Anda di halaman 1dari 22

Makalah Perubahan dan Pengkajian

Pada Sistem Pendengaran Lansia

Anggota Kelompok FG 2:

Alifa Putri (1606885795)


Almaniera Athaya L. Z. (1606885252)
Hanny Aurelya A. M. (1606881802)
Khamarudin (1606825770)
Saskia Azizah (1606825442)

Keperawatan Gerontik Kelas C


Fakultas Ilmu keperawatan
Universitas Indonesia
Depok
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
karunia-Nya yang diberikan, penulis dapat menyelesaikan Makalah Keperawatan
Gerontik. Makalah membahas “Perubahan dan Pengkajian Pada Sistem Pendengaran
Lansia”. Makalah ini kami buat sebagai syarat tugas Mata Kuliah Keperawatan
Gerontik pada semester genap 2018-2019.
Makalah ini disusun berdasarkan studi literatur. Penyusunan makalah ini,
penulis tentu memiliki banyak kekurangan, baik dari penulisan makalah ini maupun
dari segi isinya. Oleh karena itu, kritik dan saran akan penulis terima dengan senang
hati untuk perbaikan tugas yang akan datang.
Terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang membantu menyusun
makalah ini. Terima kasih juga kami berikan kepada Ns. Widyatuti, SKp., MKes.,
Sp.Kom sebagai fasilitator Keperawatan Gerontik Kelas C. Akhir kata, kami
mengharapkan agar makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca.

Depok, 11 April 2019

` Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 4

1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 5

1.3 Tujuan ............................................................................................................. 6

1.4 Metode Penulisan ........................................................................................... 6

1.5 Sistematika Penulisan...................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 7

2.1 Perubahan Fisiologis Pada Sistem Pendengaran Lansia ................................ 7

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Pendengaran Lansia .............................. 8

2.3 Gangguan Patologis Sistem Pendengaran Lansia: Presbycucis dan Tinnitus 9

2.4 Dampak Gangguan Sistem Pendengaran Lansia .......................................... 13

2.5 Pengkajian Pada Sistem Pendengaran Pada Lansia...................................... 14

2.6 Komunikasi dan Peran Perawat Mengatasi Gangguan Pendengaran Lansia 18

BAB III PENUTUP .................................................................................................... 20

3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 20

3.2 Saran ............................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia mengalami berbagai perubahan dalam hidupnya. Miller (2015)
mengungkapkan bahwa seiring bertambahnya usia, kerja imun dan neuroendoktrin
mengalami penurunan. Sehingga memasuki usia lansia, berbagai perubahan pada
sistem tubuh dapat terjadi. Salah satu perubahan yang dapat pada sistem tubuh lansia
yaitu sistem pendengaran. Touhy dan Jett (2014) mengungkapkan bahwa dimulai dari
usia 40-59 tahun terjadi penurunan kemampuan sistem pendengaran sebanyak 20,6%,
dan pada usia 80 tahun lansia telah kehilangan sistem pendengarannya sebanyak 90%.
Perubahan pada bagian sistem pendengaran lansia dapat terjadi pada telinga bagian
luar, telinga bagian tengah dan telinga bagian dalam, maupun sistem saraf auditori
(Miller, 2015). Perubahan yang terjadi ini membuat lansia rentan terhadap gangguan
pendengaran.

Gangguan pendengaran pada lansia dikategorikan menjadi dua jenis berdasarkan


letak kerusakan organnya yaitu konduktif dan sensorineural. Gangguan pendengaran
konduktif terjadi apabila terjadi perubahan pada telinga bagian luar dan tengah.
Sedangkan sensorineural dapat terjadi apabila terjadi perubahan pada telinga bagian
dalam. Salah satu gangguan yang terjadi akibat terjadinya perubahan telinga bagian
dalam pada lansia yaitu presbycubis (Miller, 2015; Tabloski, 2014). Menurut Aspiani
(2014) sebanyak 50% gangguan pendengaran ini terjadi pada orang dengan usia 65
tahun. Berbagai gangguan yang terjadi berkaitan dengan faktor yang memicu
penurunan pada sistem pendengaran lansia.

Seseorang terkadang tidak menyadari bahwa dirinya memiliki berbagai faktor


yang dapat menurunkan fungsi sistem pendengarannya. Hal ini berkaitan dengan faktor
gaya hidup dan lingkungan lansia itu sendiri. Faktor gaya hidup dan lingkungan
tersebut antara lain paparan polusi suara, kebiasaan menggunakan earphone terlalu

4
lama, perokok pasif maupun aktif serta zat kimia. Sehingga faktor gaya hidup dan
lingkungan tersebut dapat merusak saraf-saraf pendengaran dan organ pendengaran.
Selain itu faktor-faktor lain yang dapat menurunkan fungsi pendengaran yaitu
penumpukan cerumen, medikasi, dan patologis (Korotky, 2012; Miller, 2015). Apabila
faktor-faktor tersebut hingga menyebabkan gangguan pendengaran, berbagai aspek
dapat dialami lansia sebagai dampak terjadinya gangguan fungsi pendengaran. Aspek
tersebut antara lain aspek komunikasi, aspek kualitas hidup, aspek psikososial, dan
aspek kognitif.

Berbagai faktor dan dampak di atas menunjukkan bahwa lansia membutuhkan


penangangan dan perhatian khusus terutama oleh perawat terkait dengan gangguan
patologis pada sistem pendengarannya. Hal ini dimulai dengan bagaimana perawat
melakukan pengkajian keperawatan untuk menilai penurunan fungsi pendengaran
lansia. Kemudian juga mengenai bagaimana berkomunikasi dan peran perawat dalam
asuhan keperawatan terhadap lansia dengan gangguan pendengaran. Oleh karena itu,
pada makalah ini akan membahas mengenai perubahan sistem pendengaran lansia,
faktor yang mempengaruhi, gangguan patologis dan dampak yang muncul, serta
pengkajian pada sistem pendengaran pada lansia. Kemudian mengenai komunikasi dan
peran perawat dalam mengatasi gangguan pendengaran lansia

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja perubahan yang terjadi pada pendengaran lansia?
2. Sejak kapan lansia mengalami penurunan pendengaran?
3. Bagaimana proses penurunan pendengaran pada lansia?
4. Adakah teori menua yang berhubungan dengan penurunan fungsi dengar pada
lansia?
5. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi penurunan pendengaran lansia?
6. Apa saja gangguan patologis yang sering terjadi pada lansia?
7. Apakah dampak yang dirasakan lansia dari penurunan pendengaran yang
dialaminya?

5
8. Apa saja pengkajian yang diperlukan untuk menilai fungsi pendengaran pada
lansia?
9. Bagaimana cara berkomunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan
pendengaran?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui perubahan fisiologis sistem pendengaran yang terjadi pada lansia.
2. Mengetahui faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi fungsi
pendengaran lansia.
3. Mengetahui gangguan patologis pada sistem pendengaran yang sering terjadi
pada lansia.
4. Mengatahui dampak yang dialami lansia akibat penurunan pendengaran yang
dialaminya.
5. Mengetahui jenis pengkajian yang dapat dilakukan untuk menilai fungsi
pendengaran pada lansia.
6. Mengetahui cara berkomunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan
pendengaran.

1.4 Metode Penulisan


Makalah ini dibuat menggunakan metode studi literatur dari berbagai sumber
seperti buku wajib, artikel pemerintah, dan jurnal. Penulis menganalisis konsep dan
teori dari berbagai sumber tersebut untuk disintesis secara keseluruhan.

1.5 Sistematika Penulisan


Makalah ini tersusun atas tiga bab yang terdiri dari bab 1 hingga bab 3. Bab 1
menjabarkan pendahuluan. Bab 2 menjelaskan tinjauan pustaka yang merupakan hasil
studi literatur mengenai perubahan fisoiologis pendengaran pada lansia serta faktor
yang mempengaruhinya, gangguan patologis yang dialami, cara menilai fungsi
pendengaran, dan cara berkomunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan
pendengaran. Bab 3 berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Fisiologis Pada Sistem Pendengaran Lansia


Semakin bertambahnya usia, semakin banyak perubahan yang terjadi pada
manusia. Salah satu perubahan yang dapat terjadi yaitu perubahan fisiologis.
Perubahan yang terjadi dapat memberikan efek pada salah satu kesehatan tubuh yaitu
kesehatan pendengaran. Pendengaran merupakan persepsi saraf mengenai energi suara
dimana telinga berfungsi untuk mendeteksi suara sedangkan sistem saraf pusat dan otak
berfungsi dalam pengenalan dan interpretasi suara. Sehingga dalam hal ini bukan hanya
telinga saja yang berperan untuk mendengar melainkan terdapat peran saraf dan otak
(Jennifer, 2012). Pada sistem sensori khususnya sistem pendengaran pada lansia,
terjadi berbagai perubahan yaitu pada bagian telinga luar, telinga tengah, dan telinga
dalam, serta sistem saraf auditori.
Telinga bagian luar mengalami beberapa perubahan. Telinga bagian luar terdiri
dari pinna dan kanal auditori eksternal. Pada pinna terjadi perubahan ukuran, bentuk,
dan fleksibilitas serta terjadi pertumbuhan rambut seiring bertambahnya usia. Namun
perubahan yang terjadi tidak berefek pada konduksi gelombang suara. Selain itu, pada
kanal auditori eksternal terjadi penipisan dan pengeringan kulit yang melapisi kanal.
Rambut di kanal juga mengalami pertumbuhan yang lebih panjang dan lebih tebal
terutama pada pria. Pada lansia juga dapat terjadi peningkatan konsentrasi keratin dan
penurunan aktivitas kelenjar keringat sehingga memungkinkan peningkatan
penumpukan dan pengerasan cerumen (Aspiani, 2014; Miller, 2012). Perubahan yang
terjadi pada kanal dapat berakibat pada terjadinya gangguan konduksi suara. Selain itu,
pada kanal telinga lansia juga dapat terjadi prolaps dan kolap yang berefek pada
persepsi suara frekuensi tinggi (Miller, 2012).
Perubahan juga dapat terjadi pada telinga bagian tengah yaitu pada membran
timpani, tiga tulang pendengaran, otot dan ligamen telinga tengah. Pada membran
timpani terjadi perubahan jaringan elastis ke jaringan kolagen. Hal ini menyebabkan

7
gendang telinga menjadi lebih tipis dan kaku. Membran timpani juga dapat mengalami
atropi sehingga menyebabkan otosklerosis (Aspiani, 2014). Selain itu, pada tiga tulang
pendengaran terjadi kalsifikasi tulang osikular yang berdampak pada terganggunya
transmisi vibrasi suara dari membran timpani ke jendela oval. Sedangkan pada otot dan
ligamen telinga tengah menjadi lemah dan kaku. Hal ini akan berefek pada penurunan
fungsi refleks akustik (Miller, 2012).
Perubahan juga dapat terjadi pada telinga dalam dan sistem saraf auditori. Pada
telinga bagian dalam terjadi penurunan suplai darah, produksi endolimfa dan
fleksibilitas membran basal serta hilangnya sel rambut. Perubahan selanjutnya yaitu
terjadinya degenerasi pada sel ganglio spiral dan hilangnya neuron dalam nuklei
koklea. Perubahan pada telinga bagian dalam ini mengakibatkan gangguan
pendengaran degeneratif yang disebut presbikusis. Presbikusis adalah hilangnya
kemampuan atau daya pendengaran pada telinga dalam terutama terhadap bunyi suara
atau nada-nada tinggi, suara yang tidak jelas. Sebanyak 50% gangguan ini terjadi pada
orang dengan usia diatas 65 tahun (Aspiani, 2014). Sedangkan pada sistem saraf
auditori juga terjadi perubahan kecepatan menghantar impuls yang mengakibatkan
terjadinya gangguan pendengaran. Hal ini disebabkan oleh perubahan yang berkaitan
dengan usia seperti perubahan degeneratif di telinga bagian dalam, penyempitan
meatus pendengaran dari aposisi tulang, berkurangnya suplai darah, dan perubahan
sistem saraf pusat (contohnya berkurangnya kecepatan pemprosesan informasi)
(Miller, 2012).

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Pendengaran Lansia


Penurunan pada pendengaran yang dialami lansia dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Faktor yang mempengaruhi penurunan fusngsi pendengaran pada lansia antara
lain adalah gaya hidupdan lingkungan, impacted cerumen, medikasi, dan keadaan
patologis;
1. Gaya hidup dan lingkungan
a. Paparan polusi suara yang intermitten menyebabkan noise-induced hearing loss
(NIHL) (Miller, 2015). Biasa terjadi pada lansia yang dimasa kerjanya terpapar

8
suara bising seperti, pekerjaan band, lapangan udara, pengemudi truk dan
sebagainya.
b. Perokok pasif maupun aktif
c. Zat kimia beracun
Zat kimia tersebut meliputi mercury, carbon monoxide, fuel yang dapat merusak
saraf-saraf termasuk juga saraf pada sistem pendengaran (Tabloski, 2014).
d. Kebiasaan menggunakan earphone terlalu lama
2. Impacted Cerumen
Cairan serumen pada area telinga lansia memiliki kecenderungan mudah mengeras,
hal ini dapat mengakibatkan akumulasi dalam telinga yang menghambat getaran
gelombang suara, sehingga menghambat proses mendengar (Miller, 2015).
3. Medikasi
Medikasi yang dapat mempengaruhi pendengaran antara lain quinine, furosemide,
aspirin, dan salisilat bersifat ototoksik dan dapat merusak saraf vestibular koklea
(Miller, 2015). Penggunaan obat dapat berefek sama pada orang dewasa tetapi
memiliki dampat yang lebih berat pada lansia dalam jangka panjang.
4. Patologis
Faktor patologis dipengaruhi juga dengan faktor keturunan memiliki resiko yang
tinggi dalam penurunan fungsi dengar pada usia lebih dari 65 tahun (Adams-
Wendling & Pimple, 2012). Hal tersebut dipengaruhi oleh keadaan patologis
otosklerosis. Otosklerosis merupakan kelainan yang dapat turun temurun, yang
diakibatkan ankilosis (kekakuan) pada tulang yang menghubungkan stapes dan
ovals yang mengakibatkan penuruna kemampuan mendengar suara lembut dan
rendah (Miller, 2015).

2.3 Gangguan Patologis Sistem Pendengaran Lansia: Presbycucis dan Tinnitus


Gangguan pendengaran pada lansia dapat terbagi menjadi dua, diantaranya ialah
konduktif dan sensorineural. Jenis gangguan pendengaran dibagi ke dalam 2 kategori
berdasarkan letak kerusakan organnya, yang mana hal ini dapat mempengaruhi fungsi
dari organnya itu sendiri. Kerusakan yang terjadi pada telinga bagian eksternal dan

9
bagian tengah sehingga mengganggu mekanisme konduksi suara diklasifikasikan
sebagai gangguan pendengaran konduktif (conductive hearing losses), sedangkan
kerusakan yang terjadi pada bagian dalam telinga sehingga mengganggu struktur saraf
dan sensori dapat diklasifikasikan sebagai gangguan pendengaran sensori neural
(sensorineural hearing losses) (Miller, 2012; Tabolski, 2014).

Kehilangan Pendengaran Konduktif (Conductive Hearing Losses), gangguan


pendengaran tipe ini ialah suatu kondisi di mana adanya reduksi dari intensitas suara
yang masuk dari luar telinga sampai pada stapes footplate, sehingga stimulus yang
diterima oleh telinga menjadi lebih rendah daripada stimulus asli. Adapun penyebab
umumnya yaitu disebabkan oleh adanya impaksi serumen yang berawal dari
pengerasan serumen akibat dari berkurangnya jumlah produksi kelenjar serumen yang
dapat menyumbat kanal telinga. Hal ini dapat terjadi pada salah satu maupun kedua
telinga, dimana impaksi ini akan menyebabkan timbulnya suara tambahan (seperti
ringing, buzzing, pulsations, clicking, nyeri telinga, maupun vertigo) ketika terdapat
stimulus yang datang. Selain penyebab tersebut, ada pula faktor-faktor lain yang dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran tipe ini, yaitu seperti otitis externa,
otitis media, tumor benigna atau karsinoma, perforasi membrane timpanik, benda
asing, dan otosclerosis (Tabloski, 2014).

Kehilangan Pendengaran Sensori Neural (Sensorineural Hearing Losses),


gangguan pendengaran tipe ini disebabkan oleh koklea atau tepatnya corti, dimana ia
tidak dapat mengubah suara untuk menjadi impuls saraf yang dapat menstimulasi serat
saraf kranial delapan untuk mengirim pesan auditori ke otak (Miller, 2012). Gangguan
pendengaran tipe ini terjadi karena adanya reduksi intensitas suara pula, namun hal ini
juga disertai dengan adanya distorsi, yang mana hal ini kemudian menyebabkan suara
yang diterima menjadi tidak jelas meskipun stimulasi suara yang didapat cukup keras.
Hal ini lah yang menyebabkan lansia menjadi intoleran terhadap suara yang keras dan
mengalami kesulitan dalam memahami maupun membedakan huruf konsonan seperti
z, s, f, p, k, t, dan g (Thouty & Jett, 2014).

10
Gangguan pendengaran ini berhubungan dengan faktor risiko seperti faktor usia
pada lansia yang menyebabkan adanya perubahan pada telinga bagian dalam sehingga
menyebabkan gangguan degeneratif yang disebut Presbycubis (Tabloski, 2014).
Ketika seorang lansia menderita gangguan prebyscubis ini, ia akan mengalami
kesulitan dalam memahami ucapan yang diutarakan oleh orang lain. Hal ini disebabkan
oleh tidak terdengarnya bunyi konsonan, sehingga kalimat yang didapat pun sulit untuk
dipahami, seperti yang sering terjadi pada perempuan maupun anak-anak yang
memiliki frekuensi suara yang tinggi sehingga akan sulit untuk di dengar oleh lansia.
Adapun dalam Miller (2012), gangguan prebyscubis ini dapat diklasifikasikan menjadi
4 jenis berdasarkan gangguan pada struktur spsifik, yaitu sebagai berikut:

1. Sensory Prebyscubis, ialah perubahan degeneratif pada sel rambut da Corti,


dimana disini akan terjadi gangguan berupa hilangnya pendengaran frekuensi
tinggi.
2. Neural Prebyscubis, ialah perubahan degenertif pada serat saraf koklea dan
ganglion spiral, dimana disini akan terjadi penurunan kemampuan dalam
memahami kalimat yang diucapkan oleh orang lain yang disebut speech
discrimination.
3. Metabolic Prebyscubis, ialah perubahan degeneratif pada stria vaskularis, dan
gangguan pada pemasokan nutrisi yang menyebabkan terjadinya penurunan
kesensitivitasan terhadap frekuensi suara sehingga akhirnya akan mengalami
speech discrimination.
4. Mechanical Prebyscubis, ialah perubahan struktur bagian dalam telinga yang
menyebabkan lansia menjadi sulit atau bahkan tidak dapat mendengar suara
dengan frekuensi yang rendah yang kemudian dpaat berlanjut sehingga lansia
tersebut menjadi tidak dapat mendengar suara dengan frekuensi tinggi dan
mengalami speech discrimination.

Tinnitus adalah masalah kesehatan yang banyak dialami oleh lansia. Tinnitus
didefinisikan sebagai sebuah persepsi suara berdenging pada salah satu atau kedua
telinga (Miller, 2012). Keadaan ini seringkali merujuk pada “ringing in the ears” atau

11
kuping berdengung. Tinnitus diklasifikasikan ke dalam dua kategori: objektif dan
subjektif (Tabloski, 2014).

Lansia dengan Tinnitus objektif mendengar suara berdenyut yang disebabkan oleh
turbulensi aliran darah dalam telinga; mengklik atau berdengung dengan nada rendah
yang mengindikasikan otot-otot dalam telinga kejang (Miller, 2012).

Lansia dengan Tinnitus subjektif mempersepsikan suara ketika tidak ada stimulus
suara yang sebenarnya, umumnya disebabkan oleh penggunaan obat, infeksi, kondisi
neurologis, dan gangguan yang berkaitan dengan gangguan pendengaran (McPhee &
Papadakis, 2011 dalam Tabloski, 2014). Menurut Tabloski (2014) obat-obatan yang
dapat memicu Tinnitus terdiri dari 1) Aminoglycoside antibiotics
(gentamicin&erythromycin): ototoxic, tinnitus, 2) Antineoplastics (cisplatin): ototoxic,
3) Loop diuretics (furosemide): ototoxic, 4) Baclofen: tinnitus, 5) Propranolol
(Inderal): tinnitus dan hearing loss. Riwayat menyeluruh termasuk deskripsi lengkap
dari suara sangat penting dikaji untuk membantu menentukan penyebab Tinnitus.
Kondisi yang mungkin menyebabkan Tinnitus harus ditangani (misalnya,
menghentikan obat yang diduga sebagai sumber Tinnitus atau mengobati infeksi).

Tinnitus pada lansia dapat ditangani dengan beberapa tindakan, diantaranya:


Hearing aids, Wearable sound generators, Tabletop sound generators, dan konseling
(National Institute on Deafness and Other Communication Disorders, 2014).

1. Hearing aids seringkali digunakan untuk membantu seseorang yang mengalami


kehilangan pendengaran. Pengguna dapat mengendalikan dan mengatur suara
agar mempermudah pendengaran. Semakin baik pendengaran si pengguna
maka semakin sedikit kemungkinan merasakan manifestasi dari Tinnitus.
2. Konseling dapat membantu klien dengan Tinnitus untuk belajar bertoleransi
dengan keadaannya. Umumnya program konseling memiliki komponen
edukasi yang membantu klien memahami apa yang terjadi dan mengubah pola
pikir tentang Tinnitus. Hal tersebut dilakukan untuk membantu klien bersantai
setiap hari, pagi ataupun malam hari ketika tidur.

12
3. Wearable sound generators adalah sebuah alat yang digunakan di telinga
dengan suara lembut yang membantu mengatasi Tinnitus, namun dengan
masking sound yang cukup rendah dibandingkan alat lainnya. Umummnya
masking sound pada Wearable sound generators diatur sedikit lebih keras dari
suara Tinnitus yang timbul.
4. Tabletop sound generators digunakan untuk membantu klien Tinnitus
berelaksasi atau tidur. Alat ini ditempatkan di dekat tempat tidur, klien dapat
mengatur suara yang diinginkan seperti suara gelombang, air terjun, dan suara
menyenangkan lainnya. Alat ini akan sangat membantu klien dengan Tinnitus
ringan untuk tidur dengan nyaman.

2.4 Dampak Gangguan Sistem Pendengaran Lansia


Kehilangan fungsi dengar memiliki beberapa dampak pada lansia yaitu;
1. Aspek komunikasi (Bainridge & Wallhagen, 2014; Korotky, 2012; Miller, 2015)
a. Penurunan kemampuan mengenali fenom dengan frekuensinya (speech
comprehension)
b. Penurunan kemampuan mengenali (rapid speech)
c. Gangguan penerimaan pesan karena terdistorsi (speech discrimination)
2. Aspek kualitas hidup
Kesulitan melakukan activity daily living dan instrumental activity daily living
(Bainbridge & Wallhagen, 2014; Miller, 2015).
3. Aspek psikososial
Lansia cenderung mengalami frustasi, ketakutan, bosan, apati, cemas, isolasi sosial,
harga rendah, dan isolasi sosial (Miller, 2015).
4. Aspek kognitif
Erat kaitannya dengan demensia, disebabkan oleh komponen kognitif dalam speech-
processing seperti selective attention, working memory, dan speed of processing
tidak bekerja dengan baik (Korotky, 2012).

13
2.5 Pengkajian Pada Sistem Pendengaran Pada Lansia
Menurut Miller (2012), pengkajian keperawatan yang dilakukan untuk menilai
penurunan fungsi dengar pada lansia harus memperhatikan hal-hal berikut:
1. Faktor yang mempengaruhi kemampuan pendengaran
2. Kondisi penurunan pendengaran saat ini
3. Dampak dari penurunan pendengaran terhadap keamanan dan kualitas hidup
4. Peluang meningkatkan kemampuan pendengaran
5. Penghalang implementasi intervensi
Faktor-faktor di atas perlu untuk diperhatikan dalam membantu lansia
mengimbangi penurunan pendengarannya. Pengkajian yang dapat dilakukan perawat
untuk menilai kualitas pendengaran lansia dapat dilakukan dengan wawancara,
mengamati perilaku isyarat, dan melakukan tes pendengaran dengan alat bantu (Miller,
2012).
1. Wawancara
Pertanyaan wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang faktor
risiko saat ini dan masa lalu, kesadaran lansia dan pengakuan gangguan pendengaran,
dampak psikososial dari penurunan pendengaran, dan sikap yang mungkin
mempengaruhi intervensi promosi kesehatan. Wawancara untuk menilai pendengaran
dapat dimulai dengan pertanyaan tentang riwayat keluarga dengan gangguan
pendengaran dan riwayat lansia kontak dengan suara keras yang telalu lama. Perawat
juga perlu identifikasi riwayat obat-obatan ototoksik sebagai faktor risiko. Perawat
dapat berdiskusi dengan lansia hal-hal apa saja yang mempengaruhi penurunan
pendengaran, apabila pasien tidak menyadari bahwa lansia mengalami penurunan
pendengaran padahal lansia didapati penurunan ketajaman pendengaran. Instruksikan
pasien untuk menengok ke arah kanan atau kiri dan menanyakan apakah lansia mampu
mendengar lebih baik di salah satu telinga (Miller, 2012).
Perawat dapat menanyakan kegiatan sosial apa yang dijalani oleh klien untuk
menggali informasi mengenai dampak psikososial, apabila tidak didapati tanda-tanda
penurunan fungsi dengar ajukan pertanyaan mengenai gaya hidup untuk mengkaji
masalah pendengarannya. Lansia yang tidak menyadari adanya penurunan fungsi

14
dengar perawat dapat mengajukan pertanyaan perubahan yang terjadi dalam hubungan
sosial dan pekerjaan. Selama wawancara, perawat perlu melihat respon klien terhadap
penurunan pendengaran dan alat bantu pendengaran (Miller, 2012). Respon ini
diperlukan untuk mengkaji penerimaan klien terhadap intervensi yang diberikan.
Perawat juga perlu mengkaji perilaku atau pandangan klien yang dapat
menghalangi intervensi agar perawat dapat merencanakan intervensi edukasi kesehatan
untuk menangani kesalahpahaman yang berkembang di masyarakat. Sebagai contoh,
lansia mungkin menganggap alat bantu dengar itu mahal dan minim penggunaan serta
manfaatnya atau lansia merasa malu menggunakannya. Selain itu, klien juga mungkin
tidak tahu bagaimana cara merawat alat bantu dengar. Penolakan penggunaan alat
bantu dengar biasanya karena permasalahan biaya atau motivasi lansia untuk
berkomunikasi (Miller, 2012).
Metode pengkajian HHIE-S (Hearing Handicap Inventory for the Elderly)
adalah kuisioner yang berisi 10 item pertanyaan yang diberikan kepada lansia dalam
waktu sekitar 5 menit. Kuisioner ini digunakan oleh lansia dengan kognitif yang utuh
dan penelitian menemukan bahwa kuisioner ini adalah alat yang valid untuk mengukur
hasil klinis. Pertanyaan tersebut membantu mengkaji kondisi penurunan pendengaran
dan akibat yang ditimbulkannya. Berikut merupakan daftar pertanyaan HHIE-S yang
diambil dari Miller (2012):
2. Pengamatan Isyarat Perilaku
Isyarat perilaku terkait dengan gangguan pendengaran memberikan informasi
penting tentang adanya gangguan pendengaran, konsekuensi psikososial akibat
gangguan fungsi dengar, dan sikap lansia terhadap alat bantu. Lansia yang menyangkal
defisit pendengaran yang telah diperhatikan orang lain, maka tingkah laku lansia
menjadi sumber penting untuk mendapat informasi penilaian. Menurut Miller (2012)
arahan pengkajian tingkah laku lansia dapat dilihat di bawah ini:
Perilaku isyarat Perilaku isyarat
Perilaku isyarat akibat defisit
akibat dampak mengenai penggunaan
pendengaran
psikososial alat bantu dengar

15
 Tidak merespon pertanyaan,  Upaya  Tidak
terlebih jika tidak ada gerakan menghindar dari menggunakan alat
bibr yang jelas kelompok yang telah dibeli
 Tidak mampu mengikuti  Kurangnya  Tidak
arahan secara verbal dan tanpa ketertarikan mengusahakan
isyarat terhadap aktivitas penggantian baterai
 Waktu konsentrasi singkat dan jika sudah mati
mudah terdistraksi  Ekspresi malu
 Sering meminta pengulangan ketika
atau penjelasan lebih ketika menggunakan alat
berkomunikasi verbal tersebut
 Mengamati orang yang
berbicara
 Mengamati gerak bibir orang
yang berbicara
 Mendekatkan salah satu
telinga ke arah orang yang
sedang bicara
 Jarak yang sangat dekat
dengan orang yang bicara
 Respon minim terhadap suara-
suara dari lingkungan sekitar
 Perkataan keras dan artikulasi
tidak jelas
 Karakter suara yang tidak
normal, seperti monoton
 Mispersepsi, terkadang
mengira bahwa orang lain

16
sedang berbicara tentang
dirinya

3. Test Menggunakan Alat Bantu


Perawat menggunakan dua alat bantu, yaitu otoskop untuk memeriksa telinga
dan garpu tala (tuning fork) untuk mengetes pendengaran. Otoskop berfungsi untuk
melihat apakah ada kelainan di struktur telinga dan hambatan-hambatan seperti kotoran
yang memungkinkan mengganggu pendengaran. Garpu tala (tuning fork) membantu
mendeteksi penurunan pendengaran serta membedakan antara faktor konduksi atau
penurunan fungsi neurosensori. Audioskop genggam adalah alat lain yang digunakan
untuk penilaian dan direkomendasikan dalam pedoman keperawatan; namun, alat ini
tidak tersedia seluas otoskop atau garpu tala (Miller, 2012). Pemeriksaan telinga dapat
mengungkapkan infeksi eksternal atau impaksi yang dapat terjadi agar dilakukan
treatment dengan tepat untuk menyelesaikan gangguan pendengaran. Jika masalahnya
tidak begitu jelas, beberapa tes skrining dasar dapat dilakukan: tes bisikan, Weber, dan
Rinne (Tabolski, 2014; Miller, 2012).
a. Tes Bisikan
Tes bisikan menilai rentang pendengaran yang lebih tinggi. Perawat
menginstruksikan lansia untuk menutup satu telinga, tergantung pada kemampuan
fisik lansia yang mungkin perlu dibantu oleh perawat. Perawat kemudian berdiri
30-60 sentimeter jauhnya dari klien, menutup mulut, dan membisikkan dua suku
kata menuju telinga yang tidak ditutup. Klien harus bisa untuk mengulangi kata
yang dibisikkan. Garpu tala mungkin bisa membantu dalam membedakan fektor
konduktif versus sensorineural; namun, tidak sesuai untuk gangguan pendengaran
bilateral (Tabolski, 2014).
b. Tes Weber
Tes Weber melibatkan penempatan garpu tala di atas kepala klien. Jika klien
mendengar suara dari garpu bergetar sama di kedua telinga, pendengaran klien
adalah normal. Jika klien mendengar suara yang lateral atau dirasakan lebih

17
keras di satu telinga, ini mungkin menunjukkan penurunan pendengaran
konduktif unilateral di telinga tersebut. Lansia dengan gangguan neurosensori
tidak akan mendengar suara apa pun, dan suara hanya terdengar di telinga
kontralateral (Tabolski, 2014; Miller, 2012).
c. Tes Rinne
Tes Rinne melibatkan penempatan garpu tala pada tulang mastoid untuk
menilai konduksi tulang. Klien diminta untuk menutup satu telinga memberi
tahu perawat ketika klien tidak dapat lagi mendengar suara, dan garpu tala
kemudian ditempatkan di sebelah telinga untuk mengukur konduksi udara.
Suara yang dapat didengar ketika garpu tala di udara maka hasil tes dikatakan
positif. Dapat disimpulkan bahwa, konduksi udara lebih baik daripada konduksi
tulang. Tes negatif terjadi apabila klien tidak mendengar garpu tala di udara,
hal ini menunjukkan adanya gangguan konduksi pada telinga (Tabolski, 2014;
Miller, 2012).

2.6 Komunikasi dan Peran Perawat Mengatasi Gangguan Pendengaran Lansia


Perawat ysang berkomunikasi dengan lansia dengan gangguan pendengaran
dapat memperhatikan dua kemungkinan keadaan, yaitu lansia dengan alat bantu
pendengaran dan lansia yang tidak menggunakan alat bantu pendengaran. Jika lansia
menggunakan alat bantu pendengaran, perawat dapat mengecek terlebih dahulu jenis
alat yang digunakan dengan memperhatikan kebersihan alat, apakah energi baterai
sudah terisi penuh, apakah pemasangan alat sudah benar, dan meminimalisir suara
bising (Miller, 2015). Lansia dengan gangguan pendengaran saat akan menerima
informasi akan cenderung membaca gerakan bibir lawan bicara sehingga perawat dapat
berdiri sejajar menghadap depan pasien, perawat tidak makan dan minum saat
berbicara, menjauhkan tangan dari wajah, berbicara perlahan dan sedikit keras, hindari
membuat gerakan mulut yang berlebihan, serta gunakan gambar dan catatan untuk
mendukung dalam menjelaskan informasi (Williams, 2016).

18
Komunikasi pada lansia yang tidak menggunakan alat bantu pendengaran dapat
menggunakan beberapa strategi. Perawat dapat memperhatikan penggunaan strategi
seperti tidak mengejutkan lansia saat memulai percakapan, berkomunikasi ketika
pasien sudah siap, mengeliminasi gangguan dan suara bising, berfokus pada
kemampuan pasien, memilih topik yang menarik untuk pasien, gunakan berbagai
macam kata untuk mendeskripsikan sesuatu sehingga arti dari kalimat dapat dipahami
dan jelas, bertanya dengan satu pertanyaan yang jelas dan spesifik dalam satu waktu,
gunakan gambar dan gestur untuk kalimat tertentu atau penting, memperhatikan
emosional pasien saat berkomunikasi, menyampaikan pesan dengan sederhana dan
ulangi jika diperlukan, tidak menyela pasien saat mengutarakan perasaannya, berbicara
perlahan, serta menyakinkan apakah pasien membutuhkan hal lain ketika selesai
berbicara atau saat perawat akan meninggalkan ruangan (Williams, 2016).
Komunikasi yang sudah efektif dapat diintegrasikan dalam peran perawat yang
meliputi peran sebagai pemberi asuhan, advokat, edukator, koordinator, kolaborator,
konsultan, peneliti, dan pembaharu (Masters, 2018). Peran yang dilakukan tersebut
meliputi kegiatan menjelaskan prosedur, inform consent, memberikan edukasi
kesehatan, memberikan informasi pilihan yang disesuaikan dengan kemampuan fisik
atau ekonomi pasien, melakukan koordinasi sesama teman sejawat untuk mencegah
error, dan melakukan kolaborasi dengan bidang profesi kesehatan lain untuk
meningkatkan kualitas kesehatan pasien. Salah satu contoh, perawat dalam
menjalankan peran sebagai advokat dan konsultan dalam menjelaskan dan memberikan
informasi pilihan pengobatan pada lansia dengan gangguan pendengaran dapat
mengupayakan agar lansia dapat memahami informasi dengan menuliskan catatan
kecil untuk lansia serta melibatkan keluarga pasien agar informasi yang disampaikan
menjadi lebih jelas.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pendengaran merupakan salah satu indra yang penting, tak terkecuali bagi lansia.
Seiring dengan bertambahnya usia terjadi banyak perubahan pada lansia, termasuk juga
perubahan dalam sistem sensori khususnya pendengaran. Pendengaran lansia akan
mengalami penurunan, dan hal tersebut bias terjadi secara fisiologis, maupun patologis.
Berdasarkan fisiologis terdapat perubahan sturuktur dimana gendang telinga tidak
seelastis pada orang dewasa, dan penumpukan serosa yang mana dapat mengakibatkan
obstruksi yang menghambat proses mendengar. Adapun beberapa hal yang dapat
mengakibatkan penurunan fungsi dengar seperti paparan akan suara berintensitas
tinggi, juga gaya hidup seperti merokok yang dapat merusak saraf.

Selain karena perubahan fisiologis serta faktor-faktor eksternal tersebut faktor


patologis juga kerap terjadi di kalangan lansia. Terdapat dua kategori dalam gangguan
dengar pada lansia yaitu berdasarkan letak kerusakannya dalam, dan luar atau disebut
dengan conductive hearing losses dan sensorineural hearing losses. Perubahan pada
pendengaran lansia ini sering terjadi dan tidak boleh dianggap sepele Karena dapat
memberikan dampak negatif pada lansia dalam berbagai aspek seperti aspek
komunikasi, kualitas hidup, psikososial, dan kognitif.

Banyaknya dampak yang dapat diakibatkan oleh kehilangan fungsi dengar pada
lansia maka perlulah perawat sebagai tenaga kesehatan untuk mengkaji fungsi
pendengaran lansia. Pengkajian dengar pada lansia dapat dilakukan dengan
wawancara, analisa prilaku, ataupun dengan alat bantu seperti garpu tala. Mengetahui
penurunan yang tinggi kemungkinan terjadi pada lansia, maka dalam berkomunikasi
dengan lansia seorang perawat yang baik harus menggunakan teknik yang tepat dengan
suara yang cukup keras, intonasi yang lebih lambat, serta artikulasi yang jelas. Dengan
mengenali perubahan pada pendengaran lansia maka perawat dapat memahami serta

20
membantu lansia menyesuaikan dengan keadaannya sehingga menghindari dampak
negatif yang tidak diharapkan.

3.2 Saran
Makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca khususnya mahasiswa calon
perawat masa depan untuk lebih memahami perubahan sistem sensori pendengaran
pada lansia. Peningkatan serta pemahaman akan perubahan pada lansia harus digali
sehingga mahasiswa dapat memperbanyak ilmu dan dapat meningkatkan
keterampilannya. Dengan demikian perawat dapat menjadi role model yang baik pada
klinnya khusunya pasien lansia. Semoga makalah ini dapat membantu mahasiswa
dalam mempelajari perubahan sensori pada lansia, kritikdan saran yang membangun
sangat diharapkan untuk perbaikan sehingga kedepan kami dapat menghasilkan
makalah yang lebih baik lagi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Adams-Wendling, L., & Pimple, C. (2012). Evidence based guideline; nursing


managemen of hearing imparement in nursing facility residence. Journal of
gerontology nursing, 34 (11), 9-18. https://doi.org/23.1072/geront/gnr179
Aspiani, R. Y. (2014). Buku ajar asuhan keperawatan gerontik. Jakarta: Trans Info
Media.
Ebersole, P., Hess, P., Touhy, T., & Jett, K. (2013) Gerontological nursing & health
aging. St. Louis, Missouri: Mosby, Inc.
Jennifer. (2012). Mekanisme, struktur, dan fungsi organ pendengaran. Jakarta Barat:
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Korotky, H.-S. (2012). Age-Related Hearing Loss: Quality of Care for Quality of Life.
The Gerontologist, 52(2), 265–271. https://doi.org/10.1093/geront/gnr159
Masters, Kathleen. (2018). Role development in professional nursing practice (5th ed.).
Massachusetts: Jones & Bartlett Learning.
Miller, C. A. (2012). Nursing for wellness in older adults. Philadelphia: Lippincott
Willian & Wilkins.
Miller, Carol A. (2015). Nursing for wellness in older adults (7th ed.). USA: Wolters
Kluwer

National Institute on Deafness and Other Communication Disorders. (2014). Hearing


and Balance: Tinnitus. Retrieved 28 Maret 2019, from
https://www.nidcd.nih.gov/sites/default/files/Documents/health/hearing/NIDC
D-Tinnitus.pdf
Tabloski, Patricia, A. (2014). Gerontologic nursing. New Jersey: Pearson Education
Inc.
Touhy, T. A., & Jett, K. F. (2014). Ebersole and Hess' Gerontological Nursing &
Health Aging, 4th ed. Missouri: Elsevier.
Williams, Patricia. (2016). Basic geriatric nursing (6th ed.). Missouri: Elsevier.

22

Anda mungkin juga menyukai