Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Menurut data dari World Health Organization (WHO) masalah
gangguan kesehatan jiwa diseluruh dunia memang sudah menjadi masalah
yang sangat serius. WHO menyatakan tahun 2001 paling tidak ada satu dari
empat orang didunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada
sekitar 450 juta orang didunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa
(Yosep, 2009)
Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh Kementrian Republik
Indonesia menyimpulkan bahwa prevalensi ganggunan mental emosional
yang menunjukan gejala depresi dan kecemasan, usia 15 tahun ke atas
mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia.
Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai
sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Jumlah
gangguan jiwa berat atau psikosis/ skizofrenia tahun 2013 di Indonesia
provinsi-provinsi yang memiliki gangguan jiwa terbesar pertama antara lain
adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (0,27%), kemudian urutan kedua Aceh
( 0,27%), urutan ketiga sulawesi selatan (0,26%), Bali menempati posisi
keempat (0,23%), dan Jawa Tengah menempati urutan kelima (0,23%) dari
seluruh provinsi di Indonesia (Riset Kesehatan Dasar, 2013).
Salah satu gangguan jiwa yang berat adalah Skizofrenia merupakan
salah satu gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa berat merupakan gangguan
jiwa yang ditandai dengan terganggunya kemampuan menilai realitas atau
tilikan (insight ) yang buruk. Gangguan jiwa berat ini akan disertai dengan
gejala berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses pikir, kemampuan
berpikir, serta tingkah laku aneh seperti agresivitas atau katatonik
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

1
Menurut hasil penelitian multinasional World Health Organization
(WHO) jumlah rata-rata penderita skizofrenia tampak serupa pada budaya
maju maupun budaya berkembang. WHO memperkirakan bahwa sekitar 24
juta orang di seluruh dunia mengidap skizofrenia. Pada umumnya gangguan
mental yang terjadi adalah gangguan kecemasan dan gangguan depresi.
Diperkirakan 4,4% dari populasi global menderita gangguan depresi, dan
3,6% dari gangguan kecemasan. Jumlah penderita depresi meningkat lebih
dari 18% antara tahun 2005 dan 2015. Depresi merupakan penyebab terbesar
kecacatan di seluruh dunia. Lebih dari 80% penyakit ini dialami orang-orang
yang tinggal di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah (WHO,
2017).
Salah satu gejala umum dari skizofrenia yang banyak dijumpai adalah
halusinasi. Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa
stimulus yang nyata, artinya klien menginterpretasikan sesuatu yang nyata
tanpa stimulus/ rangsangan dari luar/ eksternal (Maramis, 2015).
Halusinasi merupakan penyerapan tanpa adanya rangsang apapun
pada panca indra seseorang yang terjadi dalam keadaan sadar atau bangun
(Maramis, 2015). Halusinasi merupakan keadaan dimana individu/ kelompok
beresiko mengalami suatu perubahan dalam jumlah dan pola stimulasi yang
dating (Carpenito, 2016). Jadi, halusinasi merupakan gangguan persepsi
dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Berbagai terapi dapat dilakukan untuk menangani halusinasi yaitu
terapi farmakologi seperti anti depresan dan ECT (electroconfulsive),
Menurut Wiramihardja dalam Nurochimah (2017) Pengontrolan halusinasi
dapat dilakukan dengan empat cara yaitu menghardik halusinasi, bercakap-
cakap dengan orang lain, melakukan aktivitas terjadwal dan
mengkonsumsi obat dengan teratur.
Selain beberapa terapi yang dilakukan di atas, penanganan yang
selama ini dapat dilakukan adalah terapi alternatif atau bisa dilakukan dengan
terapi komplementer meliputi relaksasi, olahraga, pijat, refleksologi, doa,

2
umpan balik biologis, hipnoterapi, terapi kreatif, termasuk seni musik
( Ngapiyem & Kumalasari, 2018).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Miguel simon and felipe
castano ada cara lain untuk mengtasi halusinasi pada pasien skizofrenia
yaitu dengan metacognitive training. Metacognitive training merupakan
intervensi kelompok yang membahas bias kognitif dan distorsi yang dapat
membantu mempertahankan delusi dan halusinasi pada orang dengan
skizofrenia. MCT bertujuan untuk mempromosikan fleksibilitas kognitif
yang lebih besar dan mencoba untuk mengurangi kepercayaan berlebihan
pada kesimpulan seseorang dan, dengan ekstensi, keyakinan delusi
seseorang. Dengan demikian akan tampak sesuai untuk meningkatkan apa
yang disebut wawasan kognitif sebuah konsep yang didefinisikan sebagai
kapasitas individu untuk mengevaluasi keyakinan dan interpretasinya
sendiri dan untuk memperbaikinya jika mereka terdistorsi.
Di Indonesia terapi pada pasien halusinasi hanya berfokus pada
bagaiaman cara menghilangkan halusinasi. Tidak banyak terapi yang
memberikan keyakinan bahwa halusinasi itu tidak nyata dan tidak benar.
Pada mectacognitive training berfokus pada bagaiamana meyakinkan
bhawa apa yang mereka dengar halusinasinya tersebut tidaklah nyata dan
tidak lah benar sehingga tercipta pola kognitif pada pasien untuk melawan
halusinasi tersebut dari dalam diri.
Dari penjelasan penjelasan diatas peneliti tertarik untuk melakukan
miniriset dengan judul” Pengaruh Metacognitive Training Terhadap
Halusinasi Pada Pasien Dengan Skizoferinia”
B. Rumusan Masalah
“Adakah pengaruh pemberian MCT terhadap halusinasi pada pasien
skizofrenia?”
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengatahui adakah pengaruh metacognitive training terhadap
penurunan tingkat halusinasi

3
2. Tujuan Khusu
2.1. Mengambarkan halusinasi sebelum dilakukan MCT
2.2. Menggambarkan halusinasi setelah dilakukan MCT
2.3. Mengambarkan halusinasi sebelum dan sesudah dilakukan MCT
2.4. Menganalisis perbedaan sebelum dan setelah dilakukan MCT
D. Manfaat
1. Bagi perawat agar dapat menggunakan terapi menghardik dengan
menutup telinga atau tanpa menutup telinga pada pasien dengan
halusinasi pendengaran
2. Bagi pasien agar dapat menerapkan yang sudah diajarkan oleh perawat
agar dapat mengurangi frekuensi halusinasi

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Skizofrenia
a Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan jiwa dengan gejala utama berupa
waham (kenyakinan salah dan tidak dapat dikoreksi) dan halusinasi
(seperti mendengar dan melihat sesuatu yang sebenernya tidakada).
Skizofrenia adalah penyakit yang mempengaruhi wicara serta prilaku.
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat. Gangguan
jiwa berat merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan terganggunya
kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight ) yang buruk. Gangguan
jiwa berat ini akan disertai dengan gejala berupa halusinasi, ilusi, waham,
gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh
seperti agresivitas atau katatonik (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013).
b Penyebab
1) Faktor genetic
Apabila salah satu orang tua menderita skizofrenia maka
kemungkinan anaknya menderita skizofrenia adalah 10%. Sedangkan
bila kedua orang tua menderita skizofrenia kemungkinannya naik
menjadi 40 %. Bahkan bila tidak ada kerabat yang menderita
skizofrenia seorang secara genetis masih mungkin menderita
skizofrenia karena potensi dalam populasi untuk menderita
skizofrenia adalah 1%
2) Faktor neurokimiawi
Teori yang paling terkenal adalah hipotesis dopamin. Dopamin
adalah salah satu neurotransmiter (zat yang menyampaikan pesan dari
satu sel syaraf ke sel syaraf yang lain) yang berperan dalam
mengaatur respon emosi. Pada penderita skizofrenia, dopamin ini

5
dilepaskan secara berlebihan didalam otak sehingga timbullah gejala
seperti waham dan halusinasi.
c Gejala
Salah satu pendekatan untuk menyederhanakan gejala skizofrenia
adalah para peneliti membaginya menjadi gejala positif dan grjala
negatif.
1) Gejala positif
Gejala positif dapat didefinisikan sebagai fungsi yang berlebih
atau terdistorsi dari fungsi normal.Gejala positif meliputi waham,
halusinasi, kekecauan wicara dan kekecauan prilaku seperti
mendengar sesuatu yang tidak didengar oleh orang lain dan memakai
pakaian yang tidak cocok dengan suasana.
2) Gejala negative
Dapat didefinisikan sebagai fungsi yang kurang atau hilang bila
dibandingkan dengan fungsi normal. Gejala negatif terdiri dari:
1. Perasaan yang datar (ekspresi emosi yang terbatas)
2. Alogia (keterbatasan pembicaraan dan pikiran dalam hal
kelancaran dan produktifitas)
3. Avolition (keterbatasan prilaku dalam menentukan tujuan)
4. Anhedonia (berkurangnya minat dan menarik diri dari seluruh
aktifitas yang menyenangkan yang semula biasa dilakukan oleh
penderita)
5. Gangguan perhatian ( berkurangnya konsentrasi terhadap sesuatu
hal)
6. Stereotipik (kesulitan dalam berpikir secara abstrak dan memiliki
pikiran yang khas)
7. Kurangnya spontanitas
8. Perawatan diri dan fungsi sosialyang menurun
d Klasifikasi Skizofrenia Skizofrenia dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
1) Skizofrenia Hebefrenik.

6
Artinya mental atau jiwanya menjadi tumpul. Kesadarannya
masi jernih, akan tetapi kesadaran akunya sangat terganggu.adapun
ciri ciri dari skizofrenia ini adalah
a. Orang yang mengalami derealisasi dan depersonalisasi berat.
b. Dihinggapi macam-macam ilusi dan delusi, sebab fikirannya
kacau,melantur.
c. Banyak tersenyum-senyum dengan muka yang selalu perat perot
tanpa ada perangsang sedikit pun.
2) Skizofrenia katatonik.
kizofrenia jenis ini memilki ciri sebagai berikut :
a. Urat-uratnya menjadi kaku dan mengalami chorea flexibility
yaitu badan jadi kaku seperti malam atau was.
b. Ada pola tingkah laku yang stereothypes, aneh-aneh atau
gerak-gerak otomatis dan tingkatah laku yang aneh-aneh yang
tidak terkendalikan oleh kemauan.
c. Ada gejala-gejala stupor.
d. Kadang-kadang disertai catatonic excitement.
e. Mengalami regresi total.
3) Skizofrenia paranoid
kizofrenia jenis ini memilki ciri sebagai berikut :
a. Penderita diliputi macam-macam delusi dan halusinasi yang
terus berganti-ganti coraknya dan tidak teratur serta kacau balau.
b. Pasien tampak lebih waras dan tidak sangat ganjil dan aneh jika
dibandingkan dengan penderita skizofrenia jenis lainnya
c. Akan tetapi pada umumnya dia bersikap sangat bermusuhan
terhadap siapapun juga.
d. Merasa dirinya penting, besar grandieus.
4) Skizofrenia sederhana (simple Schizophrenia)
Dengan ciri bersikap apatis, tidak peduli terhadap
lingkungan, menarik diri dari pergaulan sosial, dan sama sekali
tidak perduli terhadap dunia sekitar

7
B. Halusinasi
a. Pengertian
Halusinasi merupakan suatu kondisi individu menganggap
jumlah serta pola stimulus yang datang ( baik dari dalam maupun
dari luar ) tidak sesuai dengan kenyataan, disertai distorsi dan
gangguan respons terhadap stimulus tersebut baik respons yang
berlebih maupun yang mengurai ( Townsend, 2010 ).
Halusinasi adalah satu gejala gangguan jiwa pada individu
yang ditandai dengan perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau
penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada
( Keliat, 2010 ).
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca indra
tanpa adanya rangsangan (stimulus ) eksternal ( Stuart & Laria,
2009 ). Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
b. Penyebab
Halusinasi dapat terjadi pada klien dengan gangguan jiwa
seperti skizoprenia, depresi atau keadaan delirium, demensia dan
kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan
substansi lainnya. Halusinasi dapat juga terjadi dengan epilepsi,
kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolik. Halusinasi
juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan
yang meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan
antibiotik, sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat
terjadinya halusinasi sama seperti pemberian obat diatas.
Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan individu normal
yaitu pada individu yang mengalami isolasi, perubahan sensorik
seperti kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya
permasalahan pada pembicaraan. Penyebab halusinasi
pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak faktor

8
yang mempengaruhinya seperti faktor biologis, psikologis, sosial
budaya,dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan,
biologis, pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme
koping. Factor factor yang mampu menyebabkan halusinasi
Faktor predisposisi ( Stuart ,2007 )
1. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan
dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami.
Ini ditunjukkan oleh penelitian – penelitian yang berikut :
1) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak
yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada
daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan
perilaku psikotik.
2) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter
yang berlebihan dan masalah – masalah pada sistem reseptor
dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
3) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal
menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak
manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis,
ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian
depan dan atropi otak kecil ( cerebellum ). Temuan kelainan
anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi ( post mortem ).
2. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan
yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah
penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
Faktor presipitasi
a. Berlebihnya proses informasi pada system
syaraf yang menerima dan memproses informasi di Thalamus dan
frontal otak.

9
b. Mekanisme penghantaran listrik di syaraf
terganggu.
Menurut Stuart dan Laraia ( 2015 ) dan Stuart dan Sundeen ( 2008 ),
gejala pemicu tersebut adalah :
1. Kesehatan
Nutrisi, kurang tidur, kelelahan, infeksi, obat - obatan system syaraf
pusat, kurang latihan, hambatan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan.
2. Lingkungan
Lingkungan yang memusuhi ( kritis ), masalah di rumah tangga,
kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan, pola aktivitas
sehari - hari, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja, stigmatisasi
kemungkinan, kurangnya alat transportasi, ketidakmampuan mendapat
pekerjaan.
3. Sikap dan Perilaku
Merasa tidak mampu, putus asa, merasa gagal, kehilangan kendali
diri, merasa punya kekuatan berlebih dengan gejala tersebut, merasa
malang tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritual, bertindak seperti
orang lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kemampuan
sosialisasi, perilaku agresif, perilaku kekerasan, ketidakadekuatan
pengobatan dan penanganan gejala.
c. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala dari halusinasi yaitu ( Townsend, 2008 ) :
1. Berbicara sendiri
2. Tertawa sendiri
3. Disorientasi
4. Pikiran cepat berubah-ubah
5. Bersikap seperti mendengar sesuatu.
6. Konsentrasi rendah
7. Berhenti berbicara ditengah - tengah kalimat untuk mendengarkan
sesuatu.

10
8. Kekacauan alur pikir.
9. Respon tidak sesuai.
Sedangkan tanda dan gejala halusianasi menurut Depkes ( 2009
) adalah:
1. Berbicara atau tertawa sendiri.
2. Menarik Diri.
3. Klien tidak dapat membedakan realita dan kenyataan.
4. Sulit tidur
5. Gelisah
6. Duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu.
d. Klasifikasi Halusinasi
Menurut Erlinafsiah (2010) pada klien dengan gangguan
jiwa ada beberapa jenis halusinasi dengan karakteristik tertentu,
diantaranya:
1. Halusinasi Pendengaran: ditandai dengan mendengar suara,
terutama suarasuara orang, biasanya klien mendengar suara
orang yang sedang membicarakan apa yang sedang
dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi Penglihatan: ditandai dengan adanya stimulus
pengelihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran
geometric, gambar kartun atau panorama yang luas dan
kompleks. Pengelihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
3. Halusinasi Penghidung: ditandai dengan adanya bau busuk, amis
dan bau yang menjijikan seperti darah, urine atau feses. Kadang-
kadang terhirup bau harum. Biasanya berhubungan dengan
stroke, tumor, kejang dan demensia
4. Halusinasi Peraba: ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak
enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh: merasakan sensasi
listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi Pengecap: ditandai dengan merasakan sesuatu yang
busuk, amis dan menjijikkan.

11
6. Halusinasi Sinestetik: ditandai dengan merasakan fungsi tubuh
seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna
atau pembentukkan urine.
e. Fase Halusinasi
Menurut Stuart dan Laraia ( 2015 ), fase - fase halusinasi yaitu:
1. Comforting
Halusinasi secara umum diterima sebagai sesuatu yang
alami. Pasien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya
perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan, dan
mencoba memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan.
2. Condemning
Secara umum halusinasi sering mendatangi klien.
Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami
bias ( cemas meningkat ).
3. Controlling
Fungsi sensori menjadi tidak relevan dengan kenyataan.
Klien mencoba melawan suara - suara atau sensori abnormal yang
datang. Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya
berakhir,disinilah dimulai fase gangguan psikotik.
4. Conquering
Klien mengalami gangguan dalam menilai lingkungannya.
Pengalaman sensorinya terganggu, klien mulai terasa terancam
dengan datangnya suara - suara terutama bila klien tidak menuruti
ancaman perintah yang ia dengar dari halusinasinya ( sudah
menguasai dan tidak bisa lepas )
f. Akibat
Klien yang mengalami halusinasi sukar untuk mengontrol diri
dan sukar untuk berhubungan dengan orang lain. Apabila perilaku
halusinasinya berupa hal yang tidak menyenangkan maka akan
mengakibatkan individu tersebut melakukan atau mencederai orang
lain dan lingkungan. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan

12
lingkungan klien dengan halusinasi terjadi pengembangan untuk
melakukan perilaku maladaptif.
C. Metacognitive Training
a. Pengertian
Kata meta berasal dari bahasa yunani yang berarti “diatas”,
kognisi mengacu pada proses mental seperti perhatian, memori dan
pemecahan masalah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metakognisi
adalah berpikir tentang cara kita berpikir. Terapi metakognitif dapat
digambarkan sebagai terapi yang dapat memperbaiki cara berpikir klien
skizofrenia akan bias kognitif yang dialaminya. Bias kognitif ini dapat
mengarah pada pembentukan keyakinan palsu (waham atau halusinasi).
Pelatihan metakognitif (MCT) adalah intervensi kelompok
yang membahas bias kognitif dan distorsi yang dapat membantu
mempertahankan delusi dan halusinasi pada orang dengan skizofrenia.
MCT berhenti menghentikan fleksibilitas kognitif yang lebih besar dan
mencoba meningkatkan setiap pengalaman dalam kesimpulan seseorang
dan, selanjutnya, keyakinan delusi seseorang. Dengan demikian akan
tampak tepat untuk meningkatkan wawasan kognitif yang disebut ,
dengan mempertimbangkan kemampuan individu untuk mengevaluasi
kembali kepercayaan dan interpretasinya sendiri dan untuk
memperbaikinya seandainya mereka terdistorsi.
b. Tujuan MCT
pelatihan metakognitif ditujukan pada klien skizofrenia dengan
tujuan untuk mempertajam kesadaran klien skizofrenia dalam
mengatasi bias kognitif terkait waham misalnya Jump To Conclusion
(JTC) sehingga dapat mengoptimalkan pemecahan masalah (Moritz &
Woodward, 2007). Target dalam terapi metakognitif seperti halnya
dalam terapi kognitif perilaku yaitu gejala psikotik tetapi melibatkan
aspek infrastruktur kognitif dalam pembentukan waham. Klien
diajarkan tentang koping alternatif dan strategi memproses informasi.

13
Metacognitive training ini bertujuan untuk membuat stimulus
pada otak dengan cara membuktikan bahwa apa yang dialami pasien
tidak lah benar dan nyata sehingga pasien akan mampu berfikir untuk
melawan hal yang tidak nyata tersebut dari dalam diri sendiri.
c. Patofisiologi MCT untuk penurunan
frekuensi halusinasi
Delusi dan halusinasi membentuk inti simtomatik simtomatik
skizofrenia. Intervensi farmakologis tidak selalu memiliki efek yang
memuaskan pada konten mengigau atau keyakinan dengan mana konten
dipertahankan . Jadi, dalam beberapa tahun terakhir, penelitian telah
berfokus pada perubahan dalam pengumpulan, pemilihan dan
pemrosesan informasi yang dapat berkontribusi pada pemeliharaan
pemikiran khayalan
Pada pasien dengan halusinasi pasien akan nyaman dan selalu
terpengaruh oleh bisikan bisikan saat pasien tidak mampu megontrol
halusinasi maka pasien akan menuruti isi halusiniasi. Halusinasi akan
membuat suatu delusi dan khayalan yang akan menjebak pasien
kedalam hal yang tidak nyata sehingga pasien merasa bahwa bisikan itu
nyata dan menyenagakan untuk terus di dengar maupun dilakukan.
Mectacognitif training merupakan terapi yang membuat
pasien berfikit bahwa hal yang selama ini dia rasakan atau hal yang
selama ini di dengar adalah tidak nyata. MCT mampu mempengaruhi
fikiran sadar mapun bawah sadar pasien dengan permainan kata kata
dan juga komunikasi traupetik dengan reality presenting. Dengan teknik
komunikasi yang baik maka pasien setelah bercakapa cakap dan
mendapat pelatihan MCT maka akan berfikir dan akan mencoba untuk
melawannya dari dalam diri sehingga dengan semakin sering dilakukan
halusinasi yang membuat pasien nyaman dan menyakini hal itu nyata
akan semakin berkurang.

14
15
BAB 3
METODE DAN HASIL

A. KERANGKA KONSEP
Kerangka konsep penelitian diperlukan sebagai landasan berpikir
dalam melakukan penelitian yang dikembangkan dari tinjauan teori yang
telah di bahas sebelumnya sehingga mudah dipahami dan dapat menjadi
acuan peneliti.

Frekuensi penerapan frekuensi


halusinasi mectacognitif halusinasi
sebelum MCT training setelah MCT

B. hipotesa
Ho : Tidak ada pengaruh MCT terhadap frekuensi halusinasi pada pasien
dengan skizofrenia
Ha : Ada pengaruh terapi MCT terhadap frekuensi halusinasi pada pasien
dengan skizofrenia
C. JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN
a. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode
quasi expremien
b. Rancangan penelitian
Pre test and post test whitout control groub
R 01 X1 02

Gambar 3.1 rancangan penelitian


(sumber: Dharma, 2016)
Keterangan
R : Subjek atau responden penelitian yaitu penderita asam urat

16
01 : (Pretest) kadar asam urat sebelum bekam
X : Perlakukan (bekam basah pada titik zohrul qodam)
02 : (Posttest) kadar asam urat sesudah bekam
D. populasi dan sampel
a) populasi
Populasi adalah suatu wilayah generalilasi yang terdiri atas objek
atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik sama dengan
yangditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulan (Sugiyono,2017). Populasi pada penelitian ini adalah pasien
skizofrenia yang mengalami gangguan halusinasi pndengaran dibangsal
arjuna dan larasati
b) Sampel.
Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karateristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut. Populasi berjumlah besar maka peneliti
tidak mungkin mempelajarisemua yang ada pupulasi, maka peneliti
dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu (Sugiyono,
2017).
Pada penelitian ini sampel yang akan dilakukan penelitian
berjumlah 6 dengan 3 pasien dibangsal arjuna dan 3 pasien berada
dibangsal larasati.
E. Tempat penelitian
Penelitian Ini Dilakukan Di Rumah Sakit Jiwa Dr. Arif Zainudin
Daerah Surakarta
F. Kriteria inklusi dan ekslusi
a. Kriteria inklusi
1. Bersedia menjadi responden.
2. Jenis kelamin laki laki dan perempuan.
3. Pasien dengan gangguan skizofrenia dengan halusinasi
pendengaran .
4. Pasien dengan keadaan umum baik dan kooperatif.
5. Pasien yang sudah mampu mengenali halusinasi

17
6. Pasien yang dalam keadaan tenang
b. Kriteri ekslusi
1. Pasien dengan kondisi yang lemah dan tidak kooperatif.
2. Pasien yang masih meracau tidak jelas
3. Pada pasien yang belum mampu megindentifikasi halusinasi
G. Alat pengumpulan data.
1. Alat Penelitian atau Instrumen Penelitian adalah peneliti itu sendiri
2. Pengumpulan Data, teknik pengumpulan data dengan cara observasi,
wawancara, dokumentasi.
3. Lembar observasi
.

18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL
Pada bab ini diuraikan hasil penelitian tentang pendekatan
psikologis menggunakan metacognitive training pada pasien skizofrenia
yang mengalami halusinasi di ruang arjuna dan larasati RSJD Arif
Zainudin Surakarta. Berdasarkan data yang diperoleh selama penelitian
yang cukup singkat yang dilakukan cuman 3 hari dengan 6 pasien
diperoleh hasil. Pasien saat dilakukan pre test dengan mengkaji halusinasi
didapatkan bahwa dalam 24 jam bisikan halusinasi terjadi lebih dari 2 kali.
Pada 2 pasien didaatakan 3 kali sehari pada 1 pasien didapatkan bisikan
muncul sehari 8 kali dan pada 3 pasien bisikan muncul 2 kali sehari. Dari
pengkajian juga didapatkan bahwa 4 pasien dari 6 pasien percaya bahwa
bisikan itu nyata dan menikmati dari bisikan bisikan tersebut.
Setelah dilakukan pendekatan psikologis dengan menggunkan
teknik metacognitive training didapatkan bahwa 4 pasien yang semula
menikmati dan berfikir bahwa bisikan dan halusinsi tersebut nyata 3 orang
mulai paham dan mengerti bahwa suara tersebut tidak;ah nyata dan pasien
harus lah melawan. Frekuensi dari halusinasi jua menurun setelah
dilakukan metacognitive training penurunan tersebut memang tidak
banyak namun pasien yang sebelumnya masih menikmati dari halusina
sudah tidak menikmatinya dan sudah paham bahwa itu tidaklah nyata.
Penurunan frekuensi halusinasi tersebut sangat lah beragam namun ada
juga 1 pasien yang memag tidak mengalami penurunan dari frekuensi
halusinasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berpengaruh
pada pasien skizofrenia yang menderita halusinasi. Hal ini dibuktikan
dengan adanya penurunan frekuensi halusinasi diaman setelah 3 hari
dilakukan metacognitive training frekuensi dari halusinasi berkurang. Dari
6 pasien yang di jadikan sampel 5 pasien mengalami penurunan secara
signifikan. Hanya ada 1 pasien yang walaupun sudah mengalami

19
penurunan frekuensi dari halusinasi namun pasien belum mampu
menyadari bahwa halusinasi tersebut tidak lah nyata dan harus dilawan
B. PEMBAHSAN
Pada bab ini merupakan pembahasan berisi tentang perbandingan
hasil penelitian dan teori dan mengarah kepada hasil yang didapat dan
analisa serta pemecahan masalah. Data-data yang ditemukan dalam
penelitian ini membentuk sebuah keterkaitan yang dapat menggambarkan
bahwa sangatlah penting apabila metacognitive training sangatlah penting
dalam mengurangi frekuensi halusinasi dengan oenjelasan hasil penelitian
yang sesuai
pada pasien skizogfrenia dengan gangguan halusinasi pasien
tersebut memilki gangguan presepsi dan sensori gangguan ini jika pada
pasien halusinasi pendengaran akan menimbulkan bisiskan bisikan yang
tidak nyata dari dalam diri pasien. Bisikan bisikan tersebut akan
menyebabkan pasien mengalami banyak seklai gangguan. Bisikan tersebut
merupakan bisikan yang berasal dari dalam diri sehingga harus dilawan
dari dalam diri sehingga halusinasi itu muncul. Pada beberapa pasien
halusinasi merakan akan berangagap bahwa bisikan itu benar dan nyata
bahakan akan menikmati bisikan tersebut. Perlu adanya suatu pendekatan
psikologi yang baik dan terapi yang untuk mampu menghilagkan halusinsi
tersebut. Terapi yang didapat biasanya hanya terapi yang bersifat dari luar
dan ketika pasien pulang pasien tidak mampu melawan halusinasi tersebut
dari luar.
Pada penelitian ini dilakukan yang namanya metacognitive
training. Metacognitive traini merupakan cara atau terapi yang dilakukan
dengan tujuan untuk memberikan dorongan pada pasien bahwa hal
tersebut tidak nyata dan mampu memberikan dorongan pada pasien bahwa
halsinasi harus lah dilawan dan tidak diikuti dari dalam diri pasien. Terapi
ini berpusat pada pemikiran sadar pasien dimana pasien diberikan
rangsangan berupa percakapan yang mampu mematahkan pemikiranya
bahwa halusnasi tersebut tidak nayat dan harus d lawan dari dalam tubuh

20
pasien. Dari data yang digali dan dikaji setelah dilakukan MCT pasien
akan mampu berfikir rasional pasien akan memikirkan bahwa halusinasi
tersebut tidaklah nyata. Hal tersluti dalam metacognjtif training ini adalah
bagaimana memtahkan atau meluruskan argument dari pasien yang
memang akan bersikukuh tentang halusinasi itu benar.
Dalam penelitian ini cara berkomunikasi dan menyampaikan
kebenaran tentang halusinasi sangat lah penting, diperlukan teknik
komunikasi yang mampu meyakinkan san membuat yakin dari pasiennya.
Dengan komunikasiyang baik akan mampu mempengaruhi pola piker dan
pasien akan diajak untuk berlatih berfikir realistis.
Dengan penejlasan hasil penelitian diatas maka metacognitive
training menjadi hal yang perlu dilakukan dan mampu dikolaborasikan
dengan terapi yang lain.

21
BAB V
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari data penelitian yang dilakukan

kepada 6 pasien skizofrenia dengan gagguan halusinasi pendengran didaptkan

hasil bahwa 5 pasien memilki penurukan frekuensi halusinasi secara signifikan

hanya 1 pasien walaupun mengelami penurunan namun masih masih menikmati

dari isi halusinasi.

Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa meacognitif traini mampu

mengurangi frekuensi halusinasi dan mampu meyakinkan bahwa halusinasi tidak

nyata dan pasien harus melawan halusinasi tersebut.

22

Anda mungkin juga menyukai