn
hasil peningkatan pada gejala PTSD dan depresi.

Masalah gangguan emosional yang dialami oleh klien tidak hanya berasal dari
diri sendiri, tetapi juga dari lingkungan sekitar. Hal ini bisa menambah panjang
dampak dari pandemi Covid 19. Kondisi tersebut akan semakin memperburuk bila
tidak di deteksi sejak dini dan ditangani dengan baik (Sherchan, 2017). Gambaran
risiko gangguan Jiwa pada korban bencana alam gempa di Lombok Nusa Tenggara
Barat menunjukkan 75 responden mengalami gangguan neurosis, 26 responden
mengalami gejala psikosis dan 57 responden mengalami gejala PTSD (Post Traumatic
stress disorder) (Dwidiyanti, 2018). Penelitian tentang masalah kejiwaan pada
bencana alam sudah banyak dilakukan. Tetapi belum banyak penelitian pada klien
bencana non alam seperti Covid 19 ini. Penanganan pada klien Covid 19 masih
cenderung pada penanganan secara fisik. Padahal pada klien Covid-19 yang berada di
Rumah Karantina, secara umum kondisinya cukup baik, tanpa gejala. Justru keluhan
stres yang disampaikan karena harus berada di rumah karantina.

B. TUJUAN
1. Untuk merencanakan dan melakukan kegiatan penanganan masalah kesehatan
jiwa dan pencegahan gangguan mental emosional pada masyarakat terkait
pandemi Covid 19.
2. Gambaran gangguan mental emosional pada klien pandemi Covid 19 yang
berada di rumah Karantina.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Kegawatdaruratan Psikiatri
1. Pengertian
Berdasarkan konsensus yang dikembangkan oleh American Psychiatric
Association (APA) menyebutkan bahwa kedaruratan psikiatri adalah gangguan yang
bersifat akut, baik pada pikiran, perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan
intervensi segera yang didefinisikan oleh pasien, keluarga pasien, atau masyarakat
(Trent, 2013).
Tujuan pelayanan kedaruratan psikiatri adalah untuk : 1) memberikan perawatan
tepat waktu atas kedaruratan psikiatri, 2) adanya akses perawatan yang bersifat lokal
dan berbasis masyarakat, 3) menyingkirkan etiologi perilaku pasien yang mungkin
mengancam nyawa atau meningkatkan morbiditas medis, dan 4) berjalannya
kesinambungan perawatan (Allen et al., 2002; Sadock and Kaplan, 2009).
Proses evaluasi di kedaruratan psikiatri antara lain : 1) wawancara kedaruratan
psikiatri, 2) pemeriksaan fisik, dan 3) pemeriksaan penunjang. Hal-hal yang sebaiknya
dievaluasi pada pasien yang dirujuk ke bagian psikiatri adalah risiko bunuh diri, risiko
kekerasan (violence), dan penilaian psikososial. Hal-hal yang harus diperhatikan di
seting kedaruratan yaitu, 1) agitasi dan agresi, 2) withdrawal (lepas zat), 3) intoksikasi
zat, 4) kekerasan domestik, 5) kekerasan pada anak, 6) kekerasan pada lansia, dan 7)
perkosaan (Heriani, et al., 2010; Trent, 2013; Sadock and Kaplan, 2009).
2. Penatalaksanaan
Perawatan di kedaruratan psikiatri biasanya berfokus pada manajemen perilaku
dan gejala. Proses pengobatan dilakukan bersamaan dengan proses evaluasi (jika
pemberian terapi telah memungkinkan). Wawancara awal tidak hanya berfungsi untuk
memperoleh informasi diagnostik yang penting, tetapi juga untuk terapi. Dalam
melakukan proses evaluasi, bila fasilitas tidak memadai, dapat dilakukan perujukan
pada fasilitas kesehatan terdekat yang memiliki fasilitas yang cukup untuk
penatalaksanannya (Sadock and Kaplan, 2009; Trent, 2013).
Modalitas terapi yang digunakan untuk seting kedaruratan psikiatri antara
lain : 1) farmakoterapi, 2) seclusion (isolasi) dan restraint (fiksasi fisik), dan
3) psikoterapi (Knox dan Holloman, 2011; Riba et al.,2010; Sadock and Kaplan,
2009).
3. Intervensi Psikososial Pada Kedaruratan Psikiatri
Kedaruratan psikiatri memerlukan penatalaksanaan dalam waktu yang tepat dan
keahlian interpersonal. Suatu krisis merupakan kesempatan untuk membantu dan jika
memungkinkan melakukan perubahan, sehingga suatu pelayanan krisis tidak hanya
sesederhana mengumpulkan data dan mengirim pasien ke tempat lain, namun
diperlukan suatu proses interpersonal yang terjadi antara pasien dan staf di kedaruratan
(Allen et al., 2002).
Intervensi psikososial secara umum berupa beberapa bentuk psikoterapi,
pelatihan sosial, dan pelatihan vokasional. Penatalaksanaan ini sangat bermanfaat
untuk menyediakan dukungan, edukasi, dan panduan kepada orang-orang yang
mengalami gangguan mental beserta keluarganya. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa salah satu manfaat dari terapi ini adalah dapat membantu individu mengurangi
efek negatif dari gangguan yang dideritanya dan meningkatkan fungsi hidupnya
(tampak melalui sedikitnya waktu hospitalisasi, dan kurangnya kesulitan dalam
mengerjakan kegiatan di rumah, sekolah, atau pekerjaannya) (Duckworth K. dan
Freedman J., 2012).
Pada seting kedaruratan, tujuan intervensi psikososial adalah untuk keamanan
pasien, melakukan penilaian, jika memungkinkan untuk dilakukan fasilitasi terhadap
perubahan meski sedikit namun bermakna pada kondisi diri pasien (Allen et al.,
2002).
Komponen atau fase intervensi psikososial di kedaruratan psikiatri yaitu :

a. Membangun Hubungan (Building an Alliance)

Berartinya suatu wawancara tergantung dari sifat hubungan terapis dengan


pasien. Agar wawancara dapat menghasilkan data yang dapat diandalkan
(reliable), hendaknya senantiasa diusahakan menciptakan dan memelihara
hubungan yang optimal antara dokter dengan pasien. Wawancara tidak dapat
dipisahkan antara sifat terapeutik dan penegakan diagnosis. Meski beberapa staf
profesional telah memiliki intuisi bagaimana membangun suatu hubungan dengan
pasien, beberapa teknik berikut ini dapat bermanfaat yaitu : memenuhi kebutuhan
pasien, gunakan pertanyaan alliance-building pada fase awal penilaian dan tunda
pertanyaan yang bersifat alliance-deflecting, menunjukkan empati, bantu pasien
mengungkapkan aspek emosional yang tidak menyenangkan pada saat perujukan
atau saat terapi sebelumnya, dan secara langsung atau tidak langsung menanyakan
perasaan pasien mengenai terapi atau sakit yang dialaminya (Allen et al., 2002;
Elvira, 2005).

b. Menghadapi Krisis Melalui Proses Stabilisasi dan Intervensi

Intervensi krisis adalah suatu metode yang diberikan segera pada seseorang
yang mengalami suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan gangguan pada mental
dan fisik. Secara ringkas tujuan dari intervensi krisis adalah (1) stabilisasi, (2)
meredakan tanda dan gejala akut dari distres, dan
(3) restorasi dari fungsi adaptasi independen jika mungkin atau fasilitasi akses
menuju ke perawatan lebih lanjut (Dass-Brailsford, 2007; Roberts, 2005).
Prinsip intervensi krisis menggunakan model ABC, yang dimulai dari
mengidentifikasi persepsi pasien terhadap kejadian yang memicu krisis. Intervensi
ini baik jika dimulai dalam 4-6 minggu terjadinya krisis. Model ABC merupakan
proses intervensi 3 tahap, terdiri dari A = Achieving Rapport (membangun
hubungan), B = Beginning of Problem Identification (mulai mengidentifikasi
problem yang terjadi), dan C = Coping. Model ini digunakan dengan tujuan
mengembalikan individu kepada level fungsinya sebelum krisis (Khouzam et al.,
2007).

c. Melakukan Psikoterapi (Therapy Work)

Fase ketiga pada intervensi psikososial adalah pengenalan psikoterapi dan


kemudian memulai melakukan psikoterapi tersebut. Tantangan dalam
mengenalkan elemen psikoterapi di seting kedaruratan adalah banyak karakteristik
terapi yang biasanya dilakukan di klinik tidak dapat dilakukan di seting
kedaruratan, hal ini karena lingkungan kedaruratan yang berisik, privacy minimal,
tuntutan kerja staf profesional IRD yang bertumpang tindih sehingga
membingungkan pasien, dan dibutuhkan waktu yang cepat untuk membangun
hubungan terapeutik (Allen et al., 2002).

Secara umum terdapat tiga karakteristik terapi yang dapat diaplikasikan di


seting kedaruratan psikiatri, yaitu perilaku (behavioral), kognitif, dan dinamik.
Psikoedukasi, pendekatan keluarga dan kultur juga penting, namun hanya
dipandang sebagai modifikasi pada awal wawancara. Mayoritas pasien akan
mendapatkan medikasi, yang dapat meningkatkan efisiensi dan keamanan
intervensi psikoteraputik, serta diperlukan pasien dalam kondisi tidak tersedasi
atau terganggu karena efek samping obat (Allen et al., 2002).

Berikut ini adalah penatalaksanaan intervensi psikososial pada kedaruratan


psikiatri tertentu, yaitu :

a. Agitasi

Strategi klinis inti untuk mengelola agitasi adalah penggunaan strategi


interpersonal yang menekankan teknik intervensi verbal atau perilaku. Terdapat
metode untuk intervensi verbal yang disebut “verbal deescalation”. Pendekatan ini
merupakan langkah awal untuk mengatasi pasien agitasi, mencakup respon verbal
dan non verbal yang digunakan untuk meredakan atau mengurangi situasi yang
potensial terjadi kekerasan (Trent, 2013; Velayudhan & Mohandas, 2009).

b. Bunuh Diri

Pilihan terapi yang akan dilakukan berdasarkan penilaian risiko bunuh diri
yang didapatkan melalui evaluasi psikiatrik. Tujuan intervensi psikososial
termasuk mencapai perbaikan dalam hubungan interpersonal, keterampilan
coping, fungsi psikososial, dan manajemen afek. beberapa konsensus klinis yang
menunjukkan bahwa intervensi psikososial dan psikoterapeutik spesifik memiliki
manfaat untuk mengurangi risiko bunuh diri (Jacobs dan Brewer, 2004; Jacobs et
al., 2003).

Klinisi hendaknya memperhatikan isu-isu di bawah ini untuk perencanaan


penatalaksanaan segera, yaitu : 1) Do no harm. Jangan berikan medikasi kepada
pasien yang mempunyai potensi toksik dan overdosis. 2) Hindarkan pasien dari
hal-hal dan benda-benda berbahaya yang bisa menyebabkan bunuh diri berulang.
3) Berikan harapan kepada pasien. Klinisi hendaknya mencoba untuk membantu
pasien memahami problemnya dan membantu untuk penyelesaiannya (Allen et
all., 2002; Riba et all., 2010).

c. Kekerasan Domestik

Intervensi terhadap pasien yang mengalami kekerasan domestik yang dibawa


ke IRD adalah memfasilitasi secara independen, melakukan formulasi untuk
„exit-plan‟, edukasi pasien, serta konseling dan kelompok pendukung (Khouzam
et al., 2007).
Gambar 1: Domestic Violence and Abuse Overview (NICE, 2014).

Identifying, preventing, and reducing


domestic violence and abuse

Plan services

Training

Work in partnership to prevent Health and social care Training and referral pathway
domestic violence and abuse professionals for GP practices and other
agencies

Develop an integrated commissioning


strategy

Remove obstacles to people disclosing


Commission and evaluate programs Establish
domesticintegrated care
violence and pathways
abuse
for perpetrators and information sharing protocols

Identify, and when necessary, refer children


and young people at risk

Ask about domestic violence and ensure


formal referral pathways are in place

Provide children and young people at


Provide tailored support and advocacy risk with specialist services

Support people with mental


health conditions

d. Perkosaan

Pemeriksaan hendaknya dilakukan oleh staf profesional yang telah


memiliki kemampuan untuk tidak hanya melakukan pemeriksaan menyeluruh
namun juga mampu mengumpulkan bukti-bukti yang ada pada pasien. Pasien juga
sebaiknya juga didampingi oleh konselor krisis atau advokat selama proses
pemeriksaan evaluasi. Sesi awal intervensi psikoterapi mencakup unsur-unsur
exposure therapy dan cognitive restructuring, membantu pasien mengenai respon
stres, meminimalkan pasien menghindari kenangan yang menyakitkan, dan
memaksimalkan reintegrasi ke dalam rutinitas kehidupan. Krisis intervensi pada
pasien korban perkosaan menjadi intervensi yang bersifat cepat, singkat, dan
fokus, serta dirancang untuk menstabilkan individu dan membantu mereka
mengatasi situasi. Terapi segera diperlukan untuk membantu pasien dalam
memperbaiki distorsi persepsi, mengurangi rasa bersalah, menggunakan koping
yang efektif, dan memfasilitasi korban untuk hubungan sosial yang lebih luas serta
dukungan dari keluarga (Riba et all., 2010; Mezey, 1997).

e. Kekerasan Pada Anak (Child Abuse)

Evaluasi dilakukan secara komprehensif dan penatalaksaan awal atau


melakukan perujukan yang sesuai pada anak yang mengalami kekerasan untuk
meminimalisir konsekuensi jangka panjang akibat kekerasan yang dialaminya.
Anak yang mengalami kekerasan seksual beserta keluarganya memerlukan
penatalaksanaan yang profesional. Psikiater dapat membantu mengembalikan rasa
harga diri anak, menghadapi perasaan bersalah karena kekerasan yang dialaminya,
dan memulai proses untuk mengatasi trauma anak. Penatalaksanaan yang baik
dapat mengurangi risiko masalah pada anak berkembang menjadi lebih serius
pada saat telah dewasa. Untuk orang tua anak dapat dilakukan terapi yang bersifat
mendukung, dilakukan pelatihan orang tua, dan manajemen marah. Dukungan dari
orang tua, sekolah, dan teman sebaya merupakan hal yang sangat penting untuk
menciptakan perasaan aman pada anak (Khouzam et al., 2007; Guerrero dan
Piasecki, 2008).

f. Kekerasan Pada Lansia (Elder Abuse)

Penatalaksanaan segera difokuskan pada penanganan manifestasi fisik akibat


kekerasan yang dialami lansia dan menjamin keamanan pasien. Tujuan intervensi
adalah agar lansia tersebut mampu mempertahankan kemandiriannya seaman
mungkin. Harus dilakukan evaluasi terhadap kelangsungan program, terapi fisik,
bantuan kesehatan di rumah, dan alat bantu seperti kursi roda, alat bantu dengar,
dan kacamata. Klinisi di IRD juga hendaknya berkonsultasi dengan tim
multidisipliner dari pekerja sosial yang ada, klinisi lain, perawat, dan
administrator untuk penanganan kasus ini. Tujuan akhir penatalaksanaan adalah
agar para lansia dapat memuaskan dan menikmati hidupnya. Melaporkan
kekerasan tergantung pada hukum lokal yang berlaku, status klinis, dan derajat
kemandirian atau disfungsi korban kekerasan (Khouzam et al., 2007).

B. TEORI PSIKOTIK
1. Gangguan Psikotik
Gangguan psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya
halusinasi, waham, perilaku kataton, perilaku kacau, pembicaraan kacau yang pada
umumnya disertai tilikan yang buruk. Waham atau delusi adalah kepercayaan yang
salah, berdasarkan simpulan yang salah tentang kenyataan eksternal, yang dipegang
teguh meskipun apa yang diyakini semua orang merupakan bukti-bukti yang jelas dan
tak terbantahkan. Psikotik merupakan bentuk kekalutan mental yang ditandai adanya
disintegrasi kepribadian (kepecahan kepribadian) dan terputusnya hubungan dirinya
dengan realitas. Jenis-jenis psikotik dibagi menjadi 2 yakni psikotik organik dan
fungsional.
Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh gangguan menilai realitas.
Psikotik terdiri dari beragam jenis antara lain skizofrenia, skizoafektif, gangguan
waham menetap, bipolar dengan ciri psikotik, depresi dengan ciri psikotik. Psikotik
akut dan sementara juga merupakan gangguan yang sama, tetapi merupakan gangguan
yang akut dan mempunyai prognosis lebih baik.
2. Gangguan Psikotik pada pasien terinfeksi COVID-19
Sampai saat ini, penelitian psikiatri terutama difokuskan pada dampak emosional
dari pandemi korona virus pada populasi umum dan petugas kesehatan. Reaksi psiko-
logis, seperti depresi, kecemasan, serangan panik dan gejala pasca trauma, telah
dijelaskan (Spoorthy, 2020). Gejala psikotik onset baru telah telah dijelaskan pada
pasien yang terinfeksi oleh virus korona sebelumnya, seperti SARS-CoV dan MERS-
CoV, dengan mempertimbangkan kemungkinan faktor etiologi pajanan virus,
perawatan yang digunakan untuk mengelola infeksi, dan stres psikososial. Dengan
demikian, tidak mengherankan melihat SARS-CoV-2 mengikuti tren yang sama.
Faktanya, beberapa gejala neurologis akut telah dijelaskan pada pasien rawat inap
yang terkena novel coronaviru, serta gejala psikotik dalam beberapa makalah terbaru
(Ferrando et al., 2020; Varatharaj et al., 2020).
Pasien yang debut psikosisnya tidak didahului dengan pengobatan / manifestasi
COVID-19 dapat menjadi contoh episode psikotik primer yang dipicu oleh stres,
dengan prognosis yang lebih buruk karena skizoid premorbid. ciri kepribadian.
Namun, sisanya akan sesuai dengan episode psikotik sekunder karena beberapa
alasan:
1. Tidak adanya faktor predisposisi seperti riwayat keluarga dengan penyakit mental
yang parah atau penyalah gunaan zat.
2. Usia atipikal saat debut.
3. Onset gejala psikotik subakut (kurang dari satu minggu) dan pemulihan cepat
(maksimal 2 minggu) pada dosis antipsikotik rendah.
4. Adanya kebingungan bercampur dengan gejala psikotik yang khas. Mekanisme
patogen yang mendasari manifestasi psikiatri yang diamati masih belum jelas dan
bisa multifaktorial.
Delusi terstruktur yang bercampur dengan ciri-ciri kebingungan adalah
manifestasi kejiwaan yang paling sering diamati pada pasien COVID-19 yang diteliti.
Dalam kebanyakan kasus, gejala psikotik dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme
patologis, yang meliputi efek langsung virus ke SSP, efek tidak langsung (oleh reaksi
inflamasi, gangguan metabolisme, hipoksia) dan efek samping pengobatan
farmakologis yang digunakan virus. Studi yang lebih besar harus dilakukan untuk
terus mengeksplorasi pertanyaan ini.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Ringkasan Kasus Kegawatdaruratan

Covid -19 tidak hanya menyerang sistem pernafasan. Pada tanggal 6 Januari

2021 CNN Indonesia mengabarkan bahwa sejumlah dokter melaporkan terjadi gejala

psikotik berat pada pasien yang terinfeksi COVID-19. Dokter psikiatri asal amerika

serikat menjelaskan bahwa seseorang pasien yang dirawat karena COVID-19 telah

mengalami halusinasi yang dibuktikan dengan pengakuan pasien yang mengatakan

bahwa ia melihat anak-anaknya dibunuh secara kejam dan pasien tersebut juga sudah

memiliki rencana untuk membunuh mereka. Sebulan kemudian pasien tersebut

dinyatakan sembuh tetapi, sesampai dirumah pasien tersebut mendengar bisikan untuk

melakukan percobaan bunuh diri dan membunuh anak-anaknya. Sejumlah dokter juga

melaporkan bahwa pasien yang mengalami halusinasi saat perawatan COVID-19

tidak memiliki riwayat gangguan jiwa.

B. Pembahasan

COVID-19 tidak hanya memicu ketakutan yang luas terhadap infeksi, tetapi

juga memengaruhi kesehatan mental di kalangan umum. Baru-baru ini, COVID-19

telah memicu kecemasan, dan penyebaran virus telah menyebabkan semua


perkembangan ekonomi menjadi terhambat, yang berdampak pada kesehatan mental.

Para tenaga kesehatan yang merawat pasien selama krisis ini rentan tidak hanya

terhadap infeksi, tetapi juga tekanan psikologikal, karena morbiditas dan kematian,

dan permintaan akan kualitas pelayanan (Ferrando et al., 2020).

Pengobatan atau perawatan COVID-19 meliputi terapi oksigen, imunoterapi,

penghambat virus, terapi antikoagulan, penekanan sitokin dan bakteri. Tetapi salah

satu faktor keberhasilan pengobatan tersebut adalah kesehatan mental pada pasien

yang terinfeksi. Pasien yang mengalami gangguan pada kesehatan mental dan jiwa

dapat mempengaruhi kondisi klinis saat perawatan. Hal ini menjadi tugas tenaga

kesehatan dalam perawatan pasien COVID-19 (Li, Li, & Wang, 2020)

Menurut penelitian De Sousa, Mohandas, & Javed, 2020 upaya pertama dalam

mengatasi gangguan jiwa dan mental pada pasien COVID-19 adalah keakuratan

diagnosis gangguan kejiwaan. Sangat penting ketika pasien mengunjungi psikiater

yang memiliki masalah psikologis selama COVID-19. Tenaga kesehatan harus

waspada dan berhati-hati dalam diagnosis yang dibuat. Mungkin ada banyak pasien

dengan gejala kecemasan berhubungan dengan keadaan saat ini atau dalam keadaan

depresi akibat faktor psikososial dan karantina. Keakuratan dalam mendiagnosis

sangat diperlukan sehingga intervensi dapat direncanakan terlebih dahulu. Hal ini

dapat mencegah masyarakat atau pasien mengalami gangguan jiwa dan mental.

De Sousa, Mohandas, & Javed juga menjelaskan bahwa akses mental health

care, ketersediaan psikofarmakologi, kebutuhan populasi khusus, pemulihan iman,

telepsikiatri dan media edukasi mengenai kesehatan jiwa pada masa COVID-19 perlu

ditingkatkan sehingga pasien COVID-19 tidak mengalami gangguan pada kesehatan

jiwa dan mentalnya yang pada akhirnya tidak memperburuk kondisi klinis pasien.

Selain itu CBT (Cognitive Behavioral Therapy), terapi musik, mobile phone yang
tersambung pada psikiater, dukungan psikososial dan self help berbasis internet dapat

mengatasi dan mengurangi tingkat stres, depresi, kecemasan dan meningkatkan

kualitas tidur (Soklaridis, Lin, Lalani, Rodak, & Sockalingam, 2020).


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Sebagai tenaga kesehatan khususnya perawat yang merawat pasien selama

pandemi covid-19 ini tidak hanya rentan terhadap infeksi, tetapi juga permintaan akan

kualitas pelayanan. Disisi lain perawat juga harus memberikan media edukasi

mengenai kesehatan jiwa selama pandemi COVID-19 ini, sehingga perlu ditingkatkan

perawatan pasien COVID-19 agar tidak mengalami gangguan pada kesehatan jiwa

dan mentalnya yang pada akhirnya tidak memperburuk kondisi klinis pasien.

Upaya pertama dalam mengatasi gangguan jiwa dan mental pada pasien

COVID-19 adalah keakuratan dalam mendiagnosis gangguan kejiwaan, di era

pandemi ini penting bagi pasien yang mengalami masalah psikologis mendapatkan

terapi untuk mengatasi dan mengurangi tingkat stress, depresi, kecemasan.

B. SARAN

Untuk mengatasi pasien yang mengalami gangguan jiwa dan mental di era

pandemi COVID-19 ini, disini kami sebagai penulis menyarankan agar diberikan

media edukasi dan terapi non farmakologi berupa terapi CBT (Cognitive Behavioral

Therapy), terapi musik, mobile phone yang tersambung pada psikiater, dukungan

psikososial dan self help berbasis internet.


DAFTAR PUSTAKA

Allen H, et al., 2002, Emergency Psychiatry (Review of Psychiatry Series, Vol 21, Number 3,
American Psychiatric Publishing, Inc., Washington DC.

Dass-Brailsford, P 2007, ‘Crisis interventions’, in A practical approach to trauma:


empowering interventions, Sage Publication, California, pp 93-109.

De Sousa, A., Mohandas, E., & Javed, A. (2020). Psychological interventions during

COVID-19: Challenges for low and middle income countries. Asian Journal of

Psychiatry, 51(April), 102128. https://doi.org/10.1016/j.ajp.2020.102128

Duckworth K. dan Freedman J., 2012, Psychosocial Treatments, Review article, National
Alliance on Mental Illness, www.nami.org

Dwidiyanti, M., Hadi, I., Wiguna, R. I., & Ningsih, H. E. W. (2018). Gambaran Risiko
Gangguan Jiwa pada Korban Bencana Alam Gempa di Lombok Nusa Tenggara Barat.
Holistic Nursing and Health Science. https://doi.org/10.14710/hnhs.1.2.201 8.82-91
Elvira S. D., 2005, Kumpulan Makalah Psikoterapi, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Indonesia, Jakarta.

Ferrando, S. J., Klepacz, L., Lynch, S., Tavakkoli, M., Dornbush, R., Baharani, R., … Bartell,

A. (2020). COVID-19 Psychosis: A Potential New Neuropsychiatric Condition

Triggered by Novel Coronavirus Infection and the Inflammatory Response?

Psychosomatics, 61(5), 551–555. https://doi.org/10.1016/j.psym.2020.05.012

Guerrero Anthony dan Piasecki Melissa (ed), 2008, Problem-Based Behavioral Science and
Psychiatry, Springer Science and Business Media, New York.

Heriani, Kusumadewi Irmia, Siste Kristiani, 2010, Kedaruratan Psikiatri dalam Buku Ajar
Psikiatri, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Jacobs D and Brewer M, 2004, APA Practice Guideline Provides Recommendations for
Assesing and Treating Patients With Suicidal Behaviours, Psychiatric Annals 34:5
halaman 373-380.

Jacobs D. G., Baldessarini R. J., Conwell Y., Fauwcett J. A., Horton L., Meltzer H., Pfefer C.
A., Simon R. I., 2003, Practice Guideline for The Assesment and Treatment of Patients
With Suicidal Behaviors, Psychiatry Online.
Kementrian Kesehatan RI, (2020). Pedoman Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada
Pandemi Covid 19. Jakarta
Kementrian Kesehatan RI, (2021). Prevalensi Covid 19. Jakarta
Khouzam H.R., Gill T.S., Tan D.T., 2007. Handbook of Emergency Psychiatry. Elsevier’s
Health Science, Philadelphia.

Knox D.K. dan Holloman G.H., 2011, Use and Voidance of Seclusion and Restraint:
Consensus Statement of The American Association for Emergency Psychiatry Project
BETA Seclusion and Restraint Workgroup, West J Emerg Med Vol 13 Issue 1.

Li, X., Li, T., & Wang, H. (2020). Treatment and prognosis of COVID-19: Current scenario

and prospects (Review). Experimental and Therapeutic Medicine, 20(6), 1–1.

https://doi.org/10.3892/etm.2020.9435

Mezey G. C., 1997, Treatment of Rape Victims, Advances in Psychiatric Treatment vol. 3
halaman 197-203.

National Institute for Health and Care Exellence, 2014, Violence Overview, www.
pathways.nice.org.uk

Riba M.B, Ravindranath D., 2010, Clinical Manual of Emergency Psychiatry 1st ed.
American Psychiatric Publishing Inc., Washington DC.

Sadock BJ, Kaplan HI, Sadock VA, 2009, Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry: Other Psychiatric Emergencies. 9th ed., Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia.

Sherchan, S., Samuel, R., Marahatta, K., Anwar, N., Van Ommeren, M. H., & Ofrin, R.
(2017). Post-disaster mental health and psychosocial support: Experience from the 2015
Nepal earthquake. WHO South-East Asia Journal of Public Health.
https://doi.org/10.4103/2224- 3151.206160
Soklaridis, S., Lin, E., Lalani, Y., Rodak, T., & Sockalingam, S. (2020). Mental health

interventions and supports during COVID- 19 and other medical pandemics: A rapid

systematic review of the evidence. General Hospital Psychiatry, 66(January), 133–146.

https://doi.org/10.1016/j.genhosppsych.2020.08.007

Tang, W., Hu, T., Hu, B., Jin, C., Wang, G., Xie, C., Chen, S., & Xu, J. (2020). Prevalence
and correlates of PTSD and depressive symptoms one month after the outbreak of the
COVID-19 epidemic in a sample of home-quarantined Chinese university students.
Journal of Affective Disorders. https://doi.org/10.1016/j.jad.2020.05. 009
Trent James, 2013, „A Review of Psychiatric Emergencies‟, CME Resource, Sacramento,
California. Velayudhan R dan Mohandas E, 2009, Emergencies in Psychatry, Calicut
Medical Journal 2009; 7(4):e3.

Velayudhan R dan Mohandas E, 2009, Emergencies in Psychatry, Calicut Medical Journal


2009; 7(4):e3.

Anda mungkin juga menyukai